Seputar Makna Teologis
Gelar Yesus sebagai Putera Allah
Oleh:
Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.
Ungkapan "Anak”, tepat sekali seperti dikatakan orang sebelum
kami, mempunyai dua makna: Pertama, “anak secara fisik”, seperti melahirkan seorang
anak; dan Kedua, “yang dikiaskan sebagai anak”, karena dibuat
demikian,meskipun dibedakan antara “lahir" dan“diciptakan”.
Apalagi, sebagian besar ayat-ayat ini (yang menentang paham “anak-anak
Allah", penulis)ditujukan, menurut sebagian besar mufasir, kepada
orang-orang Arab Mekah yangmengklaim bahwa dewi-dewi mereka, al-Lat, al-‘Uzza,
dan Manat adalah anak-anak Tuhandan begitu pula dengan malaikat. Jadi,
orang-orang Yahudi dan Kristen sering terkenagetahnya.
Mahmoud M. Ayoub, Profesor
of Islamic
Studies pada Temple
University, Philadelpia, USA.[2]
Tulisan ketiga ini, sudah barang tentu, merupakan sajian
ringan, setelah kita melakukan
“ziarah panjang” menelusuri sejarah. Mungkin saja kita dibuat pusing,capek, dan
bingung. Mengapa beriman kepada Tuhan harus serumit itu? Apakah untuk menghadap Allah seorang
harus menjadi filsuf atau teolog? Tentu saja, Tidak! Buktinya, Anda masih dapat
menikmati tulisan terakhir ini, moga-moga saja dapat mewakili pergumulan-pergumulan, pertanyaan-pertanyaan,
atau malahan keresahan-keresahan Anda selama ini. Temanya masih seputar Keesaan
Allah, kedudukan Yesus sebagai Putera Allah,dan isu-isu teologis Islam-Kristen
serta implikasinya dalam perjumpaan kedua “agama rumpun Ibrahim".
Pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam bentuk wawancara
ini berasal dari pengalaman
dalam berbagai seminar, undangan ceramah dan mengajar, baik di lingkungan Kristen maupun Islam di Jakarta,
Surabaya, Denpasar, Manado, dan beberapa kota lain. Di lingkungan Kristen, tema ini selalu muncul dalam
ceramah di gereja-gereja
dan di sekolah-sekolah Teologi. Sedangkan di lingkungan Islam, IAIN “Sunan
Kalijaga” Yogyakarta, IAIN“Sunan Gunung Jati” Bandung, dan Universitas
Paramadina-Mulya, malah mengangkatnya dalam forum-forum ISCS tersendiri. Memang,
di lingkungan Islam tema-tema ini ditanggapi jauh lebih antusias, apalagi di
forum-forum dialog antar-iman,
meskipun di sana-sini juga sering ditanggapi dengan “nada curiga”.
Id
Al- Milad
(Natal) Di Bethlehem: Sebuah Sisi dari Hubungan
Kekerabatan
Kristen-Islam di Timur Tengah
Kebiasaan
Presiden Palestina, mulai dari Yasser Arafat, sampai Mahmud Abbas
selalu mengikuti Perayaan Natalan di gereja adalah fenomena menarik, karena
fenomena semacam itu asing di Indonesia. Bisa dijelaskan bagaimana komentar Anda?
Menarik memang kalau kita cermati hubungan Kristen-Islam di
negara-negara TimurTengah, khususnya di Palestina. Saya teringat dengan Natal
di Bethlehem tahun 2001, Israel melarang Arafat pidato di gereja. Biasanya,
Arafat duduk di kursi paling depan. Istrinya,
Suha membaca lembaran liturgi, turut merayakan ‘Id al-Milad. Begitulah umat Kristen Arab menyambut Natal.
Tanpa kehadiran Sang Presiden, bagi orang Kristen Palestina, Natal rasanya
“seperti ada yang kurang”.
Pada waktu itu, saya lihat gambar di Koran, di tepi Barat
seorang laki-laki berpose sambil menggendong anaknya di bawah poster besar
Arafat di depan gereja. Tetapi misa Natal tetap jalan, kursi barisan paling
depan yang biasanya diduduki Arafat, sengaja dikosongkan, dan di atasnya ditaruh
kafieh (penutup kepala) hitam putih, lambang kehadiran Presiden
Palestina. Sampai sekarang, suasana Natal di Bethehem tidak jauh
berbeda.Suasana sepertl ini sangat kontras apabila kita bandingkan dengan
Indonesia. Di sini Megawati masuk pura Hindu saja jadi bulan-bulanan komoditi
politik. Hadir dalam perayaan Natal di Kanisah al-Mahd, Patriakh
Latin Yerusalem, dan tokoh-tokoh Kristen dan Islam sama-sama mengutuk tindakan
kekerasan dari manapun dan oleh siapapun. Di Palestina memangt idak ada fatwa
haram untuk datang pada perayaan Natal.
Perbandingan
Status Yesus dan al-Qur'an:
Paralelisasi
Kristen-Islam
Soal
fatwa itu, kita memang pernah heboh soal fatwa Natal Majelis Ulama Indonesia
(MUI).Karena dalam konsideran dari fatwa itu, umat Kristen dianggap telah
melakukan kesalahan akidah tentang Yesus sebagai Putera Allah?
Saya kira itu soal itu penafsiran, ya. Saya tidak mau campur
tangan dalam soal tafsirAl-Qur’an, karena itu bukan kompetensi saya untuk
mengatakannya. Tetapi, kalau yang ditentang itu adalah soal Anak Allah, lalu dikaitkan
dengan dalil "Lam yalid wa lam yulad” Artinya: “Allah tidak beranak dan tidak
diperanakkan” (Q.s. Al-Ikhlas/112:2). Tentu saja alasan itu tidak sepenuhnya
kena. Sebab tidak ada ajaran gereja di manapun yang mempercayai bahwa Allah itu
beranak dan diperanakkan. Sebab Yesus disebut Putera Allah itu dalam makna majazi
(kiasan), bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah yang datang sebagai manusia.
Sebenarnya paralel dengan keyakinan Islam mengenai nuzulul Qur’an,
yaitu turunnya Firman Tuhan menjadi Al-Qur’an. Paralel ini pernah diusulkan oleh
Seyyed HuseinNasr, dalam bukunya Ideals and Realities of Islam.[3]
Malahan Prof. Mukti Ali juga pernah mengemukakan paralel yang serupa.“[4]
Jadi, posisi Yesus itu dalam iman Kristen
lebih sejajar dengan al-Qur'an dalam Islam? Kalau begitu bagaimana dengan
perbandingan Yesus dan Muhammad?
Ya, justru disitulah letak masalahnya. Sering kali orang
mengukur agama orang lain berdasarkan “frame of reference” agamanya
sendiri. Nah, dalam Islam, Muhammad itu kan Nabi yang menerima Firman Allah yang
akhirnya terkumpul dalam al-Qur’an. Disini, Al-Qur’an dalam keyakinan Muslim
adalah Kalam Allah, dan Muhammad penerimanya. Tentu saja,pandangan Kristen tidak begitu.
Kita percaya, bahwa Yesus sendirilah Firman Allah. Wahyu dalam Kristen
pertama-tama tidak dipahami sebagai Kitab Injil. Kata “injil” berasal dari
kata Yunani euangelion, “kabar baik". Maksudnya, kabar baik mengenai
Yesus sebagai Firman yang menjadi manusia. Dan Injil-injil adalah
catatan-catatan tentang Kabar Baik, yaitu Allah yang telah mengerjakan
keselamatan manusia melalui Yesus. Jadi, Injil yang memberitakan tentang Yesus,
bukan Yesus menerima “sebuah Kitab Injil yang turun dari surga". Sebaliknya,
dalam Islam, Muhammad yang memberitakan Kalam Allah yang berupa
Al-Qur’an. Muhammad dalam Islam “hanyalah penerima Firman”, bukan Firman Allah
sendiri. Sebab Firman Allah dalam Islam adalah Al-Qur’an.
Sekali lagi saya ingin mengutip Husein Nasr, posisi Nabi
Muhammad itu sejajar dengan Bunda Maria. Bunda Maria menerima Firman Allah itu
dalam kandungannya, dan kemudian melahirkan secara jasmani Yesus. Posisi Maryam
yang perawan, sejajar dengan posisi Muhammad yang “ummi” (tidak tahu tulis
baca). Mengapa? Kemurnian Firman Allah yang menjadi manusia, dibuktikan dengan
keperawanan Maryam yang terjaga itu. Tidak pernah disentuh oleh manusia.
Sebagaimana pula Muhammad, kemurnian al-Qur’an secara literal dibuktikan dengan
sifat “ummi” dari penerimanya. Yang hendak ditekankan di sini,baik
kelahiran Firman Allah menjadi manusia, atau nuzulnya Firman menjadi Kitab, itu dipercayai sebagai karya Allah.
Jadi, suci dan murni, tidak
ada campur tangan manusia disana.
Kalau begitu, sebenarnya Natal itu
paralel dengan nuzul Al-Qur’an? Bukan dengan Maulid Nabi.Begitu? Sebab posisi
Yesus sebagai Firman Allah, paralel dengan kedudukan Al-Qur'an dalam Islam?
Tepat sekali. Bahkan kalau kita bandingkan dengan literatur
Kristen Arab, paralel itu lebih kentara lagi. Dalam ”Qanûn al-Imân al-Muqaddâs”,
yaitu Pengakuan lman (yang dikenal pula dengan sebutan “Syahadat
Panjang”), kedatangan Yesus itu juga disebut “nuzul",istilah yang juga
diterapkan untuk Qur’an. Bunyinya, “... nazzala minas sama'i wa tajjasada biRuh
al-Qudus, wa min Maryam al adzra’ al-batuli wa shara insanan” (turun
dari surga, terjadi oleh Roh Kudus, dan dari Perawan Maryam yang terpelihara
kehormatannya, dan menjadi manusia).
Sedangkan untuk “nuzul al-Qur’an", silahkan
membaca di surah Ali lmran ayat 3.“Nazzala ‘alaikal kitab bi al-haqq..."
(yang telah menurunkan kepadamu al-Qur’an dengan kebenaran). Paralel yang lain
lagi. Malam ketika Firman Allah itu nuzul
menjadi manusia, dalam Kristen dikenal dengan “Lailat al-Quds” (Malam Kudus),Holy Night. Itu yang
terkenal di Indonesia. Maknanya sama, “Malam
Kudus". Sedangkan dalam Islam, malam nuzulnya al-Qur’an itu disebut “Lailat
al-Qadr” (Malam Penentuan).
Dalam surat al-Qadr disebutkan, tanazzal al-malaikatu wa ar ruhu fiha bi idzni rabbihimmin‘ kulli ‘amr
(Pada malam itu, turun para malaikat dan ruh dengan izin Tuhanmu,membawa segala
perkara/‘amr). Dalam Kristen,
digambarkan juga malaikat-malaikat datang di padang gembala, sekarang orang
Kristen Arab menyebut Sahl al-Ra’wat,
memberitakan“kesukaan besar bagi bangsa-bangsa". ltulah malam tatkala
“Firman Allah telah turunmenjadi manusia”. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan
ruh dalam surah al-Qadr tersebut menurut Muhammad Asad adalah wahyu Allah
sendiri.[5]
Dalam ayat-ayat lain, term ruh dikaitkan lebih
jelas dengan ‘amr. Contohnya, yunazzilu al-malaikata bi ar ruh min
‘am-rihi… Artinya: “Allah telah
menurunkan denganwahyu(ruh)
dari'amr-Nya”(Q.s. An-Nahl/16:2). Sedangkan
dalam Kristen, Kalam llahi– yang dipahami sebagai Yesus - dalam bahasa Aramaik Memra.
Kata Aramaik ini sejajar dengan bahasa Arab ‘amr. Kedua kata itu sama-sama
muncul dalam konteks “turunnya Firman Allah”,baik dipahami sebagai Yesus dalam
Kristen, maupun dipahami sebagai Qur'an dalam Islam.Jadi, baik Qur’an maupun
Yesus disebut sebagai “perkara, titah Tuhan, atau Firman-Nya”.Karena itu, ada
ahli lain yang mencoba melacak hubungan antara ‘amr dalam Qur’an itu, dengan memra
dalam targum-targum Yahudi. Dilatarbelakangi oleh penafsiran rabbi-rabbi Yahudi
pra-Kristen yang mengaitkan memra
dengan sosok Sang Mesiah ini, maka tafsiranKristen menerapkannya untuk Yesus
Kristus.
Latar
Belakang Politik Melahirkan
“Prasangka
Mendahului Tafsir”
Menarik
memang mencari ”titik persamaan” semacam itu, tetapi bagaimana kita
menyikapi perbedaan-perbedaannya? Sebab saya kira, dialog yang baik adalah sikap
jujur di depan Allah dan sesama. Artinya, kita jujur mengakui bahwa kita memang
berbeda, memang tidak sama.Bagaimana tanggapan Anda tentang hal ini?
Saya setuju dengan Anda. Tetapi “tidak sama itu bukan
berarti tidak bersama-sama", bukan? Lebih-lebih lagi, apa yang kita sebut
perbedaan,kadang-kadang tidak se-ekstrim yang kita sangka sebelumnya. Artinya,
pemahaman kita tentang orang lain,terkadang juga dipengaruhi oleh pengalaman
buruk kita dalam perjumpaan dengan komunitas agama itu. Pengalaman seperti ini
sering melahirkan “prasangka mendahului tafsir”. Mahmud Ayub, seorang guru besar
Islam dari Temple University, mencontohkan bahwa tafsirAl-Qur'an sendiri bisa
mengalami hal itu.
Misalnya, “nuansa polemik” terhadap Kristen dalam karya Ibn
al-Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim,[6]
tidak bisa dilepaskan dari akibat perang salib. Begitu juga dengan Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabir.[7]
Mungkin, karena “sindroma perang saIib” itu pula, sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi sikap teologis al-Razi, ia menempatkan orang Kristen lebih kafir
ketimbang penyembah berhala. Itu dapat dilacak dari kenyataan, bahwa al-Razi
hidup dan berkarya sezaman dan di tempat terjadinya perang salib itu. Menurut
Ayoub, sikap kaum sufi Islam terhadap orang Kristen dan agamanya jauh sangat
positif. Juga, tafsir-tafsir dari kaum Syi’ah, yang nota bene tidak pernah
mengalami konflik politis dengan Kristen, ternyata lebih ramah.
Apa tafsir di kalangan Kristen juga
begitu? Maksud saya, ada yang ramah dan inklusif, ada pula yang ekstrem dan
eksklusif terhadap Kristen?
Sama saja, alias sami mawon. Hanya mungkin pertanyaan
Anda itu perlu saya luruskan. Mungkin sebuah tafsir Injil yang eksplisit,
menyebut-nyebut Islam, tidak ada,
ya. Kalau Yahudi dengan segala kejelekannya, ya banyak. Mengapa? Karena Injil
ditulis jauh sebelum Islam. Berbeda dengan Al-Qur’an, karena Nabi Muhammad dan
umat Islam berjumpa dengan komunitas Yahudi dan Kristen, seperti Yesus bertemu
dengan komunitas Yahudi dengan sekte-sektenya. Rumitnya masalah di sini,
sulitnya identifikasi sekte-sekte Kristen mana saja yang pernah dijumpai
Muhammad, dan yang melaluinya Qur’an melakukan evaluasi kritis. Ya, evaluasi
itu baik reaksi peneguhan, atau kritik yang pedas. Reaksi negatif Qur’an itu
yang selalu ditonjolkan dan dikembangkan dalam tulisan-tulisan
polemik. Kadang-kadang, kalau bukan malah sering, dilepaskan sama sekali dari
konteks historis. Konkritnya, “apakah perilaku dan pandangan-pandangan komunitas Kristen di Arab
selatan yang dijumpai
nabi Muhammad itu cukup representatif mewakili seluruh kelompok Kristen?”
Begitu juga di kalangan umat Kristen. Latar belakang politis
ternyata sangat mempengaruhi sikap teologis kita terhadap Islam. Misalnya,
mengapa Yuhanna Mansyur(John of Damascus) bersikap sangat polemis terhadap Islam?Islam,
dimata Yuhanna Mansyur adalah salah satu bidah saja dari Kristen, Hagarenes
(bid’ah keturunan siti Hajjar).[8]Padahal
ia pernah mendapatkan kedudukan tinggi pada masa pemerintahan Islam.
Berbeda dengan Mar Jurjius Abu al-Faraj (Bar Hebraeus) yang Iebih simpatik
dengan Islam. Mengapa?Jawabnya, karena datangnya pemerintah Islam di Syria
berarti hilangnya kontrol politik Byzantium yang selama itu mem-back up
Gereja Ortodoks Yunani, dan Yuhanna al-Dimasyqi berasal dari gereja ini.
Sedangkan bagi Mar Abu al-Faraj, yang dari Gereja Ortodoks
Syria, kedatangan Islam secara politik tidak membawa kerugian apapun. Malahan,
tentara Islamlah yang membebaskan orang-orang Kristen Syria ini dari penindasan
orang Kristen Byzantium. Karena itu, dimata orang-orang Kristen pribumi di
Syria, Islam adalah pembebas politik mereka. Faktor lain yang menggerakkan
mereka untuk menyambut dan membantu tentara Islam, adalah semangat qaumiyah
as samiyah (“nasionalisme semitis”) mereka yang anti kekuasan asing. Meskipun
itu imperium Byzantium yang se-agama. Perlu Anda catat, bahwa Mar Abu al-Faraj,dalam
bukunya Tarikh Mukhtasar al-Duwal, juga mengisahkan perjumpaan
Muhammad semasa kecil dengan rahib Bahira, yang meramalkan bahwa Muhammad
akan menjadi tokoh dunia. “Kebesarannya akan melintasi bangsa-bangsa di dunia”,
tandas rahib Bahira.
Benarkah
Ide “Putera Allah“ berasal dari
agama-agama
Kafir sebelum Kristen?
Kembali ke soal Putera Allah tadi.
Menurut buku yang saya baca, konsep Kristen ini berasal dari agama-agama kafir
sebelum Kristen. Bagaimana tanggapan Anda?
Memang banyak teolog Islam yang saya baca berpendapat
begitu. Sayyid Quthb mengatakan bahwa ide divine sonship atau
ke-“Putera”-an Allah ini, tidak memiliki dasar dalam agama Yahudi dan Kristen
mula-mula. lzinkanlah saya untuk berposisi tidak setuju dengan ulama besar ini.
Lho, apa saya punya alasan cukup
kuat untuk mendebatnya? Ada 2 bukti historis yang saya kemukakan:
Pertama, kalau misalnya Quthb menolak bahwa istilah
“Putera Allah” tidak dikenal agama Yahudi, ini bertentangan dengan kenyataan.
Karena orang-orang Yahudi mengenal doa yang menyebut Allah sebagai Bapa. Dalam
bahasa lbrani: Abinu we malkinu,“Ya Bapa kami dan Raja kami”.[9]
Dan doa itu selalu mereka ucapkan berulang-ulang sampai saat ini.
Kedua, apabila alasannya orang Yahudi tidak mengenal
konsep pra-eksistensi Putera Allah, bahkan kelahiran ilahi-Nya dari Allah, itu
juga tidak akurat. Baca naskah-naskah Qumran yang baru diketemukan tahun 1947
itu. Misalnya, Bereh di el yetamar ubar elyonyiqroneh. Artinya,
“la akan disebut Anak Allah, Anak Yang Mahatinggi”.[10]Nah,
ungkapan ini malah paralel dengan Luk.1:32. Malahan lagi, dalam naskah Qumran
yang ditemukan di gua pertama, kelahiran ilahi Mesiah diungkapkan lebih jelas.
Kalau tadi dalam bahasa Aram,sekarang dalam bahasa lbrani: ‘lm yolid el
et ha mashiah. Artinya: “Allah akan melahirkan sang Mesiah”. Bahkan Dr.
R. Gordis, meskipun ia seorang Yahudi, menyimpulkan ungkapanyang begitu tajam
ini sebagai “sumber Qumran yang mengungkap kelahiran ilahi Sang Mesiah”.[11]
Jadi, tidak benar kalau pemikiran ini asing di kalangan Yahudi kuno,
khususnya sebelum dan pada zaman Yesus.
Kalau di lingkungan Kristen, Apakah
konsep ini sudah ada pada jemaat mula-mula?
Saya kira sudah. Buktinya, ada sebuah dokumen yang kuno
sekali. Dokumen ini disebut lranaeus dalam The Relique of the Elders.
Maksud “the elders” di sini, jelas sekali menunjuk kepada murid-murid para
Rasul. lrenaeus sendiri generasi ketiga setelah Kristus. Mar lrenaeus murid
Polycarpus, Polycarpus murid Rasul Yohanes, rasul Yohanes murid Yesus. Jadi,
kalau meminjam istilah ilmu hadits, sanad atau mata-rantai
periwayatnya sambung sampai Yesus sendiri.
“Tentang
istilah Anak”, begitu
tulis lrenaeus, “seperti dikatakan seorang sebelum kami”. Quemadmodum et
quidam ante nos dixit, dalam bahasa Latin. Selanjutnya, ia menguraikan
2 makna dari term itu. Pertama, anak dalam pengertian fisik; dan kedua,
“yang dikiaskan sebagai anak”. Akhirnya, ditekankan perbedaan antara natum
et factum,“dilahirkan” dan “diciptakan”.[12]Idiom terakhir ini, nantinya
muncul di konsili Nicaea tahun325. Genitum non factum.
“Dilahirkan, tidak diciptakan". Bahasa Arabnya, al-mauludu
qhayral-makhluq. Ungkapan ini diterapkan untuk menegaskan ke-“bukan
makhluk”-an Firman Allah, bukan menunjuk kepada kemanusiaan Yesus, melainkan
kepada kodrat ilahi-Nya sebagai Kalimat Allah (Firman Allah). Kita juga bisa
melacak dari tulisan Ignatius, Patriarkh Anthiokia dan pengganti Rasul Petrus,
yang lebih gamblang lagi berbicara tentang tabiat ganda Kristus.
Makna
"Kelahiran Ilahi" Firman Allah dari Allah
Sebenarnya bagaimana konsep “divine birth of Christ” itu dapat dijelaskan dalam bahasa yangbisa dimengerti Islam?
Maksudnya, bahwa itu tidak bertentangan dengan prinsip "Lam yalidwa
lam yulad?”
Mengapa Anda mesti bersikap reaktif? Kalau saya, “kriterium
iman” saya tidak tergantung apakah Islam menerima atau tidak. Itu masalah
prinsip. Tetapi baiklah akan saya jelaskan sebuah dialog yang menarik, dari
kitab Dafa'iyat Masihiyyat fi al-‘Ashar al-’Abasiy al-Awwal.
Kitab ini dikarang oleh Mar Timotius I, Katolikos Gereja Asyyria Timur di
Bagdad, yang menceriterakan percakapan teologisnya dengan kalifah Muhammad
al-Mahdi tahun 781.Suatu saat, al-Mahdi bertanya kepada Timotius, “Wahai
Katolikos, tidak pantas bagi orang yang terpelajar sepertimu mempercayai bahwa
Allah itu mengambil seorang istri dan memperanakkan dari perempuan itu seorang
anak”. Timotius balik bertanya, “Siapakah yang mengatakan sesuatu yang tidak
sepantasnya bagi Allah itu, wahai Raja?” Selanjutnya,terjadilah dialog panjang
lebar tentang makna gelar Putera Allah bagi Yesus menurut iman Kristen.
Salah satu argumen yang dikemukakan, Timotius mengutip dalil konsili
Efesus tahun 431, ”...kalimatullah alladzi wulida min ab duna um, ‘an yulada min um duna ab”. Artinya:“Firman Allah itu
lahir dari Bapa tanpa ibu, dan (dalam wujudnuzul-Nya ke dunia) lahir
dari ibu tanpa bapa”.[13]Apa
maksudnya? Yang pertama, berbicara tentang “kelahiran llahi”Firman dari
Wujud Allah. Divine birth of Jesus Christ. Sedangkan yang kedua,
tentang“kelahiran
insani-Nya” dari
Perawan Maryam. Soal virgin bith of Jesus Christ, atau
kelahiran insani-Nya dari seorang perawan.Saya
kira Kristen dan Islam sepakat. Dan tentang hal itu, al-Qur’an sendiri menandaskan
bahwa al-Masih itu Rasul Allah, wa kalimatuhu al-qaha ila Maryam wa ruhun
minhu (dan Firman-Nya dijatuhkan kepada Maryam dan Ruh dari-Nya).[14]
Meskipun gelar Firman Allah diterapkan bagi Isa juga, tetapi
teologi Islam hanya bisa menerima kelahiran insani-Nya melalui Maryam. Sedangkan
iman Kristen menerima kelahiran kekal-Nya dari Allah, maupun kelahiran
insani-Nya dari Maryam. “Litakun wiladatuhuats-tsaniyat syahadatu ‘an
al-wiladat al-awwal”,
kata Timotius kepada Sang Kalifah.Maksudnya “kelahiran kedua Yesus ke dunia
dari seorang perawan, menyaksikan kelahiran pertama-Nya yang kekal dari Allah”.
Sebab, kejadian gaib itu membuktikan bahwa Yesus tidak dikandung dari benih
insani melainkan dari Firman Allah yang kekal, sehingga maut tidak dapat
menyentuh-Nya.
Maaf, saya potong dulu. Tadi
pertanyaan saya belum dijawab, kalau dalam "bahasa Islam”kelahiran Firman
Allah itu bagaimana menjelaskannya?
Saya kira bahasa yang paling dekat, “Allah mewahyukan
Diri-Nya sendiri melalui Firman-Nya”. Seperti kita manusia dikenal melalui
kata-kata kita sendiri. Kata-kata itu keluardari pikiran kita yang satu dengan
diri kita. Pikiran, Firman itu dalam bahasa Yunani Logos. Yesus
adalah logos to theu,
“Firman Allah”. Kalimat Allah. Sudah barang tentu, bersama dengan Ruh Allah atau
kehidupan llahi-Nya sendiri, Firman itu secara kekal berdiam dalam Dzat Allah, qaimah
fi dzat Allah. Tanpa perpisahan, tanpa perceraian. “Tidak seorang
pun melihat Allah, tetapi Putera Tunggal Allah, yang di pangkuan Bapa, Dialah
yang menyatakan-Nya” (Yohanes 1:18). Ungkapan “Putera Tunggal Allah,
yang ada di pangkuan Bapa” ini, dalam terjemahan Arab, “al-ibnu al-wahid
alladzi fi hishn al-ab" - merujuk kembali ayat1-3,menunjukkepada al-Kalimah
atau Firman Allah, yang “fi bad’i kana ‘inda llah" (sejak
kekal bersama dengan Allah). Jadi, melalui Firman-Nya Allah menyatakan diri-Nya
sendiri agar Iadi kenal oleh segenap ciptaan-Nya.
Tadi Anda menyebut kata “ibn” untuk Yesus, bukan ”walad” yang melulu menunjuk
“anaksecara fisik”. Apakah dalam teks-teks Arab-Kristen memang dibedakan antara
kedua istilahtersebut?
Dalam bahasa Arab, istilah “ibn” memang penggunaannya
lebih luas ketimbang“walad". Misalnya, bahasa Arab mengenal idiom ibn
al-sabil (musafir). Kata ini ditemukanjuga dalam al-Qur'an, secara harfiah
artinya “anak jalan". Meski kita tidak pernah bertanya, siapakah istrinya
jalan? Ya, memang dalam “makna kiasan” itulah istilah Putera Allah dijumpai
dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Tetapi kata kerja walada (melahirkan)
juga dipakai secara puitis. Mula-mula muncul dalam teks liturgis. Kita mesti
memahami itu sebagai“warisan bahasa liturgi” Yahudi kepada gereja. Sebuah
mazmur berbicara tentang kedatangan Mesiah: “la (Allah) berkata kepadaku,
Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini” (Maz. 2:7).
Pada zaman dahulu, Mazmur ini berasal dari ritual pelantikan
raja-raja Israel. Tetapi makna nubuatnya menunjuk kepada kedatangan Sang Mesiah,
Raja kekal yang melaksanakan kedaulatan Allah. Dalam ayat di atas, baik kata “ibn"
maupun “walad” muncul bersama-sama. Li anta bni, ana al-yaum
waladtuka, demikian bunyi teks Arab. Dalam bahasa lbrani: alai Beni, am‘
hayyom ye-lidteka. Jadi, seperti yang akhirnya diwarisi dalam bahasa Arab,
aslinya dalam bahasa lbrani dipakai kata “ben” dan “yelid”. Jadi, karena
asal-usulnya yang memang dari teks liturgis, tidak heran kalau banyak
menggunakan bahasa puitis.
Apakah orang-orang Kristen Arab
memang memahami ungkapan “ibn” maupun ”walad”secara
alegoris?
Tentu saja. Bukti dari dokumen tertua tentang hal itu dalam
bahasa Arab, adalah karya Theodore Abu Qurra, uskup Harran yang mewakili tradisi
Kristen Syro-Arab. Dalam kitabnya yang berjudul Maymar fi al-Wujud
wa al Din al-Qawim,[15]
Abu Qurra memakai katawiladah (kelahiran), inbithaq (prosesi,
emanasi) dan ri’asah (pendahulu) yang diterapkan bagiAllah, dalam relasi
kekalnya dengan Firman-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang satu dalam keesaan Wujud-Nya.
Metafor-metafor
yang dipakai Bapa-Bapa Gereja Mengenai Relasi kekal Allah DenganFirman-Nya
Mengenai
penggunaan kata “inbithaq” (emanasi) apa dalam hal ini tidak menjurus kepada pantheisme?
Tentu saja tidak ada hubungan sama sekali dengan Panteisme. Pantheisme itu
kanberasal dari kata pan, “dimana-mana”, dan theos,
“Allah”. Jadi, “isme” atau aliran yang mempercayai bahwa Allah sama dengan alam,
dan alam itu sama dengan Allah. Karena itu,hubungan antara keduanya, alam itu
mengalir, emanasi, dari Allah. Dus, satu zat dengan Allah. Wujud Allah sumrambah
ngalam sakalir, lir manis kelawan madu, endi rasane ing kono, kata
Mangunegara lV dalam Serat Wedhatama. Artinya: “Wujud Allah itu berada
di mana-mana, di seluruh alam. Allah dan alam itu, ibarat manis dengan madu,
sulit dibedakan”. Itupantheisme.
Sudah barang tentu, paham ini sangat berbeda dengan Kristen. Menurut AbuQurra,
proses wiladah (kelahiran) maupun inbithaq (prosesi, emanasi) ini
tejadi bukan diluar Wujud Allah, melainkan sebuah proses dalam lingkaran
keabadian dalam Diri Allah sendiri.
Itulah ungkapan-ungkapan yang diterapkan untuk menjelaskan
misteri ketritunggalan Ilahi. “Firman itu lahir dari Dzat Allah”, tulis Abu
Qurra. lnilah sifat wiladah (melahirkan dariBapa, yaitu Wujud Allah.
Caranya? “Sebagaimana inthibaq atau keluarnya Roh Kudus dari Dzat-Nya.
Karena itu, kelahiran Firman itu tanpa seorang ibu. Tidak ada hubungan seks.
Tidak ada pengandungan, dan tidak ada prioritas waktu dalam proses-proses itu”. Kana
fi al ba’di‘indallah. Firman itu sejak kekal bersama-sama dengan Allah.
Sejak kekal hingga kekal. Enarche,In the beginning.
Jadi, baik kata “ibn” maupun kata kerja “walada” (melahirkan)
disini, menerangkan “pewahyuan diri” Allah melalui Firman-Nya, sama sekali
bukan proses fisik“fi al-makan wal al-zaman”, dalam ruang dan waktu.
Karena itu, sekali lagi, kalau pun muncul kata kerja walada
(melahirkan) dalam teks-teks liturgis Kristen Arab itu, tidak seorang pun akan
membayangkan bahwa Allah ituberanak dan diperanakkan secara fisik. Jadi, orang
Kristen jangan marah kalau disindir Rhoma lrama, “Tuhan tidak beranak dan tak
diperanakkan”. Memang, kita juga meyakini kebenaran dalil al-Qur’an itu. “Lam
yalid wa lam yulad”. Dus, apa yang diyakini umat Kristen,jauh
berbeda dengan keyakinan primitif orang-orang jahiliah Mekkah yang
menganggap dewi-dewi sebagai “anak-anak Allah” (banat Allah) itu.
Bagaimana bapa-bapa gereja paling
awal menggambarkan sifat “wiladah” dan “intibhaq”dalam
Allah itu, tanpa mengundang kesalahfahaman kaum awam yang tidak mengerti?
Sebab jangan-jangan, disamakan saja dengan kelahiran biologis.
Dalam makalah saya yang berjudul La ilaha ilallah, yang
pernah saya sajikan bersama-sama Prof. Dr. K.H. Said Aqiel Siradj, M.A.,
masalah ini sudah saya bahas. Dari bapa gereja paling awal, saya kira lgnatius
al-Anthaki (30-107 M). la secara sangat jelas berbicara tentang Yesus, yang
secara fisik lahir dari Perawan Maryam, tetapi secara ilahi, lahir dari Allah.
“Wa huwa
bi al-jasad wa ar-ruh ma’an”,[16]
kata Mar Ignatius. Jadi, selain ada kelahiran jasadi, ada kelahiran ruhani
pada-Nya. Juga, diungkapkan bahwa “Firman Allah keluar dari Allah
dari keheningan yang kekal”. Sekali lagi, “dari keheningan kekal”, apo
seges proelthon. Ungkapan ini, gamblang, cetho, jelas sekali
menekankan bukan terjadi dalam ruang dan waktu. Karena itu, saya
tadi berkata “Sabda lenggeng mijil saka Allah kang langgeng ing kalenggengan”.
Nah, “dari kekekalan” ini diungkapkan dengan berbagai ungkapan yang jelas
sekalitidak membuka peluang sedikit pun ditafsirkan secara fisik.
Misalnya, dalam “Kanun al-Iman” Konsili Nikaea
tahun 325, dipakai ungkapan seperti:
"Al-mauludu
min al-Abi
qabla kulli al-duhr”.
Artinya: “Lahir dari Bapa sebelum segala abad”.
Coba,
kalau kita pikir secara fisik. Mana ada di dunia ini ada orang lahir dari Bapa?
Tidak ada,
bukan?
Semua pasti lahir dari ibu. Tapi ya, karena yang dimaksud disini memang
bukan kelahiran fisik. Lagi pula, “Putera Allah” dalam kredo itu juga bukan tubuh
fisik Yesus, tetapi menunjuk kepada Firman, Kalimatullah yang kekal.
Tanpa jasad, dan kelahiran-Nya juga dunu um (tanpa seorang ibu),
sebagaimana dirumuskan di Konsili Efesus yang dilenggarakan tahun 431 M.
“Nasid al-Milad” (Kidung
Natal) Dari Gereja Ortodoks Syria
Saya juga ingin mengutip sebuah “nasid al-Milad”
(Kidung Natal). Mar Philoxenos Al-Manbui (W. 485 M), salah seorang dari bapa
Gereja Ortodoks Syria, menggubah nyanyian Natal yang sangat indah:
dzaka
alladzi wulida min al-abi
ilahan bighayri jasadi,
huwa
dzatuhu wulida min al-adzra’
bi al-jasad duni ab,
Artinya:
“Ia yang dilahirkan dari Bapa secara Ilahi tanpa jasad, adalah juga yang
dilahirkan dari Perawan Maryam secara jasadi tanpa bapa. la yang satu berasal
dari dua, Ilahi sekaligus Insani”.
selanjutnya,
ungkapan Bapa itu maksudnya the existence, “Wujud Allah". Sama
sekali bukan hubungan ayah-anak secara tubuh. Selanjutnya, Putera adalah Firman
Allah, dan Roh Kudus menunjuk kepada “hidup Ilahi” dalam Allah. Karena Firman
dan Ruh Kudus itu sama-sama kekal dan berdiam dalam Wujud Allah yang kekal,
maka keesaan Allah itu dipertahankan. Dalam liturgi Kristen Syro-Arab, bahkan
dalam semua gereja di dunia Arab, setelah rumusan Bapa, Putera dan Roh Kudus,
selalu ditutup dengan: AI-Ilahu al-wahid (Allah yang Mahaesa).
Jadi, setiap doa selalu dibuka dengan ungkapan: Bism al-Ab wa al-lbn wa Rub
al-Qudus,Al-Ilahu al-Wahid, Amien (Demi Nama Bapa, dan Putera dan Roh
Kudus, Allah yang Mahaesa,Amien).
Sejauh
Manakah Kesalahfahaman Islam Tentang Putera Allah?
Pertanyaan terakhir. Sejauh manakah
kira-kira kesalahfaman Islam mengenai Putera Allah ini?Dan bagaimana tema itu sering kali menjadi
kendala dalam dialog teologis gereja dengan Islamakhir-akhirini?
Saya kira dialog-dialog teologis sudah sering diadakan, dan
sekarang sudah semakin maju “pemahaman kedua belah pihak terhadap mitra dialog”.
Dialog teologis, tujuannya memang agar kita saling menyapa, saling bicara dan
saling memahami. Tetapi kendalanya, dihadapan kita terbentang “tembok pemisah”
yang sudah ratusan tahun kita bangun.Padahal untuk terciptanya "mutual
understanding” itu, kita harus berani melampaui“tembok pemisah” yang
dibatasi oleh paradigma dan “religious languages” (bahasa agama) kita
masing-masing. Nah, selama kita masih dikurung dan dipisahkan oleh tembok itu,
kita tidak bisa saling memahami.
Jadilah, orang Islam salah faham terhadap ajaran Kristen.
Misalnya, soal Putera Allah yang kita bahas sekarang. Sebaliknya, orang Kristen
juga biasanya salah mengerti dengan ajaran Islam. Nah, yang harus kita catat di
sini, ternyata sebuah kesalahfahaman sedikit demisedikit bisa terkikis karena
semakin intensifnya perjumpaan. Saya mau kasih contoh, bukan main-main ini. Bung
Karno, salah satu “founding father” kita. Dahulu Bung Karno, mungkin juga
saking antinya kepada Belanda yang kebetulan Kristen, menulis dalam salah
satu artikelnya pada tahun 1940-an. “Bangsa-bangsa Barat Kristen itu
terpecah-pecah karena dikutuk Allah", tulisnya. “Karena mereka
berlebih-lebihan dalam agama mereka. Karena mereka percaya Trinitas, dan Isa
Al-Masih sebagai Anak Allah. Padahal Allah itu Maha Esa.Tidak beranak dan tidak
diperanakkan”, begitu kira-kira inti tulisan Bung Karno.[18] Ternyata,pandangan Bung Karno
ini jauh berubah pada masa-masa belakangan. Ya, khususnya setelah masa
kemerdekaan Bung Karno harus menjadi Bapak yang harus bisa diterima oleh
seluruh rakyat Indonesia. Lebih dari itu, Bung Karno semakin maju pemahaman
keagamaannya. Halini juga saya ungkap dalam buku saya, Religi dan
Religiusitas Bung Karno.[19] Buktinya? Dalam salah satu
pidatonya tahun 1965, ketika menggembleng kader Pelopor Front Katolik
di Jakarta, Bung Karno menegaskan bahwa berdasarkan ajaran Yesus yang
revolusioner, “Kita semua adalah anak-anak AlIah”.[20]
“Kita, saudara-saudara, putera Tuhan, kita semua mengabdi kepada Tuhan”,[21] kata Bung Karno pula tanpa ragu-ragu
dalam pidatonya di depan Kogres Persatuan Wanita Kristen Indonesia, di Jakarta,
tahun 1964. Dalam pidato-pidatonya di berbagai kesempatan, Bung Karno sering
mengutip pasal pertama Injil Yohanes yang dihafalnya di luar kepala dalam bahasa
Belanda.
Tetapi itu konsep “anak-anak Allah”
secara umum, bukan dalam makna khusus yang tadi Andasampaikan. “Divine birth ofJesus”?
Ya, memang konsep secara umum. “Anak-anak Allah” dalam makna
hamba-hamba Allah. Minimal, makna “anak-anak Allah" seperti yang dimaksud
dalam khotbah Yesus diatas bukit. “Berbahagialah orang yang membawa damai,
karena mereka akan disebut anak-anak Allah”.[22]
Sabda Yesus ini juga sering dikutip Kahlil Gibran, dalam syairnya Yasu’
al-mashlub (Yesus yang disalib), untuk menekankan
“universalitas" ajaran Yesus yang sangat dikagumi penyair Kristen dari
Lebanon itu. Kembali ke soal Bung Karno. Bagi kalangan Islam pada umumnya, sudah
barang tentu, menyebut “anak-anak Allah” ini bukan suatu yang lazim. Kecuali di
kalangan kaum sufi, mungkin ungkapan-ungkapan “passing over” begitu, tidak
terlalu aneh dan menimbulkan kejutan.
Kalau di kalangan kebatinan Jawa,
apakah mereka tidak ”alergi” dengan sebutan “anak-anakAllah”, atau menyebut Yesus
Putera Allah?
Ya, kalau kebatinan memang lebih mengerti. Jangan dulu ke
kebatinan, katakanlah encyclopedia Jawa, kalau boleh saya sebut demikian,
yaitu Serat Centhini, dengan enteng menerjemahkan gelar Yesus yang lazim
dalam literatur Islam ruh Allah dengan “atmajeng Hyang Agung"
(Putera Allah Yang Mahabesar). Lebih-lebih dalam literatur kaum
Kebatinan, kesalah-fahaman sebagian umat Islam terhadap ajaran Kristen itu,
dengan ”caranya sendiri” berusaha mereka jelaskan. Misalnya, dalam Kunci
Swarga yang menjadi pedoman aliran Bratakesawa di Yogyakarta.
Lebih-lebih lagi, dalam Sasangka Jati, yang dapat disebut “kitab suci” Paguyuban
Ngesti Tunggal (Pangestu). Mereka malah mengembangkan pandangan mereka
sendiri tentang Putera Allah dalam tripurusha, yang bisa dianggap
“trinitas”-nyakebatinan Jawa.
Singkat kata, bagi kaum kebatinan Jawa, rasanya tidak ada
masalah sama sekali.Jangankan penghayatan seorang pujangga, buku polemik Jawa
klasik model “SeratDarmogandhul” saja, rasanya lebih mengerti ketimbang
Rhoma Irama. Maksud saya, kalau benar raja Dangdut itu menyindir iman Kristen,
ketika menyanyikan lagunya: “Tuhan tidak beranak dan tak diperanakkan. Laa
ilaha illallah. Tiada tuhan selain Allah... ” Dikisahkan, pada suatu
hari Darmogandhul bertanya kepada gurunya, Ki Kalamwadi. “Ki, kang diarani
agama Srani nitu
napa?” (Ki, apa yang disebut agama
Serani?) "Serani iku”, jawab sang guru, “tegesesarananing
manembah”. Serani itu, maksudnya Nasrani, “sarana” atau jalan untuk
menyembah Allah. Ini yang namanya “othak-athik mathuk”, diotak-atik asal
cocok. Jelas salah,kita nggak setuju, seperti ia juga secara tidak bertanggung
jawab menafsirkan agama Islam menurut cara pandangnya yang dangkal. ”Mula
saka iku", begitu lanjut buku Darmogandhul."Kanjeng Nabi ‘Isa iku sinebut
Putraning Allah, marga Allah kang mujudake”.[23]
Karena itu,kanjeng Nabi Isa itu disebut Putera Allah, karena Allahlah yang
mewujudkan Dia.
Akhirul
Kalam: Belajar dari Kasus “Serat Darmogandhul”
Tapi bukan itu yang ingin saya tekankan di sini. Maksud
saya, bukan ketepatannya dalam menafsirkan ajaran Islam maupun Kristen.
Barangkali, sikap penulis Serat Darmogandhul yang konfrontatif terhadap Islam
itu, adalah reaksi Jawa terhadap eksklusivitas Islam pada waktu itu, yang suka
menjelek-jelekkan umat Hindu. Nah, ternyata hasilnya bukan mereka pro-Islam,
melainkan malah antipati terhadap Islam. Jadi, kira-kira “Darmogandhul”ini
mewakili reaksi masyarakat “Abangan Jawa” yang murang sarak (anti
syari’at lsiam),yang dari dahulu sampai sekarang ini masih saja ada hendak
memaksakannya, tanpa mau memandang kenyataan kemajemukan masyarakat kita.
Lucunya, akhirnya justru Darmogandhul malahan simpati ke Kristen.
Menurut Dr. Philip van Akkeren, penulis Serat Darmogandhul” -
yang menurutnya tidak Iain adalah Kyai Tunggul Wulung itu - malah menjadi orang
Kristen.[24]
Nah, ketimbang “gondhal-gandhul” (menggantung) tidak jelas
agamanya, lebih baik ia menjadi Kristen. Apakah teori Philip van Akkeren benar?
Jawabnya, bisa Ya dan bisa Tidak. Namun yang harus menjadi “pelajaran yang
berharga” bagi semua umat beragama, tidak terkecuali “misi Kristen” yang
akhir-akhir ini cenderung bergaya “koboi", hantam kromoisme. Sekali
Iagi,cara-cara semacam itu, hasilnya bukan simpati, tetapi malah sikap
antipati. Kabar Injil ditolak secara apriori karena pendekatan kita yang keliru.
Semoga Tulisan singkat ini bermanfaat semaksimal mungkin.
*** Terima kasih. ***
[1]J.B. Lightfoot, The
Apostolic Fathers (Grand Rapids, Michigan: Baker Books l-louise, 1984),
hlm. 548-549.
[2]Mahmoud Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif lslam (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 51.
[3]S.H. Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Alih Bahasa:
Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid (Jakarta: LAP,PENAS,1981).
[4]H.A. Mukti Ali, “Hubungan Antar Agama dan Masalah-masalahnya”, dalam
Eka Darmaputera (ed.), Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta:
BPK Gunung Mulla,1991), hlrvn.126-128.
[5]The term ruh (lit. “spirit” or “soul") has in the Qur’an often in
the meaning of “divine inspiration”.... In the present context, it evidently denotes the
contents of the divine inspiration bestowed on the Prophet Muhammad, i.e., the
Qur’an (Thabari, Zamakhsyari, Razi, lbn. Kathir) which is meant to lead man to a more
intensive spiritual life.... (Muhammad Asad, The Massage of the Qur' an
(London: E.J. Brill, 1980), hlm. 748.
[6]Imad al-Din Abu al-Fida’ Ismail ibn al-Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azim, Jilid I-IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H/1994).
[8]Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam. The "Heresy of the
Ishmaelites” (Leiden: E.J. Brill, 1978).
[9]Dr. Th. Philips (ed.), Siddur Tefilah Mekol Hasy Syalom. Daily Prayers with
English Translation (New York: Hebrew Publishing
House, tanpa tahun), hlm. 112.
[10]Robert Eisenman-Michael Wiss, The Dead Sea Scrolls Uncovered,
Hebrew-English (New Zealand: Penguin Book, 1992), hlm. 21-22.
[11]R. Gordis, The Beggoten Messiah in the Qumran Scrolls,
Vet. Test. 1957, pp. 191-194. RAndal Price, Secrets ofthe Dead Sea
Scrolls (Eugene, Oregon: Harverst House Publishers, 1996), hlm. 313.
[13]Al-Bathriq Timotius I, Dafa’iyat Masihiyyat fi al-‘Ashar Al-‘Abasiy
al-Awwal (\/illach, Austria: Light of Life, 1990), hlm. 23-24. Kitab ini
aslinya ditulis dalam bahasa Suryani, dan agaknya dalam beberapa abad kemudian
baru diterjemahkan dalam bahasa Arab. Lihat juga: A. Mingana, “The Apology of
Timothy the Patriarch before the chalip Mahdi", dalam Woodbroke
Studies, Voll. ll, Cambridge, 1923.
[14] Kajian lebih lanjut tentang Kalimat (Firman) dan Ruh (Roh) Allah dalam
Al-Qur’ an, lihat buku:Thomas J. O'Shaughnessy, SJ., Word of God in the
Qur'an (Rome: Biblical Institute Press, 1984). Juga, dari penulis yang
sama,The
Development of the Meaning of the Spirit in the Qur'an (Roma: Orientalia Christiana Analecta,1983).
[15]Tulisan Theodore Abu Qurra (wafat 825) yang kita rujuk di sini adalah jilid lll dari seri Al
Turath al-‘Arabi al-Masihi. Editor: Fr. Ignatius Dik (Vatican:
lnstitute of Islamic and Arabic Studies, 1982).
[16]Mar Ya'qub al Rahawi, Op. Cit, hlm. 70.
[18]Sukarno, "Der Untergangs de Abenlandes”, dimuat dalam,Di
Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi,1964),
hlm. 478.
[20]Sukarno, “Kader Katolik benar-benar berjiwa Elang”, Pidato pada
Penggemblengan Kader Pelopor Front Katolik, di Jakarta, 22 Juni 1965, dimuat
dalam Iman Toto K. Rahardjo-Herdianto (ed.), Bung Karno Gerakan Masa dan
Mahasiswa (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 204.
[21] Sukarno, “Jadikan Indonesia Poros New Emerging Forces",
pidato di depan Kongres PersatuanWanita Kristen Indonesia (PWKI), di Jakarta,
22 Pebruani1964, dimuat dalam, Iman Toto K. Rahardjo-Herdianto (ed.),Bung
Karno dan Tata Dunia Baru (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 297.
[24]Dr. Ph. Van Akkeren, "Darmogandul, Suluk Karangan Ngabdullah
Tunggul Wulung: Hubungannya dengan Pekabaran Injil di Jawa Timur", dalam
Suharto dan Sardjonan (ed.), Mengenang 50 Tahun Majelis Agung Greja
Kristen Jawi Wetan (Malang: Majelis Agung GKJW,1981), hlm.138-134.
No comments:
Post a Comment