Oleh : Prof. D.A. Carson
[Bagian 1] "...Yesus kala itu sedang melakukan sesuatu lebih daripada sekedar mengklasifikasikan apakah yang paling penting. Salah satu dari tema-tema besar pelayanan Yesus adalah: kasih, yang telah dipahami dan dipraktekan secara benar, secara aktual telah menggenapi hukum Perjanjian Lama… sebuah era baru telah terbit, dan eschaton (hari akhir) ... secara sangat mencengangkan telah dilantik. … Perintah pertama untuk mengasihi Tuhan. Kata-kata yang berasal dari Kitab Suci dimana Yesus mengutip dari Ulangan 6:4-5… “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! (Markus 12:29)
… Anti intelektualisme masih mendiami sebuah petak evangelikalisme yang luas, dan terkadang pemikiran serius diolok-olok dan diabaikan oleh mereka yang lebih menyukai sentimen dan emosi… Mereka juga menyerukan daya tarik-daya tarik profetik kepada orang-orang Kristen muda… untuk kehidupan pikiran…
Tetapi kita tidak boleh mengabaikan sebuah bahaya sebaliknya, bahaya arogansi intelektual… perintah pertama dari Yesus ini bukanlah sebuah perintah untuk berpikir tapi sebuah perintah untuk mengasihi, bahkan kala perintah untuk mengasihi mencakup modifikasi-modifikasi : “dengan segenap hatimu….dengan segenap pikiranmu.”
Tiga hal selanjutnya harus dikemukakan mengenai tiga cara berbeda Alkitab mengutarakan kasih Tuhan.
Pertama, adalah lebih baik untuk mengatakan catatan-catatan dari daftar ini sebagai lima cara berbeda yang dimiliki Alkitab dalam mengutarakan kasih Tuhan daripada sebagai lima cara berbeda “kasih” Tuhan. Mengatakan “kasih-kasih” Tuhan yang berbeda memberikan impresi bahwa Tuhan memiliki sejumlah “kasih-kasih” yang terkotak-kotak yang Tuhan pilih gunakan atau pilih tidak gunakan untuk target-target yang berbeda atau pada kesempatan-kesempatan yang berbeda. Tidak ada bukti baik mengenai hal ini bahwa itulah apa yang dimaksudkan oleh teks-teks biblikal.
Pertama, adalah lebih baik untuk mengatakan catatan-catatan dari daftar ini sebagai lima cara berbeda yang dimiliki Alkitab dalam mengutarakan kasih Tuhan daripada sebagai lima cara berbeda “kasih” Tuhan. Mengatakan “kasih-kasih” Tuhan yang berbeda memberikan impresi bahwa Tuhan memiliki sejumlah “kasih-kasih” yang terkotak-kotak yang Tuhan pilih gunakan atau pilih tidak gunakan untuk target-target yang berbeda atau pada kesempatan-kesempatan yang berbeda. Tidak ada bukti baik mengenai hal ini bahwa itulah apa yang dimaksudkan oleh teks-teks biblikal.
Terlebih lagi, pada analogi umat manusia
( yang pada akhirnya telah diciptakan dalam citra Tuhan), kita sedang
membicarakan kasih manusia dalam cara-cara yang
teramat ragam perbedaannya yang
merefleksikan kompleksitas hubungan-hubungan sebagai pribadi-pribadi. Sebagai
contoh, dalam sebuah konteks
saya bisa berbicara mengenai
kasih tak bersyarat bagi anak-anakku. Tetapi dalam hal lain, manakala saya
berkata kepada anak laki-lakiku yang telah beranjak remaja saya mengharuskannya sudah ada di rumah jelang tengah malam, dia
mengenalku cukup baik bahwa bila
dia terlambat pulang ke rumah dan tanpa
ada alasan yang benar, dia akan
menghadapi amarah Ayah; dia tahu marah ayahnya membuat dia tetap berada dalam
kasih Ayah, boleh dikatakan demikian.
Menyukai sebuah hobi bukanlah hal yang sama sebagaimana mengasihi seorang
musuh. Jadi demikian juga dengan kaitan
berbicara tentang kasih Tuhan: Tuhan adalah kasih, sebagaimana Yohanes mengatakan ( 1 Yohanes 4:8), tetapi kasih itu
bekerja dalam sebuah tampilan pola-pola
beragam yang merefleksikan keragaman hubungan-hubungan dimana dia sebagai seorang pribadi terlibat.
Kedua,
untuk menghindari distorsi kita harus merefleksikan kasih Tuhan hanya dalam
hubungan dengan refleksi semua
kesempurnaan-kesempurnaan lainnya pada Tuhan. Jika tidak demikian akan ada sebuah kecenderungan untuk
menempatkan secara bertentangan satu
atribut Tuhan terhadap atribut-atribut Tuhan lainnya untuk menjinakan satu atau
lebih karakteristik-karakteristik Tuhan dengan mengajukan supremasi
karakteristik lainnya. Jika kita bersuka dalam kasih Tuhan, kita akan bersuka tidak kurang
samanya dalam kekudusan Tuhan, dalam kedaulatan Tuhan, dalam kemahatahuan
Tuhan, dan seterusnya, dan kita akan menjadi pasti bahwa semua
kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan bekerja bersama-sama.
Ketiga,
analisa cara-cara yang berbeda mengutarakan
kasih Tuhan dalam Alkitab memampukan kita untuk mengevaluasi sejumlah
kata klise umum diantara orang-orang Kristen. Sebagai contoh: “Kasih Tuhan tidak bersyarat.” Apakah ini
benar? Dalam kebeningan, memang benar
adanya, dari sejumlah cara-cara Alkitab mengutarakan kasih Tuhan. Sebagai
contoh, kasih providensia atau pemeliharaan Tuhan adalah tak bersyarat, karena kasih ini
dicurahkan baik untuk orang tidak benar seperti halnya kepada orang benar. Kasih
Tuhan yang bersifat memilih adalah kasih yang tak bersyarat, karena secara
absolut tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih ini ( Roma 8:31-39).
Tetapi kasih Tuhan yang dikatakan dalam Dekalog dan dalam Yohanes 15 dan Yudas 21 ( yakni, yang Kelima dalam daftar
diatas-bagian 1) secara eksplisit adalah
kondisional atau bersyarat. Kembali, orang-orang Kristen kerap berkata, “ Tuhan mengasihi setiap orang persis
dalam cara yang sama dan dalam
keluasan yang sama.” Apakah ini benar? Dalam
nas-nas yang membicarakan kasih Tuhan
untuk orang yang benar dan tidak benar, jelas terlihat memang benar. Dalam nas-nas yang
memperkatakan kasih Tuhan yang memilih. Jelas terlihat menjadi salah. Dan
dalam nas-nas yang mengatakan kasih Tuhan dipersyaratkan dengan kepatuhan,
kemudian kasihnya untuk individu-individu berbeda akan beragam sesuai dengan kepatuhan mereka.
Begitu banyak untuk ditinjau. Alasan
utama mengapa saya mengambil hal khusus
ini adalah pada sejumlah poin dalam kuliah-kuliah ini saya akan membandingkan
apa yang dikatakan Alkitab tentang kasih-kasih orang Kristen yang harus
diperlihatkan dengan cara-cara beragam
yang diutarakan Alkitab mengenai Kasih Tuhan. Sehingga adalah penting untuk
menyimpan hal ini dalam benak kemudian.
***
Sekarang saya akan beralih ke kasih
Kristen. Dimana harus memulai?
Saya harus mengatakan sesuatu mengenai judul : Love in Hard Places. Ini adalah sebuah peringatan bahwa saya tidak
sedang berupaya sepenuhnya memahami dan
melakukan survei utuh pada kasih
Kristen. Karena andaikan saya melakukannya, saya kelak harus lebih luas mengulas kesukaan-kesukaan kasih, kesenangan
mengasihi,mengenai kasih di (secara relatif) tempat yang mudah. Faktanya saya akan mengatakan sejumlah hal mengenai
tema-tema ini, tetapi saya telah memilih judul ini karena dua alasan. (1) Saya akan fokus secara khusus pada aspek-aspek kasih Kristen yang tidak
mudah dan mungkin sangat menyakitkan serta juga sangat sukar. (2) Karena semua ekspresi-ekspresi kasih kita
berlangsung dalam sebuah dunia yang telah jatuh dan rusak dimana kita adalah bagiannya, kita tidak bijaksana untuk juga mundur dengan cepat menuju semata
gagasan-gagasan kasih yang sentimentil. Mengasihi secara bijak dan baik,
mengasihi dalam kepantasan,mengasihi
secara setia, mengasihi selaras dengan
harapan-harapan biblikal akan apa
yang dimaksud dengan mengasihi, secara
umum sebuah hal yang sangat sulit untuk
dilakukan. Dan itu adalah salah satu tema-tema yang mengontrol kuliah-kuliah ini.
Sebuah tempat yang jelas dan sangat
baik bagi setiap orang Kristen untuk memulainya adalah dengan:
B. PERINTAH GANDA UNTUK MENGASIHI ( MARKUS 12:28-34)
B. PERINTAH GANDA UNTUK MENGASIHI ( MARKUS 12:28-34)
(28) Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?"
(29) Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. (30) Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. (31) Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini."
(32) Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. (33) Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan."
(34) Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus. (Bandingkan dengan Matius 22:34-40; Lukas 10:25-28).
Untuk maksud-maksudku saat ini, ada sedikit hal yang harus dikerjakan melalui perbedaan-perbedaan minor antara, yang dikatakan, Markus dan Matius; isu-isu yang paling sentral akan menggerakan perhatian kita. Kelihatannya mengemukanya perdebatan antara Yesus dan para penentangnya, dan secara khusus kualitas respon-respon Yesus, memunculkan satu teman bicara untuk mengajukan apa yang dia nilai sebagai pertanyaan sukar. Pertanyaan itu mendengung pada latar belakang konservatisme Judaisme abad pertama, tetapi tidak ada konsensus umum yang ditawarkan dalam respon-respon. Dari semua perintah-perintah tersebut yang manakah paling penting?
Dalam setiap sistem legal yang kompleks, beberapa hukum pada akhirnya memiliki posisi lebih utama atas yang lain-lainya. Rabi-rabi abad pertama telah membedakan antara hukum-hukum yang “berat” dan “ringan” ; Yesus sendiri di tempat lain membuat sebuah pembedaan serupa dalam hukum-hukum yang relatif penting ketika di berkata, yang berlaku, bahwa hal-hal yang harus dilakukan terkait keadilan dan belas kasih memiliki kedudukan yang lebih utama atas hukum persepuluhan ( Matius 23:23), atau ketika dia berkata bahwa hukum memandatkan penyunatan seorang anak laki-laki pada hari ke delapan menduduki posisi utama terhadap Sabbat ( Yohanes 7:22-23). Tetapi jika pembedaan-pembedaan harus dibuat sehubungan hukum-hukum manakah yang “lebih ringan” atau “lebih berat,” hal ini tidak akan berlangsung lama sampai seseorang menanyakan hukum manakah yang “paling berat” dari semuanya, hukum manakah yang paling penting.
Disini para rabi berbeda-beda. Beberapa mengatakan bahwa paling berat adalah perintah untuk mengasihi Tuhan ; yang lainnya berkata perintah agar anak mematuhi kedua orang tua; Rabbi besar Akiba mengatakan bahwa perintah untuk mengasihi sesama manusia adalah “prinsip terbesar dalam Hukum Taurat”[12]. Namun penautan yang Yesus lakukan terhadap perintah untuk mengasihi Tuhan dan perintah untuk mengasihi sesamamu telah mewujudkan sebuah kuasa unik dalam formasi struktur-struktur bersifat etika pada pengikut-pengikutnya. Dalam derajat tertentu, hal ini hanya karena Yesus telah mematrikan semacam otoritas moral baik dalam pengajarannya dan contohnya yang menyebabkan pengikut-pengikutnya membangun etika-etika mereka dikisaran sebuah tema tunggal[13]; pada derajat tertentu, hal ini hanya karena, sebagaimana yang akan kita lihat, Yesus kala itu sedang melakukan sesuatu lebih daripada sekedar mengklasifikasikan apakah yang paling penting. Salah satu dari tema-tema besar pelayanan Yesus adalah: kasih, yang telah dipahami dan dipraktekan secara benar, secara aktual telah menggenapi hukum Perjanjian Lama. Dengan kata lain,pengajarannya pada subyek ini secara mendalam telah terjaring dalam kebersikukuhannya bahwa sebuah era baru telah terbit, dan eschaton (hari akhir), keadaan akhir yang telah dinantikan, secara sangat mencengangkan telah dilantik.
Jawaban Yesus terhadap pertanyaan tersebut membuat dia menyatukan dua ikhtisar tradisional orang Yahudi. Perintah pertama untuk mengasihi Tuhan. Kata-kata yang berasal dari Kitab Suci dimana Yesus mengutip dari Ulangan 6:4-5, disebut Shema, hal yang amat dekat dengan kredo Judaisme. Shema ini selalu dibacakan atau diingat oleh orang-orang Yahudi beribadah di setiap pagi dan malam [14]. Keharusan moral ini secara tepat diatur dalam konteks deklarasi yang berani, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! (Markus 12:29). Banyak penganut pagan akan mengatakan bahwa hanya ada satu tuhan karena banyak paganisme abad pertama menyongkong beberapa bentuk panteisme: ada sebuah Tuhan yang impersonal (tidak berkomunikasi dengan manusia—editor Anchor) memiliki ruang dan tempat dengan alam semesta, sebuah ketuhanan yang darinya semua dewa-dewa pagan yang terbatas itu lahir. Tetapi walaupun mereka dapat mengatakan tuhan yang esa,mereka tidak dapat mengatakan, seperti yang dapat dikatakan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, bahwa Tuhan adalah esa, karena perkataan semacam ini akan menyangkali politeisme mereka.
Poin dalam hal ini bukan sesuatu yang minor. Banyak pagan berpikir adanya keilahian-keilahian terbatas yang menguasai kekuasaan khusus atas kawasan-kawasan spesifik. Jika kamu ingin melakukan perjalanan laut, kamu akan berdoa kepada Neptunus, si dewa laut, jika kamu hendak menyampaikan sebuah pidato, kamu akan membutuhkan Hermes (atau Merkurius yang dalam bahasa Latin disebut pantheon; bandingkan dengan Kisah Para Rasul 14:12) mendampingimu. Tetapi jika hanya ada satu Tuhan, jika Tuhan adalah esa dan tidak banyak, maka dia pastilah Tuhan atas semuanya. Jika adanya banyak tuhan, masing-masing menjalankan kekuasaannya dalam domain-domain yang terbatas dan terkadang bersaing, kewajiban penganut pagan yang setia adalah untuk memberikan setiap dewa ( atau sebanyak dewa-dewa yang dapat diingat) apa yang menjadi haknya; jika Tuhan adalah esa, maka Tuhan yang esa itu memerintahkan kepatuhan dan pengabdian dari seluruh keberadaan kita. Dengan kata lain, salah satu dari hal-hal yang menyertai monoteisme adalah perintah pertama dan terbesar ini. Ini merupakan natur hubungan antara (Markus 12) ayat 29 dan ayat 30.
Karena Tuhan itu esa, kemudian, kamu diperintahkan untuk mengasihi dia “dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap pikiranmu dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30)[15]. Kita pertama-tama harus fokus pada frasa-frasa atau anak kalimat- anak kalimat yang memiliki kata depan/perangkai. Jika kita membatasi diri pada makna dalam kata-kata bahasa Inggris ( Indonesia), kita berangkali berpikir bahwa anak kalimat pertama,”dengan segenap hatimu,” berfokus pada sebuah kasih yang adalah hal perasaan, emosional, dan penuh gairah. “Aku mengasihimu dengan segenap hatiku,” ujar Bob kepada Sue, tak kala mata mereka saling bertatapan—dan bagi kita “hati” adalah sebuah simbol bagi takhta emosi-emosi. Anak-anak kalimat kedua dan keempat, “dengan segenap jiwamu” dan “dengan segenap kekuatanmu,” berhubungan dengan intensitas, dengan menempatkan seluruh dirimu kedalam mencintai Tuhan. Hal ini menyisakan yang ketiga: Apakah makna mengasihi Tuhan “dengan segenap pikiranmu”? Baiklah, kita berangkali berkata, apapun maknanya, hal satu ini hanyalah salah satu dari anak-anak kalimat yang memiliki kata depan, jadi janganlah terlampau memusingkan hal ini.
Segera setelah kita mengenali bahwa simbolisme biblikal, baik Ibrani dan Yunani, hanyalah sedikit berbeda dari bahasa kita, aroma dari empat anak kalimat dengan kata depan ini, diambil secara bersama-sama, mengubahnya sedikit. Dalam dunia biblikal, tentu saja, hati bukanlah takhta emosi-emosi; tetapi organ-organ yang lebih bawah lagi. Bob berangkali akan berkata pada Sue,” Aku mengasihimu dengan segenap ginjalku”( ekspresi ini terdapat dalam bahasa Inggris, editor Anchor) atau “Aku mengasihimu dengan segenap ususku”[16]. Hati adalah takhta seluruh personalitas dan sangat dekat dengan apa yang kita maksudkan pada hari ini dengan ‘pikiran,” kecuali untuk fakta bahwa bagi kita “pikiran” dapat berarti sedikit sempit yaitu cerebral/otak. Dari empat anak kalimat preposisional ini, kemudian, dua diantaranya, yang pertama dan ketiga, berfokus pada pemikiran kita. Kedua dan keempat, “dengan segenap jiwamu” dan “dengan segenap kekuatanmu, fokus pada intensitas atau kekuatan, namun “jiwa” sekalipun membawa refleksi “manusia batiniah” atau sejenisnya, dan oleh karena itu mencerminkan siapakah kamu dan bagaimana atau apa yang kamu pikirkan [17].
Sehingga pertanyaannya harus diajukan dalam sebuah cara yang difokuskan: Apakah makna mengasihi Tuhan dengan cara kita berpikir dan dengan segenap kekuatan dari diri kita? Karena itulah yang merupakan perintah pertama yang dimandatkan.
Ada dua hal yang bukan merupakan maknanya.
Pertama, adalah tidak memadai untuk berpikir bahwa kata kerja “mengasihi” bermakna secara sempit adalah sesuatu yang bersifat kehendak/kemauan, seperti “ berupaya mendapatkan kebaikan orang lain terlepas dari kasih sayangmu atau tanpa kasih sayang,” seolah-olah kasih orang Kristen dapat direduksi hingga pada berkomitmen untuk mementingkan kepentingan orang lain. Perintah untuk mengasihi tidak boleh dilepaskan dari kandungan kasih sayang. Dorongan utuk reduksionisme pada derajat tertentu lahir dari studi-studi kata yang cacat sebagaimana yang telah saya singgung secara tak langsung. Namun demikian, secara jelas, reduksionisme semacam ini tidak akan bekerja pada hampir semua bab kasih , 1 Korintus 13. Karena disana, kasih dikontraskan pementingan kepentingan orang lain (ketak-egoisan) yang menakjubkan, yaitu memberikan semua harta milik seseorang untuk memberi makan orang miskin, memberikan tubuhny dibakar. Namun Paulus diyakinkan bahwa tidak mungkin untuk mempertontonkan ketakegoisan semacam ini tanpa kasih-- dan dalam hal ini, dia berkata, “Aku tidak berarti apapun” ( 1 Korintus 13:1-3).
Kedua, ada sebuah bahaya berpikir bahwa kita sedang mematuhi perintah pertama ini jika kita hidup dan bekerja dalam domain upaya keras intelektual Kristen. Adalah mudah untuk memahami bagaimana hal ini muncul. Anti intelektualisme masih mendiami sebuah petak evangelikalisme yang luas, dan terkadang pemikiran serius diolok-olok dan diabaikan oleh mereka yang lebih menyukai sentimen dan emosi. Kedua kecenderungan memunculkan seruan kecaman publik yang tajam[18], dan hal-hal ini tentu saja memiliki tempat. Mereka juga menyerukan daya tarik-daya tarik profetik kepada orang-orang Kristen muda untuk mendedikasi diri mereka, untuk kepentingan Tuhan dan bagi kemuliaan Tuhan, untuk kehidupan pikiran [19].
Tetapi kita tidak boleh mengabaikan sebuah bahaya sebaliknya, bahaya arogansi intelektual. Ahli-ahli bibilkal, para teolog, dan para akademisi Kristen gampang tergoda untuk berpikir bahwa mereka sedang mematuhi perintah pertama semata karena mereka bekerja dalam arena intelektual dan menjadi orang-orang Kristen. Pada akhirnya mempelajari secara khusus tema-tema Kristen dapat menyerap semua, dalam cara tepat bahwa mempelajari hampir setiap hal dapat menyerap semuanya, menyediakan bagimu semacam perangai dan edukasi yang tepat. Saya mengenal ahli-ahli kelas satu yang menguasai studi lapisan-lapisan metal pada bilah-bilah mesin propulsi jet dan ahli-ahli lain yang mendedikasikan diri mereka dengan materi-materi yang belakangan ini ditemukan: quarks dengan latar kehidupan yang tak bisa dipercaya dimana setengah masa hidupnya atau merupakan orang yang sangat menguasai teks Perjanjian Baru Sahidic Coptic- Perjanjian Baru orang Mesir. Satu-satunya perbedaan antara ahli-ahli ini dengan para teolog adalah bahwa para teolog berangkali mendelusikan diri mereka kedalam pemikiran bahwa upaya yang mereka lakukan dalam disiplin-disiplin mereka telah mendemonstrasikan bahwa mereka sedang menggenapi kata-kata Yesus ini, sementara itu mereka yang mempelajari kehidupan seks kura-kura laut tidak seperti mereka yang didelusikan. Kita tidak dapat mengabaikan fakta kasar bahwa perintah pertama dari Yesus ini bukanlah sebuah perintah untuk berpikir tapi sebuah perintah untuk mengasihi, bahkan kala perintah untuk mengasihi mencakup modifikasi-modifikasi : “dengan segenap hatimu….dengan segenap pikiranmu.”
Lagian, ini adalah sebuah perintah untuk mengasihi Tuhan, bukan sekedar sebuah perintah untuk mengasihi dalam hal yang tak berbentuk atau sentimental atau tidak berfokus atau bahkan sebuah jalan kebebasan atau sesuka-sukanya. Dan didalam benak tokoh-tokoh biblikal—apakah penulis Keluaran, penulis-penulis Injil, atau Yesus sendiri—Tuhan ini bukanlah sosok yang didefinisikan secara salah oleh banyak penekanan-penekanan postmodernisme, tuhan yang kamu definisikan atau tuhan yang diduga sebagai agak berkabut dibalik semua gagasan-gagasan agama, mensahkan semuanya secara sama[20]. Ini adalah Tuhan yang benar, Pencipta langit dan bumi, Tuhan yang memprediksikan dan mengendalikan masa depan, Tuhan yang berdiri menentang dosa, Tuhan yang kepada Dia kita harus pada suatu hari memberikan sebuah pertanggungjawaban, Allah dan Bapa dari Tuan kita Yesus Kristus. Dan fakta itu menolong kita untuk memahami apakah makna dari perintah pertama ini.
Bersambung ke Bagian 3, nantikanlah
Love In Hard Places- Bab 1 | Diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
Catatan-Catatan Kaki
[12]Sipre, on Lev. 19:18.
[12]Sipre, on Lev. 19:18.
[13]See
John P. Meier, Matthew, New Testament Readings 3 (Wilmington: Michael Glazier,
1980), 257.
[14]Cf.
also 2 Kings 23:25.
[15]We
need not here go into the variations of terminology from Gospel to Gospel, on
which see W. D.Davies and Dale C. Allison, Jr., A Critical and Exegetical
Commentary on the Gospel According toSt. Matthew (Edinburgh: T & T Clark,
1988-97), 3.240-241. They affect little of the substance of theargument.
[16]This
is not too fanciful. See, for instance, in the King James Version or some
earlier versions the preservation of expressions that tended to keep to the
literal at the expense of comprehension: “though my reins be consumed” (Job
19:27); “God trieth the heart and reins” (Ps. 7:9); “examine me, O LORD. . .
try my reins” (Ps. 26:2); “yea, my reins shall rejoice” (Prov. 23:16); “for his
bowels did yearn” (Gen. 43:30); “my bowels boiled, and rested not” (Job 30:27);
“my bowels, my bowels, I am pained”(Jer. 4:19); “if there be any bowels of
compassion” (Phil. 2:1).
[17]I
cannot here discuss the understanding of these phrases put forth by Birger
Gerhardsson. They are ably evaluated in Davies and Allison, Matthew, 3.241-2.
[18]E.g.,
Mark Noll, The Scandal of the Evangelical Mind (Grand Rapids: Eerdmans, 1994);
David F. Wells, God in the Wasteland: The Reality of Truth in a World of Fading
Dreams (Grand Rapids: Eerdmans, 1994).
[19]J.
P. Moreland, Love Your God with All Your Mind: The Role of Reason in the Life
of the Soul(Colorado Springs: NavPress, 1997).
[20]Indeed,
in John Hick’s vision even the word god must be abandoned in favor of Reality,
since some religions have little or no place for a personal deity. Hick moved
from Christo-centrism to Theo-centrismto Reality-centrism. See especially his
An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London:
Macmillan, 1989).
No comments:
Post a Comment