PUSPANJALI
BAHTERA SERIBU BUNGA
SEBAGAI SRADDHA KEBANGSAAN*)
Oleh: Dr. Bambang
Noorsena, S.H., M.A.
“Nimitangsu yan layat anigal sang ahayu nguni
ring tilam, datan lali si langening sayana, saka ring harepku laliya anggurit
lango”.
Artinya:“Aku meninggalkan
Jelitaku dahulu di peraduan,bukan karena aku lupa indahnya peraduan asmara,namun
karena hasratku yang tak tertahankan untuk melukiskan keindahan tanah air”
(Mpu Tanakung, Kakawin Wrettasancaya).
Candi Brahu, zaman Majapahit- nationalgeographic.co.id |
I. PRAWACANA
Mpu Tanakung adalah seorang pujangga yang sangat
produktif yang hidup pada masa akhir Majapahit. Salah satu dari tujuh kakawin
lirisnya, Siwaratrikapla(Malam Sang Hyang Siwa) sangat terkenal di Bali,
dan dilestarikan dalam bentuk ritual yang indah hingga sekarang. Selain itu, Mpu Tanakung juga menulis Banawa
Sekar(BahteraBunga) yang digubahnya dalam rangka upacara sraddha
(pemujaan leluhur) dan dipersembahkan kepada Jiwanendradwipa (Sang Maharaja
Jiwana).Sanjak liris ini mencatat persembahan-persembahan bunga yang dihaturkan
oleh pelbagai raja bawahan (kepala daerah) Majapahit, antara lain: Natharata ring
Mataram, Sang Narpati Pamotan, Sri Parameswara ring Lasem, Nataratha ring
Kahuripan, dan Sri Natheng Kertabhumi. Kerthabhumi, tidak lama sesudah kakawin
ini ditulis, akhirnya berhasil dinobatkan sebagai raja Majapahit terakhir,
menggantikan Sri Singawardhana,keponakannya sendiri,yang wafat di istana. Sebelum
itu, kepada raja sebelumnya, yaitu Prabu Singawikramawardhana atau Sri Adhisuraprabawa,
yang dalam Serat Pararaton disebut sebagai Bhre Pandan Salas III,
kepadanya dipersembahkan ketujuh prosa liris karya Mpu Tanakung.[1]
Sebagai sebuah “karya keindahan”(sukarya), Bhanawa Sekar“ winangun Sri Jiwanendradhipa, tanlyansraddhabatharamokta…”
(digubah untukSriJiwanendradwipa, yang
tidak lain berupasraddha untuk
mengenang bapa bangsayang sudah kembali kepada alam keilahian).[2]
Siapakah sebenarnya Sri Jiwanendradwipa?Jiwanendradipa adalah Prabu Raja sawardhana
Dyah Wijayakumara Sang Sinagara(1451-1453). Banawa Sekar atau Bahtera Aneka Bunga karya Mpu Tanakung ini ditulis pada masa Singa
wikramawardhana atau Bhre Pandan Salas III, melambangkan “perahu kebangsaan”
yang dipersembahkan oleh para putra Sang Sinagara,antara lain Bhre Kertabhumi,Bhre
Pamotan,Bhre Mataram,Bhre Kahuripan dan Bhre Lasem. Pada waktu itu Majapahit
diperintah oleh Raja Singawikramawardhana yang senantiasa dicintai rakyatnya,
tidak lain Sri Adi Suraprabhawa, Raja keturunan Girindra” (Sang Panikelan tanah anulusa katwang ing praja, tan lyan Sri Adi
Suraprabawa sira bhupati saphala Girindrawangsaya).[3]
Setelah Bhre Pandan Salas III atau Prabu
Singawikramawardhana memerintah selama dua tahun dan kemudian meninggalkan keraton,maka
berdasarkan Prasasti Jiyu III(1486),kita menemukan nama raja Girindrawardhana
Sang Singawardhana,yang semasa hidupnya ingin menganugrahkan tanah perdikan
kepada Brahmana Ganggadara. Tetapi niatan itu belum terlaksana, sehingga Girindrawarhana Ranawijaya pada tahun 1486 menenguhkan
kembali anugerah itu kepada Sangbrahmana. Dalam kronik raja-raja Majapahit menurut
Pararaton,Singawardhana
disebut “Bhre Prabhusangmoktaring Kedaton”(SangRaja
yang wafat di Istana),menggantikan Bhre Pandan Salas III yang hanya dua tahun memerintah
(1466-1468 M).“Dua tahun menjadi raja lalu meninggalkan dari istana(rongtahunprabhutumulirah saking kedaton)”.
Jadi, kemungkinan Singawardhana adalah saudara dari Bhre Pandan Salas III yang menggantikannya
sebagai raja. Nah,tidak lama setelah memerintah Suraprabawa mengadakan upacara
sraddha untuk raja pendahulunya, diiringi oleh kelima raja-raja bawahan yang tidak
lain adalah putra-putra Bhre Pamotan Sang Sinagara yang memerintah antara
tahun1451-1453M.Dengan demikian,maka Banawa Sekar bukan sanjak sembarang sanjak,
melainkan sebuah maha karya sacral yang berfungsi ruwat. Sebuah “Mahasraddha”atau
Ruwatan Agung Kebangsaan.
II. LATAR BELAKANG SITUASI POLITIK
1. Majapahit setelah Hayamwuruk
Setelah kematian Prabu Hayamwuruk takhta kerajaan
Majapahit diperintah oleh Prabu Wikramawardana,mantan Ketua Mahkamah Agung yang
adalah menantu Hayamwuruk,karena ia mengawini putrinya Kusumawardani yang lahir
dari permaisuri. Padahal Hayamwuruk juga mempunyai anak laki-laki yang lahir dari
selir, yaitu Bhre Wirabhumi. Karena itu,tak ayal apabila dikemudian hari terjadi
perebutan kekuasaan antara Wikramawardana dan Bhre Wirabhumi. Kerajaan terbagi
2,yaitu kedatonkulon berpusat di Majapahit,dan kedatonwetan di Blambangan.
Perang perebutan kekuasaan antara keduanya dikenal dengan Perang Paregreg.Menurut catatan
Cina,Sejarah Dinasti Ming, Laksamana Cheng Ho sedang berada di kedaton wetan ketika kedua raja itu
berperang.[4]
Bhre Wirabhumi akhirnya kalah, dan melarikan diri dengan perahu, tetapi
berhasil ditangkap oleh Raden Gajah, dan kepalanya dipenggal kemudian dibawa ke
Majapahit.
Pada tahun1322
Çaka(1400M),Wikramawardana menjadi pendeta Buddhis selama setahun, dan selama
masa kependetaannya itu pemerintahan dipegang oleh Prabu Stri yang kemungkinan
Kusumawardani, istrinya sendiri. Dari istri selir Wikramawardana mempunyai 2
putra,yaitu Bhre Tumapel dan Sri Kertawijaya.Setelah
perang Paregreg, pemerintahan Majapahit dilanjutkan oleh Wikramawardana atau Hyang
Wisesa sampai tahun 1349 Çaka atau 1427 M.Wikramawardana meninggal tahun 1427M,dan
digantikan oleh Rani Suhita. Suhita memerintah dari tahun1427-1447M.Selama pemerintahan
Suhita,pernah terjadi pemerintahan selingan pada tahun 1437 oleh Bhre Daha.
Mungkin ini salah satu akibat masih dendamnya para keturunan Wirabhumi. Setelah
Suhita meninggal,takhta kerajaan Majapahit diperintah oleh Sri Kertawijaya,
putra Wikramawardana dari selir, yang mestinya tidak berhak memegang
pemerintahan, karena Suhita tidak mempunyai keturunan.
Setelah Kertawijaya wafat digantikan oleh Bhre
Pamotan Sang Sinagara sampai tahun 1453 M. Selanjutnya Sinagara wafat dan
dicandikan di Sepang, takhta kerajaan kosong selama
3 tahun. Baru pada tahun 1456 M diperintah oleh Bhre Wengker,putra Kertawijaya,yang
bergelar Hyang Purwawisesa, sampai tahun 1466 M. Sepeninggal Purwawisesa, Bhre
Pandan Salas III memerintah dari tahun 1466-1468 M. Hanya dua tahun saja,
menurut Pararaton “dua tahun memerintah lalu meninggalkan keraton” (rongtahunprabhutumulirahsaking kedaton).
2. Pasca Sraddha“Bahtera
Bunga”:Bhre Pandan Salas III“Lengser Keprabon,Madeg
Pandhita”
Seperti telah disebutkan di atas,kemungkinan besar
Bhre Pandan Salas III dalam Pararaton sama dengan Singawikramawardana
yang disebut dalam prasasti Jiyu yang bertanggal 1486 M. Prasasti Pamintihan antara
lain menyebutnya “Sri Singhawikramawardhana,
Sri Giripatiprasuthabuphatiketubuta” (Sri Singawikramawardana seorang
penguasa diantara keturunan para raja gunung).Jadi,Singawikramawardana adalah keturunan
Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa,yang menyebut wangsa Raja Gunung (Girindra)dari Singasari,moyang Majapahit.Pandan
Salas III adalah sama dengan Singawikramawardana, karena dalam Pararaton,
Pandan Salas disebutkan menikahi Bhre Singapura putri Bhre Paguhan.Sedangkan
dalam prasasti Trawulan III, Dyah Suraprabawa yang bergelar
Singawikramawardana menikahi Bethari Singapura,yang nama kecilnya Diah Sripura,yang
bergelar Sri Rajasawardani.[5]
Pararaton yang mengatakan bahwa
Pandan Salas menikah dengan Bhre Singapura
disebutkan sebelum kematian Pandan Salas II yang disebut Raden Jagulu: “.... Bhre Paguhan
apeputralawanrabiksatriamijil Bhre Singapura, kambildenira Bhre Pandan Salas”
(Bhre Paguhan mempunyai anak dari perkawinannya dengan seorang bangsawan,lahirlah
Bhre Singapura, yang dinikahi oleh Bhre Pandan Salas”. Teks Pararaton
mencatat ada 3 orang yang disebut Bhre Pandan Salas, yaitu: (a) Pandan Salas I,
yang dikenal dengan Raden Sumirat, putra Raden Sotor,wafat pada saat Rani Suhita
menjadi Ratu Majapahit(1427M),di candi kandi Jinggan; (2) Pandan Salas II, yang
dikenal dengan Raden Jagulu, wafat setelah Patih Kanaka meninggal tahun 1447M;dan
(3)Pandan Salas III yang menjadi raja Majapahit pada tahun 1466-1468 M.
Mengapa Bhre Pandan Salas III hanya dua tahun
memerintah dan meninggalkan istana? Kemungkinan disadarkan oleh syair-syairMpuTanakung,khususnya
syair Banawa Sekar, Sang Raja “lengser
keprabon, madeg pandita” (meninggalan istana untuk menjadi pendeta). Hal yang
sama juga pernah dilakukan oleh Prabu Wikramawardhana juga pernah “meninggalkan keraton untuk menjadi pendeta
selama setahun”. Setelah meninggalkan istana, Bhre Pandan Salas III atau
Prabu Singawikramawardhana menunjuk adiknya, yaitu Girindra wardhana Sang
Singawardhana untuk memerintah Majapahit (1468-1474). Selanjutnya, suksesi
kepemimpinan dari “Bhre Prabhu sang mokta
ring Kedaton” (Sri Singawardhana) kepada pamannya, Bhre Kertabhumi, yang menurut Serat Kanda, tidak dengan
peperangan, melainkan sebuah suksesi damai. Fakta ini sekali lagi juga didukung
oleh karya sastra sezaman, yaitu Banawa Sekar karya Mpu Tanakung,
dimana putra-putra Sang Sinagara (termasuk Bhre Kertabhumi) turut bersama-sama
mempersembahkan “sanjak-sanjak sakral” mereka dalam upacara sraddha agung kebangsaan yang
diselenggarakan oleh Prabu Singawikramawardana atau Bhre Pandan Salas III.
3. Sirna Ilang Kertaning
Bhumi (1478 M):
Belajar dari Sejarah
Keruntuhan Majapahit
Menurut versi Sejarah Nasional, Majapahit tidak runtuh
karena serangan Demak tahun 1478 M seperti disebut dalam Serat Kanda, melainkan
oleh serangan Dyah Ranawijaya dari Keling. Menurut versi ini, karena ternyata
Majapahit masih ada sampai tahun 1486 M, ketika Ranawijaya mengeluarkan
prasasti-prasasti (Kembang Sore, Jiyu I-IV). Padahal kalau dicermati lebih dalam, dan membandingkan
dengan kronik Sam Po Khong, memang Majapahit
runtuh karena serangan Raden Patah dari Demak.
Berdasarkan bunyi prasasti Kembang Sore (1486 M), disimpulkan
bahwa Sri Brahmaraja Ganggadara mendapat anugerah dari Prabu Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya karena telah membantu perjuangannya “ketika turun naik
perlawanan dengan Majapahit (ayunayunan
yuddha lawaning Majapahit)”. Padahal prasasti ini tidak disebutkan bahwa
Ranawijaya atau Girindrawardana yang dibantu oleh Sri Brahmaraja Ganggadara
ketika turun naik melawan Majapahit, melainkan hanya “meneguhkan anugrah
Bethara Prabhu yang ditanam di Mahawisesalaya dan Mahalayabhawana” (hamagehaken sungsungira Bhatara Prabhu sang
mokta ring mahawisesalaya mwang sang mokteng mahalayabhawana),[6]
yang tidak lain adalah Girindrawardhana Sang Singhawardhana.
Jelas, kedua tokoh pendahulu Girindrawardana
itu tidak lain adalah Sri Adi Suraprabawa atau Sri Singawikramawardana dan Sang
Singawardhana. Jadi, sesuai dengan bunyi prasasti Kembang Sore, justru lebih
masuk akal apabila Brahmana Ganggadara membantu Majapahit untuk mengalahkan
penguasa asing, yang kemungkinan besar adalah Nyoo Lay Wa, yang menurut kronik Sam
Po Kong ditempatkan oleh penguasa Demak Islam, setelah mengalahkan Majapahit
di bawah Prabu Kertabhumi, yang tidak lain adalah ayah Raden Patah sendiri.
Lebih jelas lagi, menurut kronik Sam Po Kong, Girindrawardana justru
menantu Prabu Kertabhumi, bukan musuh yang mengalahkan Kertabhumi.[7]
Sekali lagi, sesuai dengan bunyi prasasti Mojojejer, karena jasa-jasa
Ganggadara kepada dua raja pendahulunya tersebut, Girindrawardana Dyah
Ranawijaya sebagai menantu Kertabhumi dan “raja yang berdiam di keraton
Majapahit”, yaitu prabu Jenggala dan Kediri − Paduka Sri Maharaja Cri Wilwatikta, pura Janggala Kadhiri (karena
waktu itu sudah menjadi bawahan Demak), memberikan anugerah tanah sima dan
sekaligus memerintahkan “untuk melangsungkan upacara sraddha yang sempurna
untuk mengenang 12 tahun Sang Raja yang disemayamkan di Indrabhawana” (bathara ku monang lampahikang
dwadasawarsacaddhra sampurnna nira sang mokta ring Indra bhawana).[8]
Dengan demikian, memang Majapahit runtuh oleh serangan Raden Patah dari Demak,
seperti dianut dalam tarikh tradisional, seperti Babad Tanah Jawa dan Serat
Kanda. Sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bhumi” (1400 Çaka
atau 1478 M) versi Serat Kanda sebagai kejatuhan Majapahit ini, ternyata juga
cocok dengan Pararaton yang menyebut sengkalan
“Sunya-Nora Yuganing Wong” (1400 Çaka). Selain bermakna angka tahun, sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bhumi”
dengan jelas juga melestarikan nama Brawijaya Pamungkas, ayah Raden Patah,
yaitu Kertabhumi. Dalam kitabPararaton memang tidak tegas siapa
yang dimaksud dengan “Prabhu Mokta ring
Kedaton” (Raja yang wafat di Istana), tetapi dapat dipastikan bahwa ia
adalah Prabu Girindrawardhana Sang Singawardhana. Berkaitan dengan hal
tersebut, Pararaton menyebutkan:
Putranira Sang Sinagara: Bhre Koripan, Bre Mataram, Bhre
Pamotan, pamungsu Bhre Kertabumi
kapernah paman Prabhu mokta ring kedaton i Çaka Sunya-Nora Yuganing Wong.
Artinya: “Putra-putra
Sang Sinagara adalah Bhre Koripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, yang terakhir Bhre Kertabhumi – adalah
paman dari Raja yang wafat di istana – pada tahun Çaka 1400 (1478 M)”.
Teks Pararaton tersebut tidak secara
eksplisit menyebut bahwa Kertabhumi adalah raja Majapahit terakhir. Dan kalimat
“pamungsu Bhre Kertabhumi, kapernah paman
Prabhu mokta ring kedaton i casa Sunya-Nora yuganing wong” bisa berarti:
“Yang terakhir Kertabhumi, adalah paman dari raja yang wafat di istana pada
tahun 1478”. Jadi, raja terakhir Majapahit adalah “Prabu mokta ring kedaton” (Raja yang wafat di istana) pada tahun
1478 M. Itu alternatif bacaan yang diusulkan Sejarah Nasional. Memang, kalimat
“yang terakhir, Bhre Kertabhumi” (pamungsu
Bhre Kertabhumi) di sini dapat berarti bahwa Kertabhumi adalah Raja
Majapahit terakhir, tetapi juga bisa berarti “anak terakhir dari Sang Sinagara”. Sedangkan, surya sengkala Sunya-Nora Yuganing Wong (1400 Çaka) yang sejajar
dengan tahun 1478 M, bisa merujuk kepada akhir pemerintahan Kertabhumi, yang
identitasnya diterangkan sebagai “paman
dari Prabu Mokta ring Kedaton”
(paman dari Raja yang wafat di istana), tetapi juga bisa menunjuk tahun
kematian dari Sang Raja yang wafat di Istana, yang tidak lain adalah Sri
Singawardhana.
Akan tetapi dengan membaca bukti-bukti
prasasti lebih teliti lagi, khususnya prasasti
Jiyu, Sri Singawardhana ternyata
tidak wafat pada tahun 1478 M, melainkan empat tahun sebelumnya yaitu pada
tahun 1474 M. Mengapa? Karena prasasti yang dikeluarkan Girindrawardana Dyah
Ranawijaya ini berasal dari tahun 1486 M, dan dalam prasasti ini disebutkan
bahwa pada tahun 1486 M tersebut ia menyelenggarakan upacara sraddha
untuk memperingati 12 tahun wafatnya Sang Raja. Karena itu, 12 tahun sebelum
1486 M akan ketemu tahun 1474 M sebagai tahun kematian “Prabu mokta ring kedaton”. Jadi, sengkalan “Sunyanora yuganing
wong” (1400 Çaka) bukanlah tahun kematian Prabu mokta ring kedaton, melainkan tahun berakhirnya kerajaan
Majapahit yang diperintah Bhre Kertabumi Bhawijaya V Pamungkas. Kalau begitu,
teks Pararaton
di atas lebih tepat bisa
diterjemahkan sebagai berikut:
Putranira Sang Sinagara: Bhre
Koripan, Bre Mataram, Bhre Pamotan, pamungsu
Bhre Kertabumi kapernah paman Prabhu mokta ring kedaton i Çaka Sunya-Nora
Yuganing Wong.
Artinya: “Putra-putra
Sang Sinagara adalah Bhre Koripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan raja terakhir Bhre Kertabhumi, – yang
adalah paman dari raja yang wafat di istana itu – memerintah sampai tahun
1400 Çaka (1478 M)”.
III. SRADDHA KEBANGSAAN DAN KEPRIHATINAN MPU TANAKUNG
Kembali kepada Mpu Tanakung. Sang Mpu menulis
karya-karyanya pada masa Prabu Singawikramawardana atau Bhre Pandan Salas III,
ketika Majapahit sudah berada dalam usia senja. Sesudah mangkatnya
Singawardhana, penggantinya yaitu Prabu Kertabhumi, negara nasional yang pernah
mempersatukan seluruh Nusantara itu benar-benar “sirna ilang kertaning bhumi”. Ungkapan Serat Kandha ini, selain
menunjukkan suryasengkala 1400 Çaka
(1478 M), secara makna kalimat juga berarti “telah hilang kesejahteraan di
bumi”.
Konsep Sraddha menekankan penghormatan
kepada para bapa bangsa. Meskipunsraddha ini secara khusus ditujukan
kepada Raja Sinagara Bhre Pamotan (1451 -1453 M),namun pastilah Mpu Tanakung
sangat prihatin terhadap situasi dan kondisi perkembangan Majapahit yang makin
terpuruk. Mengapa Majapahit semakin terpuruk? Salah satu sebabnya,karena
“kelakuan” para elitnya yang hanya mengejar kekuasaan semata-mata, lupa kepada perjuangan
membangun bangsa dari para “founding fathers” mereka. Mereka tidak merasakan
betapa sulitnya “menuju puncak kemegahan” (istilah Slamet Mulyana), yang
diupayakan mulai dari Sanggrama Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, dan usaha
para suksesor sesudahnya: terutama Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada. Setelah
Hayam Wuruk dan Gajahmada wafat, Majapahit menghadapi ancaman disintegrasi dari
luar dan dalam, namun tidak disadari oleh para elit pemegang kekuasaan. Para
elit mulai terbiasa dengan hidup mewah, hasil dari “memeras keringat” para
pendahulu mereka. Syahwat para penguasa yang hanya mengejar kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara, perang saudara dalam rangka suksesi kepemimpinan,
menyebabkan mereka tidak peka dengan bahaya ideologi asing yang mengancam di
depan mata.
Ideologi itu dibawa oleh kaum penyebar agama
baru yang mulai memenuhi pesisir utara Jawa, dan daerah-daerah yang mulai
terlepas karena tidak dikawal lagi oleh ideology negara, dan sebagai gantinya
“fanatisme agama” yang ditawarkan sebagai “ideologi asing”alternatif, yang
perlahan tetapi pasti mulai masuk sejak perjumpaan Wikramawardanadengan Cheng
Ho. Wikramawardana yang secara khilaf telah membunuh 170 tentara Cina dibawah
Cheng Ho yang sedang berada di Kedaton
Wetan (Blambangan) saat meletus perang
Paregreg, tidak mampu
membayar denda yang dibebankan Kaisar Cina. Terjadilah tawar menawar,
Wikramawardana hanya mampu membayar dengan 10.000 tahil dari denda
yangditentukan sebanyak 60.000 tahil emas.[9]
Kaisar membebaskannya, bahkan masih ditambah hadiah “Putri Cina nan cantik”
sebagai “tanda persahabatan”.
Hasilnya, setelah dari perkawinan itu lahir
Swan Liong (Arya Damar) yang diangkat jadi
Adipati Palembang, justru lebih loyal kepada Tiongkok. Tren “kawin dengan putri
asing”ini dilakukan juga oleh Prabu Kertabhumi, raja Majapahit terakhir, dan
kemudian melahirkan Jin Bun (Raden Patah). Dalam waktu singkat, setelah
daerah-daerah yang diberi otonomi khusus itu, satu demi satu lepas dari
pemerintahan pusat. Dan pada masa Raja Kertabhumi, tamatlah riwayat Majapahit.
Negeri besar itu tinggal sebagai “dongeng masa lalu” yang diagung-agungkan.
“Banawa Sekar” Tanakung, yang selain
mencatat syair-syair suci yang dipanjatkan oleh para kepala daerah, juga
merupakan ajakan untuk kembali kepada semangat Majapahit mula-mula. Membangun
negara dengan spirit “Bhinneka Tunggal
Ika” seperti wejangan Mpu Tantular, kira-kira dengan jelas disimbolkan
dengan Bahtera Seribu Bunga. Mpu
Tanakung menyindir, ia lebih memilih memuja keindahan tanah airnya (semangat
nasionalisme dan patriotisme) ketimbang memikirkan nikmatnya peraduan asmara,
dan meninggalkan kekasihnya di sana. Sang Mpu kesepian demi baktinya kepada
negeri: sunyi, sendiri dan tanpa asmara
lagi (Tan = “tanpa”, akung = “asmara”), seolah-olah menyindir
para penguasa yang lebih “kepranan
kumelaping wentis kuning” (silau dengan kilauan betis mulus) putri-putri
Cina, tanpa menyadari bahwa wanita-wanita cantik itu juga menjadi agen-agen
politik dan ideologi asing.
Dalam sejarah Majapahit, berkali-kali sraddha
dihaturkan kepada para leluhur.Minimal, ada 3 sraddha yang menarik
dicatat di sini:
Pertama, sraddha
besar-besaran zaman Maharani Tribhuwana Tunggadewi, yangbermaksud “menangkal
sumpah Mpu Barada” yang membelah Jawa dengan mengucurkankendi dari langit pada
zaman Airlangga, demi cintanya kepada kedua putranya. Disini,Tribhuwana
Tunggadewi hendak meruwat kesalahan Airlangga, sekalipun seorang rajabijaksana
tetapi ternyata cintanya kepada keluarga mengalahkan cinta baktinya kepadanegaranya,
hingga rela memecah negerinya untuk dibagikan kepada dua putra yangdicintainya.
Kedua, sraddha
pada masa Singawikramawardana (Pandan Salas III) yang diabadikan dalam syair
Mpu Tanakung, yang mengingatkan supaya demi kejayaan Majapahit, segenapanak bangsa
agar kembali kepada “Bhinneka Tunggal
Ika” Mpu Tantular, berbeda-bedatetapi satu, seperti disimbolkan dengan “bahtera seribu bunga” (bhanawa Sekar). MpuTanakung juga
mengingatkan para penguasa Majapahit akan bahayanya tren “kawin
denganputri-putri asing” sebagai jebakan penguasa asing untuk melemahkan
Majapahit secara perlahan-lahan tetapi pasti. “Bhanawa” (perahu) adalah
lambang perahu kebangsaan.Mengingatkan kita kepada kapal-kapal jung Majapahit yang menggambarkan
sebagai kejayaan bangsa baharí yang besar. Tetapi pada masa-masa akhir ini,
kejayaan laut kitaterancam, karena banyaknya perahu-perahu asing yang menguasai
perairan Nusantara.Majapahit pada zamannya adalah negara maritim yang disegani,
sekaligus juga Negara agraris yang kaya dan selalu berlimpah sandang dan pangan
bagi rakyatnya dari kebun-kebundan sawah-sawahnya. Seperti yang digambarkan
dalam suluk pedalangan “negara maritime dan agraris sekaligus, menghadap
laut yang berbandar-bandar, tetapi memprioritaskan sawah ladang” (ngadep segara kang bebandaran, hanengenake
pasabinan).
Ketiga, sraddha
yang dihaturkan oleh Girindrawardana Dyah Ranawijaya, seperti dicatat dalam prasasti Jiyu (1486 M) ketika Majapahit sudah menjadi negara bawahan Demak,
untuk mengenang 12 tahun Raja Singawardana (wafat tahun 1474 M). Menurut kronik Sam
Po Khong, Girindrawardana Dyah Ranawijaya adalah menantu Prabu
Kertabhumi,yang dengan demikian masih saudara ipar Raden Patah.
Pada masa senjanya, para pemimpin Majapahit
sudah kehilangan “elan vital”, lupa kepada
warisan para leluhur (para founding
fathers), khususnya “Bhinneka
Tunggal Ika”-nyaMpu Tantular, kehilangan jati diri sebagai bangsa, terjebak
dalam politik pragmatis yang mengorbankan ideologi negara demi kemenangan
kelompok semata-mata. Selain itu, para pemimpin itu hanya bisa berbicara dan
berwacana tetapi tidak bisa menjadi teladan rakyatnya. Contohnya, Prabu
Kertabhumi sendiri. Ketika sraddha pada zaman
Singawikramawardana itu dinaikkan, sebagai seorang pangeran, Bhre Kertabhumi
mempersembahkan syair-syair sucinya. Namun ketika ia menjadi raja menggantikan
“Sang Prabu mokta ring kedhaton”, ia
juga mengikuti jejak Wikramawardana, “takluk dalam pelukan para wanita asing”.
Sejarah mencatat, dari “putri Cina” ini lahirlah Jin Bun alias Raden Patah,
yang akhirnya mengakhiri kejayaan Majapahit yang bercorak “Bhinneka Tunggal
Ika” menjadi negara agama (“agama ageming
aji” = agama adalah busana raja), yaitu Islam sebagai agama resmi. Dan nama
raja terakhir Majapahit, yaitu Kertabhumi, diabadikan dalam candra
sengkala yang mengungkapkan ironi hancurnya sebuah negara besar beserta
kemakmuran rakyatnya (Sirna Ilang
Kertaning Bhumi, “Hilang lenyapnya kesejahteraan negara”), yang merujuk
1400 Çaka atau 1478 M.
IV. WASANA KATA
Nah, jelas sudah pelajaran sejarah ini.
Apakah NKRI yang berdasarkan Pancasila, “Nationale
staat” ketiga setelah Sriwijaya dan Majapahit, harus mengulangi pengalaman
pahit “Sirna Ilang Kertaning Bhumi”?
Mpu Tanakung sudah melaksanakan tugas sejarahnya, membawa “suara kenabian” bagi
bangsanya: mengajak rajanya untuk kembali kepada semangat para pendiri bangsa,
dan menjunjung falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda
tetapi Satu). Masalahnya, apakah para pemimpin itu masih rela mendengarkan
suara sang Empu? “Sebab itu, putraku!”,
kata Mpu Tanakung, “patuhilah petuahku,
dan jangan mengingkari kata-kataku ini. Kembalilah untuk melaksanakan tugasmu,
menurut jalan yang mula-mula” (Mpu
Tanakung, Syair Siwaratri Kalpa).&
Lampiran
1:
KRONIK
RAJA-RAJA MAJAPAHIT
۩ IMPERIUM MAJAPAHIT BERDAULAT
- Kertarajasa Jayawardhana (Sanggramawijaya, Raden Wijaya) 1294-1309
- Jayanegara (Kala Gemet, Wirandagopala) 1309-1328
- Tribhuana Tunggadewi Jayawisnuwardhani 1328- .......
- Rajasanegara (Hayamwuruk) .......- 1389
Majapahit Dipuncak
Kejayaan
Patih: Gajahmada
Undang-undang Kutaramanawa, Sang Hyang Agama (Hukum Nasional, bukan hukum Agama)
Ideologi negara menjamin pluralitas bangsa “Bhinneka Tunggal Ika” (Mpu Tantular)
5.
Wikramawardana (Hyang
Wisesa, suami Kusumawardani) 1389-1427
- Majapahit mulai terpecah: Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan, kedatangan Cheng Ho
- Patih: Tuhan Kanaka
- Undang-undang: Sang Hyang Adigama (Hukum Nasional, bukan hukum agama)
6.
Suhita 1427-1447
7.
Bhre Daha
(Pemerintahan selingan) 1437- .......
8.
Sri Kertawijaya 1447-1451
9.
Bhre Pamotan (Sang
Sinagara) 1451-1453
(Selama 3 tahun
takhta Majapahit kosong, mungkin akibat perebutan kekuasaan yang terus-menerus)
10.
Hyang Purwawisesa
(Bhre Wengker) 1456-1466
11.
Bhre Pandan Salas III 1466-1468
(Baru dua tahun Pandan Salas III menjadi
raja, ia meninggalkan istana untuk menjadi pendeta: “Lengser keprabon madeg pandhita”. Ketika “bahtera bangsa” negara
diambang kehancuran dan terancam tenggelam, Mpu Tanakung menulis “Syair
Siwaratrikalpa” dan tujuh prosa lirisnya. Dalam “Bhanawa Sekar” sebagai sraddha
yang dilakukan putra-putra Bhre Pamotan Sang Sinagara, termasuk Bhre
Kertabhumi. Sraddha “bahtera Seribu bunga” sebuah refleksi dan ajakan untuk
kembali kepada spirit “Bhinneka Tunggal Ika” yang mengantar
Majapahit “ke puncak kejayaan?”).
12.
Singhawikramawardana
alias Prabhu Mokta ring Kedaton 1468-1474
(Menurut Prasasti
Jiyu III, Girindrawardhana Sang
Singawardana bermaksud memberikan anugerah kepada Brahmana Ganggadara, tetapi
belum terlaksana).
13.
Bhre Kertabhumi
(Brawijaya Terakhir) 1474-1478
(Inilah raja Mapajahit berdaulat yang
terakhir, kerajaannya diserang putranya sendiri yang dibantu para wali, yaitu
Raden Patah).
۩ MAPAJAHIT SEBAGAI BAWAHAN DEMAK
14.
Nyoo Lay Wa 1478-1486
(Nama ini hanya disebut dalam kronik Cina, Sam Po Kong, sebagaimana dijadikan sumber oleh Slamet Mulayana
tetapi tidak ada dalam catatan sejarah Jawa. Majapahit sebagai bawahan Demak
diperintah orang Cina, kerabat Raden Patah, tetapi terbunuh oleh revolusi
rakyat).
15.
Ranawijaya
(Girindrawardana, Prabhu Nata) 1486-1527
(Tahun 1486 setelah ditunjuk sebagai
penguasa Daerah Majapahit oleh Demak, ia mengeluarkan prasasti untuk meneguhkan
putusan Girindrawardhana Sang Singawardhana yang bermaksud memberikan anugerah
tanah sima atau perdikan kepada Brahmaraja Ganggadara, sekaligus memerintahkan
sang brahmana untuk melaksanakan saddhra untuk mengenang 12 tahun Raja
Singawardhana. Pada tahun 1517 Ranawijaya bersekutu dengan Portugis, lalu
diserang untuk kedua kali oleh Raden Patah tapi masih diampuni, karena
pertimbangan bahwa Ranawijaya, menantu Kertabhumi, masih saudara ipar Raden
Patah. Tetapi 1527 kembali menjalin hubungan dengan Portugis akhirnya dihancurkan
oleh Demak di bawah Adipati Unus. Riwayat Majapahit tamat).
Dari
kronik raja-raja Majapahit di atas jelaslah bahwa sebagai sebuah kerajaan
Majapahit bertahan selama 233 tahun dari tahun 1294-1527 M. Jadi, dapat
disimpulkan selama 184 tahun Mapajapahit sebagai Negara Nasional, bahkan
sebagai imperium besar dengan wilayah yang lebih luas dari NKRI sekarang, dan
49 tahun sebagai negara bawahan Negara Islam Demak). &
*)
Makalah di atas pernah disampaikan di acara Temu Generasi Muda Buddha Niciren
Sosyu, Kamis, 10 Juni 2010.
[1]IBG.Agasta,SiwaratriKalpaKaryaMpuTanakung(Denpasar:YayasanDharmaSastra,2001),hlm.2-7.
Lihat juga: A. Teeuw (et.al.), Siwaratrikalpa
of Mpu Tanakung. An Old Javanese Poem Its Indian Source and Balinese
Illustrations (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), hlm. 14-19.Juga: P.J.
Zoelmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuna
Selayang Pandang (Jakarta: Penerbit Djambatan,1985), hlm. 455-361.
[2]Zoelmulder,
Op. Cit., hlm.616.
[3]A.
Teeuw, Op. Cit., hlm. 69-70.
[4]
Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho:
Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta: Pustaka Populer Obor,
2007), hlm. 91-92.
[5]Hasan
Djafar, Masa Akhir Majapahit
(Jakarta: Komunitas Bamboe, 2009), hlm. 70.
[6]Muhammad
Yamin, Tatanegara Madjapahit. Parwa II
(Djakarta: Jajasan Prapantja, 1962), hlm. 234-235)
[7]
Kronik ini dimuat dalam H.J. de Graaf, et. all., Cina Muslim di Jawa Abad XV-XVI antara Historisitas danMitos.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), hlm. 17-21.
[8]Yamin,
Sapataparwa II, hlm. 235-236.
[9]Kong
Yuanzhi, Op. Cit., hlm. 92.
Ada yang janggal, saya kutipkan Bagian III alinea terakhir:
ReplyDelete"......Namun ketika ia menjadi raja menggantikan “Sang Prabu mokta ring kedhaton”, ia juga mengikuti jejak Wikramawardana, “takluk dalam pelukan para wanita asing”. Sejarah mencatat, dari “putri Cina” ini lahirlah Jin Bun alias Raden Patah, yang akhirnya mengakhiri kejayaan Majapahit yang bercorak “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi negara agama (“agama ageming aji” = agama adalah busana raja), yaitu Islam sebagai agama resmi......"
Kalau baca alinea tersebut, berarti Jin Bun lahir SETELAH Kertabhumi menjadi raja yaitu antara 1474-1478 M. Padahal di dalam artikel tersebut dinyatakan Jin Bun memerangi Kertabhumi. Masa iya anak 3 tahun memerangi?
Sebenarnya artikel di atas menarik, sayang ulasannya kurang memperhitungkan alur waktu.
Kemudin pada Lampiran hal Ranawijaya. Butir 15 saya kutipkan:
".....Tetapi 1527 kembali menjalin hubungan dengan Portugis akhirnya dihancurkan oleh Demak di bawah Adipati Unus. Riwayat Majapahit tamat)."
Adipatu Unus wafat 1521 M. Masa iya tahun 1527 M menyerang? Yang benar, adalah Trenggono (setelah Pati unus wafat)