Oleh : Charles L. Feinberg, Th.D.,Ph.D.
Mantan Dekan dan Profesor Perjanjian Lama
Talbot Theological Seminary – La Mirada, CA
[Bagian 1]... Pusat badai dari teks ini, tentu saja, kata ‘almâ (wanita muda). … Tetapi apakah makna dari kata ‘almâ persisnya?... Gordon, seorang pakar Jewish Semitic yang cakap, menghadirkan sebuah keping informasi tambahan yang menarik pada masalah ini. Dia menyatakan:…”
Meskipun ketidakpatuhan si raja dan
tanpa kerjasamanya, Diri Tuhan sendiri telah menjanjikan sebuah tanda spesifik:
seorang perawan mengandung anak yang akan melahirkan seorang putera yang bernama
Immanuel. Sebelum anak itu mencapai tahap-tahap pertumbuhan yang pasti, baik
Syria dan Efraim tidak lagi menjadi
kekuatan-kekuatan yang membahayakan Yehuda. Bagaimana nas ini harus dipahami
lebih besar? Apakah ini sebuah prediksi dari sebuah peristiwa buruk yang akan terjadi di masa mendatang?
Apakah ini adalah sebuah nubuat dari sebuah
karakter yang membawa dampak sangat menolong setelah sesuatu hal buruk terjadi? Ataukah ini menkomposisikan kedua elemen tersebut?[ Kraeling, “Immanuel,”
281, ably sets forth the three groups of interpretation]. Agar dapat
menentukan pertanyaan dasar ini, menjadi sangat
perlu memikirkan secara khusus istilah-istilah individual dalam nas ini.
Apakah yang dimaksud dengan kata ‘ôt (tanda)? Andaikan ada
kesepakatan disini diantara para interpreter nubuat ini, orang dapat merasa bahwa dia sedang melakukan permulaan yang baik. Tetapi
keragaman pandangan-pandangan membuat kebingungan, setidaknya ini yang
dapat dikatakan. Brown telah menghitung tujuh puluh Sembilan pemunculan
kata tersebut dalam Perjanjian Lama,
empat puluh empat kali dalam bentuk tunggal dan tiga puluh lima kali dalam
bentuk jamak. Dia memahami penggunaan kata ini dalam nas kita ini sebagai
terkait dengan sebuah tanda yang “terjadi sebelum peristiwa yang telah
dijanjikan tersebut terjadi, dan
berperang sebagai sebuah ikrar bagi mereka, bagi mereka tanda itu diberikan bahwa peristiwa itu
diacukan akan terjadi. Kita, kemudian, pasti akan berharap untuk menemukan
tanda itu diberikan kepada Ahas, sesuatu yang telah terjadi mendahului
pembebasan yang telah diprediksikan dalam nas yang sama, dan telah menjadi
sebuah ikrar baginya akan pembebasan itu” [Charles R. Brown, “Exegesis of Isaiah
VII. 10-17,” JBL, 9, no. 1 (1890): 119.]. Fitch meyakini bahwa tanda tersebut “ tidak
harus berupa hal yang ajaib”[ Fitch, “Isaiah,”
569.]. Gray merasa bahwa tanda itu
dalam pandangan sesuatu yang sebelumnya telah diprediksi, tetapi sekarang sebenarnya telah terjadi[George B. Gray, A Critical and
Exegetical Commentary on the Book of Isaiah I–XXVII.ICC
(Edinburgh: T&T Clark, 1912), I:121. Juga Skinner menyanggah bahwa sebuah
tujuan mujizat ada disebutkan disini (Isaiah, 60). Lihat juga Cuthbert Lattey, “The
Term Almah in
Is. 7:14,” dan “VariousInterpretations
of Is. 7:14,” CBQ 9 (1947): 95 and 147–54, yang terlihat mengambil posisi yang sama.]
Tetapi sikap tradisional bahwa sebuah mujizat diperlukan oleh konteksnya bukan tanpa eksponen-eksponen penunjangnya. Barnes secara tegas menyatakan bahwa tanda tersebut adalah “sebuah mujizat yang secara cermat dibentuk untuk pembuktian kebenaran sebuah janji atau pesan Ilahi. Inilah maknanya disini”[ Barnes, “Isaiah,” 155.]. Kraeling menyimpulkan bahwa sesuatu yang tidak lazim harus diketemukan,”sehingga interpretasi kelahiran perawan purba tidak tanpa sebuah dasar psikologis yang baik ketika dipandang dari sudut ini”[ Kraeling, “Immanuel,” 280.]. J.A. Alexander mengemukakan pemikirannya bahwa “hal itu terlihat sangat tidak mungkin untuk terjadi bahwa setelah sebuah penawaran semacam itu, tanda yang telah dianugerahkan itu akan menjadi semata sebuah hal yang merupakan kejadian sehari-sehari, atau pada aplikasi yang paling hebat adalah sebuah nama yang bersifat simbolik. Praduga semacam ini diperkuat oleh keseriusan apa yang dikatakan Nabi tersebut mengenai kelahiran yang telah diprediksikan, tidak sebagai sebuah peristiwa alami dan biasa, tetapi sebagai sesuatu yang menggairah ketakjubannya sendiri, saat dia memandangnya dalam penglihatan profetik”[ Joseph A. Alexander, Commentary on Isaiah (1865; repr., Grand Rapids: Zondervan,1953), 167.].
Mereka yang bersikukuh bahwa Yesaya pasti sedang mengatakan sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lampau atau peristiwa pada adegan kontemporer tidak memberikan kata seru hinnēh (Lihat), kekuatan kata seru yang tepat. Delitzch menyatakan: “hinnēh” yang diikuti dengan participle ( disini participle sebagai kata sifat; bandingkan dengan 2 Samuel 11:5) selalu presentatif/hari ini,dan hal yang dihadirkan selalu baik sebuah hal yang nyata, seperti dalam Kejadian 16:11 dan Hakim-Hakim 13:5; atau hal itu idealnya hal saat ini atau present,seperti yang harus diambil disini; karena kecualiu dalam bab 47:7 hinnēh selalu mengindikasikan sesuatu dimasa mendatang dalam Yesaya”[ Franz Delitzsch, Biblical Commentary on The Prophecies of Isaiah, trans. James Martin (1879; repr., Grand Rapids: Eerdmans, 1960), 1:206.]. Kita berhutang kepada Young karena mengangkat hal ini pada terang
Sources: Craigie, Peter C. Ugarit and the Old Testament. Eerdmans, 1983. 9, 11, 30. Kapelrud, Arvid S. transl. by G. W. Anderson. The Ras Shamra Discoveries and the Old Testament. Oxford: Basil Blackwell, 1965. 5. credit : deeperstudy |
Pusat badai
dari teks ini, tentu saja, kata ‘almâ (wanita muda). Reams telah
menulis mengenai ini dan, tak diragukan, Reams akan menuliskan kata ini
dalam masa mendatang. Apakah translasi
persis dari kata penting dan krusial?
Adakah sebuah elemen ambiguitas dalam kata ini, atau apakah ketidakjelasan ini telah diimpor masuk kedalam diskusi oleh
para interpreter Alkitab?Disini penafsir
Yesaya memiliki sebuah kesempatan yang luar biasa untuk bergerak secara perlahan dan membajak secara
mendalam. Untuk menjadi akurat dalam
kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh seorang penafsir maka semua bukti yang tersedia harus
ditimbang secara tepat. Paling terutama,
harus diperhatikan bahwa kata benda
tersebut memiliki artikel pasti
atau definite article. Bagi banyak orang, fenomena ini tidak memiliki
siginifikansi, tetapi Lindbolm mengafirmasi: ”Penjelasan yang paling alami
adalah bahwa sebuah perempuan yang pasti
ada dalam pangamatan” [Lindblom, “Immanuel,”19. Also A. R.
Fausett, “Hebrews,” in A Commentary:Critical, Experimental and Practical by
Robert Jamieson, A. R. Fausset, and David Brown (1893;repr., Grand Rapids:
Eerdmans, 1973), 3:586.]. Hengstenberg bajkan lebih kuat lagi ketika dia
mendeklarasikan: “Dalam harmoni dengan hinnēh, artikel pada ha-’almâ menjadi dapat dijelaskan dari kondisi
atau fakta yang menyertai bahwa Perawan tersebut
dihadirkan pada persepsi kedalam dari nabi tersebut—setara dengan “ perawan
disana”[
E.W. Hengstenberg, Christology of the Old
Testament (1892; repr., Grand Rapids, Kregel, 1970), 2:44.
Young menjelaskannya begini: “Lebih alami, akan tetapi, apakah penggunaan
yang generik dimana artikel tersebut berfungsi untuk
menunjukan beberapa orang tak dikenal
tertentu.” (Studies, 164).].
Interpretasi yang lebih baik dari nas itu
akan melihat sebuah nilai penting dari penggunaan artikel pasti oleh nabi tersebut, sedang menunjuk pada seseorang yang spesifik.
Tetapi apakah makna dari kata ‘almâ persisnya? Ada sejumlah pakar yang berpandangan datar terkait apakah istilah tersebut menunjuk pada seorang perawan atau seorang perempuan yang telah menikah. Rogers menyatakan posisinya secara jernih:” Hal terpenting, harus dikatakan bahwa kata Ibrani ‘almâ dapat bermakna “perawan,” tetapi tidak harus bermakna sesuatu lebih dari seorang wanita muda pada usia yang patut menikah. Apakah si nabi secara spesifik dan secara persis telah bermaksud untuk mengatakan”perawan,” dia harus menggunakan kata betûlâ (wanita yang tidak menikah), walaupun begitu tetap aka nada sebuah bayangan samar ketidakpastian”[ Rogers, “Isaiah,” 643–44. Untuk pendekatan yang sama bandingkan dengan: Lindblom, “Immanuel,”18; C.W.E. Naegelsbach, “The Prophet Isaiah,” in Commentary on the Holy Scriptures: Critical,Doctrinal and Homiletical by John Peter Lange (1869; repr., Grand Rapids: Zondervan, 1960),6:121–23; dan Conrad von Orelli, The Prophecies of Isaiah (Edinburgh: T&T Clark, 1899), 53.Skinner berpendapat bahwa betûlâ tidak sepenuhnya bebas dari ambiguitas, sementara itu menyatakan bahwa ‘almâ tidak harus mengkonotasikan keperawanan (Isaiah, 56).].
A Critical and Exegetical Commentary on the Book of Isaiah I–XXVII |
Adalah pada tempatnya disini untuk mengindikasikan bahwa banyak pakar terkemuka telah menganut dan tetap menganut bahwa istilah Ibrani dalam konteks ini bermakna perawan. Gray mengafirmasi bahwa “‘almâ berarti seorang anak perempuan, atau perempuan muda, diatas usia kanak-kanak dan belum matang secara seksual… seseorang pada usia dimana emosi seksual bangkit dan menjadi berpotensi; kata tersebut tidak menyatakan keperawanan dan juga tidak menyatakan hilangnya keperawanan; kata ini secara alami dalam penggunaan sesungguhnya kerap diterapkan pada perempuan yang pada kenyataanya memang pasti (Kejadian 24:43; Keluaran 2:8), atau berangkali (Kidung Agung 1:3; 6:8; Mazmur 68:26), perawan-perawan”[ Gray, Isaiah, 126–27.]. Gordon, seorang pakar Jewish Semitic yang cakap, menghadirkan sebuah keping informasi tambahan yang menarik pada masalah ini. Dia menyatakan:”Pandangan umum yang dianut bahwa “perawan” adalah Kristen, sedangkan”perempuan muda” adalah Yahudi tidaklah sepenuhnya benar. Faktanya adalah, Septuaginta, yang adalah translasi yang dibuat oleh orang-orang Yahudi di Aleksandria pra Kristen, memahami ‘almâ berarti “perawan” di sini. Oleh sebab itulah, Perjanjian Baru mengikuti interpretasi orang-orang Yahudi dalam Yesaya 7:14.
Bersambung : ke Bagian 3
THE VIRGIN BIRTH AND ISAIAH 7:14 |diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
============
Dr. Charles Lee Feinberg (1909–1995), ” Dekan “ “Talbot Theological Seminary” dalam kurun waktu lama dan pakar Perjanjian Lama yang sangat dihormati,menjabat sebagai mentor Dr. John MacArthur dan profesor seminari favorit selama studinya untuk pelayanan di Talbot. Esai ini telah dipublikasikan oleh Dr.Freinberg dalam Is the Virgin Birth in Old Testament? (Whittier, CA: Emeth Publishing, 1967), 34– 48
No comments:
Post a Comment