Oleh: Martin Simamora
Digenggamnya
Tanganku, Dipandunya Jiwaku: Sebuah
Dasar untuk Melangkah dalam Kepastian, Menjelajahi Masa Depan dalam Keyakinan Kokoh
Itu bukan karena
manusia begitu tak berdaya dalam perencanaan dan mewujudkannya. Saya tidak
sedang membicarakan sebuah keimanan yang begitu meninggikan Tuhan seolah IA terlalu rendah dalam keberadaannya jika tidak ditinggikan sedemikian, dan begitu merendahkan manusia agar Tuhan
terlihat begitu mulia dan begitu berdaulat. Tidak pernah demikian dan tidak
pernah manusia tidak memiliki kemampuan untuk merencanakan dan kemampuan untuk
mewujudkannya. Apa yang hendak saya katakan terkait judul di atas, adalah ketakberdayaan manusia untuk pada
dirinya sendiri untuk membangun kepastian pada masa depannya sebagai sebuah
kreasi yang dibangunkan pada saat
ini juga. Itu sebabnya Surat Yakobus berkata begini terkait perihal
ini:
Yakobus
4:13-16 Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami
berangkat ke kota anu, dan di sana kami
akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung", sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi
besok. Apakah
arti hidupmu? Hidupmu itu
sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu
harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya,
kami akan hidup dan berbuat ini dan itu." Tetapi sekarang kamu memegahkan
diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah.
Sementara 2018 kedatangannya
tidak bisa dicegah dan keberakhirannya segera tiba untuk menjadi sejarah yang
terpatri dalam ruang dan waktu tanpa sebuah fluktuasi waktu dan dinamika
aktivitas yang bagaimanapun juga, kita dengan segenap keberadaan kita, masih ada di sebuah tempat dan waktu yang
kita sebut “hari
ini.” Pada “hari ini” sekalipun kita masih harus berkata “aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada
detik mendatang dan bahkan tidak tahu apapun di sekitarku.” Surat Yakobus
terkait ketakberdayaan manusia terhadap kepastian akan masa depan berkata
begini “Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”
Sama seperti uap merupakan pernyataan yang lebih dari deskripsi yang dibutuhkan untuk menggambarkan
secara tajam eksistensi manusia di dalam
ruang, waktu dalam kematerialannya, sebetulnya memang, benar-benar tak berarti
apapun juga, jika saja tidak memiliki Tuhan.