Pages
- [HOME]
- Siapakah Yesus Kristus?
- G R A C E
- SATU Keselamatan
- Roh Kudus
- Truth
- Pluralisme
- Alkitab
- NICEA
- TRINITAS
- Dasar Kristen
- Aku Percaya
- Faith
- T U L I P
- Nabi Seperti MUSA
- ETPATAH ISCS
- Corpus Delicti
- Apologetika
- Ismael
- Christmas Time
- DecepTions
- Hipnotis
- DOSA
- Nabi Palsu
- Providence
- Kisah Perjalanan Yesus
- GKI Yasmin
- H A M
- About Me
F O K U S
Nabi Daud Tentang Siapakah Kristus
Ia Adalah Seorang Nabi Dan Ia Telah Melihat Ke Depan Dan Telah Berbicara Tentang Kebangkitan Mesias Oleh: Blogger Martin Simamora ...
Showing posts with label ISCS. Show all posts
Showing posts with label ISCS. Show all posts
0 “Bhinneka Tunggal Ika”
Sejarah, Filosofi,
dan Relevansinya
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara *)
Setelah
dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-lshwara menjelma di dalam
berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri
Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagaimana Sidharta
Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina,
keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai
seorang pertapa. Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada,
raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma
untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam
olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana,
akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara
itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya,
bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala.
Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu
dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya
telah merusak dan membunuh para lawannya, Sutasoma titisan Sang Buddha
menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan
kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta.
Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjeima menjadi api Kala yang siap melebur
jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua
maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak
dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau
guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”. Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka Jinatwa lwan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan
hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.
Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas
pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenamya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu
jua. Tidak ada kebenaran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada
akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma
adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha
santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu
menghancurkan sesama ciptaan.[1]
Kisah
di atas dikutip dari Kakawin Sutasoma,
karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit
(1340). Hal penting yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular
ini adalah asal-usul istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini
menjadi salah satu dari Catur Pilar
Kebangsaan Indonesia, khususnya adalah makna filosofinya. Perlu dicatat
pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata
salam nasional kita “Merdeka”), dan
nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”, - ungkapan yang
menurut Dr. Soewito Santoso dalam bukunya Sutasoma,
A Study in Javanese Wajrayana, - “is a magic one of great significance and it
ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great,
unites in frame works of an Indonesian Pancasilais community.”[2]
0 Acara Natal ISCS 6 Januari 2017 (3 Bagian)
"Natal
Sebagai Momen Merajut Kebhinekaan dalam Keprihatinan Nasional"
Dipersembahkan
oleh
Institute for Syriac Culture Studies
Video I
Video II
0 THE TRUE MEANING OF TRINITY’S REVEALED
Bism al-Abi wa al-Ibni wa ar-Rûh al-Quddusi, al-Ilahu al-Wâhid,
Amin
In the Name of the
Father, and of the Son, and of the Holy Spirit, God Almighty, Amen
A dialogue between Bilung’s
"EXOTERICISM" AND
Kyai Semar’s
"ESOTERICISM"*)
by Bambang Noorsena
Indonesian
to English translation by :
Glenn
Tapidingan
Martin H.
Simamora
1.Introductory Note
In Javanese mythology, there are two types of comprehension
of spirituality, the first is exoteric (common or popular comprehensible
language) which simplistic, and the second is esoteric (inner consciousness
language), which refers to the essence beyond all things. At outset reputedly,
Sang Hyang Tunggal created egg of life. Extracting from the egg, yolk became
"Sang Hyang Shiva" (the essence of all things), albumen or white egg to-be Semar (the essence of all things that
can be comprehended esoterically), and shell came to be Togog (symbolizing the
failure to seize the essence because mistakenly signify the truth exoterically
or in "language of the flesh",or wadag, simplistic thinking). Next, a
figure in shadow play, Togog who is supported by Bilung, epitomizes the
outwardly religious apprehension or thoroughly wadag/simplistic as already
mentioned earlier, and Semar followed with Gareng, Petruk, and Bagong who symbolized spirituality that always longings for
the quintessence, loving for the
significance, and understanding the substance.
Therefore, when Jesus says: "Your father Abraham
rejoiced to see My day; and he saw, and was glad". This is the
"esoterical language" to say "spiritual language" which
must be apprehended inwardly. But the Jewish people hooked it up with outward
apprehension of the language or Jesus’ speech, miscarriage the substance the
truth, and asked: "Thou art not yet fifty years old, and hast thou seen
Abraham?" (John 8:56-57, KJVA). Jewish people only saw Jesus to apprehend
him in his existence form as a human, and failed to recognize His pre-existence
as “the Word of God” (Greek: Logos; Hebrew: Davar; Aramaic: Memra; Arab:
Kalimatullah) that "by/ through Him all things exist"(1Cor. 8:6; John
1:3; Psa. 33:6;2Pet. 3:5).
Jesus’ question: “Why do ye not understand my language?
Because ye cannot hear MY Word” (John 8:43, KJVA), occurs to Christians
themselves who can’t comprehend the principles of their own faith, namely the
Godhead and the Deity of the Messiah, and the nature of the Triune God that
clearly taught in the Sacred Scripture, transmitted by disciples of the
apostles, disciples of the disciples of the apostles to the ecumenical church
councils that formulate them more
clearer for us.
0 Dialog Ringan:
Seputar Makna Teologis
Gelar Yesus sebagai Putera Allah
Oleh:
Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.
Ungkapan "Anak”, tepat sekali seperti dikatakan orang sebelum
kami, mempunyai dua makna: Pertama, “anak secara fisik”, seperti melahirkan seorang
anak; dan Kedua, “yang dikiaskan sebagai anak”, karena dibuat
demikian,meskipun dibedakan antara “lahir" dan“diciptakan”.
Apalagi, sebagian besar ayat-ayat ini (yang menentang paham “anak-anak
Allah", penulis)ditujukan, menurut sebagian besar mufasir, kepada
orang-orang Arab Mekah yangmengklaim bahwa dewi-dewi mereka, al-Lat, al-‘Uzza,
dan Manat adalah anak-anak Tuhandan begitu pula dengan malaikat. Jadi,
orang-orang Yahudi dan Kristen sering terkenagetahnya.
Mahmoud M. Ayoub, Profesor
of Islamic
Studies pada Temple
University, Philadelpia, USA.[2]
Tulisan ketiga ini, sudah barang tentu, merupakan sajian
ringan, setelah kita melakukan
“ziarah panjang” menelusuri sejarah. Mungkin saja kita dibuat pusing,capek, dan
bingung. Mengapa beriman kepada Tuhan harus serumit itu? Apakah untuk menghadap Allah seorang
harus menjadi filsuf atau teolog? Tentu saja, Tidak! Buktinya, Anda masih dapat
menikmati tulisan terakhir ini, moga-moga saja dapat mewakili pergumulan-pergumulan, pertanyaan-pertanyaan,
atau malahan keresahan-keresahan Anda selama ini. Temanya masih seputar Keesaan
Allah, kedudukan Yesus sebagai Putera Allah,dan isu-isu teologis Islam-Kristen
serta implikasinya dalam perjumpaan kedua “agama rumpun Ibrahim".
Pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam bentuk wawancara
ini berasal dari pengalaman
dalam berbagai seminar, undangan ceramah dan mengajar, baik di lingkungan Kristen maupun Islam di Jakarta,
Surabaya, Denpasar, Manado, dan beberapa kota lain. Di lingkungan Kristen, tema ini selalu muncul dalam
ceramah di gereja-gereja
dan di sekolah-sekolah Teologi. Sedangkan di lingkungan Islam, IAIN “Sunan
Kalijaga” Yogyakarta, IAIN“Sunan Gunung Jati” Bandung, dan Universitas
Paramadina-Mulya, malah mengangkatnya dalam forum-forum ISCS tersendiri. Memang,
di lingkungan Islam tema-tema ini ditanggapi jauh lebih antusias, apalagi di
forum-forum dialog antar-iman,
meskipun di sana-sini juga sering ditanggapi dengan “nada curiga”.
Id
Al- Milad
(Natal) Di Bethlehem: Sebuah Sisi dari Hubungan
Kekerabatan
Kristen-Islam di Timur Tengah
Kebiasaan
Presiden Palestina, mulai dari Yasser Arafat, sampai Mahmud Abbas
selalu mengikuti Perayaan Natalan di gereja adalah fenomena menarik, karena
fenomena semacam itu asing di Indonesia. Bisa dijelaskan bagaimana komentar Anda?
Menarik memang kalau kita cermati hubungan Kristen-Islam di
negara-negara TimurTengah, khususnya di Palestina. Saya teringat dengan Natal
di Bethlehem tahun 2001, Israel melarang Arafat pidato di gereja. Biasanya,
Arafat duduk di kursi paling depan. Istrinya,
Suha membaca lembaran liturgi, turut merayakan ‘Id al-Milad. Begitulah umat Kristen Arab menyambut Natal.
Tanpa kehadiran Sang Presiden, bagi orang Kristen Palestina, Natal rasanya
“seperti ada yang kurang”.
0 SALIB AL-MASIH DI MATA PARA PENULIS ARAB-MUSLIM KONTEMPORER
אָמֵן׃ ,אֶחָד הָאֱלֹהִים ,הַקֹּדֶשׁ וְרוּחַ וְהַבֵּן הָאָב בְּשֵׁם
ܒ݁ܫܶܡ ܐܰܒ݂ܳܐ ܘܰܒ݂ܪܳܐ ܘܪܽܘܚܳܐ ܕ݁ܩܽܘܕ݂ܫܳܐ ܚܰܕ ܐܰܠܳܗܳܐ ܐܰܡܺܝܢ
بسم الاب والابن و الروح
القدس، الاله الواحد،آمين
v
SALIB
AL-MASIH DI MATA PARA PENULIS
ARAB-MUSLIM
KONTEMPORER
Oleh:
Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.
Copyright © 2015 Institute For Syriac Culture Studies
The painting depicts Christ’s crucifixion at Golgotha, the
‘Place of the Skulls’ outside Jerusalem. The two criminals are crucified on
either side of Christ. Mary and St John stand by the cross, while Mary
Magdalene kneels at its foot. Another Mary, the wife of Clopas, lies
overwhelmed with grief in the arms of an old woman. Behind them soldiers cast
lots for Christ’s garments (John 19: 17-30). There are four known crucifixions
by Lastman. This painting is the most monumental of the four.- Rembranthuis
|
Salib al-Masih dan Thariq
al-Alam (Jalan Sengsara)-Nya adalah salah satu “batu sandungan” dalam
dialog teologis Kristen-Islam hingga sekarang. Salah satu alasan penolakan
Islam atas historisitas penyaliban Yesus, didasarkan atas sebuah ayat dalam
al-Qur’an: “wa mâ qatalûhu wa mâ
shalabûhu wa lâkin syubbiha lahum (Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula
mereka menyalibkannya, melainkan yang disamarkan bagi mereka)” (Q.s.
An-Nisa’/4:157). Meskipun ayat ini masih menjadi perdebatan diantara para ahli
tafsir al-Qur’an sejak masa klasik, dan tidak pernah tuntas hingga sekarang,
akan tetapi berbagai bentuk teori telah dikemukakan untuk menyangkal, atau
minimal meragukan historisitas penyaliban Kristus.
Salah
satu teori yang sering diajukan hingga zaman kita, yaitu teori penggantian.
Dalam teori ini dikemukakan bahwa orang lain telah diserupakan dengan Yesus dan
menggantikan-Nya di kayu salib. Meskipun teori ini tidak memuaskan sejak zaman
klasik, seperti tampak dari karya Ibn
Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur’an,
tetapi teori ini tampaknya lebih banyak dianut dalam banyak tafsir tradisional,
seperti Tafsir Jalalain, Tafsir Baidhawi, Tafsir Munir, dan banyak tafsir lain dalam bahasa Indonesia.
Teori
lain lagi mungkin dapat diikuti di sini sebagai bahan perbandingan, yaitu tafsiran sekte Ahmadiyyah, yang
mengakui historisitas penyaliban Yesus, meskipun Yesus hanya pingsan di kayu
salib, lalu Ia turun dan pergi ke India. Sebuah kuburan di Punjab, Srinagar,
dipercayai sebagai bukti lolosnya Yesus dari penyaliban dan kematian-Nya secara
wajar di India, pertama kali diajukan oleh Mirza
Ghulam Ahmad, dalam bukunya berbahasa Urdu,
Masih
Hindustan Mein (Jesus in India).
Subscribe to:
Posts (Atom)