Oleh : Prof.Dr. Gary R. Habermas
“Zusne dan Jones berpendapat bahwa “harapan” dan “kegembiraan emosionil” adalah “prasyarat-prasyarat” sebelum sebuah kelompok semacam ini mengalami apa yang akan terjadi (halusinasi kelompok)… orang-orang percaya perdana telah diperhadapkan langsung dengan realisme yang gamblang pada kematian tak terduga dan belum lama menimpa sahabat terbaik mereka, yang telah mereka harapkan akan menyelamatkan Israel… dalam rangkaian pukulan-pukulan yang menimpa fisik Yesus, penyaliban, dan terlihat tanpa daya, respon normal atas situasi ini adalah menjadi takut, hilangnya kepercayaan, dan depresi
Abstrak
Setelah selama hampir satu abad dalam tidur semu, sejumlah hipotesis-hipotesis alternatif yang naturalistik terkait kebangkitan Yesus muncul kembali dalam publikasi baru-baru ini. Serupa dengan situasi di akhir abad ke 19, halusinasi dan pendekatan-pendekatan subyektif terkait lainnya kembali paling popular dikalangan para pengeritik. Kita akan mensurvei beberapa formulasi-formulasi terkini. Kemudian kita akan menawarkan sejumlah kritik-kritik, baik kepada pendekatan-pendekatan subyektif sebagai sebuah keseluruhan, serta juga sebagai dua isu inklusif. Kita akan mengungkapkan bahwa strategi-strategi alternatif ini gagal menjelaskan kesejarahan penampakan-penampakan kebangkitan Yesus untuk sejumlah alasan, bahkan ketika dinilai oleh standar-standard yang telah diterima secara kritis.
Taktik-taktik naturalistik untuk menjelaskan penampakan-penampakan kebangkitan Yesus berangkali telah ada sama tuanya dengan telah diproklamasikannya peristiwa ini. Beberapa pendekatan alternatif bahkan muncul dalam Injil-Injil itu sendiri. Akan terlihat bahwa
kritik-kritik tersebut, mengetahui bahwa kebangkitan terletak
di jantung Kekristenan, telah mengkhususkan kebangkitan menghadapi
tantangan-tantangan khsusus.
Pendekatan kita disini akan dimulai dengan menyediakan sejumlah perspektif historis terhadap isu ini, membuat
sejumlah komentar-komentar singkat terkait masa kejayaan teori-teori
naturalistik dalam teologi abad ke sembilan belas. Kasusnya serupa, terkait 100
tahun lalu, hipotesis-hipotesis
halusinasi juga menempati posisi kritisi paling popular sampai tidak lagi menjadi favorit keilmuan. Kemudian
berdasarkan pada surveiku belum lama ini’ lebih dari 500 publikasi mengangkat
subyek kebangkitan Yesus, telah dipublikasikan sejak 1975 hingga saat ini, kita
akan mendokumentasikan popularitas yang meningkat pada hipotesis-hipotesis ini
pada masa kini, terutama dari para ahli selama satu atau dua decade belakangan
ini. Terakhir, kita akan menyajikan sebuah kritik multisisi dari posisi-posisi
ini, menggunakan hanya data-data tersebut yang dapat dipastikan secara kritis, sehingga menjadi diterima oleh para ahli secara luas [1]
Sebuah Tinjauan : Pendekatan-Pendekatan Naturalistik Sejak Abad ke Sembilan Belas
Publikasi-publikasi dari akhir abad ke 18 hingga ke 19 memberikan sejumlah
contoh-contoh paling kuat mengenai teori-teori
naturalistik terkait penampakan-penampakan kebangkitan Yesus. Dalam volume
klasik studi-studi yang mendokumentasikan kesejarahan Yesus selama
masa ini, Albert Schweitzer
mengkronologikan banyak pendekatan-pendekatan ini. Sebagai contoh sebuah usaha pertama oleh Hermann
Reimarus telah menuduh murid-murid Yesus
sudah mencuri jasadnya[ii]. Friedrich
Schleiermacher menyukai teori jatuh pingsan, pandangan yang
menyatakan bahwa Yesus tidak pernah mati di kayu salib[iii]David Strauss telah mempopulerkan teori halusinasi[iv], dan yang
lain seperti Ernest Renan
mengikutinya[v].
Otto Pfeinderer dan ahli-ahli lain berpikir bahwa legenda-legenda dapat menjelaskan banyak hal mengenai data ini[vi].
Sebuah plot
kecil luar biasa yang mana banyak ahli
liberal memberikan sanggahan-sanggahan hipotesis-hipotesis tandingan. Schleiermacher dan Heinrich Paulus telah menyerang dengan beragam teori penglihatan[viii], sehingga beberapa ahli telah mendukungnya
seturut dengan kritiknya[ix]. Bahkan walaupun dia lebih menyukai tesis-tesis legenda, Pfeiderer
bahkan telah mengakui
bahwa tesis tersebut tidak dapat sepenuhnya menjelaskan data kebangkitan Yesus![x].
Akan tetapi, selama hampir sepanjang abad ke 20, secara keseluruhan hanya ada sedikit minat terhadap teori-teori naturalistik menentang kebangkitan Yesus. Mereka yang telah menolak kesejarahan peristiwa ini, jarang membuat rujukan untuk formulasi-formulasi alternatif. Setelah menyebutkan sebuah daftar panjang berisikan teori-teori kritis, Raymond Brown telah mengindikasikan beberapa dekade lampau:
Akan tetapi, selama hampir sepanjang abad ke 20, secara keseluruhan hanya ada sedikit minat terhadap teori-teori naturalistik menentang kebangkitan Yesus. Mereka yang telah menolak kesejarahan peristiwa ini, jarang membuat rujukan untuk formulasi-formulasi alternatif. Setelah menyebutkan sebuah daftar panjang berisikan teori-teori kritis, Raymond Brown telah mengindikasikan beberapa dekade lampau:
“Kritisme hari ini tidak mengikuti jejak-jejak yang telah diambil oleh kritisme masa lampau. Teori-teori yang mentah tidak lagi dapat dihormati…popular di masa lampau…Para ahli yang serius hanya memberikan perhatian kecil terhadap rekonstruksi-rekonstruksi fiksional ini.”[xi]
Melemahnya pihak pakar pengeritik ini disebabkan lebih dari satu alasan. Bukan kebetulan bahwa ketertarikan dalam banyak hal terkait kesejarahan Yesus telah merosot selama waktu yang sama ini. Namun yang mendekati pemuncak daftar yang menyebabkan kemerosotan ini ada pada kegagalan-kegagalan hipotesis-hipotesis naturalistik untuk menjelaskan data yang telah diketahui. Dengan kata lain, alasan utama untuk menolak tesis-tesis alternatif ini adalah bahwa setiap tesis tersebut telah disanggah oleh fakta-fakta. Setelah mengamati beberapa teori ini, James D.G. Dunn menyimpulkan : “interpretasi-interpretasi alternatif atas data telah gagal untuk menyediakan sebuah penjelasan yang memuaskan”[xii]. Ahli filsafat Stephen Davis setuju bahwa kritik-kritik:
tidak mampu untuk muncul dengan sebuah kisah yang koheren dan meyakinkan yang mengokohkan bukti di tangan. Semua hipotesis-hipotesis yang saya kenal baik adalah lemah secara sejarah; beberapa diantaranya sangat lemah sehingga hipotesis-hipotesis tersebut runtuh karena bobotnya sendiri kala dipaparkan… teori-teori alternatif yang telah diajukan tidak hanya lebih lemah tetapi jauh lebih lemah pada menjelaskan bukti kesejarahan yang tersedia…[xiii].
Meskipun dengan perkembangan-perkembangan ini, yang ada muncul saat ini merupakan sebuah tren terbatas terhadap kembalinya beberapa upaya yang lebih tua usianya untuk menjelaskan kebangkitan pada dasar-dasar natural. Akan hal ini, pilihan terakhir yang paling populer adalah beberapa bentuk tesis yang melibatkan orang-orang Kristen yang berhalusianasi atau pengalaman-pengalaman subyektif lainnya yang paling awal.
Kembalinya Hipotesis-Hipotesis Halusinasi Baru- Baru Ini
Dalam survei yang kulakukan belum lama ini terhadap ratusan publikasi yang mengkritisi tajam kebangkitan, menjadi terlihat bahwa lebih banyak ahli yang mendukung beragam hipotesis-hipotesis yang naturalistik daripada yang telah terjadi sebelumnya dalam dekade-dekade belakangan ini. Fenomena ini tidak disebabkan oleh perubahan apapun dalam lanskap sejarah. Sebaliknya, ini seperti pepatah lama, bahwa apa yang pernah ada akan kembali muncul—seolah-olah para ahli itu secara gampang berpikir bahwa ini saatnya untuk sebuah perubahan.
Akan tetapi, mereka yang sekarang lebih menyukai penjelasan-penjelasan halusinasi, hanya terdapat segelintir ahli yang mengejar pendekatan ini secara detail. Kita akan melihat sejumlah ahli lain yang hanya menyebutkan kemungkinannya, atau hanya menyebutkan kesukaan pada tesis-tesis halusinasi[xiv].
Gerd Ludemann, dalam volume-volume belum lama ini, telah menjelaskan sebuah kasus yang sangat mengingatkan pada berbagai upaya pada abad ke 19, menyatakan bahwa penjelasan ini dapat diberlakukan pada semua partisipan utama dalam gereja perdana: murid-murid, Paulus, 500 orang, dan Yakobus, dan saudara Yesus[xv]. Ludemann berpendapat bahwa adalah jelas bahwa bahasa Paulus yaitu terminology ophte dalam 1 Korintus 15:3 dan seterusnya bermakna bahwa dia sedang berbicara mengenai penglihatan yang sesungguhnya berasal dari interpretasi stimulus sensorik pada dirinya…” demikian juga pada rasul-rasul lainnya. Sehingga Paulus “pasti mengharapkan orang-orang Korintus untuk memahami terminologi tersebut secara sejarah”[xvi] . Ludemann menyimpulkan bahwa penglihatan-penglihatan yang disebabkan oleh halusinasi diperlukan bersama dengan “karakteristik-karekateristik terkait dengan indera pendengaran” yang telah memproduksi sebuah “stimulus,” “antusiasme,” “kemabukan religius,” dan “ekstasi,” bagi Petrus. Hal ini menghinggapi murid-murid lain oleh “ sebuah rantai reaksi yang tidak ada bandingannya.” Paulus, murid-murid yang lain, 500 orang, dan Yakobus semuanya telah mengalami hal yang serupa, penglihatan-penglihatan subyektif ini, mencuatkan sebuah “ekstasi masal.”[xvii].
Walaupun pendekatannya sangat berbeda pada poin-poinnya, Jack Kent juga berpikir bahwa halusinasi menjelaskan klaim-klaim baik murid-murid, Paulus, dan Yakobus[xviii]. Kent mengkombinasikan dua teori naturalistik untuk menjelaskan tampilan-tampilan kebangkitan Yesus. Para murid dan para perempuan telah mengalami “hal normal, yaitu halusinasi-halusinasi yang terkait dengan kesedihan mendalam.” Paulus, pada satu sisi lainnya, telah mengalami sebuah konfik didalam dirinya dan pergolakan jiwa atas keterlibatannya dalam kematian Stefanus dan penganiayaannya atas orang-orang Kristen. Sebagai akibatnya, Paulus telah mengalami sebuah “konversi yang kacau,” sebuah penyakit kejiwaan yang dikenali, bertanggungjawab atas konversinya di jalan menuju Dasmakus, termasuk rebahnya dan kebutaan, khususnya[xix]. Tidak seperti Ludemann, Kent ingin menghindari halusinasi-halusinasi yang kolektif[xx].
Lebih dekat kepada Kent, Michael Goulder menerapkan sebuah penjelasan yang terkait dengan pengalaman-pengalaman Petrus, Paulus, dan beberapa orang lainnya[xxi]. Goulder berpikir bahwa Paulus telah mengalami apa yang dia sebut sebuah “penglihatan-penglihatan yang mengakibatkan konversi,” bermacam-macam jenis halusinasi yang telah dihasilkan selama masa tekanan hebat, perasaan bersalah, dan meragukan diri sendiri. Akibat dari hal-hal ini bagi rasul-rasul, satu yang dahulu pernah menyangkali Tuhannya dan satu lagi yang pernah menganiaya orang-orang Kristen, adalah sebuah orientasi baru terhadap hidup—sebuah transformasi yang menuntun pada “ heroisme yang terjadi kemudian dan penderitaan serta kematian sebagai martir”[xxii].
Satu pendekatan lain yang saya sebut teori Iluminasi berangkali juga harus disebutkan secara ringkas. Belakangan ini sejumlah ahli lebih menyukai sebuah strategi yang meskipun kelihatannya dekat dengan tesis halusinasi, tidaklah persis sama. Secara umum, idenya : Petrus adalah yang pertama memiliki pengalaman semacam pengalaman subyektif atau keyakinan bahwa Yesus hidup. Hal ini kemudian agaknya dikomunikasikan kepada pengikut Yesus lainnya, yang telah menyimpulkan bahwa Yesus telah bangkit. Mereka menyatakan bahwa kita sekarang tidak dapat berbicara tentang natur historis dari insiden ini. Peristiwa ini adalah iman orang-orang percaya perdana yang benar-benar sangat penting disini[xxiii]. Kerap dinyatakan bahwa pengalaman-pengalaman ini bukan merupakan halusinasi-halusinasi[xxiv] tetapi banyak kritik-kritik kita dibawah ini akan tetap diterapkan pada tesis ini.
Sebuah Kritik Pada Hipotesis Halusinasi
Meskipun gelora tesis-tesis halusinasi belakangan ini menyingkapkan beberapa perbedaan, ada lebih banyak keserupaan-keserupaan. Kita harus menimbang hipotesis-hipotesis tersebut sebagai sebuah keseluruhan. Tetapi kita akan memulai dengan mengevaluasi dua sisi penting isu-isu: kemungkinan atas halusinasi-halusinasi pada sekelompok orang dan status tesis kekacauan konversi yang diusulkan oleh Kent dan Goulder.
Halusinasi-Halusinasi Kolektif. Salah satu isu sentral dalam keseluruhan diskusi terkait apakah sekelompok orang dapat menceritakan halusinasi yang sama. Kebanyakan psikolog berselisih pendapat terhadap realitas-realitas pada kejadian-kejadian semacam ini, sebagaimana telah diperlihatkan dibawah ini.
Sebuah upaya yang langka menyatakan bahwa halusinasi-halusinasi kolektif adalah mungkin, tanpa aplikasi apapun terhadap kebangkitan Yesus Kristus, yang dibuat oleh Leonard Zusne dan Warren Jones. Mereka menunjuk pada fenomena seperti penglihatan-penglihatan yang diklaim sebagai perawan Maria dan laporan-laporan lainnya yang menyertai dari berbagai kelompok orang. Dalam kasus-kasus semacam ini, “harapan-harapan” dan “kegembiraan yang emosionil” adalah “sebuah prasyarat untuk terjadinya halusinasi-halusinasi kolektif.” Dalam kelompok-kelompok semacam ini kita melihat “penularan emosional yang terlampau sering terjadi dalam kerumunan-kerumunan yang digerakan oleh emosi-emosi yang kuat…[xxv]
Tetapi menyokong halusinasi-halusinasi kolektif sangatlah problematik, dan ini mengacu pada beberapa hal dasar.
(1)Untuk memulai, contoh-contoh utama untuk “halusinasi-halusinasi kolektif” disediakan oleh Zusne dan Jones adalah pengalaman-pengalaman kelompok religius seperti penampakan-penampakan Maria. Tetapi kutipan-kutipan ini pada dasarnya mengemis pertanyaan terkait apakah pengalaman-pengalaman semacam ini dapat memiliki kemungkinan menjadi obyektif, atau bahkan supernatural, setidak-setidaknya dalam beberapa hal. Dengan kata lain, mengapa seorang naturalistik, dalam hal ini malah mengasumsikan sebuah penjelasan yang subyektif[xxvi]? Ini terlihat menyingkirkan contoh-contoh tersebut dari sebuah bentuk penerimaan tanpa keberatan, sebelum data tersebut dipertimbangkan.
(2)Lebih lanjut, tesis halusinasi kolektif tidak dapat diobservasi untuk dibuktikan kemungkinan salah. Tesis ini dapat diterapkan pada hal yang sepenuhnya alami, kelompok-kelompok yang menerima penglihatan-penglihatan, sederhananya menyebut mereka kelompok-kelompok halusinasi juga. Pada tesis ini, kriteria epistemik (terkait dengan berpikir kritis- tambahan editor) krusial terlihat menjadi hilang. Bagaimana kita menentukan peristiwa-peristiwa normal dalam kelompok-kelompok halusinasi?
(3)Bahkan jikapun dapat ditegakan secara mapan bahwa mereka adalah kelompok-kelompok orang yang mengalami halusinasi-halusinasi, sangat penting untuk diperhatikan bahwa peristiwa tersebut tidak semua orang memahami bahwa pengalaman-pengalaman ini oleh karena itu terjadi secara kolektif. Jika, sebagaimana kebanyakan psikolog menyatakannya, halusinasi-halusinasi adalah hal privat, peristiwa-peristiwa individual, lantas bagaimana dapat kelompok-kelompok tersebut memiliki persepsi visual subyektif yang persis sama? Sebaliknya, kejadian semacam ini cenderung lebih merupakan fenomena yang dipertanyakan apakah ini merupakan ilusi-ilusi- kekeliruan interpretasi perseptual atau realita-realita aktual[xxvii]- atau halusinasi-halusinasi individual.
Lebih jauh lagi, serangkaian masalah-masalah terbesar yang dihasilkan dari memperbandingkan tesis ini terhadap catatan-catatan Perjanjian Baru mengenai kemunculan-kemunculan Kebangkitan Yesus. Dan disini, kekuatan eksplanotori dari hipotesis ini adalah luar biasa menantang, karena banyak data tidak hanya berbeda, tetapi secara nyata berkontradiksi, terkait pada kondisi-kondisi yang diperlukan bagi “halusinasi-halusinasi kolektif.” Salah satu dari isu ini akan disebutkan disini, disajikan bersama dengan hal-hal lainnya di bawah ini.
(4) Sebagai contoh, Zusne dan Jones berpendapat bahwa “harapan” dan “kegembiraan emosionil” adalah “prasyarat-prasyarat” sebelum sebuah kelompok semacam ini mengalami apa yang akan terjadi (halusinasi kelompok). Kenyataannya, harapan “memainkan peran yang mengkoordinasikan”[xxvii]. Tetapi skenario ini mengkontradiksikan keadaan emosionil para saksi mula-mula kemunculan-kemunculan kebangkitan Yesus. Bahkan secara psikologis, orang-orang percaya perdana tersebut telah
diperhadapkan langsung dengan realisme yang gamblang pada kematian tak terduga dan belum lama menimpa sahabat terbaik mereka, yang
telah mereka harapkan akan menyelamatkan
Israel. Terkait
peristiwa-peristiwa yang belum lama terjadi, terjadi dalam cara yang mengejutkan mereka, dalam rangkaian pukulan-pukulan yang menimpa
fisik Yesus, penyaliban, dan terlihat tanpa daya, respon
normal atas situasi ini adalah menjadi takut, hilangnya kepercayaan, dan depresi.
Menyangka bahwa orang-orang percaya ini akan memperlihatkan “pengharapan” dan
“kegembiraan yang emosionil” dalam menghadapi situasi-situasi yang sangat sukar untuk diterima akan mensyaratkan mereka merespon hal
semacam itu adalah sangat langka-tidak
mungkin dipertontonkan pada sebuah pemakaman! Semua indikasinya menunjukan
bahwa murid-murid Yesus akan
memperlihatkan emosi-emosi yang sangat
berlawanan dari apa yang dikemukakan oleh Zusne dan Jones sebagai
persyaratan yang diperlukan.
Dengan memperbandingkan satu sama lain, pengalaman murid-murid secara total tidak seperti pengalaman-pengalaman dalam
kasus-kasus lain yang disebutkan diatas dimana para peziarah
diungkapkan melakukan perjalanan jarak jauh, berkumpul penuh semangat dengan
hasrat yang eksplisit untuk melihat sesuatu yang spesial. Terlihat dengan dasar- dasar yang sangat tipis
dalam perbandingan disini dengan
murid-murid Yesus[xxix].
Banyak problem-problem krusial lainnya juga menjangkiti tesis-tesis yang disajikan kelompok
halusinasi-halusinasi, dan kita selanjutnya akan mengejar beberapa hal lagi. Namun untuk saat ini kita akan mengatakan kembali bahwa Zusne dan Jones
tidak pernah berupaya untuk mengaplikasikan pendekatan mereka pada penampakan-penampakan
kebangkitan Yesus. Sebaliknya,
mereka malahan secara luar biasa mendekatkan pemeriksaan mereka dengan
pengakuan bahwa kelompok-kelompok halusinasi memiliki “status yang
meragukan” karena adalah tidak
mungkin untuk menentukan apakah individual-individual ini, bahkan apakah
benar-benar berhalusinasi![xxx] .
Bersambung ke Bagian 2
Explaining Away Jesus’ Resurrection : The Recent Revival of Hallucination Theories |diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
Catatan-Catatan Kaki :
Dr. Gary Habermas has penned dozens of books and over a hundred articles. He has given over 1500 lectures in universities, seminaries, and colleges all over the world and is 'Distinguished Research Professor and Chair' in the Department of Philosophy and Theology at Liberty University, where he has taught for 30 years. credit: garyhabermas.org |
[i]. This is what I have termed the minimal facts method,
which argues chiefly from data that have the two fold characteristics of being
individually and multiply attested on stronglyevidential grounds, hence being
accepted by almost all scholars who researchthis subject. For an outline of
this method, see Gary R. Habermas, "EvidentialApologetics" in Five
Views on Apologetics, Steven Cowan, ed. (GrandRapids: Zondervan, 2000), 99-120,
186-190.
[ii]. Albert Schweitzer, TheQuest of the Historical Jesus: A
Critical Study of Its Progress from Reimarusto Wrede, W. Montgomery, trans. (New
York: Macmillan, 1906, 1968), 21-22;otherexamples are found on pages 21-22, 43,
47, 53- 55, 60, 83, 162-167, 170,187, 210-214.
[iii]. Schweitzer, p. 64;cf. Friedrich Schleiermacher, The
Christian Faith, H.R. Mackintosh and J.S. Stewart, trans. (New York: Harper and
Row, 1963), 417-421.
[iv]. David Strauss, A New Life of Jesus, no trans., second
edition, two vols. (Edinburgh:Williams and Norgate, 1879), vol. I, 412-440.
[v]. Ernest Renan, Vie deJesus (Paris: Calmann- Levy, 1861),
355-356.
[vi]. Otto Pfleiderer, Early Christian Conception of Christ:
Its Significance and Value in the History of Religion (London: Williams and
Norgate, 1905), Chapter IV.
[vii]. Schleiermacher, 420;Schweitzer, 53-55.
[viii]. Strauss, 408-412.
[ix]. Schweitzer lists no convinced proponents of the swoon
theory after 1838, three years after The initial publication of Strauss'
critique.
[x]. Pfleiderer, 157-158.
[xi]. Raymond Brown, "The Resurrection and Biblical
Criticism," Commonweal,Vol. 87; No. 8 (Nov. 24, 1967), 233.
[xii]. James Dunn, The Evidence for Jesus (Louisville:
Westminster, 1985), 76.
[xiii]. Stephen Davis, "Is Belief in the Resurrection
Rational?: A Response to MichaelMartin," Philo, Vol. 2; No. 1
(Spring-Summer, 1999), 57-58.
[xiv]. Some of these are Dan Cohn-Sherbok, "The
Resurrection of Jesus: A Jewish View" in Resurrection Reconsidered, Gavin
D'Costa, ed. (Oxford: Oneworld,1996), 197; John Barclay, "The Resurrection
in Contemporary New TestamentScholarship," in D'Costa, 25-26; Michael
Grant, Saint Paul: The Man(Glasgow: William Collins Sons, 1976), 108; M. Lloyd
Daviesand T.A. Lloyd Davies, "Resurrection or Resuscitation?" Journal
of the Royal College of Physicians of London, Vol. 25; No. 2 (April 1991), 168;
Antony Flew, inGary R. Habermas and Antony Flew, Did Jesus Rise from the Dead?
The Resurrection Debate, Terry Miethe, ed. (San Francisco: Harper and Row,1987),
50-59; John Hick, The Center of Christianity(SanFrancisco:Harper and Row,
1978), 25. Although Peter Carnley thinks that Jesus'resurrectionactually
occurred, he states that the subjective vision supposition is very difficult to
disprove (The Structure of ResurrectionBelief [Oxford: Clarendon, 1987], 64,
244-245; cf. 69-72, 79, 82).
[xv]. Gerd Ludemann's best known works are: The Resurrection of Jesus: History, Experience,Theology, John Bowden, trans. (Minneapolis: Fortress, 1994); a more popular rendition was written in collaboration with Alf Ozen, What Really Happened to Jesus: A Historical Approach to the Resurrection, John Bowden,trans. (Louisville: Westminster John Knox, 1995).
[xvi]. Ludemann, TheResurrection of Jesus, 50, 37; cf. What
Really Happened to Jesus,103.
[xvii]. Ludemann, The Resurrection of Jesus, 106- 107,
174-175.
[xviii].Jack Kent, The Psychological Origins of the
Resurrection Myth (London:Open Gate, 1999).
[xix].Kent, 6-11, 49-61, 85-90.
[xx]. Ibid., 89-90.
[xxi]. Michael Goulder, "The Baseless Fabric of a
Vision," 48-61; a briefer version was published as part of a debate with
James Dunn in Resurrection, G. N.Stanton and S. Barton, eds. (London: SPCK,
1994), 58-68.
[xxii]. Goulder, "The Baseless Fabric of a Vision,"
48-52. Incidentally, Goulder argues that the disciples, especially regarding
group appearances, experienced "collective delusions." These are
significantly different from subjective hallucinations in that they pertain to
the misapprehension of actual, physical objects (52- 55).
[xxiii]. Similar views are held by: Willi Marxsen, Jesus and
Easter: Did God Raise the Historical Jesus from the Dead? (Nashville: Abingdon,
1990), 65-74;Willi Marxsen, The Resurrection ofJesus of Nazareth, Margaret
Kohl,trans. (Philadelphia: Fortress, 1968), esp. Chapters IIIIV;Don Cupitt,
Christ and the Hiddenness of God (Philadelphia: Westminster, 1971), 143, 165-167;Thomas
Sheehan, The First Coming: How the Kingdom of God became Christianity(NewYork:
Random House, 1986), 95-118; John Shelby Spong, Resurrection:Myth or Reality?(San
Francisco: Harper San Francisco, 1994), 255-260; JohnShelby Spong, The Easter
Moment (San Francisco: Harper and Row, 1987),esp. 39- 68.
[xxiv]. Spong, The Easter Moment, 196; Sheehan, 262-263,
endnote 38; cf.Marxsen, Jesus and Easter, 71-74.
[xxv].Leonard Zusne and Warren Jones, Anomalistic Psychology:
A Study of ExtraordinaryPhenomena ofBehavior and Experience (Hillsdale:
Lawrence Erlbaum, 1982), 135–136.
[xxvi]. For a number of critical observations and responses
to such phenomena, see Elliot Miller and Kenneth Samples, The Cult of the Virgin
Mary: Catholic Mariology and the Apparitions ofMary (Grand Rapids: Baker, 1992),
esp.Chapters 11-14 and Appendix A.
[xxvii]. Here Zusne and Jones repeatedly refer to collective
hallucinations, even though they conclude, conversely, that these groups may be
seeing actual phenomena. So the "final answer to these questions has not
been obtained yet" (135- 136)!
[xxviii].Ibid., 135.
[xxix]. The rejoinder could be made that perhaps a few
individuals hallucinated individually, thereby inducing excitement in the
others, preparing them for hallucinations. From our critique below, a
multifaceted response could be fashioned. I would suggest especially critiques
4-5 in the next section regarding the two cases of Paul and James, which would
be highly problematic for this view both because of the former skepticism and
later conversions oft hese apostles, plus (to varying extents) critiques 2-8 in
the "Additional Problems" section.
[xxx].Ibid., 136; cf. 134–135. For the more regular
assessment against group hallucinations, see Phillip Wiebe, Visions of Jesus:
Direct Encounters from the New Testament to Today (New York: Oxford, 1997), 210;
J.P. Brady, "TheVeridicality of Hypnotic, Visual Hallucinations," in
Origins and Mechanisms of Hallucinations, Wolfram Keup, ed. (New York: Plenum,
1970), 181; Weston La Barre, "Anthropological Perspectives on
Hallucinations and Hallucinogens," inR. K. Siegel and L. J. West, eds.,
Hallucinations: Behavior, Experience and Theory (New York: John Wiley and Sons,
1975), 9–10.
No comments:
Post a Comment