http://ceoworld.biz |
Satu kualifikasi berikutnya yang harus ditambahkan terhadap gambaran pornografi. Pada pria ada sebuah fenomena dimana pornografi tidak lagi dipandang sebagai hal yang eksklusif. Ini hendak mengatakan bahwa, para pemakai dan konsumen pornografi pada umumnya adalah pria. Atas nama kebebasan wanita, beberapa pornografi diarahkan kepada pasar wanita yang telah bertumbuh beberapa tahun belakangan ini. Namun demikian pasar untuk wanita dianggap sebagai pasar yang kecil didalam sebuah ekonomi pornografi yang lebih besar. Faktanya tetap saja banyak pria yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar dan meluangkan banyak sekali waktu menonton dan mencari gambar-gambar pornografi untuk membangkitkan gairah seksual.
Sebelumnya baca : Rayuan Pornografi (A)
Sebelumnya baca : Rayuan Pornografi (A)
Mengapa pornografi semacam ini menjadi sebuah bisnis besar? Jawaban untuk pertanyaan ini terletak pada dua realitas fundamental. Pertama, jawaban yang paling mendasar untuk pertanyaan ini harus berakar dalam sebuah pengertian bahwa manusia sebagai orang-orang berdosa. Kita harus sepenuhnya memahami fakta bahwa dosa telah merusak setiap hal baik dalam penciptaan, dan efek-efek yang ditimbulkan oleh dosa meluas hingga kesetiap dimensi kehidupan. Dorongan seks yang seharusnya ditujukan pada ikatan pernikahan yang setia dan semua hal baik yang dikaitkan dengan institusi yang amat mendasar ini, telah menjadi begitu rusaknya dengan berbagai efek menghancurkan. Bukannya diarahkan menuju kesetiaan, ikatan yang berkomitmen, menghadirkan keturunan, dan sebuah hubungan satu daging yang menakjubkan, dorongan atau hasrat seks telah didegradasi kedalam sebuah hasrat yang merampok kemuliaan Tuhan, menikmati/menselebrasi sensualitas dengan mengorbankan hal rohani, dan menjadikan apa yang Tuhan maksudkan sebagai hal baik pada sebuah jalan yang membawa kepada kehancuran atas nama pemuasan personal.
Jawaban yang paling penting yang dapat kita berikan terhadap kebangkitan pornografi dalam popularitas, berakar dalam doktrin Kristen. Sebagai orang-orang berdosa, kita merusak apa yang telah Tuhan desain sempurna pada ciptaan-ciptaannya dan kita telah membuat seks menjadi sebuah kesenangan-kesenangan pembangkitan seks saja. Tak hanya kita telah memisahkan seks dari pernikahan, tetapi sebagai masyarakat, kita kini melihat pernikahan sebagai sebuah beban/penyimpangan, keperawanan/keperjakaan sebagai sebuah hal yang memalukan, dan pengekangan seksual sebagai sebuah gangguan kejiwaan. Doktrin dosa menjelaskan mengapa kita telah menggantikan kemuliaan Tuhan dengan konsep Sigmund Freud : Polymorphus Perversity yaitu: kemampuan untuk menemukan kesenangan erotik pada bagian-bagian tubuh.
Hal lainnya yang perlu ditambahkan kedalam hal ini, kita harus menyadari bahwa sebuah pasar bebas ekonomi kapitalis memberi upah kepada mereka yang menghasilkan sebuah produk yang atraktif dan membangkitkan hasrat jasmaniah ( seperti pada makanan atau seks). Pemasok pornografi tahu bahwa mereka berhasil dengan mengarahkan produk mereka kepada tabiat umum manusia yang paling rendah--sebuah pikiran seksual yang terpendam. Tanpa halangan-halangan legal pada generasi-generasi terdahulu, para pornografer kini bebas menjual produk-produk mereka secara terang-terangan tanpa batasan. Dibalik ini semua, mereka mendasarkan rencana pemasaran pada asumsi bahwa seorang individu dapat dirayu untuk mau menggunakan gambar-gambar pornografi dan kebutuhan akan material seksual yang jauh lebih eksplisit sebagai sarana-saranan untuk membangkitkan gairah seksual.
Hal mendasar adalah dalam keberdosaan kita, para pria ditarik kepada pornografi dan yang menakutkan sebuah persentase yang lebih besar para pria yang mengembangkan kebergantungan mereka terhadap gambar-gambar pornografi untuk membangkitkan hasrat seksualnya dan untuk memenuhi konsep hidup yang baik, pemenuhan seksual, dan bahkan bermakna dalam hidup. Riset Medikal dapat mendokumentasi meningkatnya aliran endorphin, hormon yang menciptakan kesenangan pada otak, saat gambar-gambar seksual dilihat. Merujuk pada hukum efek berkurang semakin besar stimulasi-stimulasi yang diperlukan untuk mempertahankan aliran endorphin yang konstan menuju pusat-pusat kesenangan otak. Tanpa kesadaran yang penuh akan apa yang sedang terjadi, para pria ditarik kedalam sebuah pola dosa yang semakin mendalam dan terus semakin mendalam, pornografi yang semakin eksplisit dan semakin eksplisit, dan tidak pernah berakhir dalam kesadaran rasional, dan semuanya ini telah dimulai saat pertama-tama mata mulai mengamati gambar pornografik dan bangkitnya gairah seksual adalah produk yang dihasilkannya.
Era postmoderen telah membawa banyak keajaiban sekaligus tantangan-tantangan moral. Kerap, pencapaian teknologi dan kompleksitas moral datang bersamaan. Untuk pertama kali dalam sejarah manusia seorang anak remaja di kamar tidurnya memiliki akses ke jaringan website-website yang tak terbilang jumlahnya, membawanya kepada setiap hasrat seksual yang dapat dibayangkanya, hal yang menyimpang, dan kesenangan. Anak-anak remaja dewasa ini, jika "tidak ditahan di sebuah pulau terpencil", nampaknya menjadi tahu lebih banyak tentang seks dan kompleksitasnya daripada yang diketahui oleh ayahnya ketika menikah. Lebih jauh lagi, apa yang diketahui oleh hampir semua generasi hanyalah imajinasi yang semuanya ada untuk dilihat di website-website, baik yang komersial/berbayar ataupun gratis. Internet telah membawa sebuah jalan bebas hambatan antarnegara bagi pornografi kedalam setiap komunitas, dengan pintu keluarnya pada setiap terminal atau personal computer.
Pornografi menggambarkan satu serangan-serangan berbahaya yang terselubung terhadap kesucian pernikahan dan kebaikan seks didalam hubungan satu daging /pernikahan. Selebrasi kenikmatan seks yang liar ketimbang kemurnian, pembangkitan kenikmatan alat kelamin yang mengabaikan semua pertimbangan, dan perusakan energi seks dengan sebuah penyimpangan terhadap hasrat seksual itu sendiri, merusak ide pernikahan, membawa kepada bahaya yang tidak dapat diperhitungkan, dan mensubversikan pernikahan dan ikatan pernikahan.
Selesai
The Seduction of Pornography and the Integrity of Christian Marriage, Part One, Albert Mohler | Martin Simamora
No comments:
Post a Comment