Sejarah, Filosofi,
dan Relevansinya
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara *)
Setelah
dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-Wishnu-lshwara menjelma di dalam
berbagai raja-raja di dunia, maka kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri
Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Bathara Kala. Sebagaimana Sidharta
Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina,
keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai
seorang pertapa. Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada,
raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma
untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam
olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Sang Buddha Wairocana,
akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja Hastina. Sementara
itu Raksasa Porusada, yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya,
bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala.
Tetapi Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu
dibebaskan. Bahkan ketika Bathara Siwa sangat murka, dan karena kesaktiannya
telah merusak dan membunuh para lawannya, Sutasoma titisan Sang Buddha
menghadapinya dengan cinta kasih. Panah-panah api Siwa dihadapinya dengan
kekuatan tapanya, berubah menjadi air amerta.
Semakin marahlah Siwa, sehingga ia menjeima menjadi api Kala yang siap melebur
jagad raya. Turunlah para bathara dari kahyangan untuk menyadarkan Siwa. Semua
maharshi melantunkan mantera-mantera Wedha, dan berdoa agar dunia tidak
dihancurkannya. “Jangan lakukan itu, wahai Tuanku”, mereka memohon. “Engkau
guru kami. Berbelaskasihanlah kepada ciptaan ini sebelum kiamat tiba (yuganta)”. Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka Jinatwa lwan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan
hana dharmma mangrwa (Konon dikatakan wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.
Siwa dan Buddha memang berbeda, namun bagaimana kita mengenalinya dalam sekilas
pandang? Hakikat ajaran Buddha dan Siwa sebenamya tunggal. Berbeda-beda tetapi satu
jua. Tidak ada kebenaran yang mendua). Bathara Siwa yang menitis pada Porusada
akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma
adalah Sang Buddha sendiri. Porusaddha
santa. Sang Porusada tenang kembali. Tiada nafsu membunuh, tiada nafsu
menghancurkan sesama ciptaan.[1]
Kisah
di atas dikutip dari Kakawin Sutasoma,
karya Mpu Tantular, yang ditulisnya pada masa keemasaan kemaharajaan Majapahit
(1340). Hal penting yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular
ini adalah asal-usul istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini
menjadi salah satu dari Catur Pilar
Kebangsaan Indonesia, khususnya adalah makna filosofinya. Perlu dicatat
pula, bahwa dari sumber kesusastraan yang sama kita juga mengenal istilah “mahardhika” (yang menjadi asal kata
salam nasional kita “Merdeka”), dan
nama Dasar Negara kita Pancasila. Karena itu, “Bhinneka Tunggal Ika”, - ungkapan yang
menurut Dr. Soewito Santoso dalam bukunya Sutasoma,
A Study in Javanese Wajrayana, - “is a magic one of great significance and it
ambraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great,
unites in frame works of an Indonesian Pancasilais community.”[2]
Seperti
sinopsis kisahnya yang telah dikutip selayang pandang, kisah ini mula-mula
hendak menekankan pentingnya kerukunan antara kedua aliran agama pada zaman
itu, yaitu agama Hindu (Siwa) dan agama Buddha. Sosok Bathara Siwa mewakili
Hindu dan Raja Sutasoma mewakili ajaran Buddha, yang dimata sang pujangga
sekalipun secara lahiriah berbeda-beda tetapi keduanya merupakan ekspresi
kebenaran tunggal yang sama. Anda boleh tidak setuju kepada kesimpulan teologis
mengenai adanya the transcendental unity
of religions yang diwakili oleh ungkapan: Tan Hana Dharma Mangrwa (Tidak ada kebenaran agama yang mendua).
Tetapi inti masalahnya yang hendak dipecahkan sang pujangga pasti semua tidak
keberatan. Yaitu bagaimana menjinakkan kutub-kutub ekstrim yang ada pada setiap
agama, agar tersedia “ruang bersama” untuk saling berbagi, saling melengkapi
dalam membangun NKRI sebagai rumah bersama. Karena itu, kini ungkapan bhinneka tunggal ika tercantum sebagai
seloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks.
Meskipun dalam narasi di atas konteksnya hanya mengacu kepada kemajemukan dalam
agama, tetapi dalam implementasinya dalam kehidupan kenegaraan, falsafah Bhinneka Tunggal Ika menjiwai kehidupan
sosial politik kenegaraan secara lebih luas pada zaman itu, tercermin dari
tatanan sosial politik, budaya, dan hukum, sebagaimana yang kita
implementasikan dalam problem kebangsaan kita yang sekarang jauh lebih
kompleks.
Dalam
konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila
tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang, khususnya apabila dibandingkan
dengan bangsa-bangsa lain dalam pergulatan nasional mereka, meskipun problem
kemajemukan kita jauh Iebih kompleks. Salah satufaktor, kita memiliki pijakan
historis danfilosofis yang jauh lebih kuat. Kita bisa membandingkan, Ernest
Renan mengucapkan pidatonya yang terkenal Qu’est
ce qu’une Nation? -“Apakah suatu Bangsa itu?”, di Universitas Sorbone,
Prancis tahun 1882. Renan menekankan bahwa agama tidak bisa menjadi landasan
kokoh berdirinya suatu bangsa, mungkin setelah ia melihat perpecahan Belanda
dan Belgia, yang salah satu faktomya karena kepentingan wilayah Belgia yang
mayoritas Katolik tidak merasa terakomodasi oleh pemerintah pusat Belanda yang
mayoritas Protestan. Dalam hal tumbuhnya kesadaran mengelola kemajemukan
masyarakat, di Barat - yang memang relatif sebagai suatu yang sangat baru -
dapat dibilang sangat lambat. Kita memiliki pijakan historis yang lebih kokoh.
Jauh sebelum Barat menyadarinya, seloka Bhinneka
Tunggal Ika, sudah diperkenalkan lebih kurang 600 tahun sebelumnya (1340),
bahkan jauh sebelum munculnya kesadaran Pluribus
Unum-nya Amerika, karena memang ketika Mpu Tantular menulis karyanya, saat
itu Amerika belum lahir.
Bahkan
dari kisah yang dikutip sekilas di awal tulisan ini, Mpu Tantular tidak hanya
telah meletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, tetapi
malahan sudah dikembangkan landasan teologi kerukunan yang jauh lebih mendasar
dan memadai. Karena itu bukan tanpa kebetulan kalau para founding fathers di awal berdirinya NKRI menjadikan Majapahit (dan
Sriwijaya) menjadi “model” bagi negara kebangsaan (Nationale Staat) dalam mengatasi masalah warisan kemajemukan,
sebagaimana yang ditekankan Bung Kamo dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945.[3]
Perlu dicatat pula bahwa sekalipun Majapahit pada waktu itu mayoritas Hindu-Buddha,
ini berbeda dengan Kesultanan Demak, Pajang, Banten, Ternate, Tidore, dan
negara-negara merdeka lain di Nusantara, namun bagitu Majapahit bukan negara theokrasi Hindu, melainkan sebagai negara nasional dengan spirit Hindu dan
Buddha sebagai dua agama yang dominan waktu itu dan dikelola oleh prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”.
Bahkan
dibuktikan bukan hanya pada sistem politik kenegaraannya, falsafah “Bhinneka
Tunggal Ika” ini juga tercermin pada politik Hukum Majapahit yang tidak didasarkan mentah-mentah pada Hukum Manu (Manawa Dharmasastra) India, melainkan telah dikembangkan suatu
sistem hukum nasional yang sesuai dengan warisan sosial dan budaya bangsa pada
zamannya, seperti tercermin dalam dua kitab Undang-undang Majapahit, yaitu Sang Hyang Kutaramanawa atau Sang Hyang Agama,[4]
yang asal-usulnya dapat dilacak dari zaman Raja Hayamwuruk (1350-1389) dan Sang Hyang Adigama[5]
yang berasal dari zaman Raja Wikramawardhana (1389-1428). Kedua kitab undang-undang
Majapahit ini yang sampai sekarang masih menjadi salah satu rujukan dalam Hukum
Adat di Bali, termasuk dari kitab-kitab Catur
Agama. Bahkan dibuktikan juga, bahwa ternyata beberapa kompilasi hukum
Nusantara yang berasal dari zaman pra-kolonial, seperti Pepakem Cirebon, Simbur
Cahaya, dan lain-Iain, juga berasal dari lontar-lontar hukum dari zaman
Majapahit. Bahkan pranata hukum yang berlaku pada zaman kerajaaan-kerajaan
Nusantara pra-kolonial juga berasal dari sistem Majapahit, misalnya sistem Jeksa Pepitu dalam pepakem Cirebon, ternyata berasal dari Sapta Upapati. Seperti disebutkan dalam Undang-undang Adigama, pada zaman Majapahit penegakan hukum yang
transparan digambarkan dengan “Dewan Hakim Tujuh” yang biasanya menyidangkan perkara
di bawah pohon beringin (lambang pengayoman) dan disaksikan oleh rakyat banyak.
“Bhinneka
Tunggal Ika”: Implementasinya dalam Relasi Negara dan Agama
Dalam
kaitannya dengan relasi agama dan negara, Pancasila diajukan Bung Kamo sebagai Philosopie Gronslag (Dasar Falsafah)
Negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul Lahirnya Pancasila, di depan
sidang Dokoritsu Zonbie Tjosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) tanggal 1 Juni 1945, dalam rangka menjawab dan menemukan solusi dari
para peserta sidang yang terbelah menjadi dua pilihan, yaitu pilihan Negara
Islam, dan pilihan Negara Sekular. Pancasila muncul sebagai “jaian tengah“
diantara dua kutub ekstrim antara paham negara agama (Theocracy) dan paham negara sekuler (Secularism). Pada satu pihak
dengan penegasan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa“, maka tidak mungkin kita
mendepak nilai-nilai agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari
kehidupan berbangsa dan ber-negara, karena hal itu bertentangan dengan degub
jantung kehidupan rakyat Indonesia yang sangat religius. Di pihak lain, dengan
mengangkat dasar “Ketuhanan yang Maha Esa" (bukan agama tertentu) juga
berarti pengakuan terhadap semua agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Jadi,
bukan Ketuhanan menurut salah satu agama saja, melainkan Ketuhanan menurut
agama masing-masing, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno:
Prinsip Ketuhanan. Bukan saja bangsa
Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhannya menurut petunjuk Isa
Al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab suci yang ada padanya. Tetapi marilah
kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya
ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya
Negara Indonesia satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan
agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara
berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w.
telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati
agama-agama lain.[6]
Dalam
kerangka berpikir seperti itulah Bung Karno menyebut bahwa Indonesia yang
hendak didirikan adalah sebuah Nationale
Staat (Negara Nasional). Dan dalam mengelolakemajemukan masyarakat
Indonesia, maka model yang hendak dipilih oleh Bung Karno adalah Sriwijaya dan
Majapahit, bukan negara-negara agama seperti Demak, Pajang, Mataram, Temate,
Tidore dan lain-lain. Selanjutnya, semboyan yang dicantumkan dalam lambang
negara adalah "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi Satu),
suatu ungkapan yang berasal dan Mpu Tantular, di puncak kejayaan Majapahit,
dengan tepat mengungkapkan problem kemajemukan Indonesia yang harus dijadikan
asas dalam pembangunan hukum. Rujukan kepada negara nasional Majapahit bagi
para pendiri bangsa Indonesia, ternyata secara historis mempunyai dasar
filosofis yang sangat mendalam.
Fakta
sejarah juga membuktikan bahwa jauh sebelum Pasal 29 ayat (1) UUD1945
menegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”,yang
menekankan pengakuan negara atasTuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima, tanpa terikat oleh definisi
menurut salah satu agama, kesadaran ini sudah muncul pada negara nasional
Majapahit. Berkaitan dengan seloka “Bhinneka Tunggal Ika”, S. Supomo dalam
penelitiannya yang berjudul Arjunawijaya:
A Kakawin of Mpu Tantular, mengatakan bahwa pada zaman Majapahit konsep “Ketuhanan
Yang Maha Esa” disebut dengan Sang Hyang Parawataraja, yang mengatasi
konsep-konsep ketuhanan menurut agama-agama pada waktu itu. Dalam konsep "The National Godhead” dinyatakan bahwa
Negara berdasarkan atas kesadaran adanya Tuhan yang Maha Esa, tetapi tidak
identik dengan salah satu agama:
“He was both the Supreme God and the great ruler of realm, he was
neither Siwa nor Buddha, but in Prapanca words: Siwa-Buddha (Nag. 1,1), the
protector of the absolute (natha ning anatha), the ruler of the world ruler
(pati ning jagad pati), and the God of tutelary deities (Hyang ning hyang
inisthi). As such he symbolized the unity of the kingdom and the oneness of the
dharma.”[7]
(Terjemahan bebas: “Dia adalah
Tuhan Yang Maha Tinggi, sekaligus Penguasa alam semesta, bukan Tuhan menurut
konsep agama Siwa maupun konsep agama Buddha, tetapi seperti istilah Mpu
Prapanca Siwa-Buddha - yang menampung baik Hindu maupun Buddha – Dialah
Pelindung yang Mutlak (natha ing anatha), Sang Penguasa segala penguasa dunia
(pati ning Jagad pati), dan Tuhan di atas segala konsep ketuhanan dalam paham
agama-agama (Hyang ning hyang inisthi). Istilah ini merupakan simbol dari
kesatuan kerajaan dan sekaligus kesatuan transendental yang diajarkan agama.”).
Bertitik
tolak dari konsep Nationale Staat
(Negara Nasional) yang tidak didasarkan atas agama tertentu, Mr. Muhammad Yamin
membuktikan bahwa pada waktu itu sudah dikenal jabatan tinggi yang disebut
Dharmadyaksa yang mengurusi agama Hindu (Dharmadyaksa
ring Kasyaiwan) dan agama Buddha (Dharmadyaksa
ring Kasogatan). Sedangkan sebuah kelompok tersendiri yang disebut Karesyan - barangkali sejajar dengan
Penghayat Kepercayaan pada zaman sekarang - berada di bawah seorang pejabat
yang bernama Mentri Herhaji.[8]
Ketiga kelompok agama dan keyakinan tersebut dalam Kakawin Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1361) disebut Tripaksa, dan langsung di bawah
kekuasaan Raja: “Aramba Nareqware pageha
sang Tripaksa Jawa” (Artinya: “yang meneguhkan hak dan kewajiban Tripaksa
di wilayah pulau Jawa dalam perlindungan kekuasaan Raja”-Kakawin Negarakrtagama LXXX;i).[9]
Hak-hak kebebasan beragama, beribadah dan mengekspresikan keyakinan dari ketiga
kelompok agama dan kepercayaan tersebut dijamin oleh negara, tanpa ada
diskriminasi satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Dalam
konteks pemikiran seperti yang dikutip di atas, ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi satu) dikemukakan
pertama kali oleh Mpu Tantular yang juga berasal dari zaman yang sama yang dijadikan
sesanti negara dalam mengelola
warisan kultural kemajemukan agama-agama pada zamannya, yang kemudian diangkat
kembali oleh para pendiri bangsa Indonesia untuk menjawab problem kemajemukan
bangsa Indonesia modern yang tentunya jauh lebih kompleks. Sebagaimana sudah
disinggung sepintas di depan, bahwa dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beberapa bulan menjelang kemerdekaan
Indonesia, masalah penting yang hendak dipecahkan adalah dasar negara yang akan
menjadi landasan Indonesia Merdeka. Pada waktu itu ada dua kelompok, yaitu
kelompok yang menghendaki Negara Islam, dan yang lain menghendaki negara yang
netral agama. Selain pemikiran Bung Karno yang disampaikan dalam pidatonya
tanggal 1 Juni 1945, Bung Hatta menghendaki Negara Sekuler yang memisahkan
agama dan negara (Scheiding van Kerk en
Staat),[10]
sedangkan Soepomo seperti Bung Karno menghendaki pemisahan agama dan negara,
tetapi tidak berarti bahwa negara bersifat “a-religious”
Sebaliknya, agama-agama harus menjadi landasan etik, moral dan spiritual untuk
membangun bangsa dan negara menuju kejayaannya, sebagaimana dikatakan oleh
Soepomo:
Negara nasional yang bersatu
itu tidak berarti bahwa negara itu akan “a-religious”.
Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur, akan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka
negara yang demikian itu dan hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar
moral yang luhur, dasar moral yang juga dianjurkan oleh agama Islam.[11]
Karena itu Soepomo membedakan antara “Negara Islam” dengan
“Negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Meskipun Soepomo
menegaskan bahwa pilihan negara Islam tidak tepat, karena “akan timbul
soal-soal minderheden, soal golongan
agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain”,[12]
namun dua hari setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945,
ketika membentuk kabinet, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Inkai) Soepomo
menghendaki agar melalui Kementrian Kehakiman negara tidak hanya mengatur soal
peradilan, soal penjara, tetapi juga turut mengatur masalah nikah, talak, rujuk, infaq dan zakat yang terkait dengan masalah-masalah keagamaan, khususnya
agama Islam. Gagasan inilah yang di kemudian hari ditampung dengan pembentukan
Departemen Agama. Dan karena Indonesia bukan negara Islam, maka departemen
mengatur dalam batas-batas tertentu urusan yang berkaitan dengan agama-agama
yangada di Indonesia.
“Bhinneka
Tunggal Ika”: Implementasinya dalam Relasi Antar Suku Bangsa
Dalam
risalah sidang kedua Dokuritsu Zyunbi
Tyosakai (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan), yang berlangsung 10-17 Juni
1945, muncul juga tema menarik yaitu soal wilayah Indonesia. Dalam kaitannya
dengan tema “Bhinneka Tunggal Ika” dan masalah etnisitas atau kemajemukan
suku-suku bangsa, Bung Hatta mempertanyakan apakah Papua termasuk wilayah
Indonesia. Karena secara etnologis, Papua termasuk rumpun Melanesia, berbeda
dengan rumpun penduduk Indonesia lainnya yang termasuk rumpun Polinesia.
Menurut Hatta, yang lebih rasional dan sesuai dengan hukum internasional, yang
menjadi wilayah Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Diingatkan Hatta,
jangan sampai dengan konsep “tumpah darah” (Jerman: kultur and boden) menjadi nafsu imperialis seperti Jerman. Tetapi
Hatta juga manyadari, bahwa seperti penduduk Indonesia di wilayah Barat dan
Tengah adalah asimilasi dari orang-orang Melanesia dengan bangsa-bangsa Arab,
Cina, India, begitu juga bisa jadi hasil percampuran antara penduduk Melanesia
dengan Polinesia lalu menjadi Papua, menjadi dasar dimasukkannya Papua menjadi
wilayah Indonesia.[13]
Sebelumnya
Yamin menekankan, bahwa wilayah kita jangan hanya menjadi enclaves dari “seluruh tanah Indonesia atas beberapa kekuasaan
imperialisme 350-400 tahun yang belakangan ini”. Menurut Yamin, perkataan
“Indonesia” sendiri dibuat dengan pemahaman yang mengatakan Indonesia melingkupi daerah Malaya dan
Polinesia. Jadi, dengan sendirinya pada waktu perkataan Indonesia lahir, dimaksudkan tanah Papua masuk ke dalam daerah
Indonesia. Menurut paham Geopolitik, pulau Papua adalah lompatan yang paling
akhir dari benua Indonesia menuju lautan Pasifik, dan lompatan yang pertama
dari lautan pasifik menuju tanah air kita. Apalagi menurut faham Indonesia,
sebagian besar pulau Papua adalah masuk hak adat lingkungan adat kerajaan
Tidore, sehingga dengan sendirinya betul-betul daerah itu masuk bagian daerah
Indonesia. Akhirnya Yamin juga menandaskan bahwa wilayah Indonesia adalah
“Kepulauan Delapan”: Sumatra, Melayu, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil,
Maluku, dan Papua (masing-masing dengan kepulauan-kepulauan kecil di sekeliling
Kepulauan Delapan tersebut. Yamin menyebut bahwa sebenarnya itu bukan
keinginannya, tetapi sejak beribu-ribu tahun tumpah darah Indonesia itu
terbentuk, yang disebutnya “Testamen
Gajahmada”.[14]
Menariknya,
berbeda dengan Hatta yang masih agak ragu-ragu memasukkan Papua, Bung Kamo
sepakat 100% dengan Yamin, dan memperkuat argumentasi Yamin bahwa wilayah kita bukan warisan Belanda, sebaliknya
“....bersandar kepada kekuatan sejarah kita dulu, bersandar pada batas sejarah
kita yang dulu. Bukalah, tuan-tuan,Negarakertagama
yang ditulis Prapanca, maka tuan-tuan akan membaca di dalamnya beberapa nama
tempat dan daerah yang menunjukkan, bahwa kerajaan Majapahit pun daerahnya
melebar sampai kepada Papua”.[15]
Bung Kamo percaya, kalau kita melihat peta dunia maka kita akan melihat bahwa
Tuhan Allah SWT telah menentukan beberapa daerah sebagai suatu kesatuan. Allah
telah menentukan kepulauan Inggris sebagai satu kesatuan, atau menentukan
kepulauan Hellenia (Yunani) sebagai satu kesatuan, demikian juga Allah telah
menentukan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, pentingnya
faktor wilayah ini ditekankan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945,
untuk melengkapi definisi Ernest Renan dan Otto Bauer. Renan mensyaratkan
bangsa hanyalah “kehendak akan bersatu” (le
desir d'etre ensemble), sedangkan Bauer mendefinisikan: “Bangsa adalah satu
perasaan perangai yang timbul karena persatuan nasib” (Eine nations ist aus Schiksals gemenischafft erwachsene charakter
gemenischaft).[16]
“Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan rakyat dari
bumi yang ada di bawah kakinya”, demikian tegas Bung Karno.
Apa
yang diwacanakan oleh para “Founding Fathers” di atas bukan sekedar apologetika
atau bentuk pembelaan diri mengenai hak bangsa Indonesia untuk menempati tumpah
darah Indonesia, tetapi sadar atau tidak juga merupakan bagian dari upaya
pencarian mereka atas rujukan historis bagaimana kita harus memaknai warisan
kemajemukan kita, khususnya dalam hal suku-suku bangsa. Tetapi para pendiri
bangsa itu tidak berlebihan. Indonesia ternyata tidak hanya mempunyai
bukti-bukti prasasti dan bergudang manuskrip kuno yang membuktikan bahwa
sebelum mereka hendak mendirikan NKRI, rakyat yang mendiami ratusan pulau besar
dan kecil dari Sabang sampai Merauke itu, memang pernah disatukan dalam satu
wadah Negara. Itulah yang dimaksudkan Bung Karno sebagai “sebuah Negara
Nasional” (Nationale Staat), sebelum
NKRI sekarang, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Bukti-bukti itu tidak hanya
tercatat dalam Kakawin Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1365), dan sejumlah
manuskrip Nusantara kuna lainnya, tetapi juga karya-karya pujangga manca negara
yang sezaman, bahkan ketika di Indonesia sendiri masih disebut “pra-sejarah”. Maksudnya,
sudah ada catatan-catatan manca negara yang merujuk eksistensi bangsa
Indonesia, ketika bangsa Indonesia sendiri tidak atau belum mencatat
sejarahnya.
Salah
satunya yang dapat disebut di sini adalah Srimad Valmiki-Ramayana, karya
pujangga Valmiki (kira-kira tahun 150 M), sudah menyebut eksistensi Kerajaan
Nusantara sebagai berikut:
Yatnavanto Javadvipam saptarajyopasobhitam,
Suvarnarupyakadvipwan, Suvarnakaramanditam,
Javadvipamatikramya Sisiro namaparvatah.
Divam sprasati srgena devadanavasevitah.
Etesam giridurgesa prapatesa vanesa cha.
Artinya:
“Jelajahilah Tanah
Jawa, dan tujuh wilayah kerajaan sebagai hiasan.
Nusa Emas dan Perak,
dan sebuah pulau bertambang emas.
Di luar pulau Jawa,
ada gunung tinggi menjulang namanya Sisira,
puncaknya tinggi mencium langit, ditunggu Dewa
dan dihuni raksasa.
Gunung itu puncaknya
bersalju....”[17]
Menurut
Phalgunadi, kata saptarajya merujuk kepada tujuh pulau Nusantara, yaitu Javadvipa (Jawa), Suvarnadvipa (Sumatra), Barhinadvipa
(Borneo), Balidvipa (Bali), Angadvipa (Nusa Tenggara), Shankadvipa (Celebes), dan Papua yang
dalam Ramayana hanya disebut letaknya “di luar pulau Jawa” (Javadvipapamatikramya).[18]
Dengan demikian, penduduk Indonesia bukan hanya meliputi suku-suku yang
mendiami wilayah Barat Nusantara yang dikenal sebagai rumpun Polinesia, tetapi
juga suku-suku Papua yang dikenal dengan rumpun Melanesia. Nah, keanekaragaman
penduduk yang menghuni kepulauan Nusantara selama berabad-abad dengan segala
kompleksitas budaya, bahasa dan adat istiadatnya, meskipun dalam konteks narasi
yang dikutip di awal tulisan ini tidak dibahasnya langsung, namun secara
substansial juga menjadi perhatian para pujangga Nusantara.
Falsafah “Bhinneka
Tunggal Ika” sebagai
Modal Dasar Mengokohkan
Keindonesiaan
Selanjutnya,
seperti sudah diuraikan di bagian depan, bahwa Indonesia memiliki preseden
sejarah yang jauh lebih kuat ketimbang bangsa-bangsa lain dalam mengelola
kemajemukan masyarakat kita. Barat masih relatif baru mengawalinya. Karena itu,
jauh sebelum orang-orang Barat memikirkan apa yang disebut dengan
multikulturalisme, ratusan tahun yang lalu bangsa kita sudah mempunyai falsafah
“Bhinneka Tunggal Ika”. Fakta sejarah juga membuktikan, bahwa semakin banyak
suatu bangsa yang menerima warisan kemajemukannya, maka semakin toleran bangsa
tersebut terhadap kehadiran “yang Iain”. Ambillah contoh negara-negara Islam di
wilayah Asia dan Timur Tengah. Bukankah Mesir, Palestina, dan Lebanon yang
sejak awal menerima warisan kemajemukan dan lebih heterogen masyarakatnya, jauh
Iebih toleran dan ramah sikap keagamaannya apabila dibandingkan dengan Saudi
Arabia, Yaman, dan Pakistan yang masyarakatnya sangat homogen satu agama?
Contohnya,
Nasionalisme Mesir yang didominasi 2 agama besar, Islam dan Kristen Ortodoks
Koptik, pada waktu revolusi nasional tahun 1919, afiliasi kebangsaan telah
berhasil didefinisikan oleh partai Wafd. Kesadaran historis bahwa agama tidak
bisa dijadikan dasar pemersatu Mesir, disuarakan oleh para pemimpin revolusi
seperti Sa'ad Zaghlul, Musthafa al-Nuhas, Wisha Washif, dan rekan-rekan mereka,
berbareng dengan dikenalkannya kredo nasionalis: al-Dîn lil Lah wa al-Wathan li al-Jami' (Agama untuk Allah, dan
Tanah air untuk semua). Pada dekade selanjutnya, khususnya yang menguat pada
masa sekarang ini, kaum fundamentalis berusaha menolak kredo kebangsaan itu,
dan menegaskan bahwa afiliasi keagamaan harus didahulukan di atas afiliasi kebangsaan.
Contoh
lain, Libanon yang memiliki 17 aliran keagamaan, satu-satunya negara Arab
dengan dominasi Kristen Maronit, mereka dipersatukan oleh Nasionalisme Arab
yang menuntut kemerdekaan dari Perancis pasca-perang Dunia II, dengan kredo
nasionalisme mereka: Anâ al-‘Arabî qabla
al-Islâm (Saya adalah orang Arab sebelum Islam). Namun sejak fenomena
kebangkitan agama-agama menjelang dan pada abad XXI, afiliasi keagamaan kembali
menuntut supremasinya atas afiliasi kebangsaaan. Negeri “Cedar Suci” ini akhirnya
menjadi lahan subur tragedi kemanusiaan dan perang saudara selama 17 tahun
(1978-1992), yang nyaris memecah belah Lebanon menjadi beberapa negara bagian.
Untunglah, kaum nasionalis cepat bangkit menyadarkan mereka, bahwa pembagian
Lebanon menjadi kavling-kavling negeri kecil yang akan melemahkan mereka.
Lebanon kembali utuh, setelah kesadaran kebangsaan yang mengatasi sektarianisme
agama yang sempit dan pengap itu, memulihkan dan menyatukan mereka. Sebelum
menajamnya perbedaan agama-agama pada era sekarang, sebelum itu India telah
terpecah dengan Pakistan karena alasan alifiasi keagamaan.
Masih
banyak contoh lain yang bisa dikemukakan, bahwa konflik-konflik yang dilatarbelakangi
oleh afiliasi keagamaan jauh lebih kompleks dibandingkan ranah-ranah lain, seperti
masalah rasial, misalnya. Konflik-konflik non-agama bisa saja mencair dengan
meningkatnya kemakmuran masyarakat, kecanggihan teknologi dan kesejahteraan
umum, tetapi konflik agama belum tentu dapat dilerai dengan semua itu. Tetapi
sejarah membuktikan, bahwa tidak ada kejahatan yang melebihi kejahatan yang
digerakkan oleh sentimen keagamaan. Memang, situasi politik yang dimotivasi
agama ini, tidak bisa dilepaskan dari gerakan fundamentalisme global sebagai
reaksi dari politik luar negeri Amerika Serikat yang tidak adil. Tesis Samuel
P. Huntington, The Clash of Civilizations
yang terbit tahun 1993,[19]
turut menyuburkan pandangan “determinisme historis” yang memandang bahwa
tindakan manusia sangat ditentukan oleh sentimen-sentimen bawaan dalam dirinya.
Dengan dalil ini, Huntington telah menetapkan Islam (tanpa melihat
varian-varian di dalamnya yang sangat beragam) sebagai “musuh baru” dunia Barat
pasca-perang dingin. Buku ini mula-mula berasal dari artikel yang
dipublikasikan dalam jurnal foreign
affairs, sebuah jurnal bergengsi seputar tema politik luar negeri Amerika
Serikat. Kalau cermat kita baca, artikel ini turut merekomendasikan kebijakan
politik luar negeri Amerika Serikat. Karena itu, artikel Huntington tersebut
tidak bisa dibaca sebagai studi akademis murni dari seorang guru besar ilmu
politik, melainkan juga mengandung misi politik, propaganda dan agitasi.[20]
Lebih
seram dibandingkan dengan tesis Karl Marx, yang memandang bahwa faktor
penggerak sejarah adalah benturan dan konflik kelas, Huntington menarik konflik
dalam skala yang lebih luas lagi, yaitu benturan dan konflik peradaban. Tesis
ini telah berhasil memobilisasi opini publik Amerika dan Eropa untuk mencari
“kambing hitam” baru, yaitu Islam sebagai “imperium kejahatan” yang harus
dihadapi dengan perang salib baru, setelah “phobia komunisme” tidak lagi
efektif untuk menyatukan sentimen masyarakat Barat. Tesis ini justru telah
berhasil memompa motivasi baru bagi kaum fundemantalis Islam, yang sebelumnya
sudah ada, tetapi nyaris kurang digubris oleh mayoritas umat Islam sendiri. Dan
entah sadar atau tidak, ketika George W. Bush menabuh “genderang perang”
sebagai reaksi atas peristiwa WTC, tanggal 11 September 2001, ia menyebut
sebagai “perang salib baru”. Pernyataan ini, meskipun buru-buru dikoreksinya,
justru membuktikan bahwa itulah “suara bawah sadar” Presiden George W. Bush
sendiri.[21]
Dunia
Arab sendiri cukup diresahkan dengan “tesis futurologis” ini, terbukti dari
koreksi Prof. Dr. Shalah Qansu, seorang guru besar Universitas Cairo, dalam “Kata
Pengantar” terjemahan bahasa Arab buku Huntington ini, Saddâm al-Hadhârât wa’ l’âdat Shun’in Nidhâm al-‘âlami.[22]
Patut ditekankan, bahwa dunia Arab tidak dapat dianggap mewakili Islam, antara
lain juga terbukti dari sanggahan keras atas karya Huntington ini yang berasal
dari seorang intelektual Gereja Ortodoks Koptik, Dr. Mîlâd Hanâ dalam bukunya, Qabûl al-âkhar: Min ajli Tawâshul Hiwâr
al-Hadhârat,[23]
yang menilai tesis Huntington tidak lebih sebagai model baru politik Devide et Impera (Memecah dan
Menguasai). Pada hemat Hanâ, kesalahan teori Marx maupun tesis Huntington
terletak pada titik tolaknya yang “memusuhi yang Iain” (rafdh al-akhâr), padahal hukum alam membuktikan bahwa selalu ada 2
hal yang berbeda tetapi tidak harus selalu bermusuhan, bahkan bisa saling
melengkapi. Mîlâd Hanâ mengemukakan antitesis kultural yang disebutnya qabûl al-âkhar(menerima pihak lain), dan
mencontohkan praktek budaya ini di Mesir. Dikemukakannya, bahwa Islam Mesir
sangat jauh berbeda dengan Islam di Saudi, Pakistan atau Afghanistan. Mesir
bisa mengembangkan budaya “menerima pihak lain”, karena karakter unik
kebudayaan Mesir yang berasal dari akumulasi serpihan-serpihan aneka peradaban.
Berakar pada peradaban kuno Firaun dari tahun 3500 SM, lalu peradaban
Romawi-Byzantium, Kristen Koptik dan Arab Islam. Warisan aneka peradaban itu,
telah melahirkan Islam Mesir yang khas: berwajah Suni, berdarah Syi’ah, berhati
Kristen Koptik, dan bertulang peradaban Fir’aun. Itulah al-A’midah as-Sab'ah li asy-Syakhsyiah al-Mishriyyah (tujuh pilar
kepribadian Mesir).[24]
Ungkapan
ini dikemukakan Hanâ, ketika Presiden Anwar Sadat, demi mengambil hati kaum
fundamentalis, mengatakan bahwa ia adalah Presiden Muslim di sebuah negara
Islam. Mesir bukanlah Mesir tanpa unsur Koptik di dalamnya, karena memang
negeri ini berpijak pada Mesir Kristen dan Mesir Islam. Intelektual Kristen
Mesir peraih International Simon Bolivar
Prize tahun 1998 ini, mencontohkan pula kehidupan antarumat beriman di
Mesir pada masa sekarang. Disebutkan bahwa penampilan Syeikh al-Azhar yang
teduh dan kedatangannya setiap perayaan Natal (khidmat miladiyah) turut memberikan citra keramahan Islam.
Sebaliknya, tenda-tenda buka puasa bersama yang lebih populer disebut ma’idah
al-rahman (Perjamuan Sang Pengasih), yang juga rutin diselenggarakan oleh
pemimpin-pemimpin Gereja Ortodoks Koptik, menjadi simbol persatuan nasional (wihdah al-wathani).[25]
“Bhinneka
Tunggal Ika” dan Tantangan Era Kesejagadan
Pada
akhirnya, dengan falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”-nya nasionalisme Indonesia
harus menghadapi konteks baru, yaitu era kesejagadan (globalisasi) dan
kebangkitan agama-agama. Sekali lagi, nasionalisme Indonesia harus diuji di
“kawah candradimuka”-nya tantangan sejarah baru yang menghadang. Mengenai
globalisasi, patut juga ditekankan bahwa tidak ada universalisme yang tidak
berakar pada partikularitas tertentu. Dalam konteks partikularitas kita,
nasionalisme Indonesia mendapatkan tempat, meskipun harus terus menerus dilihat
dalam konteks masyakarat global yang menghisabkan kita dalam warga masyarakat
dunia. Meminjam istilah Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila, “Nasionalisme Indonesia harus tumbuh subur di
tamansari Internasionalisme”. Seperti Mesir kita harus berbangga, bahwa kita
mempunyai rujukan sejarah sebagai bangsa yang besar. Kita juga bangga bahwa di
wilayah Nusantara ini, berbagai budaya dan agama dunia pernah bertemu, saling
berinteraksi, saling berbagi dan menyumbangkan pernik-pernik yang memperindah
mozaik keindonesiaan kita.
Terbukti
bangsa yang tidak mempunyai warisan sejarah seperti itu, harus susah payah
membangun harga diri mereka untuk membuktikan siapakah mereka kepada dunia. Dan
kita lebih dari Mesir, karena kesadaran untuk mengelola kemajemukan itu bukan
baru pada zaman modern ketika bangsa-bangsa lain di muka bumi tengah pula
mempergumulkannya. Bangsa Indonesia telah menemukannya kurang lebih 600 tahun
sebelum bangsa-bangsa di dunia ini menyadari, bahwa warisan kemajemukan
bukanlah harus memecah belah, tetapi justru akan menjadi kekuatan pemersatu
bangsa. Contoh-contoh menarik dapat dikemukakan di sini. Misalnya, munculnya chauvinisme bangsa Jerman yang
digerakkan Adolf Hitler. Pertumbuhan “nasionalisme” Jerman ini, lebih jauh
dapat dilacak dari peristiwa bubarnya Imperium
Romanum Sacrum, ketika Napoleon Bonaparte menduduki kota Wina tahun 1789.
Sebelum itu bangsa-bangsa Eropa diikat oleh kesatuan civilisasi, yaitu anggota
Imperium Romawi, yang sudah berkuasa kurang lebih dari 2000 tahun. Revolusi
Perancis benar-benar menyadarkan bangsa-bangsa Eropa itu bahwa mereka
sebenarnya tidak mempunyai identitas budaya, sosial maupun kebangsaan, kecuali
ketundukan kepada penguasa-penguasa aristokrat mereka. Kesadaran ini merangsang
berkembangnya paham kebangsaan. Tetapi berbeda dengan Itali, karena banyak wilayahnya
yang secara langsung masih tetap dikuasai Raja Austria, yang sejak tahun 1815
diakui sebagai Kaisar ‘Monarchi Austria-Hongaria’ oleh wilayah-wilayah lain
yang dikuasainya. Jadi, dengan mudah bangsa Itali mencari sumber pada identitas
yang dapat mempersatukan mereka dari tradisi budaya yang pernah berkembang di
kerajaan Romawi dahulu. Sebaliknya, bagi para nasionalis Jerman, usaha untuk
mencari titik persamaan itu sangat sulit. Mereka akhirnya mencari bukan dari
sejarah, tetapi dari mitologi. Syair Nibelungen
dan syair-syair kuno lain yang bersumber dari mitologi suku-suku Jerman kuna
menjadi peluang dan sumber untuk mencari dasar supaya nasionalisme Jerman
berkembang. Faktor inilah yang membuat nasionalisme Jerman menjadi tertutup.[26]
Selain
itu, dibuktikan pula bahwa secara psikologis rasa percaya diri orang-orang
Jerman sangat lemah, maka keunggulan mereka harus dibuktikan “secara ilmiah”,
yaitu dengan menetapkan superioritas ras Arya berdasarkan ilmu biologi. Itulah
yang melatarbelakangi kelahiran kredo chauvinisme
mereka: Deutschland Über Alles (Tidak
ada yang mengungguli Jerman). Dalam kondisi psikologis seperti ini, orang-orang
Yahudi di Eropa pada waktu itu yang meyakini diri mereka sebagai bangsa pilihan
Allah,sudah barang tentu, keyakinan diri bangsa Yahudi ini dianggap menantang
klaim superioritas Jerman. Apakah karena “rasa aman” sebagai bangsa terganggu,
itu sebabnya sehingga Hitler yang sakit jiwa itu, menginstruksikan Nazi Jerman
untuk melakukan pembantaian besar-besaran kaum Yahudi di kamp-kamp rahasia?
Pertanyaan ini menarik untuk kita renungkan bersama. Bukankah fenomena di atas
tidak jauh berbeda dengan kebangkitan kaum teroris yang terkenal sangat militan
itu? Secara umum, sejak runtuhnya kekalifahan Utsmani tahun 1924, dan semakin
kuatnya hegemoni Barat, kelemahan dan ketertinggalan bangsa-bangsa yang
mayoritas menganut Islam telah menyulut semangat untuk mencari model dan jalan
untuk kembali meraih kejayaan Islam di masa silam.
Menurut
Zuwairi Misrawi dan Khamami Zada, slogan-slogan yang mengemuka antara lain: al-Islâm huwa al-hal (Islam adalah
alternatif), tatbiq al-syari’ah
(menegakkan syari’at Islam), khilafah
al-Islâmiyah (mendirikan kembali kekhalifahan Islam), dan sebagainya.[27]
Doktrin ini menggelora selama berabad-abad, khususnya pasca-runtuhnya dinasti
Utsmaniyah, sehingga dalam batas-batas tertentu doktrin tersebut telah
membentuk kognisi keagamaan dogmatis yang bercorak “hitam-putih”. Secara
khusus, sejak munculnya negara Israel tahun 1948 afiliasi keislaman di negara-negara
Arab muncul kembali ke permukaan, terutama setelah kekalahan Mesir pada perang
dengan Israel tahun 1973. Afiliasi berdasarkan agama ini menguat karena nasionalisme
Arab dianggap tidak berdaya melawan hegemoni Barat yang semakin kuat
menancapkan cakarnya di Timur Tengah. Politik luar negeri Amerika semakin
condong ke Israel, dan sering mengorbankan rakyat Palestina, juga menjadi
faktor pendorong munculnya gerakan-gerakan militan Islam.
Refleksi
Kebangsaan: Mengelola Warisan Kebhinnekaan Kita
Harus
dicatat pula, bahwa realitas kemajemukan bangsa adalah warisan sejarah panjang
perjalanan Indonesia selama berabad-abad sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan luas wilayah Nusantara yang hampir 2 juta kilometer persegi, terdiri
dari sekitar 13.700 pulau besar dan kecil, lebih dari 300 ragam etnis, dengan
adat istiadat, budaya dan keyakinan agama yang berbeda-beda, menyimpan potensi
keretakan yang kapan saja bisa mengemuka apabila tidak ada alasan atau raison de'etre sebagai bangsa untuk
bersatu. Bahwa raison de'etre untuk
menjadi satu bangsa, bukan sekedar perasaan subjektif para pendiri bangsa
menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, melainkan mendapatkan pijakan sejarah
selama berabad-abad seperti telah dibuktikan di atas. Dan kesadaran sebagai
putra-putri dari sebuah bangsa yang besar yang telah melahirkan Sumpah Pemuda,
28 Oktober 1928, kiranya menjadi tugas sejarah untuk terus memperjuangkan dan
mewujudkan kesatuan bangsa, dan menjadi obor penyuluh, ketika sebagian
anak-anak bangsa ini mulai dijangkiti penyakit sektarian sempit, fanatisme
agama, dan egoisme kelompok dan golongan yang mengorbankan persatuan dan
kesatuan bangsa. Dalam situasi seperti ini, pesan Mpu Tantular menjadi relevan
untuk kita sosialisasikan kembali, yaitu dengan kesadaran bahwa selain di
“ruang privat” kita masing-masing tentang kebenaran agama apapun yang kita
yakini (diwakili seloka: Tan Hana Dharma
Mangrwa - “Tidak ada kebenaran religius yang mendua”), tetapi di “ruang
publik” kita harus menghela tugas sejarah bersama, yang dengannya eksistensi
NKRI sebagai rumah kita bersama, kita pertaruhkan: Bhinneka Tunggal Ika ~
“Berbeda-beda, tetapi Satu Jua”.
Penyegaran
Materi Sosialisasi di MPR-RI, Jakarta, 13-16 Pebruari 2015
*)Makalah
disajikan dalam Lokakarya yang diselenggarakan oleh MPR-RI di Hotel Mulia,
Jakarta, 17-19 Juni 2011.
**)Bambang
Noorsena, adalah pengamat budaya dan masalah kebangsaan dan aktivis dialog
antariman. Penulis juga pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS),
Dosen Universitas Kristen Cipta Wacana (UKCW) Malang, dan pernah menjadi
anggota Dewan Konsultatif Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
[1]Sinopsis
karya-karya Mpu Tantular dapat dibaca dari P.J. Zoetmulder, SJ.,Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), hlm. 430-437. Lebih lanjut, Seluruh kisah
di atas Kakawin Sutasoma Mpu Tantular.
Alih Bahasa: Dwi Woro Resno Mastuti dan Hastho Bramantyo (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009).
[2]Soewito
Santoso, Sutasoma, A Study in Javanese
Wajrayana (New Delhi: International Academy of Indian Culture, 1975).
[3]Lihat:
Pidato Bung Karno “Lahirnya Pantjasila”, dimuat dalam R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Edisi
Revisi (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm.
159.
[4]Naskah
lengkap perundang-undangan ini telah pula diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
oleh Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul Perundang-undangan Madjapahit (Djakarta: Bhratara Karya Aksara,
1967). Naskah ini berasal dari naskah yang sama yang diangkat menjadi disertasi
J.C.G. Yonker, Een Oud-Javaansch Wetboek
Vergeleken met Indische Rechtsbronnen, yang dipertahankan di Universitas
Leiden Negeri Belanda, untuk memperoleh gelar doktor dalam kesusastraan Timur,
tahun 1885. Ternyata naskah ini pernah diterbitkan dalam terjemahan bahasa Bali
dan Melayu oleh I Goesti Poetoe Djelantik dan HJ.E.F. Schwartz, Wetboek "Agama” in Het Hoog-Balisch en
Medisch Vertaaid (Batavia: Landrukkerij, 1918). Naskah undang-undang kuno
ini diterbitkan pada masa kolonial untuk kepentingan pengadilan Kerta, di Bali
dan Lombok. Dalam bahasa asli Jawa kuna yang dilestarikan dalam bentuk Lontar, Kutaramanawa disimpan di Perpustakaan
Leiden, Belanda (Code: G.D. Huet).
[5]Goesti
Poetoe Djelantik dan Ida Bagoes Oka, Adi
Agama: Oud Bausch Wetboek op Last van den Resident van Bali en Lombok in Het
Hoog Balisch Vertaaid (Batavia: Landrukkerij, 1918). Selain kedua kitab
tersebut, J.J. Fraser dalam bukunya De
inheemse Rechtpraak op Bali, bahkan menyebut 26 lontar hukum peninggaian
masa Jawa kuno. Diantara sumber-sumber tertulis hukum adat Bali peninggalan
dari masa Jawa kuno itu, untuk menyebut beberapa yang paling sering dikutip
antara lain: Agama (atau Kutaramanawa), Adigama, Purwa Agama(atau
Purwadhigama), Rajapatigundala, Siwasasana,
Siwajambu, Swarajambu, Dewagama
(atau Dharma Upapati), Dewadanda (atau Dharma Wicara), dan sebagainya (G. Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta,
Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra)
atau Weda Smrti Compedium Hukum Hindu(Jakarta: PT. Junasco, 1978), hlm.
8-9.
[6]Soekarno,
“Lahirnya Pancasila” dalam RM. A.B. Kusuma, Lahirnya
Undang-undang Dasar 1945. Edisi Revisi (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 163.
[7]S.
Soepomo, Arjunawijaya: A Kakawin of Mpu
Tantular,Bibleotheca Indonesica, No. 14 -Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land- en Volkenkunde (The Hague: Martinus Nijhoff, 1977), hlm. 80-81.
[8]Muhammad
Yamin, Tata Negara Madjapahit, Sapta
Parwa, Jilid IV (Jakarta: Prapanca, 1962), hlm. 248-249.
[9]Ketut
Riana, Kekawin Desa Warnana utawi Nagara
Krtagama, Masa keemasan Majapahit (Jakarta: Penerbit Kompas, 2009), hlm.
152-153.
[10]RM.
A.B. Kusuma, Op. Cit., hlm. 118,128
[11]Ibid, hlm. 129-130.
[12]Ibid
[13]Ibid., hlm. 251-253.
[14]Ibid., hlm. 246-247.
[15]Ibid., hlm. 255. Disebutkan dalam Kakawin Negarakrtagama (Canto ke-14,
pupuh ke-5, baris ke-3): “Muwah tikhan i
wandan, ambwan athawa maloko wwanin. Artinya: “Begitu juga Wandan, Ambwan
(Ambon) atau Maloko (Maluku), Wwanin (Papua)”. H. Kern, Met Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 AD),
"Hadi Poestaka” Boekh. (Uitg.-Mij's- Gravenhage - Amsterdam, 1919), hlm.
49-50.
[16]
A.B. Kusuma, Op. Cit., hlm. 157.
[17]Teks
Sanskrit dengan terjemahan bahasa inggris, dikutip dari Srimad Valmiki-Ramayana. Part II (Aranya-Kanda, Kiskindha-Kanda and
Sundara-Kanda). Gorakhpur (India: Gita Press, 1992), hlm. 1019-1020.
[18]Epos
Ramayana juga menyebut bahwa kayu cendana diimpor dari kepulauan Nusantara,
dari Gunung Rsabha yang terletak di Timor. I.B. Putu Suamba, Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan perkembangannya
(Denpasar, Universitas Hindu Indonesia dan Widya Dharma, 2007), hlm. 41.
[19]Tesis
Huntington ini, beberapa tahun kemudian lalu ditulisnya menjadi sebuah buku
yang lebih lengkap: Samuel P. Huntington, The
Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (London: Touchstone
Books, 1998).
[20]
Tendensi ini tampak pada penjelasan Bab I buku ini. “Keberadaan musuh sangatlah
penting”, tulis Huntington, “dan permusuhan yang paling penting di masa
mendatang akan terjadi pada area persinggungan antar peradaban-peradaban utama
di dunia.” (Ibid., hlm. 28-31).
[21]Lihat
artikel saya: Bambang Noorsena, “Sindrom Perang Salib di Afghanistan”, dimuat
dalam Mingguan TEMPO, 4 Nopember
2001.
[22]
Samuel P. Huntington, Saddâm al-Hadhârât
wa ‘I’âdat Shun’in Nidhâm al-‘âlamî (Cairo, Mesir: Suthûr li an-Nasyr,
1998).
[23]Dr.
Mîlâd Hanâ, Qabûl al-âkhar: Min ajli
Tawâshul Hiwâr al-Hadhârat(Cairo, Mesir: Al-l’lamiyyah li an-Nasyr, 2002),
hlm. 40.
[24]Ibid., hlm. 67-68.
[25]
Lihat juga artikel saya: Bambang Noorsena, “Ramadhan di Cairo”, dimuat Harian
Sore Surabaya Post, 20 September
2004.
[26]0laf
H. Schumann, Menghadapi Tantangan,
Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 16-17.
[27]Zuhairi
Misrawi dan Khamami Zada, Islam melawan
Terorisme (Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif/LSIP dan Yayasan TiFA,
2004), hlm. 94-95.
No comments:
Post a Comment