Oleh: Martin Simamora
Akankah Yang
Murtad Kembali Kepada-Nya, Ataukah Dilepaskan-Nya Karena Itu Pilihan Manusia?
Menurut anda, bagaimanakah Tuhan memandang sebuah
kemurtadan itu berlangsung? Mari kita melihat pada era nabi Yeremia yang
melihat dan menjadi lidah bagi Tuhan yang memperingati umat-Nya: kerajaan
Israel dan kerajaan Yehuda, seperti ini:
Yeremia
3:1-5 Firman-Nya: "Jika seseorang
menceraikan isterinya, lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri
orang lain, akan kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan itu?
Bukankah negeri itu sudah tetap cemar? Engkau
telah berzinah dengan banyak kekasih, dan mau kembali kepada-Ku? demikianlah
firman TUHAN. Layangkanlah matamu ke bukit-bukit gundul dan lihatlah! Di
manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir jalan-jalan engkau duduk
menantikan kekasih, seperti seorang Arab di padang gurun. Engkau telah
mencemarkan negeri dengan zinahmu dan dengan kejahatanmu. Sebab itu dirus hujan
tertahan dan hujan pada akhir musim tidak datang. Tetapi dahimu adalah dahi
perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu. Bukankah baru saja engkau memanggil Aku: Bapaku! Engkaulah kawanku sejak
kecil! Untuk selama-lamanyakah Ia akan murka atau menaruh dendam untuk
seterusnya? Demikianlah katamu, namun engkau sedapat-dapatnya melakukan
kejahatan."
Bagi Allah,
kemurtadan bukan sekedar ketidaksetiaan atau ketidaktaatan tetapi sebuah
kehidupan rohani yang perilakunya tak bedanya dengan seorang yang pergi ke banyak pelacur atau banyak kekasih: “Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih
dan mau kembali kepada-Ku?”Ini adalah ungkapan kepedihan hati Tuhan yang
begitu mendalam karena IA sendirilah yang telah merangkaikan sebuah ikatan
kasih mesra yang begitu mulia: “Bukankah baru saja engkau memanggil Aku:Bapaku! Engkaulah
kawanku sejak kecil!” Umat-Nya tahu sekali bahwa Tuhan tidak akan murka
atau menaruh dendam untuk seterusnya? Tetapi apakah karena demikian, lantas
hidup menumpuk dosa: “Untuk selamanyakah Ia akan murka atau menaruh dendam
untuk seterusnya?Demikianlah katamu, namun engkau sedapat-sedapatnya melakukan
kejahatan,”Kemurtadan adalah
sebuah kehidupan yang menyalahgunakan kasih karunia Allah dan memandang remeh,
betapa menjijikan perilaku itu bagi-Nya sekalipun dalam kasih karunia. Dapat
dimengerti jika rasul Paulus kemudian memberikan peringatan yang sama kerasnya:
Roma
6:1-2Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun
dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak!
Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di
dalamnya?
Roma
6:15-16 Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada
di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!
Apakah
kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai
hamba untuk mentaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati,
baik dalam dosa yang memimpin kamu kepada kematian, maupun dalam ketaatan yang
memimpin kamu kepada kebenaran?
Kehidupan dalam kasih
karunia, pada dasarnya, merupakan kehidupan dalam percintaan atau kasih Tuhan.
Sangat menakjubkan bahwa hal ini sudah begitu kuat mencuat dalam era yang kita
kenal sebagai era memerintahnya hukum Taurat, sebagaimana Tuhan nyatakan
melalui nabi Yeremia: