Rabu, tgl 2
Juli 2014, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
CHRIST: THE GOD-MAN
kristologi (5)
Bacalah lebih dulu bagian 4
V) Kristus: 1 person / pribadi dengan 2 natures / hakekat.
A) Istilah ‘Person’ dan ‘Nature’.
1) Mengapa digunakan istilah-istilah seperti ‘person’
(= pribadi) dan ‘nature’ (= hakekat), padahal istilah-istilah tersebut tidak
ada dalam Kitab Suci?
Calvin (pada
waktu ia berbicara tentang Allah Tritunggal dalam Yoh 1:1-2) menjawab
pertanyaan tersebut sebagai berikut:
“And yet the
ancient writers of the Church were excusable, when, finding that they could not
in any other way maintain sound and pure doctrine in opposition to the
perplexed and ambiguous phraseology of the heretics, they were compelled to
invent some words, which after all had no other meaning than what is taught in
the Scriptures. They said that there are three Hypostases, or Subsistences, or
Persons, in the one and simple essence of God.” (= Dan / tetapi penulis-penulis kuno dari
gereja bisa dibenarkan, karena pada waktu mereka melihat bahwa tidak ada jalan
lain untuk mempertahankan doktrin yang sehat dan
murni untuk menentang penyusunan kata yang membingungkan dan berarti dua dari
orang-orang sesat, maka mereka terpaksa
menciptakan beberapa kata-kata, yang sebetulnya
tidak mempunyai arti lain dari pada apa yang diajarkan dalam Kitab Suci.
Mereka berkata bahwa ada tiga pribadi dalam hakekat Allah yang satu dan
sederhana.).
Herman
Bavinck mengatakan sebagai berikut:
“It is of
course self-evident that this confession of Nicea and Chalcedon may not lay
claim to infallibility. The terms of which the church and its theology make
use, such as person, nature, unity of substance, and the like, are not found in
Scripture, but are the product of reflection which Christianity gradually had
to devote to this mystery of salvation. The church was compelled to do this
reflecting by the heresies which loomed up on all sides, both within the church
and outside of it. All those expressions and statements which are employed in
the confession of the church and in the language of theology are not designed
to explain the mystery which in this matter confronts it, but rather to
maintain it pure and unviolated over against those who would weaken or deny it.” (= Jelaslah bahwa pengakuan iman Nicea dan
Chalcedon tidak bisa dianggap infallible
/ tak bisa salah. Istilah-istilah yang digunakan oleh gereja dan theologinya,
seperti pribadi, hakekat,
kesatuan hakekat / zat,
dan sebagainya, tidak ditemukan dalam Kitab
Suci, tetapi merupakan hasil pemikiran yang secara bertahap / perlahan-lahan
harus diberikan oleh kekristenan kepada misteri tentang keselamatan ini.
Gereja dipaksa untuk melakukan pemikiran ini oleh bidat-bidat yang muncul dan
mengancam dari semua sisi, baik di dalam maupun di luar gereja. Semua istilah dan pernyataan yang digunakan dalam
pengakuan iman gereja dan dalam bahasa theologia, tidak dimaksudkan untuk menjelaskan misteri yang
dihadapi, tetapi untuk menjaganya supaya
tetap murni dan tak terganggu dari mereka yang ingin melemahkan atau
menyangkalnya.) - ‘OurReasonable Faith’, hal 321-322.
Bavinck
melanjutkan lagi:
“There have
been many, and there still are many, who look down upon the doctrine of the two
natures from a lofty vantage point, and try to supplant it by other words
and phrases. What differences does it really make, they begin by saying,
whether we agree with this doctrine or not? What matters is that we ourselves
possess the person of Christ, He who stands high and exalted above this awkward
confession. But before long these same persons begin introducing words and
terms themselves in order to describe the person of Christ whom they accept.
... And then history has taught that the terms of the attackers of the
Doctrine of the Two Natures are far poorer in worth and force, and that they
often, indeed, involve doing injustice to the incarnation as Scripture explains
it to us.” (= Pernah
ada banyak orang, dan sampai sekarang masih ada banyak orang, yang dari tempat
yang tinggi dan menguntungkan, meremehkan / memandang rendah doktrin tentang 2
hakekat ini, dan mencoba untuk menggantinya
dengan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang lain. Mereka memulainya
dengan berkata: apa bedanya apakah kami menyetujui doktrin ini atau tidak? Yang
penting adalah bahwa kami memiliki pribadi Kristus, yang berdiri jauh di atas
pengakuan yang aneh ini. Tetapi sebentar lagi,
orang-orang ini sendiri mulai memperkenalkan kata-kata dan istilah-istilah
untuk menggambarkan pribadi Kristus yang
mereka terima. ... Dan sejarah telah
mengajar bahwa istilah-istilah dari para penyerang doktrin tentang 2 hakekat ini, jauh lebih jelek dalam
nilainya dan kekuatannya, dan bahwa mereka bahkan sering terlibat dalam
perlakuan yang tidak benar terhadap inkarnasi seperti yang dijelaskan oleh
Kitab Suci kepada kita.) - ‘Our
Reasonable Faith’, hal 322.
Apa yang
dikatakan oleh Bavinck ini terbukti dalam buku sesat dari Pdt. Yohanes Bambang,
yang berjudul ‘Tuhan, Ajarlah Aku’.
Dalam
hal 131, ia berkata sebagai berikut: “Jadi
karena hakikat Alkitab berfungsi sebagai pewartaan iman maka dalam
kesaksiannya tidak pernah berspekulasi juga mengenai masalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Tertullianus. Alkitab tidak
pernah membuat hipotesa tentang Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus dengan
kategori-kategori ‘UNA SUBSTANTIA, TRES PERSONAE’ (satu zat yang memiliki tiga
pribadi). Cara berpikir Tertullianus adalah cara berpikir yang
filsafati ketimbang cara berpikir teologis-alkitabiah. Bila demikian,
identitas Roh Kudus bukan dalam pengertian ZAT ILAHI yang memiliki kepribadian
sendiri. Alkitab tidak pernah mengenal atau
mempergunakan istilah dan pengertian ZAT ILAHI”.
Jadi
terlihat bahwa ia menolak ajaran Tertullian
ini dengan alasan bahwa istilah ‘zat ilahi’ itu tidak ada dalam Kitab Suci.
Tetapi anehnya dalam bagian lain dari bukunya ia berkata:
- “Secara matematis memang berjumlah tiga. Tetapi dari penghayatan iman dan materi Allah: ketigaNya adalah YANG TUNGGAL” (hal 109).
- “Jadi Allah dan Yesus adalah satu, tapi bukan satu dalam arti matematis, juga bukan dalam arti satu zat. Allah dan Yesus adalah satu dalam ciri hakiki ilahi dan karya (pekerjaan)Nya” (hal 110).
- “... sehingga dalam diri Yesus Kristus nampak seluruh ciri hakiki Allah sendiri” (hal 135).
Perhatikan
bahwa sekarang ia menggunakan istilah-istilah ‘materi
Allah’, ‘ciri hakiki ilahi’, dan ‘ciri hakiki Allah’. Bukankah
istilah-istilah itu juga tidak ada dalam Kitab Suci? Jadi terlihat
kebenaran kata-kata Bavinck di atas. Orang ini baru
saja mencela penggunaan istilah ‘zat ilahi’, tetapi lalu menciptakan istilahnya
sendiri, yang juga tidak ada dalam Kitab Suci, dan jelas lebih jelek nilainya
dari istilah ‘zat ilahi’ yang ia cela.
2) Arti dari person dan nature.
Pada waktu
LOGOS / Anak Allah berinkarnasi, Ia tidak mengambil pribadi
manusia, tetapi hakekat manusia (yang
lalu mendapat kepribadiannya dari LOGOS).
Kalau demikian,
bisakah kita berkata bahwa Yesus tidak mengambil seluruh manusia, karena
yang Ia ambil adalah manusia tanpa kepribadian? Kalau
memang LOGOS tidak mengambil seluruh manusia, bukankah itu berarti bahwa Ia
tidak menebus seluruh manusia? Kalau Ia tidak mengambil kepribadian manusia,
bukankah itu berarti bahwa kepribadian kita tidak ditebus?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu mengerti tentang arti / definisi dari istilah ‘person / pribadi’ dan ‘nature
/ hekekat’.
a) Human
nature adalah substance / essence
(= hakekat) dari manusia. Tidak ada perbedaan
antara human nature yang satu dengan human nature yang lain. Semua manusia
mempunyai human nature yang sama.
b) Human
nature sudah merupakan seluruh manusia, tidak ada sedikitpun yang kurang.
c) Human
person (= pribadi manusia) adalah human
nature yang sudah dipribadikan. Karena itu, human person yang satu berbeda dengan human person yang lain.
Beberapa
kutipan kata-kata William G. T. Shedd:
1. “Personality is not an integral
and essential part of a nature, but is, as it were, the terminus to which it
tends” (= Kepribadian bukanlah
merupakan bagian yang perlu untuk melengkapi dan bukan bagian yang pokok /
hakiki dari suatu hakekat, tetapi merupakan terminal / tujuan yang dituju oleh
hakekat itu) - ‘Shedd’s Dogmatic
Theology’, vol II, hal 287.
2. “When we speak of a human nature, a real substance
having physical, rational, moral and spiritual properties is meant. This human
nature is capable of becoming a human person but as yet is not one. It requires
to be personalized, in order to be a self-conscious individual man. A human
person is a fractional part of a specific human nature or substance which has
been separated from the common mass, and formed into a distinct and separate
individual, by the process of generation. Prior to this separation and
formation, this fractional portion of the common human nature has all the
qualities of the common mass of which it is a part, but it is not yet
individualized. It is potentially, not actually personal. It has all the
properties that subsequently appear in the particular individual formed of
it,” [= Pada waktu kita berbicara
tentang suatu hakekat manusia, maka yang dimaksud adalah suatu zat yang nyata
yang memiliki sifat-sifat fisik, ratio, moral dan rohani. Hakekat manusia ini bisa (mempunyai
kemampuan) menjadi pribadi manusia tetapi
belum / bukan merupakan pribadi manusia. Hakekat manusia itu perlu dipribadikan supaya menjadi
seorang manusia tersendiri yang sadar. Seorang
pribadi manusia adalah sebagian kecil dari hakekat atau zat manusia tertentu
yang telah dipisahkan dari seluruh massa, dan dibentuk menjadi pribadi
tersendiri yang berbeda dan terpisah, oleh proses kelahiran. Sebelum pemisahan dan pembentukan ini, bagian kecil dari
seluruh hakekat manusia itu, mempunyai semua sifat-sifat dari seluruh massa
dari mana ia merupakan bagian, tetapi ia belum dipribadikan. Ia berpotensi
untuk menjadi pribadi, tetapi ia tidak / belum sungguh-sungguh merupakan pribadi. Ia mempunyai semua
sifat-sifat yang sesudah itu muncul dalam pribadi tertentu yang dibentuk darinya,] - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal
289-290.
3. “A lump of clay has all the
properties of matter that belong to the vessel of honor and dishonor. But it
has not as yet the individual form of the vessel. An act of the potter must
intervene, whereby a piece of clay is separated from the lump and moulded into
a particular vase having its own peculiar shape and figure. In like manner,
human nature as an entire whole existing in Adam possessed all the elementary
properties that are requisite to personality, though it was not yet
personalized.” (= Segumpal tanah liat mempunyai semua sifat-sifat dari
bahan / zat yang dimiliki oleh bejana yang terhormat dan tak terhormat. Tetapi gumpalan tanah liat itu belum mempunyai bentuk
dari bejana itu. Suatu tindakan dari penjunan harus ikut campur, dengan mana
segumpal tanah liat itu dipisahkan dari seluruh gumpalan dan dibentuk menjadi
suatu jambangan tertentu yang mempunyai bentuknya yang khas. Demikian juga, hakekat manusia sebagai suatu keseluruhan
yang ada di dalam Adam mempunyai semua sifat-sifat dasar yang diperlukan untuk
kepribadian, sekalipun hakekat manusia itu belum dipribadikan.) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II,
hal 290-291.
4. “The difference, then, between
nature and person is virtually that between substance and form.” (= Jadi, perbedaan sebenarnya antara hakekat
dan pribadi adalah perbedaan antara zat dan bentuk.) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal
291.
5. “Still another point of
difference between a ‘nature’ and a ‘person’ is the fact that a nature can not
be distinguished from another nature, but a person can be from another
person.” (= Perbedaan lain lagi antara
‘hakekat’ dan ‘pribadi’ adalah fakta bahwa suatu
hakekat tidak bisa dibedakan dari hakekat yang lain, sedangkan suatu
pribadi bisa dibedakan dari pribadi yang lain.) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal
294.
Catatan: ini hanya ilustrasi untuk menjelaskan. Perlu dicamkan, bahwa dalam realitanya hakekat manusia yang belum dibentuk itu TIDAK PERNAH ADA sendirian / terpisah dari hakekat / pribadi ilahi!
Kesimpulan
dari semua ini:
Karena person
/ pribadi adalah nature / hakekat
yang sudah dibentuk / dipribadikan, maka sebetulnya person /
pribadi tidak memiliki kelebihan zat dibandingkan dengan nature / hakekat. Ingat bahwa ‘pembentukan’ bukanlah penambahan zat! Sama seperti segumpal tanah liat, yang sudah dibentuk menjadi
jambangan / gelas, tidak mempunyai kelebihan zat dibandingkan dengan saat
gumpalan tanah liat itu belum dibentuk, demikian juga person / pribadi tidak
mempunyai kelebihan zat dibandingkan dengan nature
/ hakekat.
Illustrasi:
Dari
illustrasi gambar ini terlihat dengan jelas bahwa perbedaan antara nature dan person, tidak terletak pada perbedaan zat / hakekat, tetapi pada
pembentukan (nature / hakekat - belum
dibentuk; person / pribadi - sudah
dibentuk).
Dengan demikian, pada waktu Yesus mengambil human nature / hakekat manusia, Ia
sebetulnya sudah mengambil seluruh manusia, tanpa ada yang kurang sedikitpun.
B) Hypostatical / personal Union (=
persatuan pribadi).
1) Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan
sungguh-sungguh manusia. Tetapi Ia hanya merupakan 1 pribadi.
Dasar dari
pandangan ini:
Dalam Kitab
Suci sering ditunjukkan akan adanya lebih dari 1 pribadi dalam diri Allah.
Misalnya:
a) Penggunaan kata ganti orang bentuk jamak.
Kej 1:26
- “Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa Kita, supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.’”.
b) Pembicaraan antara satu pribadi dengan pribadi
yang lain.
Maz 2:7
- “Aku mau menceritakan tentang
ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku:
‘AnakKu engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”.
c) Adanya saling kasih-mengasihi antara
pribadi-pribadi itu.
Mat 3:17
- “lalu terdengarlah suara dari sorga
yang mengatakan: ‘Inilah AnakKu yang Kukasihi,
kepadaNyalah Aku berkenan.’”.
d) Pribadi yang satu mengutus pribadi yang lain.
Bapa
mengutus Anak, dan Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus.
- Yoh 17:3 - “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.”.
- Yoh 14:26 - “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”.
- Yoh 15:26 - “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.”.
Tetapi hal-hal tersebut tidak
pernah terjadi pada waktu Kitab Suci menggambarkan Yesus Kristus. Jadi jelaslah
bahwa berbeda dengan Allah Tritunggal yang memiliki lebih dari 1 pribadi 3
pribadi), Yesus Kristus hanya memiliki 1 pribadi saja!
2) Sebelum inkarnasi, Yesus adalah Allah Anak
yang jelas merupakan ‘seseorang’ yang berpribadi.
Jadi pada
saat itu Ia adalah 1 pribadi dengan 1 hakekat, yaitu hakekat ilahi.
Pada saat Ia
berinkarnasi, Ia tidak mengambil ‘pribadi manusia’ karena ini akan menimbulkan
adanya 2 pribadi seperti yang diajarkan oleh Nestorianism.
Yang diambil
olehNya adalah hakekat manusia.
Hakekat
manusia dan hakekat ilahi bersatu dalam pribadi Anak Allah sehingga setelah
inkarnasi, Yesus adalah 1 pribadi dengan 2 hakekat (ilahi dan manusia).
Ada yang
beranggapan bahwa yang diambil oleh Logos bukanlah ‘hakekat manusia’ tetapi
‘pribadi manusia’, karena yang diambil itu terdiri dari tubuh dan jiwa / roh,
yang mencakup pikiran, perasaan, dan kehendak, dan ketiga hal ini merupakan
ciri-ciri dari seorang pribadi.
Tetapi ini
tidak benar, karena sekalipun Logos itu mengambil tubuh manusia dan jiwa / roh
manusia, yang mempunyai pikiran, perasaan dan kehendak, tetapi semua itu belum dipribadikan, sehingga
sifatnya belum / tidak specific (=
tertentu).
Jadi,
pikirannya belum tertentu (pandai atau bodoh), perasaannya belum tertentu
(halus atau kasar), kehendaknya belum tertentu (keras atau tidak). Bahkan
tubuhnyapun belum tertentu (tinggi atau pendek, berkulit putih atau kuning atau
hitam, bermata biru atau coklat, berambut pirang atau hitam, dsb).
Dengan
demikian ini bukan pribadi manusia, tetapi hakekat manusia.
Tetapi pada
saat pertama Logos mengambil hakekat manusia itu, maka hakekat manusia itu
mendapat kepribadiannya dari Logos, sehingga menjadi manusia tertentu.
3) Hakekat manusia
itu tidak pernah ada terpisah dari pribadi Allah Anak.
Hakekat manusia
itu mendapat kepribadiannya dari pribadi Allah Anak dan selalu ada di dalam pribadi Allah Anak itu.
Bahkan
antara kematian dan kebangkitan Yesuspun, hakekat manusia itu tak terpisah
dengan LOGOS / Allah Anak, karena sekalipun
hakekat manusia itu terpecah (roh terpisah dari tubuh), tetapi LOGOS /
Allah Anak yang maha ada itu tetap bersatu baik dengan tubuh (yang ada di
kuburan) maupun dengan roh (yang ada di surga).
4) Dalam Personal
Union (= persatuan pribadi) ini terjadi suatu persatuan, bukan suatu
percampuran (mixture / confusion),
antara hakekat manusia dan hakekat ilahi.
Hakekat
manusia dan hakekat ilahi tidak bercampur
dan lalu membentuk satu hakekat yang baru.
Juga hakekat
manusia tidak berubah menjadi hakekat ilahi,
dan hakekat ilahi tidak berubah menjadi
hakekat manusia.
Jadi,
baik hakekat manusia maupun hakekat ilahi tetap mempunyai / mempertahankan
sifat-sifatnya sendiri-sendiri.
Mereka
berbeda, tetapi bersatu dalam diri Yesus Kristus.
No comments:
Post a Comment