Oleh : Prof. D.A. Carson
[Bagian3]“…Pada ahirnya, Paulus dapat menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah ( misal Roma 9:1; 2 Kor 1:23); Tuhan menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah ketika dia bersumpah demi dirinya sendiri ( Ibrani 6:13-18). Tetapi tidak Paulus atau juga Tuhan menggunakan sebuah sumpah untuk mengelak atau menyanggah dusta/bohong. Tidak juga dengan ketiadaan sebuah sumpah berarti baik Paulus atau Tuhan dapat bebas untuk berbohong………
Lex talionis, legislasi “mata ganti mata” (Matius 5:38-42). Hukum Perjanjian Lama, “mata ganti mata, dan gigi ganti gigi,” telah ditegakan sebagai bagian sistem yudisial dari benih bangsa Israel (Keluaran 21:24; Imamat 24:20; Ulangan 19:21). Untuk jenis-jenis kejahatan tertentu, faktanya sangatlah adil. Lex talionis (hukum pembalasan) tidak dapat diaplikasikan dalam banyak kasus kriminal—penyembahan berhala, sebagai contoh, atau perkosaan, atau penghujatan—tetapi dalam kejadian-kejadian, katakanlah, personal dan niat menciderai orang lain, dalam hal ini sangat adil. Terlebih lagi, lex talionis memberikan keuntungan membuat perseteruan yang berkepanjangan dapat dihentikan…..
Legislasi atau perundang-undangan Perjanjian Lama tidak hanya menyajikan kedilan yang ketat’keras ; legislasi atau perundang-undangan PL memberikan proyeksi gambaran akan realisasinya dimuka atas sebuah masyarakat yang tertata secara benar dimana orang-orang berinteraksi dan mendukung satu sama lain tanpa prasangka buruk/kebencian. Pada dasarnya ini adalah sebuah dunia yang telah rusak dan penuh dosa; legislasi harus dijalankan untuk mengekang atau membatasi kejahatan, memenuhi klaim-klaim keadilan, dan meredam dendam.
...itulah natur hubungan antara hukum Mosaik—atau, lebih luas lagi, “kitab hukum [dan] para nabi” ( 5:17)—dan kesempurnaan kerajaan yang sempurna. Yang terdahulu menunjuk kepada yang kemudian/akan datang; hukum taurat dan kitab para nabi menunjuk pada kerajaan. Dan kerajaan itu telah terbit; kerajaan itu telah dilantik/diresmikan dalam hidup dan pelayanan dan kematian dan kebangkitan dan peninggian Yesus.
Saya menduga saat kita berpikir tentang kasih di tempat-tempat keras, maka kita secara alami condong pada sukarnya tuntutan Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita. Musuh dalam berbagai bentuk dan ukuran. Sebelum kita merefleksikan pada keragaman musuh-musuh, dan oleh karena itu pada keragaman kasih yang dimintakan untuk diperlihatkan, kita harus memikirkan cara kita melalui apa yang berangkali merupakan nas paling penting pada subyek ini.
A. Eksposisi Matius 5:43-48
(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.(46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
James Tissot, The Beatitudes Sermon, Brooklyn Museum, c. 1890 |
“Kamu telah mendengar firman… tetapi Aku berkata kepadamu” : Formula ini muncul enam kali dalam Matius 5, dan karena bentuk semacam ini, pemunculan-pemunculannya secara kolektif disebut enam antitesis (kontras). Dalam setiap bagian, Yesus menggunakan otoritasnya. Tujuannya, berperan untuk mengoreksi sebuah kesalahpahaman populer atas hukum Taurat. Kadang-kadang Yesus hanya mengutip teks Perjanjian Lama ( seperti dalam Matius 5:38); Kadang-kadang dia mengutip teks dan mengajukan interpretasi untuk mengoreksi ( seperti di sini dalam Matius 5:43). Ada perbedaan-perbedaandalam cara Yesus berurusan dengan teks-teks Perjanjian Lama, dan perbedaan-perbedaan ini telah memunculkan debat ilmiah yang substansial. Sedemikian menariknya debat-debat tersebut, namun saya tidak bisa menghadirkannya disini. Saya hanya akan menyatakan bahwa didalam setiap peristiwa, Yesus berkepentingan untuk memperlihatkan arah benar yang ditunjukan atau dimaksudkan teks-teks tersebut.
Walaupun saya tidak dapat mengulas seluruh variasi-variasi tersebut, ini berangkali mengklarifikasi apa yang harus saya katakan mengenai perintah untuk mengasihi musuh jika saya secara singkat menimbang dua dari lima antitesis tersebut.
-
ILUSTRASI. Credit: www.ntbprov.go.id |
(1)Sumpah-sumpah ( Matius 5:33-37). Perjanjian Lama pada kenyataannya telah mengatakan bahwa umat perjanjian dilarang untuk melanggar sumpah-sumpah mereka. “janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN” (Imamat 19:12). “Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya” (Bilangan 30:2; bandingkan dengan Ulangan 23:21). Faktanya, Perjanjian Lama secara aktual memerintahkan orang untuk bersumpah demi Tuhan: “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah” (Ulangan 6:13). Namun disini Yesus sedang berkata, “Janganlah sekali-kali bersumpah” (Matius 5:34). Bukankah ini sebuah kontradiksi yang jelas dari apa yang dimandatkan Perjanjian Lama?
Mempersembahkan anak kepada Molokh- Imamat 18:21- (illustration from the 1897 Bible Pictures and What They Teach Us by Charles Foster) |
Pada tingkatan yang dangkal, jelas, jawabannya haruslah ya. Tetapi ketika Lima Buku Pertama Perjanjian Lama memerintah umat kovenan/perjanjian Tuhan untuk bersumpah demi Tuhan, perintah ini dimaksudkan bagian dari sebuah perlindungan terhadap penyembahan berhala. Orang-orang bersumpah demi apa yang mereka pikir paling tinggi, apa yang mereka nilai pasti paling sakral. Sampai belakangan ini hampir semua warga Amerika, ketika mereka bersumpah di pengadilan untuk mengungkapkan kebenaran, segenap kebenaran, dan bukan yang lain selain kebenaran, menempatkan tangan mereka diatas Alkitab karena merupakan kedudukan otoritas yang disematkan pada Alkitab dalam tradisi Amerika. Dalam sejumlah variasi, para warga Negara kemudian mengucapkan kata-kata, “So help me God” ( jadi bantulah saya Tuhan)---dan sekali lagi, kata-kata ini merefleksikan sebuah tradisi sakral. Hampir semua orang Amerika tidak akan membuat sebuah sumpah resmi dalam nama Tuhan dan menambahkan, “So help me Shiva,” merujuk pada salah satu dari dewa-dewa pemusnah dalam agama Hindu, Jadi perintah untuk bersumpah demi Tuhan, demi Yahweh, merupakan sebuah perintah untuk menjamin bahwa Yahweh adalah untuk masyarakat Isreal, kebaikan tertinggi mereka, hubungan yang paling sakral, Tuhan yang akbar diatas dia tidak ada yang lebih besar[1]. Ini dapat menjadi pertanda istimewa pemberontakan jika umat perjanjian Tuhan mulai mengambil sumpah-sumpah mereka didalam nama salah satu dewa-dewa Baal, misalnya.
Tetapi pada masa Yesus, persoalan
mengambil sumpah dalam nama-nama yang berbeda sedikit banyak tidak dapat dikendalikan. Anda bisa
lihat hal ini paling jelas dalam Matius 23:16-22. Beberapa orang
mengatakan bahwa jika seseorang bersumpah demi bait suci, maka tidak ada
artinya, dan sumpah tersebut tidak mengikat, tetapi jika seseorang bersumpah
demi emas bait suci,maka sumpah tersebut mengikat. Atau lagi, jika seseorang bersumpah demi altar,
sumpah tersebut tidak mengikat; tetapi jika seseorang bersumpah demi korban di
altar bait suci; maka sumpah tersebut mengikat. Pendekatan ini adalah sebuah upaya untuk menaksir kesakralan yang bersifat relatif pada beragam
entitas agama, tetapi efeknya adalah memperkenalkan sumpah sebagai sanggahan atas tindakan dusta. Hal ini sedikit mirip
dengan anak yang berjanji, ”Aku tidak
melakukannya! Aku bersumpah! Apa yang kuucapka memang benar adanya!” Dia
lantas berlalu dan dengan
tampang puas menjengkelkan berkata pada sahabatnya bahwa sumpah yang dia ucpakan tidak bermakna
karena dia telah menyilangkan jari dibalik pundaknya pertanda tidak sahihnya
sumpah yang dia katakan. Beberapa orang mengatakan bahwa jika kamu
bersumpah demi Yerusalem, kota Raja Agung, kamu tidak terikat oleh sumpahmu;
tetapi jika kamu bersumpah sambil
menghadap Yerusalem, maka kamu terikat oleh sumpahmu.
Yesus
menolak semua permainan kata-kata
tersebut : “Tetapi Aku
berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena
langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan
kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah
juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan
atau menghitamkan sehelai rambutpun” (Matius 5:34-36).
Poinnya adalah, bahwa setiap
hal yang ada dalam alam semesta Tuhan
berada dibawah kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, bersumpah demi bagian apapun dari alam semesta Tuhan,
karena kamu pada ahirnya tidak punya kendali atasnya oleh dirimu sendiri , maka
kamu harus bersumpah demi Tuhan. Jadi berhentilah membantah dustamu (dengan sumpah). Lebih baik kamu tidak bersumpah sama
sekali. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu
katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Matius 5:37).
Sehingga pada level yang dangkal,kemudian,
Yesus secara formal mengkontradiksikan (mempertentangkan) Perjanjian Lama.
Perjanjian Lama memberitahukan umat Tuhan untuk mengucap sumpah demi Yahweh;
Yesus mengatakan kepada para pengikutnya untuk tidak bersumpah demi siapapun
atau apapun. Namun
yang ini adalah analisa yang dangkal. Arahan pada nas
Perjanjian Lama yang hendak tunjukan pada subyek ini adalah
terhadap kebenaran—mengatakannya--- kebenaran-dikatakan
dalam semesta Tuhan. Dengan memanipulasi
kesimpulan-kesimpulan ,beberapa pihak
telah mengubah untuk penyesuaian atas otoritas Perjanjian Lama menjadi pembenaran untuk penipuan. Yesus tidak akan membenarkannya. Katakanlah
kebenaran : itulah hal yang sesungguhnya “menggenapi” bagian
dari “ kitab Taurat dan kitab para nabi”
(bandingkan
dengan Matius 5:17-18). Karena itulah Yesus datang untuk melakukan-menggenapkan.
Dia tidak datang untuk melenyapkan hukum Taurat dan kitab para nabi tetapi
untuk “menggenapi”, yaitu untuk mewujudkan setiap hal yang dimaksudkan kitab taurat dan kitab para nabi, setiap hal
yang diprediksi kitab taurat dan kitab para nabi.
Tetapi Yesus tidak sedang
mengatakan bahwa ada sesuatu yang
jahat secara instrinsik dalam mengambil sebuah sumpah demi nama seseorang. Pada ahirnya, Paulus dapat menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah (
misal Roma 9:1; 2 Kor 1:23); Tuhan
menempatkan dirinya sendiri dibawah sebuah sumpah ketika dia bersumpah demi
dirinya sendiri ( Ibrani 6:13-18). Tetapi
tidak Paulus atau juga Tuhan
menggunakan sebuah sumpah untuk
mengelak atau menyanggah dusta/bohong.
Tidak juga dengan ketiadaan sebuah sumpah berarti baik Paulus atau Tuhan
dapat bebas untuk berbohong. Sebaliknya, sumpah semata menambah
kredibilitas mereka diantara para
pendengar mereka. Faktanya, Kitab suci
memberitahukan kepada kita bahwa itulah persinya mengapa Tuhan mengambil sebuah
sumpah : dia “meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan
kepastian putusan-Nya” (Ibrani 6:17). Problemnya adalah
ketakpercayaan mereka, bukan
kecenderungan pada pihak Tuhan untuk
menipu.}
Sehingga tujuan dari antitesis
sumpah-sumpah, kemudian, adalah untuk menegakan arahan yang benar dimana maksud-maksud pembuatan aturan-aturan ini ,
yaitu untuk mengatakan kebenaran. Jika dianggap format (Yesus) itu bermakna sebuah kontradiksi terhadap
bentuk legislasi Perjanjian Lama, maka biarkanlah saja.
Hal ini membawa kita kepada antithesis
kedua untuk dipertimbangkan.
(2) Lex
talionis, legislasi “mata ganti
mata” (Matius 5:38-42).
Hukum
Perjanjian Lama, “mata ganti mata, dan
gigi ganti gigi,” telah ditegakan
sebagai bagian sistem yudisial dari benih bangsa Israel (Keluaran 21:24; Imamat 24:20; Ulangan 19:21). Untuk jenis-jenis
kejahatan tertentu, faktanya sangatlah adil. Lex talionis (hukum pembalasan) tidak
dapat diaplikasikan dalam banyak kasus
kriminal—penyembahan berhala, sebagai contoh, atau perkosaan, atau
penghujatan—tetapi dalam kejadian-kejadian, katakanlah, personal dan
niat menciderai orang lain, dalam hal
ini sangat adil. Terlebih lagi, lex
talionis memberikan keuntungan membuat perseteruan yang berkepanjangan dapat
dihentikan. Keadilan, keadilan yang ketat/keras, telah disajikan. Tanggapan terkenal yang dikaitkan
dengan Gandhi—bahwa prinsip “mata
ganti mata” bermakna bahwa dunia segera
akan dibutakan —adalah
lucu dan menjadi hal yang dikenang
tetapi terus terang saja bodoh.
Ketika hukum diberlakukan untuk
kejahatan-kejahatan yang telah dispesifikan dengan sebuah peradilan yang dihasilkan secara benar,
maka hukum tersebut memiliki efek membatasi dan membendung
kekerasan,mengakhiri perseteruan yang berkepanjangan
sebelum mereka memulai dan mengajarkan secara berulang-ulang gagasan keadilan yang ketat.
Namun disini Yesus sedang mengatakan sesuatu yang sangat berbeda : ” Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu” (Matius 5:39-42). Apa yang harus dilakukan dengan ini?
Menilai dari contoh-contoh yang disampaikan oleh Yesus sendiri, dia terutama merespon pada kesimpulan-kesimpulan pribadi yang telah diambil dari legislasi/perundang-undangan lex talionis. Kelihatannya beberapa orang Yahudi membaca bahwa legislasi tersebut dan telah melucutinya dari konteks yudisial. Jika seseorang membuatku cidera,mereka mungkin berkata, Kitab suci sendiri memberikan kepadaku hak untuk membalaskan orang tersebut, mata ganti mata, gigi ganti gigi, cidera ganti cidera. Sehingga legislasi telah digunakan menjadi pembenaran untuk kejahatan personal, sokongan terhadap tindak balas dendam personal, izin ilahi untuk pembalasan personal. Pada titik ini, Yesus menegaskan sebuah jalan yang lebih baik. Terima pukulan, dan tawarkanlah pipi yang lain. Jika prajurit Roma memaksamu untuk membawa muatan-muatannya atau perlengkapan sejauh satu mil (yang mana ini adalah hak yang sah dibawah perundang-undangan Roma, tetapi dari sebuah perspektif Yahudi merupakan sebuah bentuk eksploitasi ketakadilan yang buruk), bawahlah sejauh dua mil ketimbang merencanakan pembalasan.
Dalam sejarah gereja Kristen, nas ini dan teks-teks terkait kerap digunakan untuk membenarkan pasifisme
--(perlawanan terhadap perang atau
kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian- istilah pasifisme pertama kali
dilontarkan oleh seorang aktivis perdamaian Prancis Émile Arnaud- keterangan
ini ditambahkan oleh editor Anchor)-- sistematik. Saya
pikir saya memahami daya tariknya sebagai “dataran tinggi” moralitas yang
nyata atau masuk akal. Tetapi saya
meragukan bahwa para Pasifis memiliki
pemahaman secara tepat akan apa yang Yesus sedang katakan. Nas ini sama sekali tidak menghapuskan semua penghukuman yudisial, atas nama memberikan
pipi lainnya, dibandingkan dengan paragraph-paragraf sebelum menghilangkan semua sumpah-sumpah, atas nama
mengatakan kebenaran. Berpikiran
sebaliknya, saya takut, harus mengejar
tradisi eksegesis yang dicirikan oleh lebih dari sekedar reduksionisme.
Lebih buruk lagi, posisi ini gagal memandang bagaimana instruksi Yesus sejatinya bertalian dengan nas-nas Perjanjian
Lama yang kepada ayat-ayat yang dia rujukan. Karena
sekali
lagi, Yesus secara benar telah memahami arah
yang benar pada apa yang
dimaksudkan Perjanjian Lama.
Legislasi
atau perundang-undangan Perjanjian Lama tidak hanya menyajikan kedilan yang
ketat’keras ; legislasi atau
perundang-undangan PL memberikan proyeksi gambaran akan realisasinya dimuka atas
sebuah masyarakat yang tertata secara benar dimana orang-orang
berinteraksi dan mendukung satu sama lain tanpa prasangka
buruk/kebencian. Pada dasarnya ini adalah
sebuah dunia yang telah rusak dan
penuh dosa; legislasi harus dijalankan untuk
mengekang atau membatasi kejahatan, memenuhi klaim-klaim keadilan, dan meredam
dendam. Tetapi seperti halnya dengan hukum-hukum Musa terkait sumpah-sumpah yang secara
simultan menambahkan kredibilitas
pembicara dalam sebuah dunia yang telah jatuh dan menolong kebaikan mengatakan
kebenaran sebagai sebuah kebaikan itu sendiri, demikian juga Mosaik Lex
talionis secara simultan menguatkan
keadilan yang ketat’keras, membatasi dendam-dendam dalam sebuah dunia yang telah jatuh,
dan mengusung kebaikan sebuah masyarakat yang tertata secara baik, orang
saling memahami satu sama lain sebagi
kebaikan itu sendiri. Yesus melihat dalam kedua kasus ini bahwa legislasi
atau perundang-undangan formal menunjuk pada melampaui dunia ini, yang telah jatuh kepada sebuah kebaikan pokok/sempurna.
Itu sebabnya
bab ini diakhiri dengan cara yang
diperlihatkan dalam ayat 48: ”Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu
yang di sorga adalah sempurna.” Hampir
dipastikan bahwa ini bukanlah sebuah kesimpulan untuk ayat 43-47 tetapi untuk
seluruh enam antitesis. Dalam setiap kasus, Yesus berkata, hukum tidak hanya menjalankan fungsi mengatur didalam kovenan
Mosaik, tetapi hukum juga menunjuk
pada lebih dari sekedar dunia ini kepada
kesempurnaan tuntutan-tuntutan Tuhan. Itulah arah yang ada
didalam poin-poin hukum; itulah natur hubungan antara hukum Mosaik—atau,
lebih luas lagi, “kitab hukum [dan] para nabi” ( 5:17)—dan kesempurnaan kerajaan
yang sempurna. Yang terdahulu menunjuk kepada yang kemudian/akan datang; hukum taurat dan
kitab para nabi menunjuk pada kerajaan. Dan kerajaan itu telah terbit;
kerajaan
itu telah dilantik/diresmikan dalam
hidup dan pelayanan dan kematian
dan kebangkitan dan peninggian Yesus.
Ilustrasi: Ketegangan/konflik di Tunisi Credit :dw.de |
Pada hubungan ini kita sepertinya akan mendengar seseorang
mengutarakan keberatan: “Ini bicara tentang kerajaan yang sempurna,
semuanya sangat baik, tetapi kita secara sangat menyakitkan mengetahui bahwa
dunia ini masihlah dunia yang jatuh dan rusak. Si Jahat masih memiliki kedudukan atas setiap
aspek eksistensi manusia.” Itu benar,
tentu saja. Tetapi semua keberatan itu
sukses dalam menunjukan salah satu hal
yang paling persisten dan
mencirikan banyak ketegangan atau tekanan
dalam Perjanjian Baru, yaitu ketegangan
antara “yang sudah” dan “yang belum,” antara kerajaan yang telah dilantik dan kerajaan yang
telah sempurna. Ada sebuah pemahaman dimana para pengikut Yesus
harus melihat diri mereka, seolah-olah,
sebagai sebuah pos terluar didalam
waktu, didalam waktu kejatuhan, dari kerajaan sempurna yang masih akan datang. Diambil sebagai sebuah keseluruhan,
dokumen-dokumen Perjanjian Baru sepenuhnya mengakui realita kejahatan yang
sedang berlangsung bahkan sekalipun mereka bersikukuh bahwa dunia
ini sudah berlalu ( 1 Yohanes
2:17) dan bahwa
Setan amat geram sebab dia mengetahui bahwa waktu waktunya singkat (
Wahyu 12:12). Itu sebabnya mengapa kita
harus berdoa,”datanglah kerajaan-Mu” (Matius
6:10). Tak terelakan, hal itu bermakna bahwa kita hidup dengan
ketegangan-ketegangan yang pasti. Tetapi ketegangan-ketegangan ini memang benar-benar perihal eskatologi Perjanjian Baru. Dan Yesus sepenuhnya mengakui ketegangan-ketegangan tersebut. Jika dia
mendesak para pengikutnya untuk memberikan pipi
lainya ketika seseorang menampar atau merespon dengan lemah lembut pada
seorang serdadu Roma yang melakukan tindak
kekerasan, maka Yesus sepenuhnya menyadari bahwa
etika-etika kesempurnaan masih harus dilakukan
dalam titik sejarah ini dalam sebuah dunia yang teramat hancur dan telah kehilangan tatanan.
Hal itu membawa kita pada nas yang merupakan perhatian kita segera, yaitu Matius
5:43-47. Para pendengar Yesus telah mendengar bahwa ada dikatakan,” Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu” (Matius 5:43). Tentu saja, tidak ada nas Perjanjian Lama
yang berkata demikian. Bagian pertama, “kasihilah sesamamu manusia,”
diambil dari Imamat 19:18. Sebagaimana yang telah kita lihat pada
perkuliahan pertama, Yesus menggabungkan teks itu kedalam perintah
ganda kasihnya. Kita tidak perlu mengulang pemeriksaan konteks Perjanjian Lama dimana teks itu ditemukan. Tetapi
darimanakah bagian kedua, “dan
bencilah musuhmu,” berasal?
Orang
tidak dapat menjadi pasti secara absolut bagaimana slogan “Kasihilah sesamamu
manusia dan bencilah musuhnya” telah
dikembangkan, tetapi tidaklah sulit
untuk membuat sejumlah dugaan-dugaan yang memiliki dasar. Jika teks itu
berkata, “kasihilah sesamamu manusia,” maka pastilah, beberapa orang mungkin
berpikir, ada sanksi atau sokongan implisit untuk tidak mengasihi mereka yang bukan
sesamamu manusia. Hal itu mungkin tidak terdengar sebagai hal yang logis,
tetapi cukup dapat dipahami. Dan
kemudian itu hanyalah sebuah langkah kecil untuk penyimpulan bahwa hal itu secara keseluruhan
tepat untuk membenci orang tertentu, terutama musuh-musuh tertentu. Pada
ahirnya bukankan pemazmur merujuk musuh-musuhnya dan mendeklarasikan,” Aku sama sekali
membenci mereka, mereka menjadi musuhku.” (Mazmur 139:22)?
Faktanya,
ada sebuah rangkaian doa panjang (litani) pada teks-teks yang mengotorisasi sebuah
jenis kebencian tertentu. Dalam 2
Tawarikh 19:2 nabi Yehu menghardik Raja
Yosafat karena mengadakan aliansi-aliansi dengan pihak-pihak jahat. Yehu secara tajam
menanyakan raja,” "Sewajarnyakah engkau menolong orang fasik dan bersahabat
dengan mereka yang membenci TUHAN?” ( 2 Taw 19:2) balas Yehu, tentu saja, raja tidak semestinya mengasihi mereka yang membenci Tuhan. Dalam
Mazmur 35 Daud berdoa, “Berbantahlah, TUHAN, melawan orang yang berbantah dengan
aku, berperanglah melawan orang yang berperang melawan aku!” (35:1)—yang
mana ini sangat tidak terdengar seperti
berikanlah pipi yang lain. Ada alasan-alasan untuk nas-nas semacam ini. Jadi apakah slogan “Kasihilah sesamamu manusia dan
bencilhan musuhmu” sangat salah?
Tak terelakan, persoalan ini jauh lebih laten daripada pertama kali terlihat, sebagaimana juga halnya dengan hukum pada sumpah-sumpah atau lex talionis. Ketika Yehu mengkonfrontasi Yosafat, dia menghardiknya bukan karena sikap personalnya terhadap sahabat-sahabat pribadi dan musuh-musuh pribadi, tetapi karena perilakunya sebagai raja: raja kovenan tidak memiliki hal untuk mengadakan aliansi-aliansi dengan mereka yang terhadapnya Tuhan sendiri telah mengumumkan penhukuman. Dimana Daud mendeklarasikan bahwa dia sama sekali membenci terhadap orang-orang tertentu, konteksnya disingkapkan: “Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau?” dia bertanya dalam gaya retorika. Kemudian Daud menyimpulkan, “Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku” (Mazmur 139:21-22). Dalam konteks ini, kemudian, Daud berupaya untuk menyelaraskan dirinya dengan perspektif atau sudut pandang Tuhan. Daud memilih untuk membenci mereka yang membenci Tuhan. Daud tidak membenci mereka karena mereka adalah musuh-musuhnya, tetapi mereka telah dideklarasikan menjadi musuh-musuhnya karena dia membenci mereka, mengimitasi Tuhan. Dan bahkan dalam hal ini, Daud berhati-hati untuk tidak terlalu banyak mengupayakan pembalasan oleh dirinya sendiri sehingga dia meminta Tuhan untuk menumpas orang jahat (Mazmur 139:19). Tentu saja, ini merupakan bagian hakiki dari komitmen pemazmur untuk memikirkan pikiran-pikiran Tuhan pada dirinya. Ini adalah titik balik negatif menuju positif memikirkan kembali pikiran-pikiran Tuhan agak lebih dini dalam mazmur: “Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.” (Mazmur 139:17-18) [2].
Terlihat kemudian, bahwa dalam tambahan pada situasi-situasi khusus yang melingkupi tanggung jawab-tanggung jawab raja kovenan, pemazmur tertarik dalam merefleksikan contoh dari Tuhan sendiri. Tuhan tidak selalu, seolah-olah, memberikan pipi lainnya. Lebih lagi, sebagaimana telah saya kemukakan dalam buku-buku terdahulu [3], Alkitab dapat secara simultan/bersamaan mengafirmasi murka Tuhan terhadap orang-orang dan kasih kepada mereka: ini tidak mengisyaratkan bahwa kasih Tuhan dan “kebencian” yudisialnya haruslah bersifat eksklusif satu sama lain. Jadi mengapa harus kasih dan kebencian menjadi bersifat eksklusif --(maksudnya kalau ada kasih maka tidak mungkin juga ada [ secara bersamaan] benci,keduanya dapat ada secara bersamaan—tambahan editor Anchor)-- didalam kita? Bahkan didalam sebuah mazmur kutukan terhadap seseorang seperti Mazmur 109, dimana mazmur ini sangat kaya dengan kutuk-kutuk, si pemazmur membuat hal ini jelas bahwa dia telah mengasihi musuh-musuhnya dan berdoa bagi mereka : ” Sebagai balasan terhadap kasihku mereka menuduh aku, sedang aku mendoakan mereka. Mereka membalas kejahatan kepadaku ganti kebaikan dan kebencian ganti kasihku.” ( Mazmur 109:4-5).
Bersambung ke Bagian 5
Tak terelakan, persoalan ini jauh lebih laten daripada pertama kali terlihat, sebagaimana juga halnya dengan hukum pada sumpah-sumpah atau lex talionis. Ketika Yehu mengkonfrontasi Yosafat, dia menghardiknya bukan karena sikap personalnya terhadap sahabat-sahabat pribadi dan musuh-musuh pribadi, tetapi karena perilakunya sebagai raja: raja kovenan tidak memiliki hal untuk mengadakan aliansi-aliansi dengan mereka yang terhadapnya Tuhan sendiri telah mengumumkan penhukuman. Dimana Daud mendeklarasikan bahwa dia sama sekali membenci terhadap orang-orang tertentu, konteksnya disingkapkan: “Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau?” dia bertanya dalam gaya retorika. Kemudian Daud menyimpulkan, “Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku” (Mazmur 139:21-22). Dalam konteks ini, kemudian, Daud berupaya untuk menyelaraskan dirinya dengan perspektif atau sudut pandang Tuhan. Daud memilih untuk membenci mereka yang membenci Tuhan. Daud tidak membenci mereka karena mereka adalah musuh-musuhnya, tetapi mereka telah dideklarasikan menjadi musuh-musuhnya karena dia membenci mereka, mengimitasi Tuhan. Dan bahkan dalam hal ini, Daud berhati-hati untuk tidak terlalu banyak mengupayakan pembalasan oleh dirinya sendiri sehingga dia meminta Tuhan untuk menumpas orang jahat (Mazmur 139:19). Tentu saja, ini merupakan bagian hakiki dari komitmen pemazmur untuk memikirkan pikiran-pikiran Tuhan pada dirinya. Ini adalah titik balik negatif menuju positif memikirkan kembali pikiran-pikiran Tuhan agak lebih dini dalam mazmur: “Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.” (Mazmur 139:17-18) [2].
Terlihat kemudian, bahwa dalam tambahan pada situasi-situasi khusus yang melingkupi tanggung jawab-tanggung jawab raja kovenan, pemazmur tertarik dalam merefleksikan contoh dari Tuhan sendiri. Tuhan tidak selalu, seolah-olah, memberikan pipi lainnya. Lebih lagi, sebagaimana telah saya kemukakan dalam buku-buku terdahulu [3], Alkitab dapat secara simultan/bersamaan mengafirmasi murka Tuhan terhadap orang-orang dan kasih kepada mereka: ini tidak mengisyaratkan bahwa kasih Tuhan dan “kebencian” yudisialnya haruslah bersifat eksklusif satu sama lain. Jadi mengapa harus kasih dan kebencian menjadi bersifat eksklusif --(maksudnya kalau ada kasih maka tidak mungkin juga ada [ secara bersamaan] benci,keduanya dapat ada secara bersamaan—tambahan editor Anchor)-- didalam kita? Bahkan didalam sebuah mazmur kutukan terhadap seseorang seperti Mazmur 109, dimana mazmur ini sangat kaya dengan kutuk-kutuk, si pemazmur membuat hal ini jelas bahwa dia telah mengasihi musuh-musuhnya dan berdoa bagi mereka : ” Sebagai balasan terhadap kasihku mereka menuduh aku, sedang aku mendoakan mereka. Mereka membalas kejahatan kepadaku ganti kebaikan dan kebencian ganti kasihku.” ( Mazmur 109:4-5).
Bersambung ke Bagian 5
Love in Hard Places- Chapter 2 “Love And
Enemies, Big And Small” | diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
Catatan Kaki
:
[1]Of course that is why, when God puts himself under an oath, he swears by himself, for there is none greater (Heb. 6:13).
[1]Of course that is why, when God puts himself under an oath, he swears by himself, for there is none greater (Heb. 6:13).
[2]See
the useful discussion in John Piper, “Love Your Enemies”: Jesus’ Love Command
in the Synoptic Tradition and the Early Christian Paraenesis (SNTSMS 38;
Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 33-34.
[3]D.
A. Carson, The Difficult Doctrine of the Love of God (Wheaton, Ill.: Crossway,
2000), chap. 4.
No comments:
Post a Comment