Oleh : Robin Schumacher Ph.D
Kemampuan seorang manusia untuk tidak percaya terhadap kebenaran tentang sesuatu terkadang dapat mempesonakan
Para ateis dan Kristen skeptik secara konsisten berkata bahwa alasan mereka tidak percaya kepada Tuhan karena tidak ada bukti akan Tuhan. Andaikan saja mereka dapat menemukan kebenaran—bukti yang baik untuk Tuhan dan untuk kesejarahan Yesus—para ateis berkata bahwa hal itu akan membuat banyak perubahan dalam dunia, dan mereka akan segera menjadi percaya.
Tetapi apakah hanya ini saja masalahnya?
Deborah Lipstadt mungkin memiliki sepatah atau dua patah untuk dikatakan tentang mempercayai kebenaran. Dr. Lipstadt Profesor Dorot untuk studi-studi Modern Jewish dan Holacaust di Emory University berangkali bukan seorang Kristen atau memiliki seekor anjing dalam pertarungan antara ateisme vs Kekristenan, tetapi dia juga tahu sebuah atau dua buah hal mengenai kemampuan orang untuk menjadi buta mata terhadap bukti ketika bukti disodorkan kepada mereka. Lipstadt adalah penulis buku berjudul Denying the Holocaust : The Growing Assault in Truth and Memory, dan telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun mempelajari kemampuan orang untuk menolak kebenaran.
Deborah Lipstadt mungkin memiliki sepatah atau dua patah untuk dikatakan tentang mempercayai kebenaran. Dr. Lipstadt Profesor Dorot untuk studi-studi Modern Jewish dan Holacaust di Emory University berangkali bukan seorang Kristen atau memiliki seekor anjing dalam pertarungan antara ateisme vs Kekristenan, tetapi dia juga tahu sebuah atau dua buah hal mengenai kemampuan orang untuk menjadi buta mata terhadap bukti ketika bukti disodorkan kepada mereka. Lipstadt adalah penulis buku berjudul Denying the Holocaust : The Growing Assault in Truth and Memory, dan telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun mempelajari kemampuan orang untuk menolak kebenaran.
Meskipun kebanyakan orang berpikir bahwa penyangkalan itu hanya individual-individual seperti Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang melemparka keraguan atas apakah Holacust-pembasmian bangsa Yahudi telah terjadi, Lipstadt menemukan bahwa validitas kesejarahan holacaust dipertanyakan oleh sejumlah orang yang jauh lebih banyak daripada yang mungkin diyakini. Lebih lanjut, dia menemukan penyangkalan semacam ini tidak hanya terus mendapatkan pengikutnya, tetapi telah menjadi sebuah gerakan yang luas dan internasional dengan cabang-cabang yang terorganisasi, pusat-pusat riset yang disangka “independen” (dengan nama-nama yang tersamar secara cerdik), dan berbagai publikasi yang mempromosikan sebuah pandangan revisionist terhadap sejarah Perang Dunia II.
Tetapi bagaimana dengan semua bukti yang secara jelas menunjang kesejarahan Holacaust? Lipstadt menulis :’Upaya untuk menyangkal Holacaust mendaftarkan sebuah distorsi strategi dasar. Kebenaran dicampurkan dengan kebohongan-kebohongan mutlak, membingungkan para pembaca yang tidak terbiasa dengan taktik-taktik para penyangkal. Kebenaran-kebenaran setengah dan segmen-segmen kisah yang secara nyaman menghindari informasi yang kritis, meninggalkan pendengar dengan sebuah impresi yang telah terdistorsi akan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Dokumen-dokumen yang melimpah dan kesaksian-kesaksian yang mengkonfirmasi Holacust telah diabaikan sebagai dibuat-buat, dipaksakan, atau pemalsuan dan kepalsuan.”[1]
Dengan merujukan pada temuan-temuan Lipstadt, apakah saya sedang menyamakan para ateis dengan para penyangkal Holacaust? Tidak sama sekali. Sebaliknya, apa yang sedang saya upayakan adalah fakta bahwa ketika tiba pada seseorang memilih untuk percaya atau menyangkali sesuatu, ada hal yang lebih besar pada peristiwa itu daripada yang ditemukan mata.
Menerima atau Menolak
sebuah Keyakinan
J.P. Moreland
menyatakan bahwa kepercayaan akan
sesuatu bermula dengan pertama-tama penerimaan seseorang bahwa
sebuah klaim tertentu adalah memiliki
dasar/masuk akal. Struktur kemasukakalan, atau “kondisi-kondisi yang menguntungkan,”
terbentuk didalam pikiran sehingga klaim tersebut dapat diterima, dengan apapun juga tanpa dipandang sebagai masuk
akal-memiliki dasar untuk ditolak.[2]
Apa yang membantu
membangun kemasukakalan seseorang sehingga dia akan percaya pada klaim
kebenaran? Studi mengenai hal ini dan
bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan (disebut ‘epistemologi’ dalam
filospi) adalah sebuah subyek monumental, tetapi dalam metode-metode umum
termasuk empirisme /pragmatisme (melalui
sains-sains dan nalar), rasionalisme
(pemikiran), subyektifisme (intuisi dan persentuhan langsung), dan
otoritariansime (testimoni/kesaksian).
Diantara semuanya ini, metoda yang paling banyak digunakan oleh para sejarahwan seperti Lipstadt untuk menemukan kebenaran adalah metoda yang terakhir yaitu testimoni. Dan memang metoda ini yang menyebabkan skeptik sangat gelisah, terutama dimana hal-hal seperti yang menjadi kepedulian Perjanjian Baru. Akan tetapi, seperti yang ditunjukan oleh Joe Boot, tidak semestinya, sebab metoda itu secara sempurna tepat dan cara yang meyakinkan dalam memvalidasi kebenaran : ‘Ada sebuah perbedaan penting antara motode-metode [testimoni] yang bersifat sains dan legal untuk menentukan kebenaran. Metode legal tidak mengabaikan testimoni atau fakta-fakta karena hal-hal ini tidak dapat direproduksi dan diuji. Dengan sebuah proses eliminasi dan bukti yang menguatkan, metode legal membolehkan sejarah dan testimoni untuk berbicara bagi dirinya sendiri sampai sebuah keputusan yang mengikat tercapai mengatasi keraguan berdasar dan keseimbangan probabilitas dicapai. Saya tidak menyaksikan beragam pertempuran yang telah terjadi di sepanjang sejarah dan saya tidak dapat mereproduksi Perang Dunia Kedua sehingga saya harus bergantung pada dokumen-dokumen dan testimoni independen untuk menentukan kemasukakalannya. Jenis-jenis uji tertentu adalah tepat bagis bagi ranah-ranah pemikiran yang berbeda.’[3]
Akan tetapi
fakta ini tidak menghentikan para skeptik dari menyingkirkan testimoni sebagai
bukti bahkan ketika testimoni itu sedekat dan selangsung yang mungkin dapat
dilakukan. Dalam buku lanjutannya, Lipstadt menggambarkan dirinya dituntut oleh
seorang penyangkal Holacaust terkemukan
bernaman David Irwing[4], yang menentang karyanya yang terdahulu. Pada sebuah masa reses dalam
persidangan, seorang perempuan mendatangi Irving dan mengatakan kepadanya bahwa
orang tuanya telah mati di ruang gas di Auswitz. Seorang reporter yang berdiri tidak jauh disana mendengarkan jawaban Irving: “Ibu, anda berangkali akan
senang untuk mengetahui bahwa mereka hampir pasti telah mati karen tipes.”[5]
Sebuah Contoh dari Alkitab
Kita melihat sebuah contoh besar penyangkalan testimoni saksi mata dalam Yohanes 9, yang secara khusus mengenai penyembuhan Yesus atas seorang yang buta sejak lahir. Para tetangga orang tersebut dan orang-orang lainya dalam kerumunan begitu ternganga keheranan oleh peristiwa tersebut dan tidak mau menerima testimoni orang yang telah disembuhkan itu akan apa yang Yesus telah lakukan sehingga mereka membawa orang tersebut kepada orang-orang Farisi untuk diperiksa.
Sebuah Contoh dari Alkitab
Kita melihat sebuah contoh besar penyangkalan testimoni saksi mata dalam Yohanes 9, yang secara khusus mengenai penyembuhan Yesus atas seorang yang buta sejak lahir. Para tetangga orang tersebut dan orang-orang lainya dalam kerumunan begitu ternganga keheranan oleh peristiwa tersebut dan tidak mau menerima testimoni orang yang telah disembuhkan itu akan apa yang Yesus telah lakukan sehingga mereka membawa orang tersebut kepada orang-orang Farisi untuk diperiksa.
Itu adalah
dimana kelucuan yang sesungguhnya mulai. Anda lihat, Yesus telah menyembuhkan
orang pada hari Sabat dan para pemimpin
agama berpendapat “pekerjaan” apapun seperti menyembuhkan seseorang merupakan
tindakan melanggar Hukum Taurat. Orang-orang Farisi telah siap dalam
menyangkal kesembuhan dan marah terhadap
Yesus, dan hal ini menambahkan bahan
bakar kedalam api.
Dengan
orang-orang Farisi, orang itu menyampaikan kisah yang sama untuk kali kedua
terkait apa yang Yesus telah lakukan. Tetapi bahkan dengan orang banyak dan
tetangga yang mengenal dia dan kesaksian orang itu sendiri, ”Orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa
tadinya ia buta dan baru dapat melihat lagi” (Yohanes 9:18).
Mereka memutuskan
bahwa mereka memerlukan lebih banyak bukti lagi, sehingga mereka
memanggil orang tua orang yang sembuh tersebut untuk memverifikasi berbagai hal. Ibu adan ayah gemetar ditas
kaki mereka kerena mengenai ini dikenal sangat baik bahwa siapapun yang
mengakui Yesus sebagai pembuat mujizat sejati dan adalah Kristus (Yang diurapi)
akan dikeluarkan-dikucilkan dari rumah ibadah- sinagog ( sebuah hukuman yang
lebih besar daripada apa yang terdengar pada
permukaan). Mereka secara
hati-hati membenarkan bahwa
putera mereka dilahirkan dalam keadaan buta, tetapi tidak mengatakan lebih
lanjut bagaimana dia sekarang melihat.
Anda akan
berpikir pada titik ini adalah waktunya bagi orang Farini untuk berteriak ‘paman’
dan memberikan kredit bagi Yesus
untuk sebuah mujizat sejati, benar
bukan? Salah. Sekarang situasinya
menjadi buruk sebab orang –orang Farisi
membawa kembali orang ini untuk ronde kedua.
Para
pemimpin agama memulai dengan menyebut
Yesus adalaah seorang berdosa,
yang ditolak orang tersebut
dengan menyatakan :” "Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi
satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat"(ayat
25). Jawabannya sangat menakjubjan
karena jawabannya memaksa orang-orang Farisi untuk meninjau
presuposisi-presuposisi (dugaan-dugaan) mereka
terhadap Yesus dan fokus pada realita bahwa pernyataan orang itu sedang menatap
mereka (secara literal) pada wajah.
Saya suka apa yang terjadi selanjutnya. Orang-orang Farisi menanyai orang tersebut untuk mengulangi kisahnya kembali, yang untuk permintaan ini, orang tersebut menjawabnya begini:"Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?" (Yohanes 9:27)
Kapanpun juga saya
merasakan sebuah diskusi dengan seorang skeptik atau ateis akan berputar dalam
lingkaran-lingkaran dan saya sendiri
harus mengulangi dengan bukti terkait Kristus yang telah saya sajikan,
saya akan meminta sesuatu semacam ini :”Sebelum kita mengulas hal yang sama ini
kembali, biarkan saya bertanya kepada
anda: apakah pentingnya hal ini bagimu? Apakah kamu sungguh-sungguh tertarik
untuk mengetahui kebenaran mengenai Yesus dan siap untuk berlutut kepada-Nya sebagai Tuhan jika pertanyaan-pertanyaanmu dijawab tuntas?” Anda
akan terkejut pada respon-respon yang
saya dapatkan, banyak yang dapat
disimpulkan sebagai “Tidak.”
Reaksi orang
yang dulunya buta terhadap orang-orang
Farisi pada soal ini mendalam :”Mereka mencercanya” (Yohanes
9:28). Orang-orang Farisi tidak tertarik
untuk mengikut Yesus tidak juga mereka tertarik mendengarkan lebih lanjut bukti atau testimoni yang memvalidasi
kemesiasannya. Mereka menolak untuk percaya
pada kebenaran yang mereka telah temukan.
Tetapi hal
ini tidak menghentikan orang itu untuk
memukul mereka dengan satu lagi sedikit pengetahuan:” Kita
tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang
yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai sekarang tidak
pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau
orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa."
(Yohanes 9:31-33).
Apa yang
didapatkan orang ini dari upayanya ini? Dari orang-orang Farisi, dia telah
menerima pengucilan dari sinagog, tetapi dari Yesus dia telah menerima keselamatan
( Yohanes 9:38)
Apakah yang Kamu Ingin Percayai adalah Kebenaran?
Seperti telah saya katakan diawal, kemampuan orang untuk menyangkal kebenaran mengenai sesuatu dapat mempesonakan. Tetapi apakah yang ada di jantung pada penyangkalan semacam ini? Apakah yanag menghentikan seseorang dari bahkan untuk mulai berpikir bahwa sebuah klaim kebenaran tertentu biasa jadi masuk akal?
Ini jelas merupakan subyek yang rumit, tetapi bagi banyak orang, hal ini menguap menjadi satu hal sederhana : mereka tidak ingin perihal dalam pertanyaan itu menjadi benar.
Kisah-kisah berlimpah dengan penderita kanker yang mengabaikan tanda-tanda peringatan yang benderang pada sisi kotak rokok dan gejala-gejala fisik yang sedang mereka alami, para gadis muda yang secara literall hamil 9 bulan dan yang tidak kan percaya bahwa mereka akan memiliki seorang bati dan bahkan individu-individu seperti David Irving yang berdiri dalam ruang pengadilan Kanada dan bersaksi: ’Tidak ada dokumen-dokumen yang seperti apapun memperlihatkan sebuah Holocaust pernah terjadi.”[6]
Seperti telah saya katakan diawal, kemampuan orang untuk menyangkal kebenaran mengenai sesuatu dapat mempesonakan. Tetapi apakah yang ada di jantung pada penyangkalan semacam ini? Apakah yanag menghentikan seseorang dari bahkan untuk mulai berpikir bahwa sebuah klaim kebenaran tertentu biasa jadi masuk akal?
Ini jelas merupakan subyek yang rumit, tetapi bagi banyak orang, hal ini menguap menjadi satu hal sederhana : mereka tidak ingin perihal dalam pertanyaan itu menjadi benar.
Kisah-kisah berlimpah dengan penderita kanker yang mengabaikan tanda-tanda peringatan yang benderang pada sisi kotak rokok dan gejala-gejala fisik yang sedang mereka alami, para gadis muda yang secara literall hamil 9 bulan dan yang tidak kan percaya bahwa mereka akan memiliki seorang bati dan bahkan individu-individu seperti David Irving yang berdiri dalam ruang pengadilan Kanada dan bersaksi: ’Tidak ada dokumen-dokumen yang seperti apapun memperlihatkan sebuah Holocaust pernah terjadi.”[6]
Kemauan untuk
menyangkali kebenaran dapat menjadi luar
biasa sangat kuat
Ketika ini mengenai Tuhan, beberapa ateis mengakui ini adalah halangan yang mereka hadapi. Thomas Nagel telah menulis sebagai berikut:”Saya ingin ateisme menjadi benar dan membuat menjadi tidak mudah oleh fakta bahwa beberapa orang paling cerdas dan orang dengan pengetahuan yang memadai yang saya tahu orang-orang percaya religious. Ini tidak sekedar saya tidak percaya kepada Tuhan dan, secara alami mengharapa bahwa saya benar dalam keyakinanku. Itulah yang saya harapkan bahwa tidak ada Tuhan! Saya tidak ingin ada yang menjadi Tuhan; saya tidak ingin alam semesta seperti itu.” [7]
Ketika ini mengenai Tuhan, beberapa ateis mengakui ini adalah halangan yang mereka hadapi. Thomas Nagel telah menulis sebagai berikut:”Saya ingin ateisme menjadi benar dan membuat menjadi tidak mudah oleh fakta bahwa beberapa orang paling cerdas dan orang dengan pengetahuan yang memadai yang saya tahu orang-orang percaya religious. Ini tidak sekedar saya tidak percaya kepada Tuhan dan, secara alami mengharapa bahwa saya benar dalam keyakinanku. Itulah yang saya harapkan bahwa tidak ada Tuhan! Saya tidak ingin ada yang menjadi Tuhan; saya tidak ingin alam semesta seperti itu.” [7]
Dapatkah
orang-orang Kristen menjadi bersalah akan hal ini—menginginkan Tuhan untuk
ada sedemikian kuatnya mereka berubah menjadi buta terhadap
klaim-klaim kebenaran sehingga berperilaku berlawanan dengan
keyakinan-keyakinan mereka? Tentu saja. Inilah salah satu alasan para apologet
Kristen sedemikian nyaringnya menabuh gendang mereka dan meminta semua orang
percaya untuk secara kritis memeriksa fakta-fakta sebagaimana Rasul Paulus
minta agar kita lakukan, (1 Tes 5:21).
“Kebenaran” ujar Søren Kierkegaard, “ adalah subyektifitas.”[8] Dia tidak memaksudkan bahwa kebenaran adalah subyektif, tetapi lebih kepda bahwa orang harus mensubyekan dirinya terhadap kebenaran dan mengaitkan dengan sebuah kebenaran dari sebuah titik pandang yang personal dan moral. Sejauh ini Kierkegaard (dan kita semua), jika ateis benar, kita semua harus menjadi para ateis, tetapi jika Kekristenan adalah benar,maka setiap orang harus bertelut lutut pada Kristus.
Setelah Yesus memulai pelayanannya, Dia kembali ke kota asalnya untuk mendapatkan sebuah kondisi yang menyedihkan. Setiap orang telah mengetahui mujizat-mujizatnya dan telah menyadari pengajaran-Nya yang melampaui pengajaran-pengajaran lainnya sebelum Dia. Tetapi Alkitab mengatakan bahwa mereka “mengadakan perlawanan” terhadap Dia (Markus 6:3). Kata Yunani menggunakan kata kandalizō yanga dikaitkan dengan kata dalam Bahasa Inggris “Scandal.” Seperti orang-orang Farisi,mereka telah menolak Dia dan bepikir mengenai Dia akan menjadi skandal (batu sandungan) bagi cara atau jalan hidup mereka.
“Kebenaran” ujar Søren Kierkegaard, “ adalah subyektifitas.”[8] Dia tidak memaksudkan bahwa kebenaran adalah subyektif, tetapi lebih kepda bahwa orang harus mensubyekan dirinya terhadap kebenaran dan mengaitkan dengan sebuah kebenaran dari sebuah titik pandang yang personal dan moral. Sejauh ini Kierkegaard (dan kita semua), jika ateis benar, kita semua harus menjadi para ateis, tetapi jika Kekristenan adalah benar,maka setiap orang harus bertelut lutut pada Kristus.
Setelah Yesus memulai pelayanannya, Dia kembali ke kota asalnya untuk mendapatkan sebuah kondisi yang menyedihkan. Setiap orang telah mengetahui mujizat-mujizatnya dan telah menyadari pengajaran-Nya yang melampaui pengajaran-pengajaran lainnya sebelum Dia. Tetapi Alkitab mengatakan bahwa mereka “mengadakan perlawanan” terhadap Dia (Markus 6:3). Kata Yunani menggunakan kata kandalizō yanga dikaitkan dengan kata dalam Bahasa Inggris “Scandal.” Seperti orang-orang Farisi,mereka telah menolak Dia dan bepikir mengenai Dia akan menjadi skandal (batu sandungan) bagi cara atau jalan hidup mereka.
Hal selanjutnya yang Alkitab katakan adalah Dia, “ merasa heran pada ketidakpercayaan mereka” (Markus 6:6). Anak Allah secara harfiah telah dipukau dan dibuat kagum pada bagaimana mereka dapat melewatkan bukti yang Dia sajikan tentang klaim-klaim kebenaran dan menyangkal bukti yang ada tersaji dihadapan mereka.
Keajaiban dari
sebuah keinginan untuk tidak percaya adalah memfrustrasikan dan juga
menyedihkan—khsususnya ketika ini
terkait dengan menolak Yesus. Jika anda bukan seorang Kristen, saya mendorong
anda untuk tidak mengikuti jejak-jejak
para orang Farisi dan orang-orang di kota asal Yesus. Sebaliknya,
berilah pandangan yang segar pada Kristus jika anda belum melakukannya maka
lakukanlah sejenak. Sebuah pengamatan
singkat yang baik pada kehidupan Yesus layak untuk diperiksa pada karya John
Dickson yang berjudul Life
of Jesus : Who He is and Why He Matters.
=========
[1] Deborah Lipstadt, Denying the Holocaust: The Growing Assault on Truth and Memory (New York: Simon and Shuster, 1993), pg. 2.
[2] J. P. Moreland, Love Your God With All Your Mind (Colorado Springs: NavPress, 1997), pgs. 75-76.
[3] Joe Boot as quoted by Stuart McAlister in Just Thinking podcast episode, Ravi Zacharias Ministries.
[4] https://en.wikipedia.org/wiki/David_Irving.
[5] Deborah Lipstadt, History on Trial: My Day in Court with a Holocaust Denier (New York: Harper, 2005), pg. xiv.
[6] Lipstadt, History, pg. xiii.
[7] http://goo.gl/Ki9Yp.
[8] http://goo.gl/JZERI.
Sometimes the truth is easy to find, but that doen’t mean
we’ll belive it | diterjemahkan dan diedit oleh :Martin Simamora
No comments:
Post a Comment