normangeisler.com
Sebelumnya:
Neotheisme (1)
Membahayakan Uji
Nubuat Palsu
Jika
semua nubuat adalah kondisional, maka tidak pernah dapat bagaimanapun ada hal untuk disebut sebagai sebuah nubuat palsu. Perjanjian Lama, akan tetapi, meletakan
dasar berbagai uji terhadap nabi-nabi
palsu, salah satu diantaranya adalah apakah nubuat tersebut terbukti atau
tidak. “apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak
terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN;
dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar
kepadanya" (Ulangan 18:22). Akan tetapi, jikalau para neotheist adalah
benar, maka tes ini tidak dapat menjadi sah.
Membahayakan
Infabilitas Alkitab
Tidak
hanya penyangkalan para neotheist bahwa Allah mengetahui hasil dari
tindakan-tindakan bebas di masa mendatang melenyapkan (atau menyangkal)
kemahatahuan dan kemahakuasaan Allah, tetapi itu juga menununjukan sebuah
penyangkalan atas infabilitas dan ineransi Alkitab, yang mana sejumlah
neotheist (seperti Pinnock) mengklaim mempercayainya. Jika semua nubuat-nubuat
Alkitab adalah kondisional, maka kita tidak dapat pernah menjadi pasti bahwa
nubuat-nubuat tersebut akan menjadi digenapi. Namun Alkitab menegaskan bahwa
nubuat-nubuat di dalam Alkitab benar-benar akan digenapi. Menurut pemikiran
pata neotheist, deklrasi formal otoratif (nubuat) bukan infalibel, dan
nubuat-nubuat dalam Alkitab bisa salah. Pada premis bahwa Allah sekedar
menerka, adalah beralasan untuk mengasumsikan beberapa nubuat salah. Ini
menghendaki isu untuk mengasumsikan bahwa nubuat menjadi tergenapi hanya
menunjukan bahwa tebakan-tebakan Allah terbukti menjadi benar. Pada akhirnya, neotheisme menjadikan Ulangan 18:22
terjungkal dan membuat Musa telah gagal menjalankan batasan-batasan yang
diperbolehkan baginya untuk melakukan prediksi yang telah diinspirasikan secara
ilahi, nubuat infalibel atau tak dapat salah.
Secara Logika
Menuntun Pada Universalisme
Tentu
saja, para neotheist melindungi keamanan taruhannya dengan menegaskan bahwa
adalah benar secara moral bagi Allah untuk kadang-kadang mengintervensi
terhadap kehendak bebas untuk menjamin kehendak utama-Nya untuk memberikan
keselamatan bahi umat manusia. Akan tetapi, keberatan ini, membahayakan seluruh
posisi neotheistik dan menuntun pada universalisme. Karena adalah benar bagi
Allah untuk kadang-kadang untuk menggagalkan kehendak bebas bagi keselamatan
kita, lalu mengapa Ia tidak melakukan itu di sepanjang waktu? Pada akhirnya,
para neotheist percaya bahwa Allah berkehendak semua manusia diselamatkan
(1Timotius 2:4; 2 Petrus 3:9). Konsekuensinya, universalisme secara logika
mengemuka dari dua premis tersebut. Karena jika Allah sungguh menghendaki
setiap orang diselamatkan dan Ia dapat menggagalkan atau melawan kehendak bebas
mereka untuk memastikan keselamatan
mereka, maka secara pasti Ia akan melakukankannya. Karena itu, neotheisme terlihat
menuntun pada universalisme.
Allah Tidak Dapat
Menjamin Kemenangan Puncak Terhadap Iblis
Sebagaimana
para neotheist bersikukuh bahwa Allah tidak mengetahui masa depan secara pasti
dan bahwa Ia tidak dapat mengintervensi terhadap kebebasan kecuali hanya pada
perstiwa-peristiwa yang jarang, maka ini menunjukan hal berikutnya bahwa tidak
ada jaminan akan kemenangan puncak atas iblis. Bagaimana bisa Ia menjadi pasti bahwa siapapun bisa
diselamatkan tanpa pembatasan atau restiriksi kebebasan? Limitasi apapun pada
kebebasan mengontradiksikan pandangan kebebasan libertarian neotheist pada
kehendak bebas (lihat catatan kaki no.4).
Pandangan
semacam ini bertentangan dengan Alkitab, yang memprediksikan bahwa Setan pasti akan ditaklukan, iblis akan
dimusnahkan, dan banyak yang akan diselamatkan (Wahyu 20-22). Namun demikian,
menurut neotheist, karena ini merupakan
pertanyaan moral yang melibatkan kehendak bebas atau free will (libertarian),
maka selanjutnya Allah tidak dapat mengetahui jika prediksi tersebut tidak dapat melakukan hal salah atau infalibel. Jika
neotheisme benar, maka tidak Tuhan dan juga Alkitab dapat sepenuhnya menjadi
infalibel dan ineran. Tetapi, sebagaimana telah kita catat, beberapa neotheist
mengklaim bahwa memang demikianlah adanya. Ini
adalah inkonsisten.
Bertentangan
dengan Janji-Janji Tak Bersyarat Allah
Jelas
bahwa semua janji-janji Allah dalam Alkitab adalah bagi setiap orang. Beberapa
memang dimaksudkan bagi beberapa orang (Kejadian 4:15). Lainnya memang
dimaksudkan hanya bagi sekelompok manusia (Kejadian 13:14-17). Lainnya lagi
memang hanya untuk sebuah jangka waktu terbatas (Efesus 6:3). Banyak janji
dikondisikan pada perilaku manusia. Janji-janji itu memiliki sebuah pernyataan atau menyiaratkan jika dalam janji-janji tersebut. Kovenan
Mosaik adalah salah tipe ini. Allah berkata kepada Israel,” Jadi
sekarang, jika kamu sungguh-sungguh
mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan
menjadi harta kesayangan-Ku sendiri” (Kel 19:5, penekanan ditambahkan).
Janji-janji
lainnya adalah tak bersyarat atau
unconditional. Seperti tanah yang dijanjikan pada Abraham dan keturunannya. Ini
jelas dari fakta-fakta bahwa (1) tidak ada syarat yang ditautkan pada janji;(2)
Persetujuan Abrahaman tidak diminta dan ditautkan; (3)Janji telah dimulakan
oleh Allah sementara Abraham dalam keadaan tidur lelap (Kejadian 15:12 “Menjelang matahari terbenam, tertidurlah
Abram dengan nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap gulita yang mengerikan.”);
(4)Kovenan tersebut diadakan secara sepihak oleh Allah, yang melintasi melalui
hewan kurban (Kejadian 15:17-19); dan (5) Allah menegaskan kembali janji ini
bahkan ketika Israel tidak setia (2 Tawarikh 21:7). Janji-janji tak bersyarat
semacam ini yang melibatkan pilihan-pilihan bebas tidak akan mungkin kecuali
Allah telah mengetahui semua pilihan-pilihan bebas yang dilakukan manusia pada
masa mendatang.
Neotheist
mengajukan 1 Raja-Raja 2:1-4 sebagai
sebuah contoh pada bagaimana sebuah janji yang tak bersyarat sesungguhnya
bersyarat. Allah telah menjanjikan Daud terkait puteranya Salomo “Tetapi kasih
setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada
Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu. Keluarga dan
kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh
untuk selama-lamanya" (2Sam 7:15-16). Akan tetapi, selanjutnya, Allah terlihat telah menarik kembali janjinya,
menjadikan janji itu kondisional pada apakah Salomo dan keturunan-keturunannya
akan “berjalan secara setia di hadapan-Nya” (1Raja 2:1-4). Pada basis nas-nas
ini, para neotheist berargumentasi bahwa semua janji yang terlihat tak
bersyarat pada dasarnya kondisional.
Argumen ini gagal
karena untuk banyak hal. Pertama, argumen
ini adalah sebuah kesalahan logika non-sequitur karena penyimpulan yang dilakukan para
neotheis begitu jauh lebih luas daripada premis-premisnya. Bahkan jika ini merupakan
sebuah contoh dari sebuah kondisi yang dimaksudkan, itu tidak akan membuktikan
bahwa semua janji adalah kondisional.
Kedua,
argumen neotheist mengabaikan banyak kasus dalam Kitab Suci (lihat lagi di
atas) dimana ada janji-janji tak bersyarat. Ini semua merupakan contoh-contoh
penyanggah yang membantah penyimpulan bahwa semua janji-janji Allah adalah
kondisional.
Ketiga,
argumen tersebut inkonsisten dengan pandangan neotheist akan Allah. Mereka
bersikukuh bahwa 2 teks tersebut merujuk pada 2 hal berbeda. Dalam 2 Samuel,
Allah telah berbicara kepada Daud tentang tidak akan pernah merampas kerajaan
dari puteranya Salomo. Janji ini telah
digenapi,karena, sekalipun dosa-dosa Salomo (1Raja 11:1-2), kerajaan tersebut
tidak diambil darinya selama seluruh masa hidupnya. Faktanya, penggenapan
secara eksplisit telah dinyatakan ketika Allah telah berkata kepada Salomo,”
Lalu
berfirmanlah TUHAN kepada Salomo: "Oleh karena begitu kelakuanmu, yakni
engkau tidak berpegang pada perjanjian dan segala ketetapan-Ku yang telah
Kuperintahkan kepadamu, maka sesungguhnya Aku akan mengoyakkan kerajaan itu
dari padamu dan akan memberikannya kepada hambamu. Hanya,
pada waktu hidupmu ini Aku belum mau
melakukannya oleh karena Daud, ayahmu; dari tangan anakmulah Aku akan mengoyakkannya”(1Raja
11:11-12, penekanan ditambahkan). Jadi, Allah telah memenuhi janjinya kepada
Daud tentang Salomo.
Teks
lainnya (1Raja 2:1-4) tidak sedang membicarakan janji Allah kepada Daud terkait
puteranya Salomo. Sebaliknya, itu merujuk pada Allah mengambil kerajaan dari
salah satu anak-anak Salomo. Tidak ada janji tak bersyarat telah dibuat di
sini. Dari tempat tidur kematiannya, Daud telah memperingatkan Salomo: “Lakukanlah
kewajibanmu dengan setia terhadap TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan
yang ditunjukkan-Nya, dan dengan tetap mengikuti segala ketetapan, perintah,
peraturan dan ketentuan-Nya, seperti yang tertulis dalam hukum Musa, supaya
engkau beruntung dalam segala yang kaulakukan dan dalam segala yang kautuju,
dan
supaya TUHAN menepati janji yang diucapkan-Nya tentang aku, yakni: Jika
anak-anakmu laki-laki tetap hidup di hadapan-Ku dengan setia, dengan
segenap hati dan dengan segenap jiwa, maka keturunanmu takkan terputus dari
takhta kerajaan Israel” (1Raja 2:3-4, penekanan ditambahkan). Janji ini
kondisional (jika) dan terbatas hingga pada anak-anak Salomo. Janji ini tidak
ada mengatakan apapun mengenai Salomo, terkait siapakah Allah telah secara
nyata membuat sebuah janji tak bersyarat untuk tidak mengambil takhtanya selama
masa hidupnya.
Bersambung
Sumber:
normangeisler.com |Diterjemahkan oleh: Martin Simamora
Norman L. Geisler penulis lebih dari 100 buku, termasuk Creating God in the Image of Man? The New “Open” View of God —
Neotheism’s Dangerous Drift (Bethany House, 1997) dan co-author buku The Battle
for God: Responding to the Challenge of Neotheism (Kregel, 2001)
Catatan
kaki:
1
Clark Pinnock, et al., The Openness of God: A Biblical Challenge to the
Traditional Understanding of God (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1994).
2
Those who have written books in favor or sympathy of neotheism include Richard
Rice, God’s Foreknowledge and Man’s Free Will (Minneapolis: Bethany House,
1985); Ronald Nash, ed., Process Theology (Grand Rapids: Baker Books, 1987);
Greg Boyd, Trinity and Process (New York: Peter Lang, 1992) and Letters from a
Skeptic (Colorado Springs: Victor Books, 1994); J. R. Lucas, The Freedom of the
Will (Oxford: Oxford University Press, 1970) and The Future: An Essay on God,
Temporality and Truth (London: Basil Blackwell, 1989); Peter Geach, Providence
and Evil (Cambridge: University Press, 1977); and Richard Swinburne, The
Coherence of Theism (Oxford: Oxford University Press, 1977). Thomas V. Morris,
Our Idea of God: An Introduction to Philosophical Theology (Downers Grove, IL:
InterVarsity Press, 1991), is close to the view. A. N. Prior, Richard Purtill,
and others have written articles defending neotheism. Still others show
sympathy to the view, such as Stephen T. Davis, Logic and the Nature of God
(Grand Rapids: Eerdmans, 1983) and Linda Zagzebski, The Dilemma of Freedom and
Foreknowledge (Oxford: Oxford University Press, 1991).
3
Clark Pinnock, “Between Classical and Process Theism,” in Nash; William Hasker,
God, Time and Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989); David and
Randall Basinger, eds., Predestination and Free Will (Downers Grove, IL:
InterVarsity Press, 1986).
4
See Norman L. Geisler and William D. Watkins, “Panentheism – A World in God.” A
Handbook on World Views: A Catalog for World View Shoppers (Matthews, NC: Bastion
Books) 2013. Also Norman L. Geisler and Paul D. Feinberg, Introduction to
Philosophy: A Christian Perspective (Baker, 1980).
5
By the “libertarian” or “incompatibilist” view of free will they mean “an
agent” is free with respect to a given action at a given time if at that time
“it is within the agent’s power to perform the action and also in the agent’s
power to refrain from the action” (Pinnock, et al., 136–37). By the
“compatibilist” view of free will they mean “an agent is free with respect to a
given action at a given time if at that time it is true that the agent can
perform the action if she decides to perform it and she can refrain from the
action if she decides not to perform it” (137). As they observe, “the
difference between the two definitions may not be immediately apparent.” The
main distinction is that on a libertarian view, for free will to exist one must
have both “inner freedom” (no overwhelming desire to the contrary) and “outer
freedom” (no external restraints); on the compatibilist’s view only “outer
freedom to carry out the decision either way she makes it” is necessary, even
if “the decision itself may be completely determined by the psychological
forces at work in her personality” (ibid.).
6
Ibid., 156.
7
Ibid., 52.
GLOSSARY
actuality:
That which is actual as opposed to that which merely has potentiality. Pure
actuality is the attribute of God that excludes all potentiality from Him (see
aseity), including the possibility of nonexistence.
aseity:
Self-existence; the attribute of God in which He exists in and of Himself,
independent from anything else.
contingent:
Dependent on another; a contingent being is dependent on another for its
existence.
free
will:
The power of human beings to perform certain human actions that are free from
external and/or internal constraint; the ability to cause certain actions by
one’s self without coercion from another.
immanence:
God’s presence within the universe as compared with His transcendence over it.
necessary
being: A being that must exist; it cannot not exist (as
opposed to a contingent being, which can not exist).
ontology:
The philosophical study of the nature of being (from Greek ontos, being).
panentheism:
The belief that all is in God, as opposed to pantheism, which claims that all
is God.
potentiality:
That which can be; the ability to be actualized.
process
theology: A form of panentheism that holds that God is finite and constantly
changing, having two poles or dimensions (bipolar).
theism:
The belief in one infinite, personal, transcendent, and immanent God who
created the world out of nothing (ex nihilo) and who also intervenes in it
supernaturally on occasion.
transcendence:
That which is more or goes beyond; that fact of God’s being beyond the universe
and not only in it.
No comments:
Post a Comment