Pertimbangkan dua gambar ini. Gambar pertama ada seorang pria yang telah menetapkan dirinya sendiri menuju sebuah komitmen kemurnian seks, dan menjalani kehidupan dalam integeritas seksual dengan isterinya. Sehingga memenuhi berbagai harapan yang memang berhak dimiliki oleh isterinya dan untuk memaksimalisasi kenikmatan bersama di tempat tidur pernikahan mereka, suami menjalani kehidupannya dengan tidak sembarangan, juga dalam berkata-kata, memimpin dan mengasihi dalam sebuah cara yang membuat isteri memperoleh kepenuhannya dalam menyerahkan dirinya kepada suami dalam kasih. Tindakan seks lantas menjadi sebuah kegenapan seluruh hubungan mereka, bukan sebuah tindakan jasmaniah yang terpisah sehingga menjadi sekedar hal yang isedentil dalam menyatakan cinta mereka satu sama lain.
Bacalah bagian-bagian ini terlebih dahulu :
Bacalah bagian-bagian ini terlebih dahulu :
- Bagian 1 : Rayuan Pornografi dan Integeritas Pernikahan Kristen, Bagian Satu (A)
- Bagian 2 : Rayuan Pornografi dan Integeritas Pernikahan Kristen,... (B- selesai)
- Bagian 3 : Rayuan Pornografi dan Intergeritas Pernikahan Kristen, Bagian Dua (A)
- Bagian 4 : Rayuan Pornografi dan Integeritas Pernikahan Kristen, Bagian Dua (B)
Juga tidak membuat seks sebagai sarana-sarana manipulasi, juga tidak difokuskan secara berlebihan pada pemuasan yang berpaku pada diri sendiri, dan keduanya memberikan diri mereka masing-masing kedalam hasrat seksual yang tak memerlukan pemaafan dan tanpa adanya halangan. Dalam gambar ini tidak ada hal yang memalukan. Dihadapan Tuhan, pria ini dapat dengan yakin bahwa ia sedang memenuhi tanggung jawab- tanggung jawabnya baik sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang pria. Dia mengarahkan seksualitasnya, dorongan seksnya, dan tubuh jasmaniahnya menuju kepada hubungan satu daging yang merupakan paradigma sempurna akan maksud Tuhan dalam penciptaan.
Sebaliknya, pertimbangkan pria lainnya. Pria ini hidup sendiri, atau setidaknya dalam sebuah konteks selain dari pernikahan yang kudus. Telah menjadi hasrat yang keluar dari dalam dirinya ketimbang jasmaniah semata, dorongan seksnya telah menjadi semacam mesin nafsu seks dan pemuas nafsu. Pornografi adalah esensi ketertarikan dan kegairahan seksualnya. Ketimbang mengambil kepuasan pada isterinya, ia menatapi gambar-gambar jorok (pornografi) agar memuaskan gairah seksual yang datang tanpa tanggungjawab, diharapkan, atau diminta. Terbentang dihadapannya adalah serangkaian gambaran beragam wanita tanpa busana yang datang terus-menerus, gambar-gambar seksual yang melukiskan nafsu badaniah yang eksplisit, dan serangkain penyimpangan seks yang melimpah untuk merayu imajinasi dan merusak jiwa.
Pria semacam ini tidak mempedulikan penampilan fisiknya, kesehatan pribadinya, atau karakter moralnya dihadapan isteri. Tanpa struktur ini dan pertanggungjawaban, dia bebas untuk melakukan kesenangan seksual tanpa peduli dengan wajahnya yang tak bercukur,kemalasannya, aroma mulut yang bau, badan yang mengeluarkan aroma tak sedap, dan tak peduli pada penampilan fisiknya.
Wajah-wajah pria semacam ini tidak membutuhkan penghormatan pribadi, dan tak ada mata yang menatapnya untuk menakar kepantasan dan kelayakan hasrat seksualnya. Malahan, matanya menjelajahi berbagai gambar wajah-wajah tanpa emosi, memandangi liar wanita-wanita yang tak berminat pada dirinya, yang tak pernah membalas ajakan percakapannya, dan yang tidak pernah dapat berkata tidak, Tidak ada balasan hormat, tidak ada balasan cinta, dan tidak lebih dari menggunakan wanita-wanita sebagai obyek-obyek seks untuk kesenangan seksual dirinya sendiri dan kesenangan seksual yang menyimpang.
Dua gambaran seksualitas pada pria diatas memang dimaksudkan untuk membawa ke hal pokoknya dimana setiap pria harus memutuskan hendak menjadi seperti apakah dia, siapakah yang akan dia layani, dan bagaimana ia akan mencintai. Pada akhirnya, keputusan seorang pria perihal pornografi adalah sebuah keputusan tentang jiwanya, sebuah keputusan mengenai perkawinannya, sebuah keputusan mengenai isterinya, dan sebuah keputusan mengenai Tuhan.
Pornografi adalah sebuah kejahatan menentang kebaikan penciptaan Tuhan dan sebuah perusakan pada karunia baik dari Tuhan yang telah memberikan kepada ciptaan-ciptaanya kasih yang merupakan pemberiannya sendiri. Menyalahgunakan pemberian ini melemahkan tak hanya lembaga pernikahan, tetapi struktur masyarakat manusia itu sendiri. Memilih nafsu diatas cinta merupakan pelemahan dasar kemanusiaan dan menyembah kepada dewa nafsu seks yang menyolok di era moderen masa kini.
Penggunaan pornografi yang dilakukan secara sadar, tidak kurang dari sebuah ajakan sukarela dari para kekasih gelap dan mewujudkan obyek-obyek seks dan pengetahuan terlarang kedalam hati, pikiran dan jiwa seorang pria, Kerusakan pada hati seorang pria tidak terkirakan, dan akibat yang ditanggung dalam penderitaan manusia hanya akan terungkap pada Hari Penghakiman.
Semenjak seorang anak laki-laki memasuki pubertas hingga hari kematiannya,sejak itu setiap pria akan bertarung dengan nafsu seksnya. Mari kita patuhi contoh Alkitab dan perintah nas kitab suci yang darinya kita membuat sebuah perjanjian dengan mata kita jika tidak kita berdosa.
Dalam masyarakat kita, kita dibentuk manjadi bukan siapa-siapa kecuali hanyalah sebuah keramaian yang saling bergantung di sebuah dunia dimana hidup ini seolah kehidupan yang tidak pernah meminta pertanggungjawaban.
Selesai
The Seduction of Pornography and the Integrity of Christian Marriage, Part Two, Albert Mohler | Martin Simamora
No comments:
Post a Comment