Jika anda berkenan, saya ingin anda membuka Alkitab anda
pada 1 Korintus bab 5 dan bab 6.
Saya
mengalami sebuah peristiwa tadi malam,
meluangkan waktu berbicara dengan seorang pastor—mantan pastor/pendeta, yang
mengalami sejumlah permasalahan kehidupan moral yang menyeruak ke publik
sehingga ia tidak lagi memegang penggembalaan jemaat. Dan dia bertanya kepada saya dapatkah saya mengirimkan orang kepada anda sebagai
referensi agar beberapa gereja mau mempertimbangkan saya sebagai seorang
pastor/pendeta?” Maukah anda memberikan saya sebuah referensi?” Dan jawaban
saya kepadanya adalah, “Tidak, Saya tidak akan memberikan referensi.” Dia berkata, “Bagaimana dengan pengampunan?” Saya
menjawab, “Ini bukan soal pengampunan, saya tidak ada masalah dengan
pengampunan.” Dia berkata, “Bagaimana
dengan restorasi?” Saya berkata, “Ini bukan
sebuah soal restorasi. Saya berdoa agar anda sepenuhnya dipulihkan ke
sebuah tempat dimana Tuhan bisa menggunakanmu sepenuhnya.
“Dia berkata, “Apa masalahnya?” Saya berkata, “Ada sebuah soal mengenai keteladanan. Ada sebuah soal mengenai menetapkan standar terkait kekudusan hidup dimana jemaat gereja dipanggil untuk itu. Dan ketika anda diminta melepaskan kedudukan anda sebagai sebuah penghukuman sehingga dihadapan publik anda tidak dapat lagi berdiri di posisi sebagai teladan. Itulah soalnya. Ini bukan soal bahwa Tuhan tidak akan menggunakan anda. Ini bukan soal Tuhan tidak akan mengampunimu dan memberkatimu. Ini soal bahwa anda tidak lagi laik untuk memerankan teladan karakter Kristen, ini semua mengenai posisi atau kedudukan seorang pemimpin atau seorang pastor.
“Dia berkata, “Apa masalahnya?” Saya berkata, “Ada sebuah soal mengenai keteladanan. Ada sebuah soal mengenai menetapkan standar terkait kekudusan hidup dimana jemaat gereja dipanggil untuk itu. Dan ketika anda diminta melepaskan kedudukan anda sebagai sebuah penghukuman sehingga dihadapan publik anda tidak dapat lagi berdiri di posisi sebagai teladan. Itulah soalnya. Ini bukan soal bahwa Tuhan tidak akan menggunakan anda. Ini bukan soal Tuhan tidak akan mengampunimu dan memberkatimu. Ini soal bahwa anda tidak lagi laik untuk memerankan teladan karakter Kristen, ini semua mengenai posisi atau kedudukan seorang pemimpin atau seorang pastor.
Itu adalah pelurusan masalah yang terahir terkait isu semacam
ini hingga kemarin dalam dua minggu terahir ada lima nama pastor/pendeta lainnya yang ada
dalam perhatian saya yang telah diberhentikan dari pelayanan karena masalah
imoralitas. Selama enam bulan terahir
atau satu tahun ini saya telah mengenali bahwa apa yang kita hadapi sekarang
didalam Kekristenan adalah sebuah epidemik imoralitas seksual. Dan gereja alih-alih menjunjung standarnya,
nampaknya menjadi memperluas toleransi-toleransinya untuk merangkul siapapun
dan setiap orang yang menginginkan pengampunan, restitusi, dan restorasim dan
menempatkannya kembali kepada posisi-posisi kepemimpinan.
Saya mendapatkan kesempatan
pada minggu lalu untuk
berbincang-bincang dengan sejumlah wanita-wanita Kristen yang luar biasa
yang suami-suaminya sangat aktif didalam
gereja, menjadi pemimpin-pemimpin di gereja, menjadi guru-guru di gereja, dan
setelah 20-25 tahun pernikahan
memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan wanita lain. Dan dalam kasus
wanita-wanita ini, gereja tidak bertindak apapun terhadap masalah ini.
Faktanya, seorang ibu menghadap
pastor/pendetanya yang memiliki pengajaran Alkitab yang sangat kuat dan mereka
memilih untuk tidak berbuat apapun.
Jelas-jelas nampak, anda tahu baik mengenai ini, diantara
orang-orang Kristen terkenal ada sebuah catatan jumlah
perceraian dan skandal yang bersifat epidemik yang melibatkan diantara mereka sendiri atau
dengan pasangan lain. Ada
satu orang yang telah saya kritik begitu tajam di negeri ini (Amerika Serikat),
dia seorang pastor. Faktanya ia telah begitu banyak melancarkan penentangan
terhadap pelayanan kami disini. Dia sekarang sedang berupaya membela dirinya
disebuah pengadilan dengan tuduhan terkait moral yang demikian berat dan tidak
terpikirkan. Hampir semuanya melakukan pendekatan yang sangat mencemaskan
terhadap kasus semacam ini.
Gereja-gereja menjadi begitu semakin toleran terhadap masalah-masalah immoral. Institusi-institusi dan sekolah-sekolah dan seminari-seminari, yang pernah pada suatu waktu dalam sejarah mereka tidak akan pernah menerima orang yang tidak memiliki catatan yang andal sebagai seorang Kristen, belajar menjadi pelayan, kini mereka telah meluaskan kepermisifan merkea untuk merangkul setiap orang yang bersedia membayar biaya pendidikan, sebagaimana yang telah terjadi. Dan terkadanga atas nama Anugerah, dan ada sebuah tempat bernama Anugerah, atas nama kasih, mengabaikan beberapa hal yang dapat membuat seseorang terdiskualifikasi dalam pelayanan.
Gereja-gereja menjadi begitu semakin toleran terhadap masalah-masalah immoral. Institusi-institusi dan sekolah-sekolah dan seminari-seminari, yang pernah pada suatu waktu dalam sejarah mereka tidak akan pernah menerima orang yang tidak memiliki catatan yang andal sebagai seorang Kristen, belajar menjadi pelayan, kini mereka telah meluaskan kepermisifan merkea untuk merangkul setiap orang yang bersedia membayar biaya pendidikan, sebagaimana yang telah terjadi. Dan terkadanga atas nama Anugerah, dan ada sebuah tempat bernama Anugerah, atas nama kasih, mengabaikan beberapa hal yang dapat membuat seseorang terdiskualifikasi dalam pelayanan.
Dan apa yang saya lihat
sedang terjadi didalam gereja, saya percaya apa yang sedang terjadi ini dalam
porsi epidemik. Dan saya benar-benar merasakan bahwa berangkali untuk segera
saja menetapkan rekor dan hal ini memang
jelas-jelas nyata terlihat, namun akan baik bagi kita untuk melihat kembali apa
yang harus dikatakan oleh Rasul Paulus mengenai kemurnian seksual didalam
gereja.
Jelas terlihat, masyarakat di sekitar kita memberikan tekanan pada kita. Kita hidup didalam masyarakat yang tidak memiliki fundamen/dasar. Kita hidup didalam masyarakat yang menikmati hawa nafsu-hawa nafsu yang berasal para pendukungnya. Imoralitas diterima sepenuhnya oleh masyarakat kita, tetapi tidak diterima sepenuhnya oleh Tuhan dan imoralitas harus tidak diterima sepenuhnya bagi gereja sebagaimana juga kepada gereja Tuhan. Mendapatkan satu wanita dengan seorang pria yang sesuai untuk kepemimpinan, mendapatkan satu pria dengan seorang wanita yang sesuai untuk pelayanan didalam gereja kini menjadi semakin jauh lebih sulit. Dan alih-alih gereja menjujung tinggi standar melawan gelombang ini nampaknya gereja menurunkan standarnya untuk mengakomodasi kelangkaan orang yang memenuhi standar untuk melayani.
Jelas terlihat, masyarakat di sekitar kita memberikan tekanan pada kita. Kita hidup didalam masyarakat yang tidak memiliki fundamen/dasar. Kita hidup didalam masyarakat yang menikmati hawa nafsu-hawa nafsu yang berasal para pendukungnya. Imoralitas diterima sepenuhnya oleh masyarakat kita, tetapi tidak diterima sepenuhnya oleh Tuhan dan imoralitas harus tidak diterima sepenuhnya bagi gereja sebagaimana juga kepada gereja Tuhan. Mendapatkan satu wanita dengan seorang pria yang sesuai untuk kepemimpinan, mendapatkan satu pria dengan seorang wanita yang sesuai untuk pelayanan didalam gereja kini menjadi semakin jauh lebih sulit. Dan alih-alih gereja menjujung tinggi standar melawan gelombang ini nampaknya gereja menurunkan standarnya untuk mengakomodasi kelangkaan orang yang memenuhi standar untuk melayani.
Masyarakat sudah tidak meninggikan/meluhurkan kemurnian
dan gereja ikut serta melakukannya. Kita menolerir
orang-orang yang menjadi corong-corong, yang satu sama lain terkait,
Injil, yang kehidupannya, sebagaimana dikisahkan seseorang,”Dapat membuat
sebuah tanda hitam diatas sebuah batu bara.” Tolerasi telah menjadi norma.
Penyingkapan dosa-dosa seksual yang terus-menerus telah menumpulkan kesensitifan kita terhadapnya. Dan kita sangat mirp dengan Jemaat Korintus, yang telah menjadi korban pagan imoralitas, dan gereja, saya percaya, harus melawannya, sama halnya dengan Gereja di Korintus harus melawannya dimasanya. Saya tidak perlu mengulas lebih jauh isu ini dan membacakan bagi anda diseluruh Perjanjian Lama mengenai firman-firman Tuhan yang menentang dosa-dosa ini. Anda dapat membaca Ulangan 22,23 dan 24. Anda dapat membaca Imamat 19, Imamat 21. Anda dapat membaca Amsal 5,6,7 dan 9. Anda dapat membaca banyak bagian dalam Perjanjian Baru, 1 Korintus 6 adalah salah satunya. Efesus 5, 1 Tesalonika bab 4 dan banyak lagi lainya, Wahyu bab 2, ada begitu banyak tempat lainnya dalam firman Tuhan dimana soal dosa seksual dibicarakan.
Mereka yang melakukan dosa ini, dan baru dua hari lalu
sebuah surat
tiba di meja saya memberikan kesaksian kepada seseorang yang ada didalam gereja
kami yang sudah lama tidak terlihat hadir untuk waktu yang lama dan nampaknya selama dan sepeninggalan kehadirannya di gereja, ia
terlibat dalam hubungan intim terlarang dengan seseorang. Saya tidak berpikir
bahwa kejadian semacam ini ada dalam tahap epidemik tetapi saya yakin bahwa
dosa semacam ini ada didalam jemaat
kami. Dan saya yakin bahwa musuh akan melakukan segala upaya yang dapat dilakukannya
untuk membuat dosa ini meluas seluas mungkin untuk menjatuhkan nama Kristus dan
pelayanan gereja.
Sehingga adalah baik bagi kita untuk memiliki pandangan yang
benar pada isu ini dengan merujuk pada 1 Korintus. Dan saya ingin mengulasnya
dalam dua bagian: pertama, bagaimana
kita menghadapi dosa seksual dalam sebuah level pribadi, yang kedua pada sebuah
level korporat? Dan khotbah ini akan
disampaikan secara ringkas dan mengambil bagian-bagian penting sambil mengingat
pelajaran yang telah disampaikan beberapa tahun lampau dalam 1 Korintus 6.
Bahkan sebuah penjelasan yang lebih lengkap dapat saya berikan kepada anda dan dapat dilihat dalam komentar dan tulisan
pada epistel ini.
Mari
kita lihat bersama pada bab 6, ayat 12 dan seterusnya hingga ayat 20 dan
mengulas sejenak tentang aspek personal dalam menghadapi dosa seksual; aspek
personal. Disini Paulus berkta kepada pendosa, “Kepada dia yang melibatkan
dirinya baik pria atau perempuan kedalam imoralitas seksual.” Dan berikut ini
adalah perkataannya yang sangat gamblang. Pada kondisi yang dialami jemaat di Korintus,
cara terbaik untuk memahaminya dengan melihat pada slogan kecil pada permulaan
ayat 13. Jika anda membaca ayat 13 anda akan melihat sebuah slogan verbalis, “Makanan
adalah untuk perut dan perut untuk makanan.” Sekarang apa yang mengemuka dengan slogan semacam ini? Ya…slogan
tersebut mewakili sebuah ide dari sebuah
perilaku yang menjadi sebuah pembenaran yang bersifat
filosopis bagi imoralitas. Dan apa yang hendak dikatakan oleh slogan itu
adalah, “Makanan dibuat untuk perutmu dan perutmu dibuat untuk makanan.” Jelas
tak ada yang salah dengan makan. Makan
adalah hal biologis. Dalam sebuah pemahaman ini adalah sebuah eufemisme (bahasa
yang diperhalus untuk menyatakan sesuatu) untuk seks. Slogan ini
menyiratkan seks untuk tubuh dan tubuh untuk seks. Seks itu sama halnya
dengan makan, minum, tidur. Seks adalah hal biologis. Jangan selubungi seks dengan konotasi apapun terkait
moral. Seksualitas dan aktivitas seksual tidak lebih dari semata biologi. Seks
Cuma aktivitas psikologis. Kita semua adalah binatang, tubuh ini dibuat untuk
seks, laki-laki adalah laki-laki, perempuan adalah perempuan. Tujuan yang nyata
dari slogan semacam ini adalah untuk
membawa kesemuanya ini sebagai perbuatan biologi psikologis semata. Mengapa kita begitu memusingkannya? “Makanan untuk tubuh
dan tubuh untuk makanan.” Makanan dibuat untuk perut-perut, perut-perut dibuat
untuk makanan; ini hanyalah hal biologi. Implikasinya adalah seks itu untuk
tubuh, tubuh untuk seks. Seks tidak lebih dari sekedar fungsi biologi.
Bersambung ke Bagian 2
Sexual Purity In Church, by John MacArthur | Martin Simamora
No comments:
Post a Comment