Oleh : Prof. D.A. Carson
Apapun hal yang mesti dilakukan orang-orang Kristen, mereka mesti berlaku manis, dimana “kemanisan” disini bermakna banyak tersenyum dan tidak pernah mengisyaratkan bahwa seseorang dapat saja menjadi salah….bermakna memulihkan para pezinah ( sebagai contoh) pada jabatan pastoralnya berdasarkan pada petunjuk pertobatan samar belaka… Kasih Tuhan yang memilih, …yang memilih Israel—bukan karena Israel itu lebih besar dan lebih kuat atau lebih impresif dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, tetapi karena Tuhan mengasihi bangsa itu ( Ulangan 7:7-8; 10:15). Kasih ini jangan dibingungkan dengan nas-nas yang memperkatakan kasih providensia Tuhan, …. Kasih Tuhan yang Kondisional. Baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sejumlah nas membuat kasih Tuhan kondisional terhadap kepatuhan yang setia.., Yesus mengatakan kepada pengikut-pengikutnya, ”Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (Yohanes 15:10).
Ilustrasi Credit :ima-g.ar.itb.ac.id |
A. Sebuah Pengantar yang Memberikan Gambaran
Tiga tahun lampau, saya telah memberikan beberapa perkuliahan yang pada akhirnya telah dipublikasikan dengan judul The Difficult Doctrine of the Love of God [1] atau Doktrin Sukar Kasih Tuhan. Hampir seluruh fokus dari perkulihan-perkuliahan tersebut tertuju pada cara-cara Alkitab mengutarakan kasih Tuhan. Saya telah mengutarakan relatif sedikit mengenai kasih Kristen, yakni mengenai kasih orang-orang Kristen yang diminta untuk diekspresikan. Dalam buku ini saya ingin memperbaiki sedikit keseimbangannya; tentu saja, pada bagian akhir saya akan memperlihatkan beberapa cara dimana kasih orang-orang Kristen merupakan sebuah refleksi kasih Tuhan.
Sebelum masuk kedalam topik, caranya akan menjadi lebih mudah jika saya meninjau dan sedikit mengadaptasi tiga poin yang telah saya kemukakan pada serangkaian perkuliahan-perkuliahan pertama.
Pertama,
budaya populer mondar-mandir
diantara sebuah pandangan sentimentil dan sebuah pandangan kasih yang erotis. Pandangan kasih yang
erotis diasup oleh televisi, filem-filem, dan buku-buku serta artikel-artikel
tertentu; pandangan sentimentil dibesarkan oleh banyak aliran, beberapa diantaranya akan
kita pikirkan selagi kita melakukan pembahasan terkait hal ini, tetapi
hasilnya adalah sebuah bentuk reduksionisme yang berpepang pada budaya ditaklukan oleh absurditasnya.
Diterapkan kepada Tuhan, maka pandangan sentimentil menghasilkan sebuah ketuhanan dengan semua kekudusan yang
menakjubkan dari sebuah mainan yang meninabobokan,
dengan semua integeritas moral pada makanan ringan marshmallow. Dalam kuliah-kuliah sebelumnya, saya secara ringkas
telah mendokumentasikan poin ini dengan contoh-contoh dari filem-filem dan
buku-buku. Diterapkan kepada orang-orang Kristen, pandangan sentimentil
melahirkan harapan-harapan akan kemanisan-kemanisan transendental. Apapun hal yang mesti dilakukan orang-orang Kristen, mereka
mesti berlaku manis, dimana “kemanisan”
disini bermakna banyak tersenyum
dan tidak pernah mengisyaratkan bahwa seseorang dapat saja
menjadi salah mengenai hal apapun ( karena melakukan hal ini bukanlah
tindakan yang baik). Pada gereja lokal ini bermakna mengabaikan
disiplin gereja ( disiplin gereja bukan hal yang baik), dan dalam banyak
konteks ini bermakna memulihkan para pezinah ( sebagai contoh) pada jabatan
pastoralnya berdasarkan pada petunjuk pertobatan samar belaka. Pada akhirnya,
bukankah gereja adalah tentang pengampunan? Tidakkah kita semestinya mengasihi
satu sama lain? Dan bukankah itu bermakna bahwa diatas semuanya kita harus
menjadi,baik, manis? Hal serupanya juga terjadi terkait doktrin: huruf membunuh, sementara
Roh memberikan hidup, dan setiap orang yang mengenal Roh adalah manis. Sehingga
marilah kita mengasihi satu sama lain dan
menahan diri dari menjadi tegak lurus dan tegak ketat terkait hal memecah
belah, yang disebut “doktrin.”
Tidak ada satupun dari hal ini mengatakan bahwa “ ketidakmanisan” memiliki
daya pikat untuk orang-orang Kristen yang bijak dan cermat dalam berpikir . Hal ini semata hendak mengatakan bahwa dikepung
budaya reduksi “kasih” yang angkuh dan
percaya diri berlebih namun tidak dewasa, bahkan kasih Kristen, telah berubah menjadi
"kemanisan" tidaklah memberikan kita jangkauan berpikir yang melalui keragaman cara-cara yang
dikemukakan oleh Alkitab mengenai kasih
Kristen, keragaman-keragaman konteks yang menuntut suatu hal besar untuk diperlakukan lebih mendalam daripada
kebaikan sentimentil.
Menyortir hal-hal ini tidaklah gampang. Sangat terlepas dari tantangan-tantangan exegetical
lazim, orang akan segera menemukan bahwa
isu-isu ini, walaupun tidak pernah kurang daripada exegetical ( hal
tafsir Alkitab-editor Anchor), biasanya lebih daripada itu: tidaklah mudah
untuk berpikir secara jernih dengan exegetical utuh ketika anda sedang
diberitahukan bahwa karena kamu berkata bahwa perilaku-perilaku
tertentu itu
salah, kamu berlaku tidak manis, kamu
tidak sedang memperlihatkan kasih Kristen. Jika orang-orang Kristen tidak manis, mereka tidak sungguh-sungguh
mengasihi, dan itu bermakna mereka
adalah orang-orang munafik. Dan semua kita tahu
dengan malu bahwa gereja
telah turut serta menghasilkan orang-orang munafik, bukankah kita demikian? Jadi
mendengarkan cemooh, dan tidak mengetahui sama sekali bagaimana menjawabnya,
kita tergoda untuk berjongkok dalam lubang-lubang perlindungan kita dan memutuskan untuk menjadi sedikit lebih manis. Jika kebenaran diungkapkan, tekanan-tekanan yang turut menyertai akan sering muncul dari dalam gereja
itu sendiri sama seperti dari luar
gereja. Godaan untuk mundur menjadi berdiam “manis” segera saja membesar.
Kedua,
jenis-jenis kasih yang berbeda telah diusulkan oleh beragam penulis tidak
dapat diselaraskan secara aman dengan kata-kata spesifik. Berangkali
analisa-analisa yang paling terkenal
adalah apa yang dikemukakan oleh Nygren, yang telah menspesifikasikan tiga
kasih: kasih seksual dan erotis, yang
dia kaitkan dengan kata benda ερως atau eros; kasih emosional,
atau kasih persahabatan dan perasaan, yang dia kaitkan dengan kelompok kata φιλεω atau fileo; dan kasih yang
berkomitmen, komitmen mengorbankan untuk
kebaikan orang lain, yang dia pikir
sebagai kasih Kristen dan terkait dengan kelompok kata αγαπαω
atau agapao[2]
Apapun analisa-analisa yang mengukur
kebenaran jenis-jenis kasih ini, saya
telah memperlihatkan pada tempat lain
bahwa ada banyak bukti yang menyatakan bahwa kasih-kasih yang berbeda ini tidak
dapat secara amat ditautkan dengan kata-kata yang dimaksudkan. Alkitab memiliki banyak kata untuk menyatakan kasih
seksual, sebagai contoh, namun kata ini
belum pernah digunakan adalah kata ερως atau eros. Dalam
Alkitab Septuaginta, ketika Amon memperkosa
saudari tirinya, teks Yunani dapat berkata bahwa dia ‘telah mencintai”
dia, dengan menggunakan kata kerja αγαπαω –agapao [LXX 2 Sam 13:1,4,15). Ketika
Yohanes mengatakan kepada kita bahwa
Bapa mengasihi Anak, sekali Bapa mengasihi dengan φιλεω – fileo, dan sekali
mengasihi dengan αγαπαω – agapao, tanpa ada pembedaan yang dapat dipilah.
Faktanya, bukti bergerak melampaui
segelintir ayat-ayat tersebut, tetapi
saya tidak perlu mengulanginya di sini karena hal ini telah pernah disampaikan
cukup sering[3].
Tidak sekali waktu saya menyatakan bahwa tidak ada jenis-jenis kasih yang berbeda. Apa yang sebenarnya sedang saya bantah adalah : jenis-jenis kasih spesifik tidak dapat diandalkan untuk ditautkan dengan kata-kata Yunani tertentu. Konteks dan faktor-faktor lain akan turut menentukan, jadi bukan semata kosa kata. Jadi walaupun masih ada banyak studi-studi yang berbicara mengenai “Kasih yang bersifat agape atau sejenisnya[4], kata sifat yang diupayakan untuk ditransliterasikan secara simultan menjadi tidak membantu ( karena maknanya secara intrinsik tidak terlihat jernih dalam bahasa Inggris--dan juga dalam bahasa Indonesia-ditambahkan oleh editor Anchor) dan menyesatkan ( karena pembedaan semacam ini memberikan impresi yang salah bahwa bobot dari makna yang telah ditetapkan berpijak pada sebuah kata Yunani manakala tidak demikian).
Analisa tiga macam kasih yang dikemukan Nygren bukanlah satu-satunya. Malahan sosok terkenal C.S. Lewis lebih suka membicarakan The Four Loves [5]. Mendasarkan dirinya pada kosa kata yang ada dalam tulisan-tulisan kuno Yunani, dia menambahkan istilah στοργη –storgi ( untuk “kasih sayang,” secara khusus diantara anggota-anggota keluarga) dan membatasi kelompok kata φιλια / φιλεω atau filia /fileo untuk persahabatan. Sekali lagi pembedaan analitik mungkin sangat membantu, tetapi hal semacam tidak harus ditautkan dengan kata-kata Yunani tertentu[6]. Terlebih belakangan ini telah menjadi umum dibicarakan mengenai 5 macam kasih[7]. Dua jenis “kasih” ditambahkan pada tiga jenis yang telah diusulkan oleh Nygren adalah kasih saying untuk yang tidak sepenuhnya personal, ditautkan oleh banyak penulis dengan στοργη – storgi ( sebuah analisa yang agak berbeda dari yang diajukan C.S. Lewis!), dan kasih bagi diri sendiri ( amor sui: penuh belas kasih, tidak ada kelompok kata Yunani yang ditautkan untuk kategori ini). Tetapi poin langsungku adalah : bahkan jika orang menerima bahwa ada tiga atau empat atau lima jenis kasih yang dapat dibedakan, mereka tidak dapat mengaitkannya ke kata-kata atau kelompok-kelompok kata yang berbeda.
Banyak penulis yang memiliki kategori-kategori yang secara khusus merupakan analisa filosopi atau teologi sistematik yang telah mendebatkan hubungan yang ada diantara lima jenis kasih ini. Salah satu yang paling menarik dan kreatif adalah Timothy Jackson, dengan bukunya berjudul Love Disconsoled: Meditations On Christian Charity [8] berpendapat bahwa apa yang dia sebut sebagai kasih agapic atau agape “memiliki sebuah prioritas tunggal terhadap semua bentuk-bentuk kasih lainnya; jenis ini mendahului jenis-jenis lainnya begitu saja dan mengatur jenis-jenis lain secara epistemis/ kognitif”[9]. Dengan kata lain, dia melihat empat jenis kasih lainnya—kasih erotis, kasih persahabatan, kasih yang kurang daripada terhadap obyek personal, dan bahkan kasih bagi diri sendiri---sebagai “bertumbuh keluar dari agape sebagai buah-buah yang pantas, ketimbang sebagai sepenuhnya tak berhubungan dengan (atau bahkan berkontradiksi satu sama lain) agape sebagai rival-rivalnya yang gampang. Kasih-kasih itu berbeda, tetapi mereka tidak antithesis”[10]. Saya telah banyak belajar dari Jackson dan yang lain-lainnya[11], dan saya terus mendalami apa yang telah mereka tuliskan. Tetapi kategor-kategori mereka, walaupun secara heuristic atau kajian mencerahkan, tidaklah mendemonstrasikan perihal-perihal yang mengontrol Kitab suci. Jadi dalam kuliah-kuliah ini, saya telah mengadopsi tujuan yang jauh lebih sederhana dalam memahami bagaimana kasih telah dimandatkan atas pengikut-pengikut Yesus yang bekerja dalam sejumlah nas-nas berbeda dalam Alkitab dan berangkai dengan tema-tema lainnya dalam Perjanjian Baru.
Ketiga, ini akan membantu pengembangan argumen saya jika saya mengambil waktu saat ini untuk meninjau dan merangkumkan secara sangat ringkas salah satu tema-tema sentral dari buku kecilku yang terdahulu, The Difficult Doctrine of Love of God. Saya ada berpendapat bahwa Alkitab berbicara tentang kasih Tuhan setidaknya dalam lima cara yang dapat dibedakan.
Tidak sekali waktu saya menyatakan bahwa tidak ada jenis-jenis kasih yang berbeda. Apa yang sebenarnya sedang saya bantah adalah : jenis-jenis kasih spesifik tidak dapat diandalkan untuk ditautkan dengan kata-kata Yunani tertentu. Konteks dan faktor-faktor lain akan turut menentukan, jadi bukan semata kosa kata. Jadi walaupun masih ada banyak studi-studi yang berbicara mengenai “Kasih yang bersifat agape atau sejenisnya[4], kata sifat yang diupayakan untuk ditransliterasikan secara simultan menjadi tidak membantu ( karena maknanya secara intrinsik tidak terlihat jernih dalam bahasa Inggris--dan juga dalam bahasa Indonesia-ditambahkan oleh editor Anchor) dan menyesatkan ( karena pembedaan semacam ini memberikan impresi yang salah bahwa bobot dari makna yang telah ditetapkan berpijak pada sebuah kata Yunani manakala tidak demikian).
Analisa tiga macam kasih yang dikemukan Nygren bukanlah satu-satunya. Malahan sosok terkenal C.S. Lewis lebih suka membicarakan The Four Loves [5]. Mendasarkan dirinya pada kosa kata yang ada dalam tulisan-tulisan kuno Yunani, dia menambahkan istilah στοργη –storgi ( untuk “kasih sayang,” secara khusus diantara anggota-anggota keluarga) dan membatasi kelompok kata φιλια / φιλεω atau filia /fileo untuk persahabatan. Sekali lagi pembedaan analitik mungkin sangat membantu, tetapi hal semacam tidak harus ditautkan dengan kata-kata Yunani tertentu[6]. Terlebih belakangan ini telah menjadi umum dibicarakan mengenai 5 macam kasih[7]. Dua jenis “kasih” ditambahkan pada tiga jenis yang telah diusulkan oleh Nygren adalah kasih saying untuk yang tidak sepenuhnya personal, ditautkan oleh banyak penulis dengan στοργη – storgi ( sebuah analisa yang agak berbeda dari yang diajukan C.S. Lewis!), dan kasih bagi diri sendiri ( amor sui: penuh belas kasih, tidak ada kelompok kata Yunani yang ditautkan untuk kategori ini). Tetapi poin langsungku adalah : bahkan jika orang menerima bahwa ada tiga atau empat atau lima jenis kasih yang dapat dibedakan, mereka tidak dapat mengaitkannya ke kata-kata atau kelompok-kelompok kata yang berbeda.
Banyak penulis yang memiliki kategori-kategori yang secara khusus merupakan analisa filosopi atau teologi sistematik yang telah mendebatkan hubungan yang ada diantara lima jenis kasih ini. Salah satu yang paling menarik dan kreatif adalah Timothy Jackson, dengan bukunya berjudul Love Disconsoled: Meditations On Christian Charity [8] berpendapat bahwa apa yang dia sebut sebagai kasih agapic atau agape “memiliki sebuah prioritas tunggal terhadap semua bentuk-bentuk kasih lainnya; jenis ini mendahului jenis-jenis lainnya begitu saja dan mengatur jenis-jenis lain secara epistemis/ kognitif”[9]. Dengan kata lain, dia melihat empat jenis kasih lainnya—kasih erotis, kasih persahabatan, kasih yang kurang daripada terhadap obyek personal, dan bahkan kasih bagi diri sendiri---sebagai “bertumbuh keluar dari agape sebagai buah-buah yang pantas, ketimbang sebagai sepenuhnya tak berhubungan dengan (atau bahkan berkontradiksi satu sama lain) agape sebagai rival-rivalnya yang gampang. Kasih-kasih itu berbeda, tetapi mereka tidak antithesis”[10]. Saya telah banyak belajar dari Jackson dan yang lain-lainnya[11], dan saya terus mendalami apa yang telah mereka tuliskan. Tetapi kategor-kategori mereka, walaupun secara heuristic atau kajian mencerahkan, tidaklah mendemonstrasikan perihal-perihal yang mengontrol Kitab suci. Jadi dalam kuliah-kuliah ini, saya telah mengadopsi tujuan yang jauh lebih sederhana dalam memahami bagaimana kasih telah dimandatkan atas pengikut-pengikut Yesus yang bekerja dalam sejumlah nas-nas berbeda dalam Alkitab dan berangkai dengan tema-tema lainnya dalam Perjanjian Baru.
Ketiga, ini akan membantu pengembangan argumen saya jika saya mengambil waktu saat ini untuk meninjau dan merangkumkan secara sangat ringkas salah satu tema-tema sentral dari buku kecilku yang terdahulu, The Difficult Doctrine of Love of God. Saya ada berpendapat bahwa Alkitab berbicara tentang kasih Tuhan setidaknya dalam lima cara yang dapat dibedakan.
(1)Kasih Bapa kepada sang Putera ( misal Yohanes 3:35; 5:20) dan kasih sang Putera kepada Bapa ( Yohanes 14:31). Kasih intra-Trinitarian ini, jika saya boleh menggunakan istilah ini, yang tidak dikembangkan sampai belakangan ini, bukanlah kasih penebusan: bukan
Bapa tidak juga Putera yang memerlukan penebusan. Tidak juga ini merupakan "jenis" kasih yang dicurahkan meskipun terdapat ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan pada sosok yang dikasihi. Tidak hanya memang Bapa dan Anak mengasihi satu sama lain, tetapi masing-masing terhadap satu sama lain dapat mengasihi dengan kasih yang terlampau hebat untuk dapat diukur.
(2)Kasih providensia (pemeliharaan) Tuhan atas seluruh alam semesta. Tidak hanya Tuhan telah menciptakan alam semesta dan menyebutnya “sangat baik” (Kejadian 1:31), tetapi bahkan dalam kondisi kekacauan dan pemberontakan, Yesus mengajarkan kita bahwa Tuhan“menyebabkan mataharinya untuk terbit bagi yang jahat dan yang baik, dan mengirimkan hujan atas orang benar dan orang tidak benar” (Matius 4:45). Bahwa ini adalah sebuah tindakan kasih pada pihak Tuhan diperlihatkan dengan apa yang Yesus katakan selanjutnya : “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Matius 5:46). Dengan kata lain, tanggung jawab kita untuk mengasihi musuh-musuh kita didasarkan pada fakta bahwa Tuhan secara providensia mengasihi orang yang tidak adil dan adil.
credit: Sunshine City- delroso.deviantart.com
(3)Tuhan teramat merindukan,mengundang, mencari, menyimpan kasih. Dia adalah Tuhan yang mengasihi dunia (Yohanes 3:16) hingga kesudahannya—yaitu orang-orang yang
akan percaya kepadanya dan memiliki hidup kekal. Dia adalah Tuhan yang ber teriak, “Demi Aku yang hidup,… , Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” (Yehezkiel 33:11). Tentu saja ini agak berbeda dari kasih Bapa kepada Anak; memang, untuk mengatakan setidaknya, dapat dibedakan dari kasih providensia Tuhan.
(4) Kasih Tuhan yang memilih, kasihnya yang selektif. Dia adalah Tuhan yang memilih Israel—bukan karena Israel itu lebih besar dan lebih kuat atau lebih impresif dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, tetapi karena Tuhan mengasihi bangsa itu ( Ulangan 7:7-8; 10:15). Kasih ini jangan dibingungkan dengan nas-nas yang memperkatakan kasih providensia Tuhan, untuk setiap orang tanpa pengecualian adalah penerima kasih semacam ini, sebagaimana disini keseluruhan poinnya adalah : kasih Tuhan membuat pembedaan-pembedaan. Itu mengapa Tuhan dapat merangkumkan kasih ini dengan merujuk pada kategori-kategori yang membedakan: “demikianlah firman TUHAN.
"Namun Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau,” kata Tuhan (Maleakhi 1:2-3) —sebuah pembedaan dilakukan, Paulus memperlihatkan, hal itu didasarkan pada pemikiran Tuhan sebelum baik Yakub dan Esau “dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat” (Roma 9:10-12). Hal serupa dalam Perjanjian Baru :” Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Efesus 5:25). Cara-cara memperkatakan ini dibedakan dari nas-nas yang berbicara mengenai kerinduan Tuhan, kasihnya yang mengundang, masih ada lebih banyak lagi nas-nas yang membicarkan kasih providensia Tuhan atas semua tanpa pembedaan.
(5) Kasih Tuhan yang Kondisional. Baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sejumlah nas membuat kasih Tuhan kondisional terhadap kepatuhan yang setia. Dalam Dekalog, sebagai contoh, Tuhan berjanji untuk memperlihatkan kasih “kepada
beribu-ribu generasi dari orang-orang yang mengasihiku dan memelihara perintah-perintahku” (Keluaran 20:6, penekanan oleh author). Yesus mengatakan kepada pengikut-pengikutnya, ”Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (Yohanes 15:10). Kitab Yudas memperingatkan para pembacanya, “Peliharalah dirimu demikian dalam kasih Allah sambil menantikan rahmat Tuhan kita, Yesus Kristus, untuk hidup yang kekal” (Yudas 21), memberikan impresi yang tak terelakan bahwa adalah mungkin juga untuk tidak tetap tinggal dalam kasih Tuhan.
Berlanjut ke Bagian 2, nantikanlah
Love In Hard Places- Bab 1 | Diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
Catatan-Catatan
Kaki :
[1]Wheaton, Ill.: Crossway Books, 2000.
[1]Wheaton, Ill.: Crossway Books, 2000.
[2]Anders
Nygren, Agape and Eros (New York: Harper and Row, 1969).
[3]I
summarized some of the evidence in Exegetical Fallacies, 2nd ed. (Grand Rapids:
Baker, 1996), 31- 32, 51-53.
[4]E.g.,
Stanley J. Grenz, The Moral Quest: Foundations of Christian Ethics (Downers
Grove, Ill.: InterVarsity Press, 1997), esp. chap. 8; Lewis B. Smedes, Love
Within Limits: Realizing Selfless Love in a Selfish World (Grand Rapids:
Eerdmans, 1978), passim. Both books, I hasten to add, include many good things;
the latter stands within a tradition of thoughtful Christian expositions of 1
Corinthians 13. Compare, for instance, Jonathan Edwards, Charity and Its Fruits
(London: Banner of Truth, 1969 [1852]); William Scroggie, The Love Life: A
Study of I Corinthians xiii (London: Pickering and Inglis, n.d.). One of the reasons
why some ethicists (e.g., Grenz, 280) are still claiming a distinction in the
Greek words is because they rely on older works (e.g., Gustav Stählin, “uike@x
jsk,” TDNT 9.128,134) that presupposed an isomorphic relationship between form
and meaning. Linguistics has long sincedemonstrated how impossible that view
is.
[5]New York & London: Harcourt Brace Jovanovich, 1960.
[5]New York & London: Harcourt Brace Jovanovich, 1960.
[6]The
book to read is Robert Joly, Le vocabulaire chrétien de l’amour est-il
original? Φιλειν et Αγαπαν dans le grec antique (Bruxelles: Presses
Universitaires, 1968).
[7]See
the elegant summary of this discussion in Timothy P. Jackson, Love Disconsoled:
Meditations on Christian Charity (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
ch. 3.
[8]Op.
cit.
[9]Ibid., 56.
[9]Ibid., 56.
[10]Ibid.
C. S. Lewis gave a similar priority to αγαπη.
[11]See
especially the excellent bibliography in Jackson, Love Disconsoled, 231-244.
[12]Sipre, on Lev.
No comments:
Post a Comment