www.normangeisler.com
Risalah
Ada seorang “anak” baru pada blok world view yang disebut “neotheisme.” Sementara world view tersebut mengklaim ada di
dalam camp theisme, para pendukung pandangan ini melakukan sejumlah
perubahan signifikan dalam natur ketuhanan (theistic)Tuhan
dalam arahan teologi proses atau panentheisme. Mereka mengklaim, diantaranya,
bahwa Allah dapat mengubah pikiran-Nya
dan bahwa Ia tidak dapat memiliki sebuah pengetahuan yang tak dapat salah akan
masa depan. Karena terdapat sejumlah pemikir injili terkenal mengadopsi
neotheisme, world view tersebut melawan secara tajam pemahaman ortodoks
mengenai Allah. Sebagai contoh, jika Allah tidak mengetahui secara pasti apa
yang akan terjadi pada masa mendatang, maka prediksi-prediksi pada Alkitab
dapat menjadi salah. Sementara pandangan tersebut bukanlah bidat, namun
demikian, itu merupakan sebuah penyimpangan doktrinal dari teisme tradisional
dan merupakan penentangan yang sangat
tajam baik bagi pandangan tradisional Predestinasi Arminian dan Calvinist.
Natur Allah merupakan isu fundamental dalam semua
teologi. Itulah segala sesuatu dalam teologia. Padanya berdiri atau runtuhnya semua
doktrin utama lainnya. Sejak permulaannya, Kekristenan ortodoks telah memegang
teguh teistik tanpa kompromi. Belakangan ini, sebuah pandangan baru telah
secara serius menantang sejarah yang telah tertata secara luar biasa dan teruji
dalam perjalanan zaman. Faktanya, pandangan ini mengklaim sebagai ortodoks
tetapi begitu berhasrat untuk melakukan perubahan-perubahan besar dalam
pandangan teistik klasik. Sejumlah pendukung pandangan ini, termasuk Clark
Pinnock, Richard Rice, John Sanders, William Hasker, dan David Basinger, telah
berkolaborasi pada sebuah volume berjudul The Openness of God [1]. Para pemikir
Kristen lainnya yang memiliki pandangan-pandangan serupa telah mengungkapkan
simpati terhadap posisi ini, termasuk Greg Boyd, Stephen Davis, Thomas Morris,
dan Richard Swinburne [2].
Para penganut neotheis memiliki beragam sebutan untuk
pandangan mereka: “the openness of God” atau “free will theism.” Lainnya lagi
telah menyebut ini sebagai bentuk baru theisme sebuah bentuk teologi proses atau
panentheisme karena
keserupaan-keserupaan pentingnya
terhadap posisi ini.[3] Namun demikian, kelihatannya lebih tepat untuk
menyebutnya neotheisme karena beberapa alasan. Pertama, pandangannya memiliki
perbedaan-perbedaan signifikan dari panetheism Alfred North Whitehead, Charles
Hartshorn, dan teman-teman[4]. Neotheisme, seperti halnya theisme klasik, menerima
banyak atribut esensial Allah, termasuk ketakterbatasan, keharusan independensi
ontologikal, transedensi, ominiscience, dan omnipresence. Demikian juga,
meyakini sebagaimana theisme tradisional, percaya akan penciptaan ex
nihilo dan campur tangan langsung
supernatural ilahi dalam dunia. Karena teologi proses menolak semua ini, nampak
tidak adil untuk mendaftarkan neotheisme
sebagai sebuah sub-spesies dari pandangan tersebut.
Pada sisi lain, karena perbedaan-perbedaan signifikan
tersebut ada antara theisme baru dan theisme
klasik, maka tidak juga neotheisme benar-benar selaras dengan kategori yang
terkakhir. Sebagai contoh, neotheisme menyangkali pengetahuan sebelum atau
foreknowledge akan tindakan-tindakan bebas masa mendatang yang dimiiki Allah,
sebagai konsekuensi, Allah benar-benar berdaulat atau peristiwa-peristiwa
manusia. Penyimpangan-penyimpangan ini berasal dari 2 milenia teologi Kristen
yang cukup serius untuk memiliki nama lainnya, juga memunculkan perhatian
serius. Maka terlihat tepat kemudian, untuk menyebutnya neotheisme.
Salah satu pendukung, Clark Pinnock, secara tepat
telah memposisikan neotheisme dengan menjudulkan babnya dalam Process Theology “Between
Classical and Process Theism.” Apapun juga itu disebutkan, pandangan ini
merupakan sebuah tantangan serius bagi theisme klasik dan sebuah ancaman serius
bagi banyak doktrin dan praktik penting yang telah dibangun pada pandangan
tersebut. Karena mereka berhasrat untuk menjadi anggota kelompok theistik ortodoks,
mereka secara mengerti telah membuang hal-hal tersebut dalam ajaran mereka. Mari
kita memeriksa karakteristik-karakteristik nyata pada proposal mereka.
Karakteristik-Karakteristik
Dan Inkonsistensi-Inkonsistensi Neotheisme
Sebagai anak baru pada blok neotheisme, neotheisme
berhasrat untuk membuat dirinya jelas, dapat dikenali, dan menarik. Para
pendukung membuat daftar lima karakteristik-karakteristik posisi mereka:
- Allah tidak hanya menciptakan dunia secara ex nihilo tetapi dapat (dan sepanjang waktu) mengintervensi secara spesifik dalam urusan-urusan dunia.
- Allah memilih untuk menciptakan kita dengan kebebasan inkompabilitas (libertarian)[5]—kebebasan atas hal yang ia manusia itu sendiri tak dapat mengupayakan kendali penuh.
- Allah begitu menghargai kebebasan-integritas moral makhluk-makhluk bebas dan sebuah dunia yang mana integritas semacam itu mungkin atau possible-bahwa ia secara normal tidak membungkam kebebasan semacam itu, bahkan jika integritas moral itu melihat bahwa moralnya menghasilkan hasil-hasil yang tak dikehendaki.
- Allah selalu berhasrat kebaikan tertinggi bagi kita, baik secara individu dan korporat, dan karenanya mempengaruhi apa yang terjadi dalam kehidupan kita.
- Allah tidak memiliki pengetahuan yang menyeluruh atau komprehensif akan bagaimana kita menggunakan kebebasan kita secara pasti, walau ia bisa sangat baik pada waktu-waktu untuk diprediksikan dengan akurasi yang besar akan pilihan-pilihan yang akan kita buat secara bebas [6]
Neotheisme adalah sebuah bentuk theisme, dan tidak
semestinya diperingkatkan sebagai sebuah bidat. Akan tetapi, itu jelas sebuah
penyimpangan doktrinal yang signifikan dari theisme tradisional yang menjadi
dasar ortdoksi historis. Dikarenakan hal semacam ini, ini memerlukan analisa
yang hati-hati. Mengacu pada apa yang neotheisme yakini akan Allah, neotheisme
inkonsisten. Lebih jauh lagi, itu adalah sebuah penyimpangan: pandangan klasik theistik
akan Allah dapat secara logika ditarik dari premis-premis neotheisme, dan
sentral hasrat neotheist bagi sebuah Allah yang interaktif adalah mungkin tanpa
melepaskan pandangan klasik theistik terhadap Allah. Ini hanyalah beberapa
problem dengan neotheisme yang sudah terlihat. (selagi kita memeriksa
inkonsistensi-inkonsitensi logikal neotheisme, adalah perlu untuk mengulas
beberapa dasar filosofis yang dapat membuktikan perkembangan lamban bagi para
pembaca awam. Sebuah glosari telah disediakan untuk membantu para pembaca
menelusuri bagian ini)
Creation Ex Nihilo Merujuk
pada Theisme, Bukan Neotheisme
Neotheisme sejalan dengan Theisme bahwa Allah telah menciptakan dunia
ini dari tidak ada (ex nihilo). Allah independen secara ontologi dalam
penciptaan-Nya. Sehingga, jika tidak ada dunia, tetap masih ada Allah. Namun
pada saat yang sama, mereka mengklaim menolak atribut-atribut tradisional Allah yaitu aseity (Ia ada dari
dirinya sendiri dan berasal dari dirinya sendiri) dan kekekalan (non temporalitas).
Secara logika, mereka tidak dapat memiliki keduanya bersamaan.
Kekekalan Allah terjadi setelah Penciptaan Ex Nihilo. Jika Allah telah menciptakan seluruh alam semesta
spatiotemporal, maka waktu adalah bagian dari
sari pati kosmos. Singkatnya, Allah telah menciptakan waktu. Lebih
lanjut, jika waktu adalah sesuatu yang merupakan esensi penciptaan, maka waktu
tidak dapat menjadi sebuah atribut bagi sang tak diciptakan-yaitu, Allah.
Jika pada rekonsiderasi neotheist memilih untuk
memegang bahwa waktu telah ada sebelum penciptaan, maka problem-problem logika
mengemuka. Apakah waktu “didalam” Allah-yaitu, bagian dari natur-Nya-atau
diluar-Nya? Jika didalam, maka bagaimana dapat Allah menjadi tanpa sebuah
permulaan, karena sebuah angka tak terhingga pada momen-momen temporal terlihat
menjadi inkoheren (sebagaimana para pendukung argumen Kalam untuk eksistensi Allah telah memastikannya).
Jika, pada sisi lainnya, waktu itu berada “diluar”
Allah, maka semacam dualisme mengemuka. Terlebih lagi, jika waktu berada di
luar Allah, maka kita harus bertanya, apakah waktu memiliki permulaan atau
tidak. Jika waktu tidak memiliki permulaan, maka dapat diargumentasikan bahwa ada sesuatu diluar Allah yang tidak Ia
ciptakan, karena waktu sama kekalnya sebagaiman Ia ada. Ini bukan lagi pemahaman baik klasikal atau nontheistik.
Namun jikapun waktu diluar Allah dan memiliki sebuah permulaan, maka Allah
harus menciptakannya (karena segala sesuatu dengan permulaan memiliki sebuah
penyebab). Dalam peristiwa ini kita kembali ke posisi theistik bahwa Allah
telah menciptakan waktu, dan bahwa Allah adalah Sang Kreator waktu tidak
temporal.
Transendensi Allah
menunjukan Nontemporalitas-Nya. Menurut neotheisme, Allah dibelakang penciptaan. Ia
lebih dari dan selain dari segenap dunia spatiotemporal. Kembali, walau begitu,
jika Allah dibelakang waktu, maka ia tidak dapat menjadi temporal. Neotheis
mungkin menjawab bahwa Allah juga immanen dalam dunia temporal, dan apapun
adalah immanen dalam temporal adalah temporal. Namun sebuah pengertian yang
tepat akan immanensi Allah tidak akan membuat Dia bagian dari sebuah dunia (sebagaimana
dalam panentheisme) tetapi hanya hadir dalam dunia (sebagaimana dalam theisme).
Allah dalam dunia sebagaimana dengan hakikat-Nya, dan hakikat-Nya adalah
nontemporal. Ia ada dalam dunia dalam sebuah cara nontemporal.
Sebagai contoh, Allah adalah necessary
being (atau makhluk yang mutlak ada agar ada eksistensi-eksistensi apapun
juga). Pada sedemikian, Ia adalah immanen dalam dunia yang contingent atau kemungkinan serba tak pasti, tetapi ini
tidak menjadikan Allah contingent. Sebaliknya, Allah yang necessary being (mutlak ada
bagi kepastian segala esksitensi) tersebut adalah immanen dalam hakikat contingent-nya
dalam keselarasan dengan hakikat-Nya yang adalah sumber dari segala keberadaan eksistensi. Sebagai Pencipta Ia
adalah immanen dalam penciptaan-Nya. Ini tidak bermakna bahwa Ia bagian dari
ciptaan hanya karena hadir di dalamnya. Karena itu, immanensi pada sebuah Allah
nontemporal dalam sebuah dunia temporal tidak meminta bahwa Allah adalah
temporal.
Uncasuality dan Necessity Allah Menunjukan Aktualitas
Murninya. Para theist
baru juga percaya bahwa Allah tidak disebabkan oleh makhluk apapun juga, dan
adalah dirinyalah sendiri sang penyebab segala makhluk lainnya. Tetapi jika
Allah tidak disebabkan atau uncaused dalam hakikat-Nya, maka Ia pastilah
aktualitas murni. Karena apapun yang tidak disebabkan tidak pernah berubah menjadi; dan apapun yang tidak pernah berubah
menjadi tidak memiliki potensialitas dalam hakikatnya. Tetapi jika tidak
memiliki potensialitas, maka pastilah Aktualitas Murni atau Pure Actuality.
Untuk mengatakannya dalam cara lain, jika Allah tidak
disebabkan, maka Ia tidak memiliki potensial. Karena menjadi disebabkan berarti
memiliki satu potensial diaktualisasikan. Tetapi apa yang tidak memiliki
potensial diaktualisasikan tidak memiliki potensi diaktualisasikan. Kemudian,
Allah pastilah sejak awalnya adalah Aktualitas murni. Jadi para neotheist
percaya bahwa Allah adalah sebuah makhluk yang tidak disebabkan yang secara logikal
memiliki atribut yang mereka katakan mereka tolak, yaitu bahwa Allah adalah
sebuah Hakikat Aktualitas Murni dengan tanpa pontensialitas dalam hakikat-Nya.
Pandangan theistik klasik pada Allah, juga bersejalan dengan keyakinan
neotheist bahwa Allah adalah Necessary Being; karena jika Allah adalah
Necessary Being maka Ia tidak dapat menjadi—yakni, Allah tidak memiliki
potensial dalam hakikat-nya untuk tidak menjadi. Sekali lagi, jika Allah tidak
memiliki potensialitas dalam
hakikat-Nya, maka Ia adalah Aktualitas Murni. Karena itu, pandangan theistik klasik tentang Allah mengikuti apa yang diakui
neotheist mengenai Allah. Namun demikian, neotheisme menolak atribut Aktualitas
Murni. Sehingga neotheisme adalah inkonsisten dan inkoheren.
Konsekuensi-Konsekuensi
Teologikal Neotheisme
Menambahkan inkoherensi filosofis neotheisme, ada
beberaoa konsekuensi serius teologikal. Beberapa akan dipaparkan ringkas di
sini.
Nubuat Prediktif akan menjadi Salah
Jika semua nubuat
melibatkan pilihan-pilihan bebas adalah kondisional, maka Alakitab tidak dapat
diprediksi dimana Yesus akan dilahirkan. Mikha, akan tetapi, telah memprediksi
bahwa Yesus akan dilahirkan di Bethlehem (Mikha 5:2), sebagaimana Ia telah
lahir di sana. Benar sekali, Alkitab telah juga memprediksi kapan Ia akan wafat
(Dan 9:25:27), bagaimana Ia mati (Yesaya 53), dan bagaimana Ia akan bangkit
dari antara orang mati (Maz 16:10 bdk KPR 2:30-31). Terlepas dari apakah
prediksi-prediksi ini tidak dapat salah atau apakah semata tebakan-tebakan di
sisi Allah. Jika nubuatan-nubutan itu tidak dapat salah, maka neotheist salah,
karena berdasarkan view atau pandangan mereka, Allah tidak dapat membuat
prediksi-prediksi yang tidak dapat salah. Pada sisi lain, jika nubuat-nubuat itu bukan tidak dapat salah, maka Allah hanya
menebak saja.
Sama benarnya juga pada hampir
semuanya, jika tidak semua, nubuat-nubuat mengenai Mesias.
Penggenapan-penggenapan profetik semacam ini melibatkan free choices atau pilihan-pilihan
bebas dimanapun di sepanjang garis nubuat, yang mana—menurut neotheisme-Allah
tidak mengetahui (pilihan-pilihan bebas itu). Sebagai contoh, jika Allah tidak
tahu perbuatan-perbuatan bebas masa mendatang dengan kepastian, maka Ia
tidak mengetahui bahwa binatang dan nabi
palsu akan berada di danau api. Alkitab, akan tetapi, berkata bahwa mereka akan
ada di sana (Wahyu 19:20;20:10). Karenanya, apakah nubuat ini secara potensial palsu,
ataukah neotheisme yang tidak benar. Dengan kata lain, jika neotheisme benar,
maka prediksi nubuat menjadi palsu.
Sebelum meninggalkan
nubuat, poin lainnya yang harus dijelaskan. Neotheist mengklaim “problem dengan
pandangan tradisional pada poin ini adalah bahwa tidak ada jika
dari perspektif Allah. Jika Allah mengetahui masa deoan secara menyeluruh atau
komprehensif, maka nubuat kondisional kehilangan integritasnya [7]. Argumen ini
merancukan dua perspektif. Tentu saja,
dari perspektif Allah (karena Ia mengetahui
masa depan secara tidak dapat salah) segala sesuatu adalah pasti.
Sebagaimana telah dicatat di atas, ini tidak berarti bahwa dari sudut pandang
manusia aksi-aksi ini tidak dipilih secara bebas. Ini semata Allah telah
mengetahui secara pasti bagaimana manusia dapat secara bebas menjalankan
pilihan mereka.
Sumber: normangeisler.com
|Diterjemahkan oleh: Martin Simamora
Catatan kaki:
Catatan kaki:
1 Clark Pinnock, et al.,
The Openness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of
God (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1994).
2 Those who have written
books in favor or sympathy of neotheism include Richard Rice, God’s
Foreknowledge and Man’s Free Will (Minneapolis: Bethany House, 1985); Ronald
Nash, ed., Process Theology (Grand Rapids: Baker Books, 1987); Greg Boyd,
Trinity and Process (New York: Peter Lang, 1992) and Letters from a Skeptic
(Colorado Springs: Victor Books, 1994); J. R. Lucas, The Freedom of the Will
(Oxford: Oxford University Press, 1970) and The Future: An Essay on God,
Temporality and Truth (London: Basil Blackwell, 1989); Peter Geach, Providence
and Evil (Cambridge: University Press, 1977); and Richard Swinburne, The
Coherence of Theism (Oxford: Oxford University Press, 1977). Thomas V. Morris,
Our Idea of God: An Introduction to Philosophical Theology (Downers Grove, IL:
InterVarsity Press, 1991), is close to the view. A. N. Prior, Richard Purtill,
and others have written articles defending neotheism. Still others show
sympathy to the view, such as Stephen T. Davis, Logic and the Nature of God
(Grand Rapids: Eerdmans, 1983) and Linda Zagzebski, The Dilemma of Freedom and
Foreknowledge (Oxford: Oxford University Press, 1991).
3 Clark Pinnock, “Between
Classical and Process Theism,” in Nash; William Hasker, God, Time and Knowledge
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989); David and Randall Basinger, eds.,
Predestination and Free Will (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1986).
4 See Norman L. Geisler
and William D. Watkins, “Panentheism – A World in God.” A Handbook on World
Views: A Catalog for World View Shoppers (Matthews, NC: Bastion Books) 2013.
Also Norman L. Geisler and Paul D. Feinberg, Introduction to Philosophy: A
Christian Perspective (Baker, 1980).
5 By the “libertarian” or
“incompatibilist” view of free will they mean “an agent” is free with respect
to a given action at a given time if at that time “it is within the agent’s
power to perform the action and also in the agent’s power to refrain from the
action” (Pinnock, et al., 136–37). By the “compatibilist” view of free will
they mean “an agent is free with respect to a given action at a given time if
at that time it is true that the agent can perform the action if she decides to
perform it and she can refrain from the action if she decides not to perform
it” (137). As they observe, “the difference between the two definitions may not
be immediately apparent.” The main distinction is that on a libertarian view, for
free will to exist one must have both “inner freedom” (no overwhelming desire
to the contrary) and “outer freedom” (no external restraints); on the
compatibilist’s view only “outer freedom to carry out the decision either way
she makes it” is necessary, even if “the decision itself may be completely
determined by the psychological forces at work in her personality” (ibid.).
6 Ibid., 156.
7 Ibid., 52.
GLOSSARY
actuality: That which is actual as opposed to that which merely
has potentiality. Pure actuality is the attribute of God that excludes all
potentiality from Him (see aseity), including the possibility of nonexistence.
aseity: Self-existence; the attribute of God in which He
exists in and of Himself, independent from anything else.
contingent: Dependent on another; a contingent being is dependent
on another for its existence.
free will: The power of human beings to perform certain human
actions that are free from external and/or internal constraint; the ability to
cause certain actions by one’s self without coercion from another.
immanence: God’s presence within the universe as compared with
His transcendence over it.
necessary being: A being that must exist; it cannot not exist (as
opposed to a contingent being, which can not exist).
ontology: The philosophical study of the nature of being (from
Greek ontos, being).
panentheism: The belief that all is in God, as opposed to
pantheism, which claims that all is God.
potentiality: That which can be; the ability to be actualized.
process theology: A form of panentheism that holds that God is finite
and constantly changing, having two poles or dimensions (bipolar).
theism: The belief in one infinite, personal, transcendent,
and immanent God who created the world out of nothing (ex nihilo) and who also
intervenes in it supernaturally on occasion.
transcendence: That which is more or goes beyond; that fact of God’s
being beyond the universe and not only in it.
No comments:
Post a Comment