F O K U S

Nabi Daud Tentang Siapakah Kristus

Ia Adalah Seorang Nabi Dan Ia Telah   Melihat Ke Depan Dan Telah Berbicara Tentang Kebangkitan Mesias Oleh: Blogger Martin Simamora ...

0 NEOTHEISME (2)

normangeisler.com


Sebelumnya: Neotheisme (1)
Membahayakan Uji Nubuat Palsu
Jika semua nubuat adalah kondisional, maka tidak pernah dapat bagaimanapun ada hal untuk disebut sebagai sebuah nubuat palsu. Perjanjian Lama, akan tetapi, meletakan dasar berbagai uji terhadap nabi-nabi palsu, salah satu diantaranya adalah apakah nubuat tersebut terbukti atau tidak. “apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar kepadanya" (Ulangan 18:22). Akan tetapi, jikalau para neotheist adalah benar, maka tes ini tidak dapat menjadi sah.


Membahayakan Infabilitas Alkitab
Tidak hanya penyangkalan para neotheist bahwa Allah mengetahui hasil dari tindakan-tindakan bebas di masa mendatang melenyapkan (atau menyangkal) kemahatahuan dan kemahakuasaan Allah, tetapi itu juga menununjukan sebuah penyangkalan atas infabilitas dan ineransi Alkitab, yang mana sejumlah neotheist (seperti Pinnock) mengklaim mempercayainya. Jika semua nubuat-nubuat Alkitab adalah kondisional, maka kita tidak dapat pernah menjadi pasti bahwa nubuat-nubuat tersebut akan menjadi digenapi. Namun Alkitab menegaskan bahwa nubuat-nubuat di dalam Alkitab benar-benar akan digenapi. Menurut pemikiran pata neotheist, deklrasi formal otoratif (nubuat) bukan infalibel, dan nubuat-nubuat dalam Alkitab bisa salah. Pada premis bahwa Allah sekedar menerka, adalah beralasan untuk mengasumsikan beberapa nubuat salah. Ini menghendaki isu untuk mengasumsikan bahwa nubuat menjadi tergenapi hanya menunjukan bahwa tebakan-tebakan Allah terbukti menjadi benar. Pada akhirnya, neotheisme menjadikan Ulangan 18:22 terjungkal dan membuat Musa telah gagal menjalankan batasan-batasan yang diperbolehkan baginya untuk melakukan prediksi yang telah diinspirasikan secara ilahi, nubuat infalibel atau tak dapat salah.


Secara Logika Menuntun Pada Universalisme
Tentu saja, para neotheist melindungi keamanan taruhannya dengan menegaskan bahwa adalah benar secara moral bagi Allah untuk kadang-kadang mengintervensi terhadap kehendak bebas untuk menjamin kehendak utama-Nya untuk memberikan keselamatan bahi umat manusia. Akan tetapi, keberatan ini, membahayakan seluruh posisi neotheistik dan menuntun pada universalisme. Karena adalah benar bagi Allah untuk kadang-kadang untuk menggagalkan kehendak bebas bagi keselamatan kita, lalu mengapa Ia tidak melakukan itu di sepanjang waktu? Pada akhirnya, para neotheist percaya bahwa Allah berkehendak semua manusia diselamatkan (1Timotius 2:4; 2 Petrus 3:9). Konsekuensinya, universalisme secara logika mengemuka dari dua premis tersebut. Karena jika Allah sungguh menghendaki setiap orang diselamatkan dan Ia dapat menggagalkan atau melawan kehendak bebas mereka untuk memastikan  keselamatan mereka, maka secara pasti Ia akan melakukankannya. Karena itu, neotheisme terlihat menuntun pada universalisme.


Allah Tidak Dapat Menjamin Kemenangan Puncak Terhadap Iblis
Sebagaimana para neotheist bersikukuh bahwa Allah tidak mengetahui masa depan secara pasti dan bahwa Ia tidak dapat mengintervensi terhadap kebebasan kecuali hanya pada perstiwa-peristiwa yang jarang, maka ini menunjukan hal berikutnya bahwa tidak ada jaminan akan kemenangan puncak atas iblis. Bagaimana bisa Ia  menjadi pasti bahwa siapapun bisa diselamatkan tanpa pembatasan atau restiriksi kebebasan? Limitasi apapun pada kebebasan mengontradiksikan pandangan kebebasan libertarian neotheist pada kehendak bebas (lihat  catatan kaki  no.4).

Pandangan semacam ini bertentangan dengan Alkitab, yang memprediksikan bahwa Setan pasti akan ditaklukan, iblis akan dimusnahkan, dan banyak yang akan diselamatkan (Wahyu 20-22). Namun demikian, menurut  neotheist, karena ini merupakan pertanyaan moral yang melibatkan kehendak bebas atau free will (libertarian), maka selanjutnya Allah tidak dapat mengetahui jika prediksi tersebut tidak dapat melakukan hal salah atau infalibel. Jika neotheisme benar, maka tidak Tuhan dan juga Alkitab dapat sepenuhnya menjadi infalibel dan ineran. Tetapi, sebagaimana telah kita catat, beberapa neotheist mengklaim bahwa memang demikianlah adanya. Ini  adalah inkonsisten.


Bertentangan dengan  Janji-Janji Tak Bersyarat Allah
Jelas bahwa semua janji-janji Allah dalam Alkitab adalah bagi setiap orang. Beberapa memang dimaksudkan bagi beberapa orang (Kejadian 4:15). Lainnya memang dimaksudkan hanya bagi sekelompok manusia (Kejadian 13:14-17). Lainnya lagi memang hanya untuk sebuah jangka waktu terbatas (Efesus 6:3). Banyak janji dikondisikan pada perilaku manusia. Janji-janji itu  memiliki sebuah pernyataan atau menyiaratkan jika dalam janji-janji tersebut. Kovenan Mosaik adalah salah tipe ini. Allah berkata kepada Israel,” Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri” (Kel 19:5, penekanan ditambahkan).


Janji-janji lainnya adalah  tak bersyarat atau unconditional. Seperti tanah yang dijanjikan pada Abraham dan keturunannya. Ini jelas dari fakta-fakta bahwa (1) tidak ada syarat yang ditautkan pada janji;(2) Persetujuan Abrahaman tidak diminta dan ditautkan; (3)Janji telah dimulakan oleh Allah sementara Abraham dalam keadaan tidur lelap (Kejadian 15:12 “Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap gulita yang mengerikan.”); (4)Kovenan tersebut diadakan secara sepihak oleh Allah, yang melintasi melalui hewan kurban (Kejadian 15:17-19); dan (5) Allah menegaskan kembali janji ini bahkan ketika Israel tidak setia (2 Tawarikh 21:7). Janji-janji tak bersyarat semacam ini yang melibatkan pilihan-pilihan bebas tidak akan mungkin kecuali Allah telah mengetahui semua pilihan-pilihan bebas yang dilakukan manusia pada masa mendatang.

Neotheist  mengajukan 1 Raja-Raja 2:1-4 sebagai sebuah contoh pada bagaimana sebuah janji yang tak bersyarat sesungguhnya bersyarat. Allah telah menjanjikan Daud terkait puteranya Salomo “Tetapi kasih setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu. Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya" (2Sam 7:15-16). Akan tetapi, selanjutnya, Allah  terlihat telah menarik kembali janjinya, menjadikan janji itu kondisional pada apakah Salomo dan keturunan-keturunannya akan “berjalan secara setia di hadapan-Nya” (1Raja 2:1-4). Pada basis nas-nas ini, para neotheist berargumentasi bahwa semua janji yang terlihat tak bersyarat pada dasarnya kondisional.


Argumen ini gagal karena untuk banyak hal. Pertama, argumen ini adalah sebuah kesalahan logika non-sequitur  karena penyimpulan yang dilakukan para neotheis begitu jauh lebih luas daripada premis-premisnya. Bahkan jika ini merupakan sebuah contoh dari sebuah kondisi yang dimaksudkan, itu tidak akan membuktikan bahwa semua janji adalah kondisional.

Kedua, argumen neotheist mengabaikan banyak kasus dalam Kitab Suci (lihat lagi di atas) dimana ada janji-janji tak bersyarat. Ini semua merupakan contoh-contoh penyanggah yang membantah penyimpulan bahwa semua janji-janji Allah adalah kondisional.

Ketiga, argumen tersebut inkonsisten dengan pandangan neotheist akan Allah. Mereka bersikukuh bahwa 2 teks tersebut merujuk pada 2 hal berbeda. Dalam 2 Samuel, Allah telah berbicara kepada Daud tentang tidak akan pernah merampas kerajaan dari  puteranya Salomo. Janji ini telah digenapi,karena, sekalipun dosa-dosa Salomo (1Raja 11:1-2), kerajaan tersebut tidak diambil darinya selama seluruh masa hidupnya. Faktanya, penggenapan secara eksplisit telah dinyatakan ketika Allah telah berkata kepada Salomo,” Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Salomo: "Oleh karena begitu kelakuanmu, yakni engkau tidak berpegang pada perjanjian dan segala ketetapan-Ku yang telah Kuperintahkan kepadamu, maka sesungguhnya Aku akan mengoyakkan kerajaan itu dari padamu dan akan memberikannya kepada hambamu. Hanya, pada waktu hidupmu ini Aku belum mau melakukannya oleh karena Daud, ayahmu; dari tangan anakmulah Aku akan mengoyakkannya”(1Raja 11:11-12, penekanan ditambahkan). Jadi, Allah telah memenuhi janjinya kepada Daud tentang Salomo.

Teks lainnya (1Raja 2:1-4) tidak sedang membicarakan janji Allah kepada Daud terkait puteranya Salomo. Sebaliknya, itu merujuk pada Allah mengambil kerajaan dari salah satu anak-anak Salomo. Tidak ada janji tak bersyarat telah dibuat di sini. Dari tempat tidur kematiannya, Daud telah memperingatkan Salomo: “Lakukanlah kewajibanmu dengan setia terhadap TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya, dan dengan tetap mengikuti segala ketetapan, perintah, peraturan dan ketentuan-Nya, seperti yang tertulis dalam hukum Musa, supaya engkau beruntung dalam segala yang kaulakukan dan dalam segala yang kautuju, dan supaya TUHAN menepati janji yang diucapkan-Nya tentang aku, yakni: Jika anak-anakmu laki-laki tetap hidup di hadapan-Ku dengan setia, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa, maka keturunanmu takkan terputus dari takhta kerajaan Israel” (1Raja 2:3-4, penekanan ditambahkan). Janji ini kondisional (jika) dan terbatas hingga pada anak-anak Salomo. Janji ini tidak ada mengatakan apapun mengenai Salomo, terkait siapakah Allah telah secara nyata membuat sebuah janji tak bersyarat untuk tidak mengambil takhtanya selama masa hidupnya.

Bersambung

Sumber: normangeisler.com |Diterjemahkan oleh: Martin Simamora

Norman L. Geisler  penulis lebih dari 100 buku, termasuk Creating God in the Image of Man? The New “Open” View of God — Neotheism’s Dangerous Drift (Bethany House, 1997) dan co-author  buku The Battle for God: Responding to the Challenge of Neotheism (Kregel, 2001)







Catatan kaki:


1 Clark Pinnock, et al., The Openness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1994).

2 Those who have written books in favor or sympathy of neotheism include Richard Rice, God’s Foreknowledge and Man’s Free Will (Minneapolis: Bethany House, 1985); Ronald Nash, ed., Process Theology (Grand Rapids: Baker Books, 1987); Greg Boyd, Trinity and Process (New York: Peter Lang, 1992) and Letters from a Skeptic (Colorado Springs: Victor Books, 1994); J. R. Lucas, The Freedom of the Will (Oxford: Oxford University Press, 1970) and The Future: An Essay on God, Temporality and Truth (London: Basil Blackwell, 1989); Peter Geach, Providence and Evil (Cambridge: University Press, 1977); and Richard Swinburne, The Coherence of Theism (Oxford: Oxford University Press, 1977). Thomas V. Morris, Our Idea of God: An Introduction to Philosophical Theology (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1991), is close to the view. A. N. Prior, Richard Purtill, and others have written articles defending neotheism. Still others show sympathy to the view, such as Stephen T. Davis, Logic and the Nature of God (Grand Rapids: Eerdmans, 1983) and Linda Zagzebski, The Dilemma of Freedom and Foreknowledge (Oxford: Oxford University Press, 1991).

3 Clark Pinnock, “Between Classical and Process Theism,” in Nash; William Hasker, God, Time and Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989); David and Randall Basinger, eds., Predestination and Free Will (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1986).

4 See Norman L. Geisler and William D. Watkins, “Panentheism – A World in God.” A Handbook on World Views: A Catalog for World View Shoppers (Matthews, NC: Bastion Books) 2013. Also Norman L. Geisler and Paul D. Feinberg, Introduction to Philosophy: A Christian Perspective (Baker, 1980).

5 By the “libertarian” or “incompatibilist” view of free will they mean “an agent” is free with respect to a given action at a given time if at that time “it is within the agent’s power to perform the action and also in the agent’s power to refrain from the action” (Pinnock, et al., 136–37). By the “compatibilist” view of free will they mean “an agent is free with respect to a given action at a given time if at that time it is true that the agent can perform the action if she decides to perform it and she can refrain from the action if she decides not to perform it” (137). As they observe, “the difference between the two definitions may not be immediately apparent.” The main distinction is that on a libertarian view, for free will to exist one must have both “inner freedom” (no overwhelming desire to the contrary) and “outer freedom” (no external restraints); on the compatibilist’s view only “outer freedom to carry out the decision either way she makes it” is necessary, even if “the decision itself may be completely determined by the psychological forces at work in her personality” (ibid.).

6 Ibid., 156.

7 Ibid., 52.

GLOSSARY
actuality: That which is actual as opposed to that which merely has potentiality. Pure actuality is the attribute of God that excludes all potentiality from Him (see aseity), including the possibility of nonexistence.
aseity: Self-existence; the attribute of God in which He exists in and of Himself, independent from anything else.
contingent: Dependent on another; a contingent being is dependent on another for its existence.
free will: The power of human beings to perform certain human actions that are free from external and/or internal constraint; the ability to cause certain actions by one’s self without coercion from another.
immanence: God’s presence within the universe as compared with His transcendence over it.
necessary being: A being that must exist; it cannot not exist (as opposed to a contingent being, which can not exist).
ontology: The philosophical study of the nature of being (from Greek ontos, being).
panentheism: The belief that all is in God, as opposed to pantheism, which claims that all is God.
potentiality: That which can be; the ability to be actualized.
process theology: A form of panentheism that holds that God is finite and constantly changing, having two poles or dimensions (bipolar).
theism: The belief in one infinite, personal, transcendent, and immanent God who created the world out of nothing (ex nihilo) and who also intervenes in it supernaturally on occasion.
transcendence: That which is more or goes beyond; that fact of God’s being beyond the universe and not only in it.


No comments:

Post a Comment

Anchor of Life Fellowship , Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri - Efesus 2:8-9