Astrid Sihombing
Matius
5:48 : “Karena itu haruslah kamu
sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Pengertian apa itu
“Sempurna seperti Bapa” adalah suatu pemahaman yang harus berangkat dari teks
dan konteks yang dimaksudkan oleh Penulis Injil ini, yaitu Matius. Mengapa
demikian? Karena memang hanya Matius sajalah yang mencatat perkataan Tuhan
Yesus bahwa “kita harus sempurna seperi Bapa”, sehingga jikalau ayat ini kita
lepaskan keluar konteksnya lalu dimaknai sedemikian rupa sehingga “melepaskan”
maksud sebenarnya yang dimaksud oleh Matius, maka jelaslah kita akan tersesat
dalam pemahamannya. Dalam Perjanjian Baru tidak ada satu pun ayat yang
menyinggung mengenai “sempurna seperti Bapa”, kecuali satu satunya dalam Matius
5:48 ini. Oleh sebab itu kita harus memahaminya dengan tepat dan sesuai dengan
maksud penulisnya, dan tidak boleh menggunakan ayat itu untuk memasukan konsep
pengertian kita sendiri.
Tentunya untuk dapat
memahami arti “sempurna seperti Bapa” kita harus membaca dan memahami seluruh
Pasal 5 ini agar dapat memaknai dengan tepat yang dimaksud oleh penulis Injil
Matius.
UCAPAN
BAHAGIA DIBUKIT
Pasal 5 ayat 1 -12 :
Tuhan Yesus dalam ucapan bahagianya ini sedang mengajarkan mengenai standart
hidup yang tidak semua orang bisa melakukannya. Standart hidup dalam ayat ini
adalah suatu standart nilai hidup yang hanya bisa diperagakan oleh mereka yang
sudah menjadi anak anak Allah.
Ini bukan standart
umum moral manusia, tetapi suatu standart nilai hidup dalam Kerajaan Allah.
Ucapan bahagia ini bukanlah mengenai syariat agama tetapi suatu kehidupan yang
hanya dapat dimiliki dan diperagakan oleh mereka yang SUDAH MEMILIKI RELASI
dengan Allah sedemikian rupa sehingga memiliki gairah hidup berbeda dengan
“yang lainnya”. JIkalau belum dan tidak memiliki Relasi denan Allah maka
standart nilai ini hanya menjadi sekedar gagasan agamawi saja. Suatu gagasan
yang seharusnya (idealistik) tetapi tetapi tidak bisa dilakukan, sekedar
theologia dan bukan praktis hidup. Untuk dapat menghidupi standart nilai dalam
Ucapan Bahagia yang Kristus ajarkan ini kita terlebih dahulu harus memiliki
relasi dengan Allah sebagai anak anakNya sehingga kita memiliki gairah dan
kodratNya.
Ucapan Bahagia yang
disampaikan oleh Tuhan Yesus bahwa mereka yang berbahagia adalah mereka yang -
miskin dihadapan Allah, berdukacita (meratap), lemah lembut, suci hatinya,
membawa damai, dan rela teraniaya – adalah suatu kehidupan yang hanya bisa
diperagakan dan dihidupi oleh mereka yang telah mengalami dan berelasi dengan
Allah. Manusia berdosa kita (sinful nature) tidak dapat menghidupi kehidupan
dalam Ucapan Bahagia tersebut.
GARAM
DAN TERANG DUNIA
Pasal 5:13-16 : Tuhan
Yesus kembali menegaskan mengenai Garam dan Terang Dunia dimana perbuatan baik
yang kita lakukan itu merupakan HASIL RELASI DIRI KITA DENGAN BAPA. (ayat 16
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya didepan orang, supaya mereka melihat
perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang disorga.”). Perbuatan baik
kita haruslah sedemikian rupa merupakan hasil dari relasi kita dengan Bapa,
sehigga ketika kita berbuat baik itu bukan karena sekedar pencapaian moralitas
tetapi akibat kita berkeadaan sebagai anak anak Bapa.
Inilah perbedaan
perbuatan baik yang dilakukan dalam agama agama lain, mereka berbuat baik
sebagai proses dan pencapaian moralitas, perbuatan baik yang dilakukan dalam
agama karena didorong untuk mencapai keadaan tertentu sampai pada titik
diperhitungkan atau dipantaskan masuk Surga, atau perberbuatan baik yang
dilakukan dalam agama sedemikian rupa sampai pada titik berhasil tidak
dimasukan kedalam neraka. Perbuatan baik mereka adalah menjadi sebab, menjadi
dasar dan menjadi tujuan untuk mencapai keadaan tertentu.
Perbuatan baik
didalam Kristus bagi orang orang percaya adalah perbuatan baik yang lahir
karena mereka telah berkeadaan menjadi anak anak Allah, sehingga apa yang
mereka lakukan bukan lagi pencapaian tetapi akibat karena mereka anak Allah.
Pada ayat 13 dan ayat
14 Tuhan Yesus menggunakan analogi garam dan terang. Mengapa? karena memang
garam itu seharusnya mengasinkan dan terang itu menerangi dan bukan sebaliknya
kita dituntut untuk menjadi asin barulah menjadi garam dan harus menerangi
barulah menjadi terang.
Karena memang menjadi
asin itu adalah hakekat garam, dan menerangi itu adalah hakekat terang. Menjadi
asin dan menerangi bukanlah suatu pencapaian tetapi karena memang mereka garam
dan terang.
Seekor burung bisa
terbang itu bukanlah suatu pencapaian, walaupun untuk bisa terbang burung
tersebut haruslah berproses; mulai dari belajar terbang, kemudian bisa terbang
sampai dengan terbang secara sempurna. Anak burung bisa terbang sampai menjadi
sangat lihai terbangnya bukanlah suatu pencapaian tetapi memang hakekat burung
haruslah bisa terbang.(Kutipan analogi dari Witnees Lee). Seekor anak ayam
sekalipun dilatih oleh pelatih hebat sampai kapanpun tidak akanbisa terbang,
karena memang dia anak ayam danbukan burung. Demikian juga perbuatan baik kita,
bukanlah supaya kita menjadi anak Bapa,tetapi justru karena kita adalah anak
anak Allah Bapa maka hakekat kita adalah melakukan perbuatan baik.
Sekali lagi untuk
bisa mengasinkan, maka kita harus menjadi garam, dan untuk bisa menerangi maka
kita harus menjadi terang. Ini adalah perbuatan baik karena relasi kita dengan
Allah sebagai anakNya.
SEMPURNA
SEPERTI BAPA
Pasal 5: 17-19 :
Tuhan Yesus menegaskan bahwa kedatanganNya bukanlah untuk MENIADAKAN hukum
Taurat melainkan untuk MENGGENAPINYA.
Ayat ayat ini
menjelaskan hubungan Tuhan Yesus dengan Hukum Taurat, dimana Dia menegaskan
kalau tujuan kedatanganNya adalah untuk menunaikan penggenapan Hukum Taurat.
Dia menggenapi sepenuhnya tuntutan Hukum Taurat sehingga tidak ada yang
tersisa, semua tuntutan hukum Taurat telah digenapi dengan kematianNya,
sehingga Ia kini berhak membatalkan Hukum Taurat dengan segala perintah dan
ketentuannya.
“Sebab Kristus adalah
kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap tiap orang yang
percaya.” – Roma 10:4
“…sebab dengan
matiNya sebagai manusia Ia telah MEMBATALKAN hukum Taurat dengan segala
perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi manusia baru
didalam diriNya…” ( Efesus 2:15).
Maksud dan tujuan
Tuhan Yesus menggenapi seluruh tuntutan hukum Taurat dengan kematianNya
sehingga Ia berhak membatalkan perintah dan tuntutannya (karena sudah
digenapiNya), adalah agar dapat memulai suatu tatanan standart nilai hidup yang
baru bagi orang percaya kepadaNya, yaitu menjadi manusia baru.
Manusia baru memiliki
tatanan nilai moral yang baru. Apakah itu? Perbuatan baik bukan karena tuntutan
dan ketentuan suatu hukum tertentu tetapi perbuatan baik yang lahir karena
hakekatnya menjadi manusia baru. Manusia yang berkeadaan anak anak Allah.
Menjadi manusia baru (berkeadaan anak Allah) dahulu barulah bisa hidup dengan
standart nilai yang baru. Perbuatan baik yang kita lakukan bukanlah sedemikian
hebat dan agungnya sampai perbuatan baik tersebut membuat kita dipantaskan dan
dilayakkan menjadi anak Allah, tetapi justru sebaliknya….kita harus berbuat
baik karena sudah berkeadaan manusia baru menjadi anak Allah.
Jadi dalam ayat 17-19
ini Tuhan Yesus sedang menjelaskan hubungan diriNya dengan hukum Taurat, dimana
kedatanganNya ini akan menggenapi dan mengakhiri “masa berlakunya Hukum Taurat”
melalui kematianNya kemudian memulai “masa manusia baru” bagi kita.
PERBEDAAN
TUNTUTAN HUKUM TAURAT DAN STANDAR KRISTUS
Dalam ayat 20-48,
Tuhan Yesus mulai mendeskripsi (mengurai secara detail perbedaan) standart
nilai manusia baru dengan standart nilai hukum Taurat. Mari kita lihat secara
perlahan.
Ayat 20 : Tuhan Yesus
menegaskan bahwa jika hidup keagamaanmu (dikaiosune : kelakuan/perilaku,
perbuatan seharti hari) tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli ahli
Taurat dan orang orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk kedalam
Kerajaan Sorga.
Ayat ini secara
gamblang memberikan jalan masuk ke dalam Kerajaan Surga melalui hidup perbuatan
baik. Jikalau seseorang dengan perbuatan baiknya ingin masuk Kerajaan Sorga
HARUSLAH ORANG TERSEBUT MEMILIKI KEHIDUPAN YANG LEBIH BENAR dari ahli ahli
Taurat dan orang orang Farisi.
Ahli ahli Taurat dan
orang orang Farisi ini adalah dua kelompok masyarakat yang sangat memahami dan
mentaati segala perintah dan ketentuan hukum Taurat secara detil dan ketat.
Secara lahirian perilaku mereka nyaris tanpa cacat, karena kehidupan keagamaan
mereka akan menjadi contoh bagi masyarakat Yahudi lainnya. Untuk bisa masuk
kerajaan Surga maka perbuatan baik kita harus LEBIH BENAR dari mereka.
Pengertian “lebih
benar” disini dalam bahasa Yunani nya menggunakan pengertian “lebih benar dalam
arti kuantitas dan juga kualitasnya” dan kuantitas jumlah kebaikannya harus
“berlimpah limpah” (“perisseuo”- “pleion pleon”).
Inilah standart nilai
yang dituntut dari kita untuk kita bisa masuk kedalam Kerajaan Surga apabila
melalui perbuatan baik, harus lah perbuatan baik tersebut, lebih benar dan
lebih banyak (berlimpah banyaknya) dari para ahli Taurat dan orang Farisi,
jikalau tidak pastilah tidak akan memenuhi kuota untuk masuk kedalam Kerajaan
Sorga.
Ayat 21-26 :
Membandingkan Hukum Taurat yang mengatakan “jangan membunuh”; standart Kristus
mengatakan “kita marah dan mengatakan kafir harus dihukum, dan mengatakan
“jahil” kepada saaudara kita maka harus masuk neraka. Standart Kristus untuk
masuk surga dengan berbuat baik harus lebih benar dan lebih melimpah dari
standart Hukum Taurat. Sebab itu Tuhan Yesus menegaskan bahwa korban pembakaran
(hubungan dengan Allah secara agama) menjadi tidak berarti kalau tidak berdamai
dengan orang yang kita marahi, kita katakana kafir dan kita sebut jahil. Bahkan
kita bisa masuk penjara karena hal tersebut akan menjadi masalah hukum.
Ayat 27-30 : Hukum
Taurat mengatakan “Jangan Berzinah”; standart Tuhan Yesus “siapa yang melihat
perempuan dan menginginkan dalam hatinya (pen-berahi), sudah berzinah dalam
hatinya. Patut dicampakan ke dalam neraka.
Ayat 31-32 : Hukum
Taurat mengatur tentang perceraian, tetapi Tuhan Yesus memberikan standart
bahwa orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah telah menjadikan
istrinya berzinah bila dia menikah dengan laki laki lain. Perceraian akan
mengakibatkan perzinahan pada pernikahan berikutnya dengan pasangan yang
berbeda. Perceraian menjadi hampir mustahil dalam standart Kristus.
Ayat 33-37 : Hukum
Taurat mengatur “jangan bersumpah palsu”, tetapi Tuhan Yesus menetapkan “jangan
bersumpah demi apapun” cukup berkata dan bersikap jujur. Orang yang tidak jujur
dalam perkataan dan perbuatannya adalah dari Iblis.
Ayat 38-42 : Hukum
Taurat mengatur “mata ganti mata, gigi ganti gigi”, tetapi standart Tuhan Yesus
haruslah kita berbuat baik terhadap mereka yang telah berbuat jahat kepada
kita, dan bahkan memberikan apa yang diminta orang lain, dan tidak boleh
menolak orang yang mau meminjam kepada kita. Mengalahkan kejahatan dengan
berbuat baik, dan tidak ada peluang bagi orang percaya untuk membalas.
Ayat 43-44 : Hukum
Taurat mengatur “Kasihilah sesama manusia tetapi bencilah musuh”, Tuhan Yesus
memberikan standart agar mengasihi musuh dan berdoa buat mereka yang menganiaya
kita.
Dalam Matius Pasal 5
ini, jelas konteksnya adalah Tuhan Yesus sedang membandingkan diriNya dengan
Hukum Taurat. Kedatangan diriNya untuk menggenapi dan membatalkan segala
perintah dan ketentuan Hukum Taurat tentunya dengan cara menunaikannya terlebih
dahulu. Kemudian Dia menegaskan bahwa standart nilai Hukum Taurat adalah
standart moral umum yang semua agama dan budaya manusia mengajarkannya, tetapi
standart nilai hidup yan dituntut oleh TUhan Yesus adalah standart hidup yang
tidak mungkin bisa dipenuhi oleh manusia biasa. Standart nilai yang Tuhan Yesus
tetapkan hanyalah bisa dimungkinkan terpenuhi oleh manusia baru yang dimulai
didalam diriNya. Standart nilai yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus inilah yang
membuat kita menjadi anak anak Bapa di Sorga. Dia mengatakan “karena dengan
demikianlah kamu menjadi anak anak Bapamu yang di Sorga…” (Matius 5:45).
Dalam konteks
melakukan perbuatan baik kita harus memenuhi standart nilai yang ditetapkan
oleh Tuhan Yesus sehingga menjadi lebih benar, lebih baik dan lebih melimpah
dari perbuatan baik yang dituntut oleh Hukum Taurat. Perbuatan baik yang
sedemikian rupa sehingga memenuhi standart hidup menjadi anak Allah. “Karena
itu, hidup kita haruslah sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah
sempurna” dengan demikian kamu menjadi anak anak Bapa yang di Sorga (ayat 45,
48). Pertanayaannya…bisakah kita memenuhi standart nilai tersebut?? Pertanyaan
tersebut akan bisa dijawab setelah memahami apa itu arti sempurna.
Kata sempurna yang
digunakan dalam Matius 5: 48 adalah “teleios” yaitu suatu pengertian yang
menunjuk suatu proses yang sudah selesai, lengkap, dan sampai sampai
keujungnya. Tentunya kata sempurna (teleios) ini bukan suatu keadaan yang tidak
terukur dan bukan suatu keadaan yang tidak memiliki batas. Sempurna ini disini
berarti suatu proses yang sudah selesai lengkap dan sampai keujungnya, ini
menunjukan adanya suatu batas dan keadaan untuk berhenti, sehingga tidak lebih
dari “sempurna”. Oleh sebab itu kata “teleios” ini kadang bisa juga digunakan
sebagai suatu tahapan yang selesai dari proses yang panjang. Satu tahapan
selesai (teleios) kemudian dilanjutkan dalam tahapan berikutnya sampai
prosesnya selesai. Setiap tahapan tersebut dapat disebut “teleios”.
Seperti sebuah
“benih” telah menjadi pohon yang berbuah, atau seorang anak yang telah menjadi
dewasa, atau suatu perjalanan yang telah sampai tujuan; itu semua yang dimaksud
dengan “teleios” atau sempurna. Jadi sempurna adalah suatu tahapan proses yang
telah sampai kepada tujuannya.
Harus juga dipahami
apabila pengertian sempurna sesuai arti kata ”teleios” ini dikenakan kepada
Allah, maka jelaslah kata sempurna disini dapat mereduksi dan mendegradasi diri
Allah yang memang sudah SEMPURNA keberadaanNya, karena memang Allah tidak pernah
mengalami suatu proses “menjadi” sempurna. Allah selalu Sempurna dan tidak
pernah tidak sempurna sehingga harus menjadi sempurna. Karena keberadaanNya
bukanlah hasil dari suatu proses tetapi kesempurnaanNya berada dalam DiriNya.
(self existing in perfect or perfection in His self existing). Tidak ada suatu
ukuran sempurna yang dapat dikenakan kepada Allah karena Allah adalah ukuran
kesempurnaan.
Oleh sebab itu Matius
5: 48 ini kata sempurna bila dikenakan kepada kita (“hendaklah kamu
sempurna……”) maka berarti suatu proses untuk menjadi, sedang kata sempurna bila
dikenakan untuk Allah (“sempurna seperti Bapamu di Sorga”) haruslah diartikan
bahwa kesempurnaanNya itu identik dengan keberadaan diriNya sendiri.
Pengertiannya sama
ketika Rasul Yohanes menyebut Allah adalah Kasih (I Yohanes 4:8); Allah memang
mengasihi dan kita harus mengasihi seperti Allah mengasihi. Allah mengasihi
karena memang keberadaanNya Dia adalah Kasih, dan kita harus mengasihi karena
memang kita sedang mengalami proses menjadi “seperti” Allah mengasihi.
Jadi ayat ini lebih
tepat diartikan sebagai berikut : “ Bapamu di sorga mengasihi semua orang
dengan sempurna, kalian harus begitu juga.”
Kalimat ini sebangun
pemahamannya dengan Lukas 6:36 : “Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu
adalah murah hati.”.
Jadi “menjadi
sempurna seperti Bapa” bukanlah dalam arti bahwa kita bisa dapat sempurna
seperti Bapa, melainkan kita bisa mengasihi dan melakukan apa yang menjadi
standar nilai Tuhan Yesus karena kita anak anak Bapa di Sorga. Seharusnya
karena kita anak anakNya kita menjadi seperti Dia dalam mengasihi.
Jadi haruslah
dimengerti bahwa Matius 5:48 adalah penegasan Tuhan Yesus bahwa kita harus bisa
mengasihi seperti Bapa mengasihi , dan bukan diartikan KESEMPURNAAN BAPA harus
menjadi tujuan perjuangan kita dalam berbuat baik, sama sekali bukan itu.
Jika begitu maka
pertanyaannya apakah kita bisa sempurna seperti Bapa di sorga? Tentu tidak akan
pernah bisa karena semua kesempurnaan Bapa adalah hakekat DiriNya sendiri.
Pertanyaan
berikutnya…apakah kita bisa memenuhi standart dan nilai seperti yang Tuhan
Yesus tuntut agar kita dapat menjadi anak anak Bapa di sorga? Menjadi anak anak
Bapa di Sorga artinya menjadi sempurna sepeti Bapa di sorga.
Kalau menjadi
sempurna yang dimaksud adalah “teleios” yaitu proses menuju selesai….menuju
ujungnya…menuju sampai lengkap…iya kita bisa sempurna. Tetapi kapankah itu
terjadi?
No comments:
Post a Comment