Oleh :Robin Schumacher, Ph.D.
Pada bagian pertama :Dalam bukunya “The God Delusion”, seorang ateis Richard Dawkins menuliskan sebuah kritik tajam penggambaran Tuhan sebagaimana dia melihat Tuhan dalam Perjanjian Lama. Dawkins berkata : “Tuhan Perjanjian Lama sangat-sangat nyata merupakan karakter yang sangat tidak menyenangkan dalam semua kisah fiksi : .......
Pada bagian pertama :Dalam bukunya “The God Delusion”, seorang ateis Richard Dawkins menuliskan sebuah kritik tajam penggambaran Tuhan sebagaimana dia melihat Tuhan dalam Perjanjian Lama. Dawkins berkata : “Tuhan Perjanjian Lama sangat-sangat nyata merupakan karakter yang sangat tidak menyenangkan dalam semua kisah fiksi : .......
Bagian kedua : Orang-orang Amalek khususnya melancarkan serangan-serangan mereka sebagai
pengecut kepada Israel dan dengan sengaja membunuh orang yang lemah dan tua
yang terkadang tercecer di belakang kelompok inti yang
melakukan perjalanan mereka ke tanah yang dijanjikan Tuhan ( bandingkan
dengan Ulangan 25:17-19). Kitab Hakim-Hakim (6:3-5) merekam bahwa orang-orang
Amalek secara konsisten beraliansi dengan bangsa-bangsa lain untuk melakukan
pembasmian bangsa Israel. Ajaibnya ,
Tuhan memilih untuk tidak menghancurkan orang-orang Amalek sampai setidaknya 400 tahun berlalu dari tindakan
dosa mereka yang pertama terhadap umat-Nya. Waktu yang demikian panjangnya
seperti ini memperlihatkan kesabaran Tuhan dan
mengenyahkan tuduhan apapun bahwa Tuhan cepat marah dan tergesa-gesa
melakukan penghukuman terhadap mereka yang berdosa dihadapan-Nya.
Bagian Ketiga : Apa yang terkadang terlewatkan pada nas kitab suci tersebut adalah bagian-bagian yang mendahului kisah ini : ” "Apabila kamu dengan tidak sengaja melalaikan salah satu dari segala perintah ini, yang telah difirmankan TUHAN kepada Musa, yakni dari segala yang diperintahkan TUHAN kepadamu dengan perantaraan Musa, mulai dari hari TUHAN memberikan perintah-perintah-Nya dan seterusnya turun-temurun, dan apabila hal itu diperbuat di luar pengetahuan umat ini, tidak dengan sengaja, maka haruslah segenap umat mengolah seekor lembu jantan muda sebagai korban bakaran menjadi bau yang menyenangkan bagi TUHAN, serta dengan korban sajiannya dan korban curahannya, sesuai dengan peraturan; juga seekor kambing jantan sebagai korban penghapus dosa. Maka haruslah imam mengadakan pendamaian bagi segenap umat Israel, sehingga mereka beroleh pengampunan, sebab hal itu terjadi tidak dengan sengaja,...
Bagian Ketiga : Apa yang terkadang terlewatkan pada nas kitab suci tersebut adalah bagian-bagian yang mendahului kisah ini : ” "Apabila kamu dengan tidak sengaja melalaikan salah satu dari segala perintah ini, yang telah difirmankan TUHAN kepada Musa, yakni dari segala yang diperintahkan TUHAN kepadamu dengan perantaraan Musa, mulai dari hari TUHAN memberikan perintah-perintah-Nya dan seterusnya turun-temurun, dan apabila hal itu diperbuat di luar pengetahuan umat ini, tidak dengan sengaja, maka haruslah segenap umat mengolah seekor lembu jantan muda sebagai korban bakaran menjadi bau yang menyenangkan bagi TUHAN, serta dengan korban sajiannya dan korban curahannya, sesuai dengan peraturan; juga seekor kambing jantan sebagai korban penghapus dosa. Maka haruslah imam mengadakan pendamaian bagi segenap umat Israel, sehingga mereka beroleh pengampunan, sebab hal itu terjadi tidak dengan sengaja,...
Ketiadaan Fondasi Moral Ateisme
Setelah
menanggapi tuduhan-tuduhan utama terhadap keadilan Tuhan dalam Perjanjian Lama,
kita sekarang mengalihkan perhatian kita pada bagaimana ateis berupaya mendukung posisi moral mereka
dalam mencap Tuhan sebagai jahat dan tidak adil sebagai tudingan utama.
Perangkat etika dan filosopi apakah
yang mereka gunakan sebagai fondasi mereka?
Materialis/naturalis tidak dapat berpaling pada evolusi untuk menopangnya karena teori evolusi hanya menawarkan konsep yang terkuatlah yang bertahan hidup. Dalam kerangka semacam ini, diyakini bahwa hanya yang terkuat dapat bertahan hidup dan membuat teori ini sama sekali tidak memiliki pijakan dalam posisi moral mereka.
Menjadi sulit bagi ateis yang menginginkan
filosopi mereka menjadi benar untuk
menyatakan sebuah ketidaksetujuan
pandangan terhadap Tuhan tanpa mencelupkan jari mereka kedalam dasar
moral kekristenan, yang mana mereka nyatakan menolaknya. Ini sebabnya mengapa
beberapa ateis secara terbuka mengakui
bahwa didalam dunia mereka, baik dan jahat sungguh-sungguh bukan merupakan
konsep-konsep yang dapat diyakini
sepunuhnya oleh seseorang. Pada subyek ini, Richard Dawkins mengatakan : “ Manusia-manusia selalu
bertanya mengenai makna kehidupan …kehidupan tidak memiliki tujuan yang lebih tinggi daripada
kelangsungan hidup DNA… kehidupan tidak memiliki desain, tidak memiliki tujuan,
tidak memiliki hal yang jahat dan baik, tidak ada kecuali buta menggenaskan tiada kepedulian”
[Richard Dawkins, River Out of Eden, New York: Basic Books, 1995, 133.].
Bagaimana bisa
sebuah pernyataan semacam ini dibuat?
Pernyataan tersebut pada dasarnya merupakan hasil akhir dari filosopi yang dianut ateis dan mengikuti kemana filosopi itu berujung.
Logika dasarnya sebagai berikut :
Sebelum anda dapat menyatakan sesuatu adalah
jahat, anda harus tahu apa yang baik
itu. Sebelum anda tahu apa yang baik
itu, anda harus memiliki sebuah kerangka moral untuk membedakan baik
dari yang jahat. Sebelum anda dapat memiliki hukum-hukum moral yang absolut dan
tak berubah, anda harus memiliki seorang pemberi hukum moral yang absolut, karena hukum
tidak muncul dari udara yang tipis.
Tetapi pemberi hukum moral absolut semacam ini: yang pasti hanya Tuhan, sosok yang disangkali ateis. Sehingga sekarang anda pada dasarnya
mengulanginya kembali : tidak adanya
pemberi hukum moral absolut bermakna tidak adanya hukum-hukum moral absolut.
Tidak adanya hukum-hukum moral absolut bermakna tidak adanya kerangka moral untuk membedakan
antara baik dan jahat. Dan tidak adanya kerangka moral bermakna tidak ada cara
untuk mencap sesuatu itu baik dan
sesuatu itu jahat. Ide ini dijelaskan secara lebih sederhana oleh C.S.
Lewis yang mengatakan bahwa seorang manusia tidak dapat mengatakan sebuah garis bengkok kecuali
dia tahu seperti apakah sebuah garis
lurus itu.
Ini memang
benar, kemanakah ateis harus memandang
untuk tahu ‘garis lurus’ mereka? Tuhan tidak termasuk dalam pertanyaan ini,
sehingga mereka harus berpaling kepada umat manusia itu sendiri, yang mereka
yakini pada dasarnya ‘baik’. Tetapi pertanyaan berduri bagi para ateis, mengacu
pada penyangkalan mereka akan Tuhan dan sebuah keyakinan bahwa umat manusia
pada dasarnya baik, adalah : Siapakah, kemudian, yang melakukan semua ‘kekejaman’ yang mereka tudingkan dalam
Perjanjian Lama? Tuhan tidak melakukan itu karena Dia tidak pernah ada dan jika
orang pada dasarnya baik, lalu apa yang
salah dengan mereka yang terlibat dalam semua kejadian-kejadian yang
mereka kecam keras?
“Agama!”
adalah jawaban yang kerap kali
dimunculkan kembali dari ateis. Mereka menuding bahwa kekerasan yang dilakukan disebabkan oleh orang yang
secara keliru mengunakan sebuah pembenaran agama untuk memberikan mereka sebuah
lampu hijau untuk melakukan
tindakan-tindakan yang telah
mereka perbuat. Tetapi apakah sebuah posisi/pandangan semacam ini berdiri
dengan kokoh? Terkadang ya; sebagai contoh, para teroris 9/11 dilatar belakangi motivasi religious dan
sangat diyakini bahwa apa yang telah mereka
lakukan adalah benar didepan mata Allah.
Akan tetapi,
para ateis mengabaikan fakta bahwa
pemerintahan-pemerintahan non religious melakukan
lebih banyak lagi penumpahan darah yang teramat hebat daripada yang
dilakukan oleh orang yang menggunakan
agama sebagai dasar pelaksanaannya. Dalam buku Death by Government, karya R.J.
Rummel mencatat orang berikut ini-- [J.
Rummel, Death by Government, Brunswick, New Jersey: Transaction Publishers,
2009, 8. ]--yang dihitung sebagai akibat dari pemerintahan-pemerintahan
ateis/non religious:
- Joseph Stalin : 42.672.000
- Mao Zedong : 37.828.000
- Adolf Hitler : 20.946.000
- Chiang Kai-shek : 10.214.000
- Vladimir Lenin : 4.017.000
- Hideki Tojo : 3.990.000
- Pol Pot : 2.397.000
Rummerl
mengatakan, “ Hampir 170 juta pria,wanita dan anak-anak telah ditembak,
dianiaya, disiksa,ditikam,dibakar,kelaparan,kedinginan, dibantai atau bekerja
sampai mati; dikubur hidup-hidup,ditenggelamkan dalam air,digantung,dibom,dibunuh
dengan berbagai cara lain yang tak
terhitung oleh pemerintahan-pemerintahan mengakibatkan kematian terhadap warga
masyarakat dan pendatang yang tidak bersenjata dan tidak berdaya…Kejadian ini
seolah spesies kita telah dihancurkan oleh sebuah Wabah Hitam moderen. Dan hal
ini nyata-nyata telah terjadi, tetapi sebuah wabah kekuasaan, bukan kuman-kuman
“[N.T. Wright, Evil and the Justice of God, Downers Grove, Illinois:
Intervarsity Press, 2006, 58-59.]. Harus
dicamkan dalam benak kita bahwa statistik-statistik yang diungkapkan
dalam karya Rummel adalah data tahun 1988; setelah tahun tersebut, telah terjadi
lagi sejumlah perang-perang dan
kekejaman-kekekajaman yang dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sekular
yang telah menambahkan jumlah kematian.
Ini
merupakan dilema ateis: Kemana mereka berpaling untuk mendapatkan sebuah
jawaban terhadap kekerasan yang dikutip Rummel dan apakah perbaikan mereka
untuk situasi ini? Standard moral apakah dan otoritas apakah yang akan mereka gunakan untuk memperbaiki
situasi? Mereka tidak dapat menengok pada evolusi dan/atau naturalisme karena kelangsungan hidup bagi yang terkuat tidak
menghormati atau percaya pada kesetaraan
moral diantara umat manusia. Frederick Nietzsche menegaskan hal ini ketika dia
berkata , “Kesetaraan merupakan sebuah dusta yang dikarang oleh orang yang
inferior ,mengupayakan diri mereka berada dalam kelompok-kelompok untuk
menaklukan mereka yang secara alami
lebih unggul daripada mereka, ini
membawa kerusakan pada spesies manusia.” Adalah juga Nietzsche yang
memprediksi bahwa, karena Tuhan (yang
dia yakini) sekarang telah mati, maka abad ke-20 akan menjadi abad paling
berdarah dalam sejarah. Sedihnya, dia benar, dengan hasil berupa pernyataan Dostoevsky yang menggema
dalam bukunya The Brothers Karamazov : “Without God all things are permitted.”
Situasinya
sungguh-sungguh sulit bagi ateis. Pada satu sisi mereka menyatakan Tuhan Perjanjian
Lama jahat, namun demikian pada sisi lainnya, mereka mengakui bahwa tanpa
Tuhan kejahatan tidak ada dan semua
akan tetap berlangsung. Para ateis ada
baiknya untuk mendengarkan N.T. Wright dalam
rekomendasinya yang panjang namun sangat membantu bahwa mereka (atau
siapapun juga) untuk tidak segera
melemparkan sebuah mata penghakiman terhadap tindakan-tindakan Tuhan dalam
Perjanjian Lama :
Kita mendapatkannya sulit untuk mempercayai bahwa mereka (Israel) telah dibenarkan dalam melakukan apa yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang Kanaan, atau bahwa Tuhan yang terlibat didalam operasi ini adalah Tuhan yang sama yang kita kenal dalam Yesus Kristus. Dan sejak kejadian Taman, sejak Tuhan berduka atas Nuh, sejak Babel dan Abraham, kisahnya sejak awal mengenai jalan yang kacau dimana Tuhan telah harus bekerja untuk membawa dunia keluar dari kekacauan. Entah bagaimana, dalam sebuah cara dimana kita melibatkan upaya yang ofensif, Tuhan harus membuat sepatu-sepatu bootnya berlumpur dan, nampaknya, membuat tangan-Nya berlumuran darah, untuk memperbaiki dunia sedia kala. Jika kita mendeklarasikan sebagaimana banyak orang telah melakukannya, dimana sebaiknya tidak turut melakukannya, kita menghadapi sebuah pertanyaan sanggahan : yang agak kering, apakah kita berdiri diatas dasar yang bersih yang diatas dasar itu kita harus menyatakan hal tersebut dengan sebuah kepastian? Dietrich Bonhoeffer telah mendeklarasikan dosa prima kemanusiaan berisikan: menempatkan pengetahuan akan yang baik dan yang jahat dihadapan pengetahuan Tuhan. Itu merupakan salah satu misteri-misteri hitam lebih lanjut dari Kejadian 3; pasti ada beberapa kesinambungan substansial antara apa yang kita maksud dengan baik dan jahat dan apa yang Tuhan maksudkan; jika tidak, kita berada didalam kegelapan moral yang sebenarnya. Tetapi ini berperan sebagai peringatan bagi kita untuk tidak menyatakan pandangan yang kita yakini benar dengan terlampau banyak kepastian mengenai apa yang Tuhan seharusnya dan tidak seharusnya lakukan [N.T. Wright, Evil and the Justice of God, Downers Grove, Illinois: Intervarsity Press, 2006, 58-59.].
Penolakan
pada pernyataan Wright berpusat pada sebuah bantahan terhadap siapapun yang
menganggap Tuhan tidak adil, yang mana merupakan apa yang sesungguhnya menjadi sentiment para pencela Tuhan ketika mereka memberikan
perhatian pada tingkat permukaan tindakan-tindakan-Nya dalam Perjanjian Lama.
Dan lagian, tanpa Tuhan, tidak dapat ada
keadilan yang sejati.
Ini
merupakan sebuah kesimpulan yang
disampaikan bahkan oleh para pemikir sejarah paling terkenal
yang berpikir bahwa dia percaya ada sebuah Tuhan, tidak berpikir seseorang yang dapat sungguh-sungguh mengenal Dia :
Immanuel Kant. Kant menanyakan pertanyaan tersebut, apa yang diperlukan untuk
memiliki keadilan yang sesungguhnya? Kant pertama-tama melihat bahwa dalam hidup
ini, orang yang tidak bersalah sungguh-sungguh menderita dan kemakmuran yang
tidak adil; dengan kata lain, sebuah argumen dapat dibuat, bahwa didalam dunia ini tidak ada alasan
praktis menjadi etikal: kejahatan menerima
ganjarannya. Sehingga karena dunia ini mempelihatkan bahwa keadilan
tidak selalu berkuasa, untuk memiliki keadilan sejati, harus ada kehidupan
setelah kematian bagi yang tidak adil untuk
menjalani pertanggunganjawab.
Apakah ini cukup, tanya Kant? Tidak, juga harus ada sebuah penghakiman. Lebih lanjut, penghakiman itu harus sempurna untuk menjamin keadilan menjatuhkan ganjarannya. Dan, agar menjadi keadilan yang sempurna dan sebuah penghakiman yang sempurna, adalah beralasan untuk menyimpulkan bahwa harus ada sebuah hakim yang sempurna; hakim yang harus mengetahui semua fakta-fakta dari kasus dan memiliki semua pengetahuan sehingga tidak ada kemungkinan untuk sampai tertinggalkan. Apakah ini kemudian mencukupi, tanya Kant? Tidak, hakim tersebut juga harus sepenuhnya benar, karena seorang hakim dapat mengetahui semua fakta-fakta namun juga menjadi korup. Lebih jauh lagi, hakim tersebut juga harus memiliki kuasa untuk mengimplementasikan dan menegakan/memastikan keadilan, tanpa kuasa memiliki kedudukan superior pada hakim membuatnya tidak memiliki apapun yang tersisa baginya untuk bertindak.
Apakah ini cukup, tanya Kant? Tidak, juga harus ada sebuah penghakiman. Lebih lanjut, penghakiman itu harus sempurna untuk menjamin keadilan menjatuhkan ganjarannya. Dan, agar menjadi keadilan yang sempurna dan sebuah penghakiman yang sempurna, adalah beralasan untuk menyimpulkan bahwa harus ada sebuah hakim yang sempurna; hakim yang harus mengetahui semua fakta-fakta dari kasus dan memiliki semua pengetahuan sehingga tidak ada kemungkinan untuk sampai tertinggalkan. Apakah ini kemudian mencukupi, tanya Kant? Tidak, hakim tersebut juga harus sepenuhnya benar, karena seorang hakim dapat mengetahui semua fakta-fakta namun juga menjadi korup. Lebih jauh lagi, hakim tersebut juga harus memiliki kuasa untuk mengimplementasikan dan menegakan/memastikan keadilan, tanpa kuasa memiliki kedudukan superior pada hakim membuatnya tidak memiliki apapun yang tersisa baginya untuk bertindak.
Sehingga,
walaupun Kant secara pasti yakin
Alkitab bukan Firman Tuhan yang diwahyukan, dia telah mencapai kesimpulan bahwa untuk memiliki keadilan sejati anda
membutuhkan sebuah kehidupan setelah
kematian dengan seorang hakim yang omnipotent (mahakuasa),omniscient
(mahatahu), benar, dan kudus untuk menjamin keadilan dijalankan. Tanpa itu,
kata Kant, tidak ada dasar yang pasti
atau pijakan-pijakan bagi etika-etika atau keadilan. Kesimpulan Kant pada dasarnya adalah apa yang harus dihidupi umat manusia seolah ada
seorang Tuhan.
Kesimpulan
Setelah
memeriksa contoh-contoh utama Perjanjian
Lama secara seksama yang digunakan para
ateis untuk mencap Tuhan sebagai tidak adil,
hal tersebut telah memperlihatkan bahwa kristisme mereka dan
karakterisasi-karaktersisasi tidak ditemukan, dan pemahaman mereka akan beragam
situasi memiliki cacat. Lebih lanjut,
ketimbang bersenyawa dengan pengkarikaturan Dawkins mengenai Tuhan sebagai sosok pembalas dendam, tidak sabar, cepat
marah, dan ketuhanan yang haus darah, gambar Tuhan yang sebaliknya muncul dari Perjanjian Lama
setelah melalui sebuah studi yang dilakukan; Tuhan digambarkan sebagai
pengampun, sabar, dan lambat untuk
mengirimkan penghakiman. Sebagai contoh, ketika Tuhan menyayangkan
Niniweh setelah Yunus berkhotbah, Yunus berseru :” Aku tahu, bahwa Engkaulah
Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia
serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” (Yunus 4:2).
Akan tetapi, Dia juga mengungkapkan diri-Nya kudus, adil dan benar , Tuhan yang membawa keadilan menurut waktu-Nya. Singkatnya, Tuhan Perjanjian Lama cocok dengan Tuhan Perjanjian Baru hingga sekecil-kecilnya.
Akan tetapi, Dia juga mengungkapkan diri-Nya kudus, adil dan benar , Tuhan yang membawa keadilan menurut waktu-Nya. Singkatnya, Tuhan Perjanjian Lama cocok dengan Tuhan Perjanjian Baru hingga sekecil-kecilnya.
Sementara
beberapa orang mungkin akan berargumen
bahwa mengoreksi kecacatan sudut pandang Tuhan yang diusung skeptik tidak sepenting
itu, maka hal yang sebaliknya juga benar. Sebuah pemahaman yang akurat mengenai
natur dan karakteristik-karakteristik Tuhan
merupakan hal terpenting; sebuah fakta yang dengan baik ditangkap oleh
A.W. Tozer yang menuliskan :” Apa yang masuk kedalam benak-benak kita ketika kita memikirkan tentang Tuhan adalah
hal terpenting tentang kita. Sejarah
umat manusia berangkali akan memperlihatkan bahwa tidak ada orang yang pernah
bangkit diatas agamanya, dan sejarah
spiritual manusia akan secara positif mendemonstrasikan bahwa tidak ada agama
yang pernah menjadi lebih besar daripada idenya
mengenai Tuhan “ [A.W. Tozer, The Knowledge of the Holy, San Francisco:
Harper Collins, 1961, 1. ].
Memang benar
bahwa Alkitab mengandung kisah-kisah
grafik tentang dosa,kejahatan, dan kematian. Tetapi Alkitab juga mencakup
keseluruhannya, kisah agung mengenai kasih, penebusan, dan anugerah. Alkitab
mempertontonkan sosok Tuhan yang meminta
kita untuk tidak mengkritisi Dia tentang
tindakan-tindakan keadilan-Nya, tetapi sebaliknya Tuhan yang dengan lemah lembut mendorong kita untuk datang
berdampingan dengan Dia. Ketika hal itu terjadi, dan Tuhan bertindak dalam
kebenaran-Nya, dunia menemukan
konsekuensi-konsekuensi yang ada
bagi perilaku jahat, yang merupakan sesuatu yang dikatakan nabi
Yesaya : ” Dengan segenap jiwa aku merindukan Engkau pada waktu malam,
juga dengan sepenuh hati aku mencari Engkau pada waktu pagi; sebab apabila
Engkau datang menghakimi bumi, maka penduduk dunia akan belajar apa yang benar”
(Yesaya 26:9).
Jadi inilah
Tuhan dalam Perjanjian Lama yang digambarkan seorang
monster tanpa belas kasih? Setelah melalui sebuah tinjauan atas fakta-fakya, buktinya sebesar-besarnya menuntut
sebuah jawaban “tidak”.
Pernyataan Penulis : Terimakasihku kepada Dr. Paul Copan yang
pandangan-pandangannya telah membantu
secara luar biasa dalam penulisan artikel ini. Saya merekomendasikan
bukanya Is God a Moral Monster? Making Sense of The Old Testament God, demikian
juga dengan esainya yang lebih pendek Is
Yahweh a Moral Monster? Yang dapat dibaca dalam Philosphia Christi,
Vol.10, No.1 ©2008.
Is the God of the Old Testament a Merciless Monster?
Is the God of the Old Testament a Merciless Monster?
Robin Schumacher, Ph.D.
May 2011
Diterjemahkan oleh : Martin Simamora
No comments:
Post a Comment