Oleh : Dr. Kenneth Boa
Bacalah lebih dulu bagian1
Semua Yang Surga Perbolehkan: Homoseksualitas dan Makna
Kasih (Cinta)
Cover Credit: PHOTOGRAPH BY PETER HAPAK FOR TIME Credit: time.com |
Apakah Yang Alkitab
Katakan?
Pengajaran
Biblikal tentang seks bukan semata yang negatif.
Berlawanan dengan keyakinan umum ( diakui
memang diajarkan dan dikembangkan oleh sejumlah orang-orang Kristen selama
bertahun-tahun), seks dalam pemikiran Alkitab bukan dosa. Adalah seks diluar hubungan yang semestinya yang
membentuk dosa seksual. Hubungan
seks yang semestinya itu, menurut Alkitab, adalah hubungan suami-isteri.
Seks Pada Permulaan
Fondasi untuk pandangan biblikal atas seks diletakan dalam bab-bab pembukaan kitab Kejadian. Dasar bagi pandangan biblikal atas natur manusia adalah, bahwa Tuhan telah menciptakan ras manusia dalam citra-Nya sebagai laki-laki dan perempuan ( Kejadian 1:27). Tuhan telah memutuskan sebelumnya bahwa ras manusia akan mereproduksi dirinya sendiri melalui persatuan seksual laki-laki dan perempuan (ayat 28), sehingga ini menjelaskan bahwa seks yang seperti ini sejak dahulu merupakan disain Allah dan adalah “sangat baik” (ayat 31).
Seks Pada Permulaan
Fondasi untuk pandangan biblikal atas seks diletakan dalam bab-bab pembukaan kitab Kejadian. Dasar bagi pandangan biblikal atas natur manusia adalah, bahwa Tuhan telah menciptakan ras manusia dalam citra-Nya sebagai laki-laki dan perempuan ( Kejadian 1:27). Tuhan telah memutuskan sebelumnya bahwa ras manusia akan mereproduksi dirinya sendiri melalui persatuan seksual laki-laki dan perempuan (ayat 28), sehingga ini menjelaskan bahwa seks yang seperti ini sejak dahulu merupakan disain Allah dan adalah “sangat baik” (ayat 31).
Kita tidak boleh meluputkan karakter revolusioner/penyebab perubahan dramatis dari pengajaran ini. Hampir semua agama-agama dunia yang mapan telah memandang seks (dan memang benar, kehidupan biologis secara umum) sebagai bukan hal rohani pada dasarnya dan dalam cara yang tak terelakan pemahaman Alkitab terhalangi untuk terus berlanjut sebagaimana mestinya dengan aspirasi-aspirasi manusia yang lebih tinggi.
Pada satu sisi, agama-agama yang animistik dan politeistik secara umum telah mengilahkan fungsi-fungsi seksual dan dikaitkan dengan hawa nafsu pada dewa-dewa. Agama biblikal mengemukakan keseimbangan yang sehat diantara dua ekstrim ini, menegaskan seks sebagai telah diciptakan secara ilahi, seks bukan ilah, dan sebagai hal baik ketika dilakukan dalam hubungan yang semestinya, namun telah disalahgunakan ketika dilakukan diluar tujuan dan konteksnya yang dimaksudkan dalam cara ilahi.
Kitab Kejadian melanjutkan untuk mengelaborasi/menguraikan
pada hubungan marital/pernikahan dengan
menjelaskan bahwa wanita telah
diciptakan sebagai mitra pelengkap bagi
laki-laki ( Kejadian 2:18).
Persatuan jasmani laki-laki dan perempuan, pria dan
wanita, adalah paradigma pernikahan (
ayat 23-25). Ketika kitab Kejadian
berkata bahwa “ seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya
dan disatukan dengan isterinya”
(ayat 24 a), rujukan untuk ayah dan ibu
si laki-laki mengindikasikan bahwa lembaga
perkawinan dirancang menjadi sebuah persatuan
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diulang dari generasi
ke generasi. Ini tidak
bermakna bahwa seks hanyalah mengenai prokreasi; teks ini berlanjut mengatakan
bahwa seks
dimaksudkan oleh Allah untuk menjadi sebuah penyatu dua bagian menjadi “satu
daging” (ayat 24b). Seks
dengan demikian telah dimaksudkan untuk menjadi sebuah bagian hubungan
seseorang berlainan jenis seks. Paradigma Adam dan Hawa secara jelas
mengeksklusi atau mengenyampingkan
gagasan bahwa hubungan semacam ini secara patut dibentuk dua
laki-laki atau antara dua
perempuan [ argumen ini serupa dengan yang dikembangkan oleh Thomas
E. Schmidt, Straight and Narrow? Compassion
and Clarity in the Homosexuality Debate- Downers Grove,IL:InterVarsity
Press, 1995, 39-45]
Dalam mengekspresikan Kejadian 1-2 yang memberikan pandangan paradigmatis perkawinan, kita sedang mengikuti suatu teladan yang telah dibentuk oleh Yesus ketika dia diminta untuk menyelesaikan sebuah perselisihan etika tentang pernikahan ( Matius 19:3-6).
Matius 19:3-6
Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Ini tidak bermakna bahwa padangan Kristen atas homoseksualitas didasarkan pada sebuah pembacaan spekulatif pada Kejadian 1-2. Sebaliknya, pengajaran pada keseluruhan bagian lainnya dalam Alkitab pada subyek ini menginformasikan pembacaan kita pada Kejadian.
Tetapi poinnya adalah bahwa Kitab Kejadian memberikan kita model positif hubungan perkawinan yang memampukan kita untuk memahami secara tepat/semestinya alasan-alasan
atau dasar-dasar larangan-larangan biblikal atas aktivitas-aktivitas seksual
diluar hubungan pernikahan. Dengan kata
lain Alkitab tidak secara suka-sukanya melarang tindakan-tindakan homoseksual untuk alasan
yang tidak baik, tetapi menawarkan sebuah pandangan positif
atas seksualitas dalam mana perintah-perintah dan larangan-larangan Alkitab
masuk akal atau rasional.
Dua Keberatan Terjawab
Dua keberatan dapat dijawab disini untuk membuat hubungan laki-laki-perempun dalam Kejadian 1-2 sebuah model yang mengeksklusi atau menyingkirkan semua persatuan-persatuan homoseskual.
Pertama adalah Perjanjian Lama terlihat mengizinkan poligami, yang mana tidak konsisten dengan gambar dalam Kejadian tentang pernikahan sebagai sebuah persatuan satu orang pria dan satu orang wanita. Isunya disini sesungguhnya agak pelik.
Walau benar bahwa
Perjanjian Lama kelihatanya tidak pernah secara eksplisit melarang
poligami, adalah jelas tidak pernah dianjurkan sedikit pun
dalam sejumlah cara. Hukum
atau peraturan terkait pernikahan dalam Hukum Musa tidak pernah mendorong atau memberi
sanksi pada poligami, tetapi alih-alih
meregulasinya secara ketat untuk
melindungi perempuan-perempuan yang terlibat, sangat ditekankan bahwa
normalnya para laki-laki tidak akan didorong untuk
mengambil lebih dari satu isteri:
- Keluaran 21:10
NIV : If he marries another woman, he must not deprive the first one of her food, clothing and marital rights.
- Imamat 18:17
NIV : “‘Do not have sexual relations with both a woman and her daughter. Do not have sexual relations with either her son’s daughter or her daughter’s daughter; they are her close relatives. That is wickedness.
- Imamat 20:14
NIV: “‘If a man marries
both a woman and her mother, it is wicked. Both he and they must be burned in
the fire, so that no wickedness will be among you.”
- Ulangan 21:15-17
NIV : If a man has two wives, and he
loves one but not the other, and both bear him sons but the firstborn is the
son of the wife he does not love, when he wills his property to his sons, he must not
give the rights of the firstborn to the son of the wife he loves in preference
to his actual firstborn, the son of the wife he does not love. He must acknowledge the son of his unloved wife
as the firstborn by giving him a double share of all he has. That son is the
first sign of his father’s strength. The right of the firstborn belongs to him.
Terbukti bahwa Allah memperbolehkan poligami tetapi menganggap
atau memperhitungkannya sebagai sebuah konsensi (hal yang diberikan merespon
permintaan-permintaan), tepat seperti Allah membolehkan perceraian tanpa
merestuinya :
- Ulangan 24:1-4
Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.
Bandingkanlah dengan komentar-komentar Yesus dalam Matius 19:7-9 :
- Matius 19:7-9
Diseluruh Perjanjian Lama para laki-laki yang mengambil dua
atau lebih isteri—Abraham, Ishak, Yakub, Daud, dan Salomo menjadi contoh-contoh yang paling patut diperhatikan—hidup didalam poligami untuk menyesalinya, dan konsekuensi-konsekuensi
bagi anak-anak mereka kerap menyakitkan.
Dalam Perjanjian Baru, keidealan Kitab Kejadian diteguhkan kembali dan para pemimpin Kristen disyaratkan tidak boleh menjadi pelaku poligami :
Dalam Perjanjian Baru, keidealan Kitab Kejadian diteguhkan kembali dan para pemimpin Kristen disyaratkan tidak boleh menjadi pelaku poligami :
- 1 Timotius 3:2
- Titus 1:6
Secara teknis, poligami bukanlah sebuah bentuk lain pernikahan, tetapi adalah sebuah kesepakatan dimana satu laki-laki adalah pihak untuk lebih dari satu pernikahan. Dimana, setiap pernikahan adalah sebuah hubungan antara satu laki-laki dan satu perempuan, tetapi didalam poligami seorang laki-laki telah mengomitkan dirinya kepada lebih dari satu hubungan pernikahan. Jadi poligami tidak melanggar paradigm pernikahan Kitab Kejadian itu sendiri, walaupun memang benar poligami mengompromikan paradigma pernikahan kitab Kejadian dalam hal jumlah hubungan pernikahan dimana seorang laki-laki dirancang menjadi sebuah pihak (untuk lebih dari satu isteri).
Keberatan kedua untuk merendahkan sebuah model pernikahan dan seks Kristen pada Kejadian 1-2 adalah : dalam Kejadian pernikahan diizinkan antara kerabat-kerabat dekat ( seperti seorang saudara laki-laki dan saudara perempuan), tetapi dalam Hukum Musa, pernikahan semacam ini dilarang.
Keberatan ini gagal bekerja sehubungan dengan keadaan-keadaan unik pada ras manusia di generasi mula-mula dalam sejarahnya. Memang tak terelakan ras manusia harus terlebih dulu dikembangbiakan dari seorang pasangan pemulai (yang mana memang penting terjadi jika ras manusia itu dipersatukan), ini tak terelakan bahwa saudara sekandung akan menikah pada generasi kedua dan berangkali ketiga.
Melewati titik ini, pernikahan antar saudara sepupu telah dibolehkan, tetapi untuk hubungan kerabat yang lebih dekat tidak didorong untuk dilakukan atau dikenakan sanksi untuk pernikahan semacam ini.
Sekarang telah disadari bahwa setelah ras manusia bermultiplikasi pada banyak generasi, perkawinan campuran antara saudara kandung mungkin sekali berakibat pada anak-anak yang dilahirkan cacat atau masalah-masalah bawaan lahir lainnya. Dalam hal apapun tidak pernah ada waktu dalam sejarah Allah pernah mengizinkan perkawinan pada semua lintas hubungan—sebagai contoh, itu tidak pernah secara moral dapat diizinkan bagi seorang laki-laki untuk mengambil anak perempuannya, atau bagi seorang laki-laki untuk menikahi ibunya.
Tak
satupun dari dua keberatan ini benar-benar membahayakan klaim yang
diindikasikan kitab Kejadian bahwa perkawinan dimaksudkan untuk menjadi sebuah
hubungan antara dua pribadi yang berlainan seks.
Telah diakui, pernikahan dikalangan umat Tuhan tidak selalu bersesuaian dengan paradigma Kejadian secara jitu, tetapi tidak ada perintah atau pengajaran baik dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru menganjurkan bahwa ada pengecualian legitimasi dalam bentu apapun yang akan membolehkan persatuan-persatuan homoseksual untuk dianggap atau diperhitungkan sebagai dapat diterima secara moral.
Bersambung ke Bagian 3 Dosa-Dosa Sodom
All That Heaven Allows: Homosexuality and the Meaning of Love |diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
No comments:
Post a Comment