Oleh : Prof. D.A. Carson
[Bagian 2]...Menariknya, walaupun Yesus hanya ditanyai soal perintah yang paling penting, Yesus mempersiapkan jawaban tidak hanya untuk yang paling penting tetapi kedua yang penting: ” Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:31). Nas Perjanjian Lama yang Yesus kutip adalah Imamat 19:18. Kandungan bab itu secara khusus ditujukan pada sebuah susunan perintah-perintah yang mengusung hubungan-hubungan sosial;… ). Ayat krusialnya, 19:18, dibaca, “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.”
…. Ada satu fitur atau hal khusus lagi dalam teks kita… segera Yesus berkata kepada dia, “ Engkau tidak jauh dari kerajaan Allah” (Mark 12:34). Apapun juga maknanya … Teks ini tidak mengatakan kepada kita bahwa kita mendapatkan penerimaan ke dalam kerajaan Allah oleh karena kasih kita
… dalam Matius 5:17-20, Yesus telah mengatakan bahwa dia tidak datang untuk melenyapkan Hukum dan kitab Nabi-Nabi, tetapi untuk “menggenapi” semua itu … ini tidak bermakna bahwa Yesus datang untuk “mempertahankan” Perjanjian Lama atau untuk menguatkan Perjanjian Lama atau untuk mematuhi Perjanjian Lama, tetapi secara sangat literal untuk menggenapinya… kita harus berpikir tentang Yesus sebagai bait terahir, domba paskah terahir, imam besar terahir, dan korban terahir pada Hari Penebusan
Dalam konteks pewahyuan Perjanjian Lama, perintah untuk mengasihi Tuhan dengan hati dan jiwa dan kekuatan ( Ulangan 6:4-5) diletakan dalam konteks mengenal Firman Tuhan, mematuhinya, dan meneruskannya :
(1) Inilah perintah, yakni ketetapan dan peraturan, yang aku ajarkan kepadamu atas perintah TUHAN, Allahmu, untuk dilakukan di negeri, ke mana kamu pergi untuk mendudukinya, (2) supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu.(3) Maka dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu dengan setia, supaya baik keadaanmu, dan supaya kamu menjadi sangat banyak, seperti yang dijanjikan TUHAN, Allah nenek moyangmu, kepadamu di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.
(4) Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! (5) Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. (6) Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,(7) haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.(8) Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu,(9) dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
Apa yang dimaksudkan disini adalah: mengasihi Tuhan tidak dapat dipisahkan dari takut akan Tuhan dan mematuhi dia. Pada satu sisi, mematuhi Tuhan disini bermakna perintah-perintahnya, dan perintah utama yang telah ditekankan disini adalah perintah untuk mengasihi dia dengan hati dan jiwa dan kekuatan. Pada sisi lainya, jika seseorang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, kasih ini akan menjadi motif kekuatan untuk mematuhi dia sepenuhnya—dan dalam konteks ini, mematuhi dia sepenuhnya membawa serta kepatuhan, dan keistimewaan tinggal diam dan berpegang ketat pada firman-firmannya dan berkomitmen untuk meneruskannya/menyampaikannya kepada generasi selanjutnya. Karena bagaimana bisa seseorang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dengan hati, jiwa, dan kekuatan, dan tidak ingin membuat dirinya dikenali, secara khusus terhadap anak-anaknya sendiri? Mengabaikan wilayah ini oleh karena itu tidak hanya ketidakpatuhan tetapi kurangnya kasih kepada Tuhan.
Jadi mengasihi Tuhan dengan seluruh keberadaanmu, bukan hanya “hati” kita ( dalam pemahaman biblikal), juga pikiran-pikiran kita, bermakna mengenal perkataan-perkataan Tuhan dan mematuhinya. Mengapa hal ini menjadi mengejutkan? Ada begitu banyak teks yang mengatakan hal-hal serupa. Sebagai contoh, beberapa bab selanjutnya, Kitab Keluaran memberikan sebuah pandangan suatu waktu ketika akan adanya seorang raja di Israel dan secara resmi memberitahukan apa yang menjadi tanggung jawab pertamanya : ” Apabila ia duduk di atas takhta kerajaan, maka haruslah ia menyuruh menulis baginya salinan hukum ini menurut kitab yang ada pada imam-imam orang Lewi. Itulah yang harus ada di sampingnya dan haruslah ia membacanya seumur hidupnya untuk belajar takut akan TUHAN, Allahnya, dengan berpegang pada segala isi hukum dan ketetapan ini untuk dilakukannya, supaya jangan ia tinggi hati terhadap saudara-saudaranya, supaya jangan ia menyimpang dari perintah itu ke kanan atau ke kiri, agar lama ia memerintah, ia dan anak-anaknya di tengah-tengah orang Israel" ( Ulangan 17:18-20).
Tugas pertama raja, dengan kata lain, bukan untuk menunjuk kepala staf-kepala staf gabungan atau mengangkat seorang Sekretaris Negara yang baru. Tugas pertamanya adalah untuk menyalin kepingingan-kepingan Kitab suci yang sangat besar dengan tulisan tangan. Dia tidak sekedar mengunduhnya dari sebuah keping cakram ke hard drive tanpa melalui otaknya; dia harus menyalinnya dengan tangan sejelas-jelasnya dimana salinan tulisan tangannya menjadi salinan yang dibaca secara harian disepanjang sisa hidupnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar dia dapat “menghormati” Tuhan Allahnya dan “ mengikuti secara hati-hati semua kata-kata dari hukum ini dan ketetapan-ketetapan ini,” Jadi terkait dengan Tuhan menuntunnya untuk membaca dan membaca kembali Kitab suci; Kitab suci mengajarkan dia untuk menghormati Tuhan dan melatih pikirannya untuk mengikuti semua kata-kata Tuhan. Dan ini pada gilirannya bermakna bahwa dia akan belajar untuk tidak “menganggap dirinya sendiri lebih baik daripada saudara-saudaranya”—yang mana, tentu saja, bagian yang hakiki dari mengasihi saudara-saudara dan saudari-saudarinya seperti dirimu sendiri.
Atau pertimbangkanlah Keluaran 8. Disana Musa memberitahukan kepada orang-orang untuk mengingat bagaimana Tuhan telah memimpin umatnya selama empat puluh tahun di gurun. Perjalanan ini mencakup berbagai tes, sejumlah penderitaan, bahkan mujizat penyediaan. Semua hal ini memiliki maksud untuk membuat mereka rendah hati dan mengajarkan mereka bahwa “manusia tidak hanya hidup dari roti saja tetapi pada setiap kata yang keluar dari mulut TUHAN” ( Ulangan 8:3). Disini setiap kata yang keluar dari mulut Tuhan dinilai lebih krusial bagi keberadaan manusia daripada makanan yang menopang kehidupan jasmani. Dengan standard ini, kegagalan Israel dan diri kita, secara mengejutkan sedemikian dalamnya tersesat, sedemikian mengganggunya menyimpang. Secara kontras, ketika Tuhan Yesus mengutip persis kata-kata ini, dia mengutipnya dalam sebuah konteks yang memperlihatkan bagaimana dia secara sempurna menjaga prioritas-prioritasnya yang berpusatkan pada Tuhan dan karenanya bertahan terhadap godaan ( Matius 4:4).
Orang tidak harus membatasi dirinya hanya pada kitab Keluaran. Mazmur 1, sebagai contoh,menggambarkan orang yang “diberkati” sebagai orang yang “kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mazmur 1:2). Dengan kata lain, dia tidak semata berkomitmen kepada Firman Tuhan dalam hal yang teoritis, namun dia secara positif bersuka dalam Taurat Tuhan—sedemikian besarnya sehingga dia memikirkannya, membuka-bukanya dalam benaknya, merenungkannya siang dan malam. Singkatnya, dia mengasihi Tuhan dengan hati dan jiwa dan pikiran dan kekuatan. Mazmur terpanjang dalam Kitab suci diberikan kepada tema yang membentuk dunia, mengubah orang ( Mazmur 119). Tidak terlampau mengherankan, kemudian, bahwa ketika dia berkuasa, Yosua dikatakan, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya” (Yosua 1:8).
Sehingga terlihat kemudian, bahwa jika Yesus memilik rasa hormat terhadap konteks dalam Keluaran yang sedang dia kutip dalam Markus 12, dia sedang mengatakan bahwa mengasihi Tuhan dengan hati dan jiwa dan pikiran dan kekuatan berhubungan dengan membaca, mencintainya luar biasa, merenungkan, dan mematuhi kata-kata Tuhan.
Menariknya, walaupun Yesus hanya ditanyai soal perintah yang paling penting, Yesus mempersiapkan jawaban tidak hanya untuk yang paling penting tetapi kedua yang penting: ” Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Markus 12:31). Nas Perjanjian Lama yang Yesus kutip adalah Imamat 19:18. Kandungan bab itu secara khusus ditujukan pada sebuah susunan perintah-perintah yang mengusung hubungan-hubungan sosial; menghormati kedua orang tua, meninggalkan bagian yang memadai pada ladang seseorang yang sedang dipanen sehingga orang miskin dapat mengambil keuntungan dari bagian yang disisakan, tidak mencuri atau berdusta atau merusak keadilan, tidak mengambil untung dari orang cacat, dan banyak hal lainnya lagi yang sama. Semua hal ini dimasukan dibawah perintah jadilah kudus sebagaimana Tuhan kudus, untuk menghindari pemujaan berhala (Imamat 19:1-2,4). Ayat krusialnya, 19:18, dibaca, “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.”
Ini dapat mengklarifikasi sejumlah isu dengan mengajukan lima ulasan.
Pertama, anak kalimat menyimpulkan, “Akulah TUHAN,” mengingatkan kita bahwa dalam Kitab suci, komitmen horisontal untuk mengasihi sesama manusia didasarkan pada realitas vertikal: Tuhan ada, kita berhutang loyalitas kepadanya, dia mengatakan kepada kita perilaku apa yang dia harapkan, dan adalah tidak mungkin untuk setia kepada Tuhan dan mengakui dia sebagai Tuhan sementara itu kita memelihara kebencian terhadap sesama manusia. “Kasihilah sesamamu manusia,” Tuhan berkata; “Akulah TUHAN.”
Kedua, kasih yang hendak diperlihatkan bukan semata soal performa atau ketidakegoisan atau mengutamakan kepentingan orang lain yang dikehendaki, karena kasih disini lebih daripada sikap. Kita tidak berupaya untuk melakukan balas dendam atau membawa sebuah dendam melawan setiap komunitas kovenan; sebaliknya, kita harus mengasihi sesama manusia[21].
Ketiga, saya harus menyebutkan sebuah detail kecil yang akan saya kembangkan hanya dalam kuliah akhir. Budaya kontemporer sedemikian hebatnya menekankan pentingnya harga diri, mengasihi diri sendiri, sehingga frasa kecil yang berbunyi “seperti dirimu sendiri” (“kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”) kerap dipahami sebagai sebuah perintah untuk mengasihi diri sendiri, atau paling tidak sebuah persetujuan implisit mengasihi diri sendiri. Walaupun ide ini sangat populer dewasa ini, gagasan ini paling jauh terlacak ke Agustinus[22]. Isu mengasihi diri sendiri dan tempatnya dalam pola Kristen pada hal-hal yang agak pelik, namun untuk saat ini adalah memadai untuk menunjukan bahwa dalam nas ini, mengasihi diri sendiri bukan yang diperintahkan atau dipuji tetapi hal yang dimunculkan untuk menimbulkan asumsi atau pengandaian sebuah kondisi spesifik.
Keempat, dalam pernyataan ini Yesus tidak memberikan spesifikasi bagaimana dua perintah kasih ini, perintah untuk mengasihi Tuhan dan perintah untuk mengasihi sesama manusia, bertemalian satu sama lain. Ada banyak pandangan. Beberapa berpandangan bahwa kita mengimitasi apa yang kita kasihi. Sehingga mengasihi Tuhan harus bertindak seperti dia, dan karena kita mengasihi sesama manusia, kita akan mengasihi mereka,juga. Pandangan pandangan lain menganut bahwa mengasihi sesama manusia adalah satu-satunya bukti yang kasat mata bahwa kasih Tuhan itu sejati, karena Tuhan tidak dapat dilihat dan sesama manusia dapat dilihat. Masih ada pihak lain yang berpandangan bahwa karena manusia diciptakan dalam citra Allah, mengasihi Tuhan adalah perlu untuk mengasihi mereka yang diciptakan dalam citra-Nya. Semua gagasan ini, dan yang lain-lainnya,mendapatkan sejumlah jaminan dalam nas-nas biblikal lainnya. Akan tetapi, dalam teks yang ada dihadapan kita, Yesus tidak menarik sebuah hubungan yang spesifik.
Kelima, banyak nas yang mengulangi perintah kedua ini atau sesuatu yang sangat menyerupainya. “Lakukan segala sesuatu didalam kasih, “ tulis Paulus ( 1 Korintus 16:14); atau kembali muncul, “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!" (Galatia 5:14).” dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita” (Efesus 5:2). “Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri", kamu berbuat baik” (Yakobus 2:8). Lebih jauh lagi, orang harus mempertimbangkan sebuah fokus yang agak sempit yaitu hal yang sangat umum dalam Perjanjian Baru—banyak ayat dimana orang-orang Kristen diperintahkan untuk mengasihi satu sama lain. Tetapi saya akan kembali mengulas hal-hal ini dalam perkuliahan berikutnya.
Ada satu fitur atau hal khusus lagi dalam teks kita yang meminta ulasan sebelum saya mengakhiri sejumlah observasi teologis dan praktis. Fitur ini adalah respon teman bicara (penanggap) Yesus dan kemudian jawaban Yesus lebih lanjut. Dia memberikan tanggapan secara bijak dan menegaskan dukungannya pada jawaban Yesus,(Markus 12:32-33), segera Yesus berkata kepada dia, “ Engkau tidak jauh dari kerajaan Allah” (Mark 12:34). Apapun juga maknanya, Yesus secara pasti mengatakan bahwa dia tidak dapat membayangkan penerimaan kedalam Kerajaan tanpa membawa masuk serta perintah ganda mengasihi ini. Teks ini tidak mengatakan kepada kita bahwa kita mendapatkan penerimaan ke dalam kerajaan Allah oleh karena kasih kita. Inilah secara tepat menjelaskan mengapa Yesus dapat membuat karakteristik kasih menandai mereka yang ada didalam kerajaan, mereka yang adalah murid-muridnya: “Kasihilah satu sama lain,” dia berkata. “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:34-35). Tidak terlalu mengherankan, kemudian, bahwa dalam surat pertamanya, Yohanes dapat membuat kasih sebagai kriteria penting bagi Kekristenan yang otentik (misal: 1 Yohanes 2:3-6; 3:10b-18; 4:7-21).
Kita dapat membuat penyelidikan lebih lanjut. Dalam catatan singkatnya mengenai pengajaran Yesus tentang perintah ganda untuk mengasihi, Matius tidak memberitahukan kepada kita jawaban penanggap Yesus yang disampaikan secara bijak atau penjelasan Yesus. Sebaliknya, setelah mengartikulasikan dua perintah tersebut, Yesus hanya berkata, “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Matius 22:40). Dan mungkin ada hubungan yang bersifat teologis antara pernyatan ini dan apa yang Yesus katakan kepada penanggapnya dalam catatan Markus.
Saya akan mulai dari sisi Matius. Apakah makna “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”? Ekspresi hukum Taurat dan kitab para nabi” bermakna “Kitab suci,” apa yang pada hari ini kita sebut Kanon Ibrani atau Perjanjian Lama. Tetapi apakah maknanya untuk mengatakan bahwa semua Kitab suci “bergantung dua perintah ini”? Jika ini satu-satunya pernyataan dalam Injil Matius, penilaian-penilaian kita tentang apakah maknanya akan menjadi sangat subyektif, karena imajinasi apapun dapat membayangkan sejumlah interpretasi yang satu sama lain bersifat eksklusif.
Akan tetapi, faktanya, Matius sangat tertarik pada hubungan-hubungan antara “Hukum dan Kitab Nabi-Nabi,” pada satu sisi, dan pada pengajaran Yesus, pada sisi lainnya. Seperti yang telah dituliskan dalam Matius 5:17-20, Yesus telah mengatakan bahwa dia tidak datang untuk melenyapkan Hukum dan kitab Nabi-Nabi, tetapi untuk “menggenapi” semua itu. Saya telah memaparkan argumentasi yang panjang di tempat lain[23] bahwa ini tidak bermakna bahwa Yesus datang untuk “mempertahankan” Perjanjian Lama atau untuk menguatkan Perjanjian Lama atau untuk mematuhi Perjanjian Lama, tetapi secara sangat literal untuk menggenapinya. Dalam penggunaan Matius terhadap kata kerja “menggenapi,” dia selalu menyimpan dalam benaknya bahwa sejarah penbusan sedang bergerak maju, dan pewahyuan Perjanjian Lama bergerak maju, menantikan, memprediksi ( jika kamu suka) apa yang harus terjadi—dan apa yang akan datang tidak ada yang lain selain daripada Yesus dan apa yang dia ajarkan dan lakukan. Sehingga Yesus dan kabar baik (Injil) yang dia sampaikan menggenapi pewahyuan yang lebih tua.
Sebuah poin serupa berulang pada akhir Khotbah Bukit: Untuk “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Matius 7:12). Beberapa bab kemudian kita kembali diingatkan akan perkembangan keselamatan –historis ini ketika kita diberitahukan bahwa “ hukum Taurat dan kitab para nabi” telah dinubuatkan sampai dengan Yohanes Pembaptis; dari sini menunjukan, yang mana ayat-ayat ini telah menunjuk—terbitnya kerajaan—inilah apa yang dikhotbahkan.
Hal serupa, Paulus bersikukuh bahwa apa yang telah digenapi dalam satu firman, yaitu Imamat 19:18, perintah yang berbunyi kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, adalah keseluruhan tabel kedua Dekalog ( 10 Perintah Tuhan): kasih adalah penggenapan hukum tersebut (Roma 13:8-10). Meskipun ada argumen yang berlawanan, perintah ganda untuk mengasihi bukan semacam prinsip mendalam yang darinya semua perintah-perintah lain dari Kitab suci dapat disimpulkan-dideduksikan; juga bukan sebuah pola hermeneutika berjaring untuk meyingkirkan Hukum dari Perjanjian Lama yang tidak lagi harus kita patuhi, meskipun masih memberkati mereka yang masih melaksanakannya; tidak juga hal ini ditawarkan sebagai semacam pengganti yang bersifat mereduksi semua hukum Perjanjian Lama. Dalam derajat tertentu, hukum kembar Kasih, kasih bagi Tuhan dan kasih bagi sesama manusia, mengintegrasikan semua hukum-hukum lainnya. Hukum kembar kasih menegakan motif-motif yang tepat bagi semua perintah lainnya, yakni mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia.
Tetapi bahasa “penggenapan” mencuatkan sesuatu yang lebih lagi. Semua hukum dalam Perjanjian Lama, tentu saja semua firman perjanjian lama, bertindak bersamaan untuk menantikan sesuatu yang lebih lagi, menunjuk pada sesuatu yang melampaui firman-firman perjanjian lama itu sendiri. Semuanya menunjuk pada kedatangan kerajaan, injil kerajaan; semua menunjuk pada sebuah waktu ketika hidup secara tepat dijalankan dalam alam semesta Tuhan, dapat disimpulkan dengan kepatuhan pada perintah untuk mengasihi Tuhan dengan hati dan jiwa dan pikiran dan kekuatan dan dengan perintah untuk mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Add caption |
Hampir semua orang Kristen telah mengetahui akan elemen profetik atau prediksi pada setidaknya sejumlah Hukum-hukum: kita harus berpikir tentang Yesus sebagai bait terahir, domba paskah terahir, imam besar terahir, dan korban terahir pada Hari Penebusan, dan seterusnya. Kita mengikuti argumen -argumen para penulis Perjanjian Baru menyebabkan pelukisan Perjanjian Lama atas ritus-ritus dan pelembagaan-pelembagaan, walaupun integral terhadap Perjanjian Lama dan secara benar dijalankan oleh mereka yang ada dibawah kovenan ini, secara simultan menunjuk pada hal akan datang, yang dinantikan, dan jadinya telah diprediksikan, sebuah realitas yang lebih besar daripada ritus-ritus dan pelembagaan-pelembagaan tersebut—sebuah realita diri Yesus sendiri yang sudah menggenapi. Argumen yang dipaparkan disini adalah sesuatu yang agak sama, secara umum, dari semua hukum Taurat dan kitab para nabi. Sebagai contoh, didalam kerajaan yang sempurna kita tidak akan lagi memerlukan sebuah perintah untuk melarang membunuh. Ini bukan karena membunuh akan ditoleransi/diberi ruang, tetapi karena membunuh akan menjadi yang tak terpikirkan ( terlepas dari tantangan membunuh seseorang dengan tubuh kebangkitan!); benci menjadi hal yang tak terpikirkan; sebaliknya, kita akan mengasihi satu sama lain. Jadi ini bukan seolah-olah kerajan yang sempurna itu menghapus perintah untuk membunuh ; malahan, kerajaan yang sempurna itu menggenapinya. Kerajaan itu meneruskan panduan benar yang didalamnya mengandung poin-poin larangan membunuh.
-
Lebih jauh lagi, walaupun kerajaan yang sempurna itu belum datang, namun ada sebuah pengertian dimana kerajaan tersebut telah dilantik/diresmikan; kerajaan itu telah dimulai; kerajaan itu sebagian telah diwujudkan. Hal ini meninggalkan pada kita sejumlah ketegangan-ketegangan mengerikan, tentunya. Kerajaan telah datang, tetapi masih sedang datang; kita telah diubahkan oleh kelahiran baru, tetapi kita belum memiliki tubuh-tubuh kebangkitan; kita telah diregenerasi, tetapi kita belum mengalami bahwa transformasi sempurna yang bermakna bahwa kita tidak lagi melakukan dosa; kita mendengarkan pemerintahan /berkuasanya kerajaan Tuhan, tetapi kita mengakui bahwa ini masihlah sebuah dunia yang bengis dan hancur dimana konflik antara baik dan jahat masih berlangsung terus. Inilah yang merupakan hal yang teramat eskatologi Perjanjian Baru, etika-etika Perjanjian Baru.
Jika apa yang telah saya katakan tentang kata-kata Yesus dalam Injil Matius adalah benar, akan tetapi, kita secara tiba-tiba mendapatkan diri kita dekat dengan apa yang Yesus katakan dalam Markus. Pada sisi Matius, “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."” (Matius 22:40), karena perintah-perintah ini memunculkan panduan atau petunjuk yang ditunjukan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi, yaitu kedatangan kabar baik tentang kerajaan. Pada sisi Markus, "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" (Markus 12:34)—untuk memahami dan mematuhi dua perintah ini akan sangat terkait dengan apakah makna menjadi berada didalam kerajaan Tuhan.
C. BEBERAPA REFLEKSI TEOLOGIS DAN PRAKTIS
Berangkali poin-poin berikut ini akan menarik sejumlah material dalam perkuliahan ini secara bersamaan.
Pertama,
kita tidak dapat gagal untuk memperhatikan bahwa kedua perintah-perintah ini adalah perintah-perintah. Terkadang ada keberatan bahwa kasih tidak dapat
diperintahkan : orang jatuh cinta, atau orang
memiliki gelora cinta, atau cinta/kasih menjadi dingin, tetapi perasaan sayang,
dikatakan, tidak dapat diperintahkan. Memang benar, itulah persisnya mengapa beberapa orang telah
mempertahankan pandangan keliru bahwa kasih “agapic”, kasih Kristen, adalah
komitmen yang berasal dari kehendak
untuk kebaikan orang lain, mengabaikan
emosi-emosi yang dapat dirasakan
orang. Kehendak atau kemauan dapat diperintahkan, demikian argumennya; perasaan
kasih sayang tidak dapat. Hal ini memberikanku
cakupan untuk menghendaki hal yang baik dari seorang bajingan yang saya benci secara emosi—ini
sebuah elakan yang manis. Kasihilah sesamamu dan bencilah hal emosionalnya.
Tetapi kita telah melihat bahwa sebuah pandangan “agapic” semacam ini telah digugurkan oleh pembukaan ayat-ayat
dari 1 Korintus 13, dimana Paulus memperingatkan pada jenis kedermawanan yang sungguh-sungguh
bahkan pada derajat seseorang mengorbankan
diri sendiri dimana ia memberikan semua harta benda dan
bersedia untuk dibakar di tiang tetapi
tetap tidak memiliki kasih.
Bukan seperti ini, pandangan sempit semacam ini mengenai kasih tidak boleh dibiarkan menyebar atau meluas. Kita tidak bisa melepaskan diri dari kesulitan ini secara
gampangan. Kitab suci memerintahkan kita pada setiap aspek keberadaan kita untuk melakukan, untuk menginginkan, untuk
mempercayai, untuk mengasihi.
Kegagalan
kita untuk merespon seutuhnya terhadap
perintah-perintah pertama dan kedua—merupakan, fakta bahwa kita tidak dapat mengasihi
Tuhan dengan hati dan jiwa dan pikiran dan kekuatan dan mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri—ini bukan berfungsi menunjuk pada
dugaan ketidakmampuan mendasar perasaan kasih sayang untuk dapat diperintahkan tetapi menunjuk pada
kelemahan moral kita. Kegagalan adalah sebuah fungsi untuk kejatuhan. Persis
seperti Paulus dalam fungsi-fungsi hukum, pada bagian, untuk mengungkapkan
keterhilangan kita, ketidakmampuan moralitas dan kesalahan
dalam perbuatan, dan kemudian
untuk menguatkan pelanggaran-pelanggaran kita, maka juga disini: dua perintah besar ini mengungkapkan ketersesatan kita, ketakberdayaan moralitas kita dan
kesalahan tindakan-tindakan kita, dan
memperbesar pelanggaran-pelanggaran kita.
Kedua,
poin pertama menjadi lebih jelas ketika kita mengingat bahwa kegagalan untuk
mengasihi Tuhan dengan hati dan jiwa dan pikiran dan kekuatan adalah untuk melengserkan Tuhan dari tahtanya’ itu
untuk menidakkan atau mengingkari Tuhan,
untuk menegakan sebuah berhala di tempat Tuhan. Karena jika kita mengasihi atau mencintai sesuatu
yang lain lebih daripada Tuhan, benda ciptaan lebih daripada Pencipta, kita telah menyerah
pada hal paling inti dari semua pemujaan berhala.
Itu sebabnya segala bentuk pengingkaran, segala bentuk tidak
mengasihi Tuhan dengan hati dan jiwa dan pikiran dan kekuatan, disamakan dengan perzinahan (contoh : Kel 34:11-16; Im 20:4-6;
Bil 15:38-40; Hak 2:16-17; Hos 1-3; Yes 1:21; Yer 2-3; Yehezkiel 16,23)[25]:
ini adalah menghianati kasih dimana kita berhutang pada Tuhan, dengan
mengasihi yang lainnya lagi. Dan itu sebabnya nabi Hosea dapat (Tuhan tolong
kami!) menggambarkan Tuhan maha kuasa sebagai kekasih yang dikhianati cintanya:
umatnya telah membangkang terhadap dua perintah ini. Bukanlah hal yang
menyamankan untuk merefleksikan
bagaimana kerapnya hati kita
berubah-ubah, hati semua orang perjanjian baru berasal dari Tuhan,
membelakangi Tuhan kembali dan berulang
menjadi menghianati kasih yang maha kuasa.
Ketiga, jika dalam eksposisi terdahulu saya telah menginterpretasikan bagaimana seharusnya apa makna mengasihi Tuhan dengan hati kita ( dalam pemahaman “hati” yang biblikal) dan pikiran, kemudian orang-orang Kristen serius harus menangkap kembali kebiasaan-kebiasaan membaca Alkitab yang dilakukan generasi-generasi terdahulu. Tidak boleh lagi kita bahagia dengan slogan-slogan seperti “Sebuah ayat sehari menjauhkan iblis” ; kita mesti tidak terlampau bahagia dengan makanan spiritual apapun yang kita terima dari pertemuan-pertemuan publik sementara itu kita tidak mengubah pikiran-pikiran kita (Roma 12:1) dengan Firman Tuhan. Bahkan didalam gereja, ada sebuah peningkatan kebutahurufan biblikal. Dampak tekanan-tekanan budaya terhadap kita, tidak sedikit dari media, begitu hebatnya menghancurkan sehingga hanya sebuah pikiran yang telah memiliki pengertian dalam pemikiran pikiran-pikiran Tuhan pada dirinya akan dapat bertahan terhadap serangan-serangan gencar.
Apa yang dituntut dari setiap orang
percaya yang dapat membaca adalah setia, menghormati, pembacaan yang disiplin
dan membaca Firman Tuhan secara berulang, sebuah pembacaan yang dilakukan dalam
sebuah hasrat besar penuh perhatian. Dan apa yang disyaratkan oleh pembacaan semacam ini adalah waktu. Saya
tidak sedang memaparkan sebuah legalisme baru. Saya sedih
mengetahui bahwa adalah mungkin membaca
Alkitab merupakan sebuah hal yang teramat dan semata menjadi kebenaran diri
sendiri atau berkubang dalam ketakpercayaan; tetapi saya meragukan bahwa
adalah mungkin untuk mematuhi perintah pertama tanpa membaca Alkitab sebagai hal yang besar.
Credit :http://adamlickey.com |
Generasi-generasi terdahulu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan jemaat yang buta huruf dengan liturgi yang diisi dengan
banyak pembacaan Kitab suci,
pengajaran-pengajaran terjadwal dan berulang, perayaan-perayaan yang dirancang
untuk mengulangi kisah-kisah besar yang
berdiri pada titik-titik balik
sejarah penebusan.
Hari-hari ini hampir semua gereja-gereja evangelical
telah menanggalkan semua perangkat-perangkat ini yang membantu membentuk generasi-generasi sebelumnya yakni
orang-orang yang memikirkan/merenungkan pikiran-pikiran Tuhan.
Hari ini bahkan perayaan-perayaan yang masih kita lakukan, yang disponsori
gereja kita: Natal dan Paskah, kerap
lebih berhubungan dengan makan-makan atau berperilaku manis di sekolah
daripada mereka melakukan sesuatu
dengan sejarah biblikal. Kor-kor yang
membantu kita merayakan tidaklah sebagaimana mestinya mengajarkan kita
bagaimana untuk merenungkan
pikiran-pikiran Tuhan. Sehingga dengan lenyapnya pembacaan Alkitab, apa yang mengajarkan kita bagaimana merenungkan pikiran-pikiran Tuhan sebagaimana dia? Bagaimana di dunia
kita dapat mengasihi dia dengan hati dan pikiran jika kita tidak semakin mengenal dia,
mengetahui apa yang dia sukai dan apa yang dia muak,mengenal apa yang telah dia
singkapkan, mengetahui apa-apa yang dia
perintahkan dan apa-apa yang dia larang?
Lebih lanjut, jika mengasihi Tuhan dengan hati dan jiwa dan pikiran dan
kekuatan memerlukan waktu dan upaya, demikian jugalah dengan mengasihi sesamamu
manusia. Beberapa teman menyatakan secara lembut
memesona bahwa mereka mengasihi
seluruh dunia bahkan meskipun mereka
tidak mengorbankan waktu untuk orang lain
manapun selain daripada
seperangkat teman-teman mereka sendiri. Penganut pagan manapun dapat melakukan hal itu. Bukanlah suatu
hal yang baru terkait tekanan waktu. Disini Luther berkata:
Saya hampir dapat mengatakan bahwa saya memerlukan dua sekretaris; Saya hampir-hampir sulit melakukan hal lainnya sepanjang hari selain menulis surat-surat. Saya adalah pengkhotbah biara; Saya telah mempercayakan orang lain untuk membaca di meja; Saya diharapkan untuk berkhotbah setiap hari dalam gereja paroki; Saya adalah kepala sekolah biara; Saya adalah wakil Ordo biara yang berarti sebelas kali sebelumnya berkhotbah[ karena ada sebelas biara di distrik]; Saya adalah pegawai yang bertanggungjawab atas kolam ikan ;Saya bertindak sebagai pengganti; Saya memberi kuliah tentang Paulus dan mempelajari Mazmur-Mazmur; dan kemudian semua ini surat-menyurat ini memakan bagian waktuku yang terbesar; Saya hampir-hampir saja tidak memiliki waktu tersisa untuk doa-doa pribadiku, belum lagi godaan-godaan khusus dari daging, dunia, dan si iblis. Semuanya ini memperlihatkan betapa aku ini adalah seorang pemalas.[26]
Masih demikan banyak lagi yang dapat dikatakan mengenai perintah-perintah pertama dan kedua. Saya belum lagi menggores permukaannya. Setelah itu, akan ada refleksi perenungan dan panjang pada sebuah bagian nas-nas terkait, ini adalah respon terhadap kasih Tuhan ( Kolose 3:12-15; 1 Petrus 1:8; 1 Yohanes 4:11). Walaupun kasih Kristen tanpa kecuali merupakan kewajiban orang-orang Kristen, itu merupakan buah Roh (Galatia 5:13). Ini dicirikan dengan kerendahan hati dan kelembutan ( Efesus 4:1-2); dalam meyerupai sang Guru, itu menjauhkan dari pembalasan ( 1 Pet 3:8-9). Tak terelakan penguasaan diri menjadi semboyan ( Roma 14;13-15) sebagai orang Kristen belajar untuk mengasihi dengan hati dan sikap tidak kurang dengan tindakan ( 1 Kor 13).
Credit: animationresources,org |
Tetapi “ Kasih di tempat-tempat yang keras- Love in Hard Places” adalah tema kita. Apakah tempat keras ini? Apakah ini tempat yang paling keras dari semuanya, tempat asal muasal kasih—hati dan kehidupan kita. Ada sebuah filem kartun lucu mengenai seorang pengkhotbah yang sedang berdoa. Pada panel pertama, kita mendapati dia sedang berlutut, berucap dihadapan Tuhan,”O Tuhan, pukulilah musuh-musuhku karena kejahatan dan perilaku mereka.” Pada panel kedua, dia bahkan menjadi jauh lebih berapi-api:”Timpakanlah penghakiman yang ganas atas mereka, upah yang adil atas hati mereka yang jahat.” Pada panel ketiga, dia menjadi lebih personal; “Semoga kawanan-kawanan burung nasar menyergap kepala musuhku yang paling sengit . Pada panel terakhir, kawanan-kawanan burung nasar mengerumuni seluruh dirinya, dan si pengkhotbah berhenti berdoa,” Ugh, mari saya ulangi lagi bagian itu.” Dalam kata-kata Pogo (tokoh utama kartun) yang tidak ada matinya si pengkhotbah berkata,” Kami telah bertemu dengan musuh tersebut, dan dia ada didalam diri kita.”
Tidak ada selain injil yang akan melunakan tempat yang keras ini; tak seorangpun, hanya Roh yang dapat meregenerasi hati manusia. Dan kerja pelunakan ini tidak akan selesai sampai semuanya dilunakan.
Bab 1 Selesai
Bersambung ke – “Love in Hard Places’ Bab 2 “Love Anda Enemies, Big And Small | diterjemahkan dan diedit oleh Martin Simamora
Catatan Kaki:
[21]The statement of Davies and Allison, Matthew, 3.241, is doubly mistaken: “Love of God, like love of neighbour, is not firstly an attitude or affection but—as the example of Jesus shows—a way of life,the sweat of labour for Another.” Certainly love of God, like love of neighbour, is “a way of life,” but the negation (“not firstly an attitude or affection”) makes little sense and merely preserves an erroneoustradition; worse, the “example of Jesus” shows us nothing of the kind.
[21]The statement of Davies and Allison, Matthew, 3.241, is doubly mistaken: “Love of God, like love of neighbour, is not firstly an attitude or affection but—as the example of Jesus shows—a way of life,the sweat of labour for Another.” Certainly love of God, like love of neighbour, is “a way of life,” but the negation (“not firstly an attitude or affection”) makes little sense and merely preserves an erroneoustradition; worse, the “example of Jesus” shows us nothing of the kind.
[22]City
of God, 19.14. He goes so far as to put love of self alongside love of God and
love of neighbor.
[23]D.
A. Carson, Matthew, EBC 8 (Grand Rapids: Zondervan, 1984), 140-147.
[24]I
use “commands” and “commandments” indistinguishably.
[25]See especially Raymond C. Ortlund, Jr., Whoredom: God’s Unfaithful Wife in Biblical Theology, NSBT
(Leicester: InterVarsity Press, 1996).
[26]From
a letter by Martin Luther to his personal friend Lang, 1516.
No comments:
Post a Comment