Persilangan pornografi dan pernikahan adalah satu isu yang paling problematik diantara banyak pasangan dewasa ini--termasuk pada pasangan suami-isteri Kristen. Wabah pornografi yang gampang menular menggambarkan salah satu tantangan moral terbesar yang dihadapi oleh gereja-gereja Kristen di era post moderen. Dengan rajutan erotisme kedalam jantung utama budaya, diselebrasi didalam budaya hiburan, dan diiklankan sebagai sebuah komoditas, sangatlah tidak mungkin untuk meloloskan diri dari pengaruh pornografi yang diterima luas didalam budaya dan kehidupan kita.
Pada saat yang sama, masalah keberdosaan manusia pada dasarnya tidak berubah dari sejak kejatuhan hingga saat ini. Tidak ada dasar teologia untuk mengasumsikan bahwa manusia lebih bernafsu dalam seks, lebih tak berdaya dihadapan godaan seksual, atau lebih mudah dipengaruhi kepada hasrat seksual yang rusak daripada generasi-generasi terdahulu manapun.
Pada saat yang sama, masalah keberdosaan manusia pada dasarnya tidak berubah dari sejak kejatuhan hingga saat ini. Tidak ada dasar teologia untuk mengasumsikan bahwa manusia lebih bernafsu dalam seks, lebih tak berdaya dihadapan godaan seksual, atau lebih mudah dipengaruhi kepada hasrat seksual yang rusak daripada generasi-generasi terdahulu manapun.
Dua hal istimewa menandai era masa kini dari era sebelumnya. Pertama, pornografi telah dipancarluaskan melalui iklan, gambar-gambar komersial, dan kehidupan sehari-hari, yang pada beberapa dekade sebelumnya merupakah hal ilegal. Kedua Erotisme eksplisit--lengkap dengan gambar-gambar pornografik, naratif, dan simbolisme--kini diselebrasi sebagai budaya yang baik di sejumlah sektor di masyarakat. Pornografi saat ini dilaporkan sebagai bisnis terbesar nomor tujuh di Amerika Serikat, memiliki aikon tersendiri dan figur-figur publik. Hugh Hefner pendiri Playboy, dipandang oleh banyak masyarakat Amerika menjadi model entreprenersip yang sukses, kesenangan seksual, dan sebuah gaya hidup yang bebas. Penggunaan Hugh Hefner sebagai seorang juru bicara sebuah waralaba hamburger berbasis keluarga di California mengindikasikan sesuatu bagaimana pornografi itu sendiri telah menjadi sebuah poros utama dalam budaya.
Kini muncul sebagai realitas ketiga dari dua perkembangan diatas adalah meningkatnya paparan stimulasi atau rangsangan erotik yang menciptakan kebutuhan yang terus-menerus meningkat sehingga timbul kebutuhan untuk diperhatikan, membangkitkan minat seksual, dan mempertahankan minat. Sebuah perilaku aneh, paparan terhadap pornografi yang bersifat Hyper menyebabkan laba atas investasi yang lebih rendah--yang hendak dikatakan disini bahwa semakin pornografi yang dilihat orang, pastilah semakin eksplist gambar-gambar yang dilihat, agar hasratnya terpuaskan.
Sebagaimana yang akan dijelaskan postmodernist, agar "melampaui batas/transgress," maka pornografer harus menekan garis batasnya.
The Seduction of Pornography and the Integrity of Christian Marriage, Part One, Albert Mohler | Martin Simamora
No comments:
Post a Comment