Oleh: Martin Simamora
Sepuluh Bagian Ketiga
Bukan
Penggembalaan Menuju Karekater Mulia atau Menjadi Corpus Delicti, Tetapi Menuju Kepada Terang-Nya Yang Ajaib
(Lebih dulu di “Bible Alone”-Sabtu, 13 Agustus
2016- telah diedit dan dikoreksi)
Bacalah lebih
dulu: “bagian 20”
Yesus
Kristus, haruskah ia menjadi segala-galanya untuk Jawaban dan Kebenaran Bagi manusia
di hadapan Allah?
Pertanyaan ini senantiasa
menarik sejak semula dan hingga kini sebab pada setiap pengajarannya,
dirinyalah yang dijunjung sebagai kebenaran bagi manusia, baik pada bagaimana
seharusnya manusia berelasi dengan sesama dan bagaimana seharusnya manusia
dapat berelasi dengan Allah, seperti hal-hal berikut ini:
Lukas
10:25-28 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus,
katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang
kekal?" Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat?
Apa
yang kaubaca di sana?" Jawab orang itu: "Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri." Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian,
maka engkau akan hidup."
Pada dialog ini
sekalipun bisa dilihat adanya perbuatan-perbuatan berbasiskan karakter mulia tetapi bukan
sama sekali penggembalaan agar
orang yang dibimbing oleh Yesus dapat
menjadi berkarakter mulia, tetapi sebuah penggembalaan pada bagaimana
untuk memiliki hidup kekal berdasarkan kebenaran yang disabdakannya bukan
berdasarkan pandangan manusia, sebagaimana terlihat dari apa jawaban Yesus terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh ahli Taurat. Hal kedua yang menunjukan bahwa ini bukan sama sekali penggembalaan menuju
karakter mulia adalah: Yesus secara langsung bertanya kepada si penanya: apakah yang tertulis atau diperintahkan oleh
hukum Taurat yang dijawab secara tepat. Jawaban itu merupakan instruksi
hukum Taurat itu, ternyata, sama sekali bukan
instruksi bagaimana memiliki karakter mulia sehingga dapat membawa manusia
kepada hidup kekal tetapi sebuah
instuksi agar manusia memiliki kasih atau mengasihi Allah secara tak bercela sebagaimana dikehendaki Allah: “Kasihilah
Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu.” Instruksi ini bukan sama sekali untuk
membangun moralitas tetapi bagaimana manusia itu harus memiliki kasih yang
sedemikian mulia yang tak menyisakan sedikit saja ruang untuk mengasihi diri
sendiri. Dan memang tak perlu sama sekali sebab kalau saja ada seorang terbukti dapat
atau mampu menggenapinya maka bukan kehancuran diri atau kekacauan hidup yang
terjadi padanya tetapi memiliki kehidupan bersama Allah atau memiliki hidup kekal, tanpa memerlukan kedatangan Yesus dan apalagi sampai perlu mati dikayu salib untuk menggenapi maksud Allah sebagaimana tertulis di dalam kitab suci (Lukas 24:25-27).
Hukum itu bahkan
berlanjut dengan “dan kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” yang mengindikasikan bahwa
jika seorang sanggup mengasihi Allah secara demikian seperti yang dituntut oleh
hukum Taurat itu,jika benar-benar menggenapinya secara demikian, maka ia akan
memiliki kasih yang begitu mulia terhadap sesama manusia dalam cara: ia tak
lagi sanggup untuk tak mengasihi manusia-manusia lain secara tanggung atau
tidak segenap sebagaimana ia pada dirinya sendiri: “dan kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri.” Memiliki kehidupan bersama Allah dengan
demikian akan memiliki kemampuan mengasihi sesama manusia sebagaimana Allah
mengasihi manusia yang tidak berpikir rugi memberikan dia yang satu-satunya
begitu dikasihinya, tepat sebagaimana kesaksian Yesus sendiri mengenai
Bapa-Nya: “Karena begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal (Yohanes 3;16)”.
Pada puncaknya,
dengan demikian, jika ada manusia sanggup sejak dari jiwa dan akal budinya
memiliki kasih semulia itu, dapat dipastikan tak pernah ada satupun ruang hitam
di dalam dirinya yang dapat melahirkan dosa atau kenajisan pada dirinya. Ini
bukan sebuah kebenaran yang mengada-ada sebab Yesus sendiri memang menunjukan
apakah dan berada di manakah sumber kecemaran manusia itu sendiri:
Matius
15:16-20 Jawab Yesus: "Kamupun masih belum dapat memahaminya?
Tidak
tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun
ke dalam perut lalu dibuang di jamban? Tetapi apa yang keluar dari mulut
berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran
jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah
yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh
tidak menajiskan orang."
Bagaimana mendapatkan
hidup kekal memang demikianlah maksudnya bahwa ketakberdosaan harus dimiliki
manusia BERDASARKAN mengasihi Allah sebagaimana tuntutan hukum Taurat. Sebab
memiliki kasih Allah secara demikian
adalah dasar dan kekuatan manusia untuk sanggup memenuhi tuntutan hukum Allah
sejak didalam jiwa manusia. Tentu saja jika ukurannya sebagaimana tuntutan hukum
kasih pada hokum Taurat, tak mungkin ada manusia yang dapat memenuhinya. Bukan
karena manusia itu tak berjuang lebih serius dan tak memandang ini sebagai
masalah yang begitu genting bagi kekekalan jiwa manusia. Bukan itu tetapi
karena prasyarat utamanya harus terlebih dulu dipenuhi, yaitu memiliki hubungan
kasih secara tak bercelah berdasarkan pertama-tama kekuatan jiwa manusia itu
sendiri! Ini sebuah problem mahamulia bagi manusia sebab itu dibuktikan bukan
belaka dengan perbuatan-perbuatan baik atau kedermaan yang begitu memukau pada
sesama manusia, bukan itu sama sekali, sebab Yesus memutlakan memiliki pada
kehidupan untuk senantiasa memiliki(artinya tak ada jedah atau interval dalam
interupsi-interupsi yang bagaimanapun juga) kasih kepada Allah
tepat sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Taurat.
Sekarang adakah
dijumpai oleh Yesus, satu saja manusia tanpa dosa berdasarkan tuntutan hukum
Taurat? Jawabnya tidak sebagaimana yang ditunjukan oleh gelagat jiwa ahli
Taurat tadi dan bagaimana Yesus menjawabnya
pada dialog lanjutan berikut ini:
Lukas
10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada
Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
Lukas
10:30-35 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari
Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja
merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu
pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui
jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari
seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia
melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang
Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat
orang itu, tergeraklah
hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut
luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur.
Kemudian ia
menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke
tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan
dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika
kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan
menggantinya, waktu aku kembali.
Apa
yang saya tebalkan dengan warna ini merupakan cara Yesus untuk menunjukan
kekongkritan dalam realitas di dunia ini pada seperti apakah tuntutan Allah
bagi penggenapan perintah “kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” yang bermula dari jika seorang itu
mampu menggenapi hukum ini “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan
segenap akal budimu.”
Membicarakan bagaimana otentiknya “mengasihi Allah dalam cara tak bercela pada
segenap eksistensi manusia” telah nyata bagi Allah sejak semula sebagai tak
mungkin, yang dibuktikan Allah pada kegagalan manusia untuk menggenapi tuntutan
taurat pada relasi sesama manusia atau kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. Jika kita perhatikan pada orang Samaria DALAM PERUMPAMAAN Yesus
tersebut maka yang terjadi padanya adalah “melihat
dan hati yang tergerak” sehingga menjadi sebuah tindakan yang mengabaikan
segala risiko maut yang dapat
menimpanya, mengingat ia tak tahu sama sekali siapakah si korban itu sebenarnya, dan tak memedulikan
bahwa semakin lama ia berada di tempat yang baru saja menjadi lokasi kejahatan
dalam rute lintasan perjalanan tersebut maka semakin besar juga risiko bagi dirinya untuk mengalami kenaasan serupa.
Dipikir-pikir antara risiko dan kebaikan
yang dicapai akan nyata tak bertara. Bahkan Yesus, dalam perumpamaannya,
menampilkan si orang Samaria itu sebagai sosok yang tak sedikit saja menahan
apapun sumber daya atau apapun yang
dimilikinya demi si korban hingga pada durasi waktu yang tak dapat
ditentukannya beserta pada seberapa besar biaya yang akan dikeluarkannya
mengingat durasi waktunya. Mahkota kasihnya atau pasti ia lakukan bagi dirinya
pun diserahkan untuk dimiliki si korban pada
saat ia menjaminkan sejumlah uang dan
dirinya sendiri pada pihak penginapan agar si korban dapat dipastikan akan senantiasa menerima perawatan dan
pemulihan yang tak dapat ditentukan waktunya dan meminta pihak penginapan mau menanggung biaya
perawatan yang harus dikeluarkan berapapun besarnya dan dibebankan pada dirinya
sementara ia sendiri harus pergi sesaat, sebagaimana yang DILAKUKANNYA: “Keesokan
harinya ia
menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya:
Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.”
Perumpamaan ini tidak
berdiri sendiri sebagai sebuah kebenaran yang dikehendakinya sebab dalam kasus
yang lebih otentik, hal ini juga diperlihatkan Yesus dalam penggembalaan jiwa
untuk mendatangi dirinya agar memiliki kehidupan kekal:
Matius
19:16-17 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat
untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus: "Apakah sebabnya
engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau
engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah
Allah."
Ini sama, disini apa
yang dituntut oleh Yesus merupakan
penggembalaan agar manusia itu mengasihi
Allah sebagaimana dituntut hukum taurat untuk mengasihi Allah sehingga tidak
ada lagi ruang gelap didalam jiwa manusia atau manusia itu mampu menuruti
SEGALA perintah Allah. Dalam dialog ini kita akan melihat betapa berbedanya
sudut pandang manusia dibandingkan dengan Yesus Kristus dalam memandang apakah
yang harus dilakukan agar memiliki hidup
kekal. Kita akan melihat manusia akan memandang dirinya sebagai permulaan dan
keseluruhan penentuan kesudahan manusia, sementara Yesus sama sekali tak
melihat ada satu saja kebenaran pada manusia di dalam melakukan perbuatan baik,
selain harus dan mutlak mengikutnya, jika tidak akan binasa! Perhatikan
kelanjutanya:
Matius
19:18-20 Kata orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus:
"Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan
saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri." Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?"
“semuanya itu telah kuturuti” yang mana itu mencakup
kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri, telah menunjukan cara pandang
manusia bahwa kebenaran itu ada padaku, itu sungguh demikian cara manusia dan
begitu penuh percaya diri sampai-sampai menilai dirinya tak bercela dalam
mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, itu sebabnya ia berani
sesumbar kepada Yesus dengan berujar: “apalagi yang masih kurang?” Maksudnya:
bukankah aku tak bercela dihadapan hukum taurat?
Sementara orang kaya
ini merasa begitu tak bercela, namun ia sebetulnya sama sekali tak berbeda
dengan ahli taurat tadi yang gagal baik dalam hukum mengasihi Allah dan demikian
juga gagal pada hukum mengasihi sesamamu manusia. Jika Yesus kepada ahli
Taurat, menggunakan sebuah perumpamaan untuk menunjukan kegagalannya memenuhi
tuntutan hukum kasih pada Allah dan sesama manusia, maka pada orang kaya ini,
Yesus memberikan sebuah instruksi untuk dilakukan yang akan membuktikan
benarkah dirinya sungguh seperti klaimnya: tak bercela dalam menerapkan hukum kasih
Allah dan hokum kasih sesamamu manusia
sebagaimana dituntut hukum taurat:
Matius
19:21-22 Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah
itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
sorga, kemudian
datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Ketika orang muda itu
mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Sebagaimana telah
dikatakan, kemampuan manusia memenuhi
tuntutan hukum kasih Allah akan terpancar pada bagaimana ia mengasihi
sesamamu manusia atau bagaimana ia menggenapi hukum kasih sesamamu manusia.
Pada apa yang diintruksikan Yesus kepadanya, ia telah gagal sama sekali.
Hatinya sama sekali tak memiliki kasih kepada Allah dan apalagi kepada sesamamu
manusia seperti dirinya sendiri, tetapi hanya mengasihi dirinya saja dan
mengasihi dunia ini saja: “ketika orang
muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak
hartanya.”
Semua manusia di
dunia ini tak peduli super miskin
atau super kaya pasti memiliki
hartanya masing-masing yang paling disayanginya dan sekaligus memenjaranya
dalam penaklukan penuh untuk bisa mengasihi Allah sebagaimana tuntutan hukum taurat.
KITA TAHU bahwa satu-satunya modal untuk mengasihi Allah adalah mau untuk
mentaati apapun yang dikehendaki Allah secara tak bercela, jadi tidak
memerlukan modal kekayaan sekecil dan sebesar apapun juga. Jangan dikira bahwa dengan demikian si orang muda tadi tetap
memiliki kebenaran sementara menolak Yesus, yaitu kebenaran berdasarkan ketaatan
hukum taurat, sebab Yesus menunjukan kesudahan orang muda itu adalah
kebinasaan. Perhatikanlah ini:
Matius
19:23-24 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan
Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui
lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."
Apa yang Yesus
ucapkan ini menggemparkan. Bagaimana bisa ia binasa begitu saja sementara ia
sendiri masih berjuang dan masih memiliki
moral yang benar terhadap tuntutan Taurat, bukankah menjual keseluruhan
harta dan lalu diberikan kepada orang miskin
bukan perintah yang substansial? Mereka tidak memahami bahwa kebenaran mengasihi yang tak bercela terletak
pada bagaimana ia mengasihi Allah dan mengasihi perintah-Nya? Dan pilihan orang
muda tadi telah menunjukan realitas kasihnya. Perhatikan kegemparan ini:
Matius
19:25-26 Ketika murid-murid mendengar itu, sangat
gemparlah mereka dan berkata: "Jika demikian, siapakah
yang dapat diselamatkan?" Yesus memandang mereka dan berkata:
"Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu
mungkin."
Jawaban Yesus diatas
menunjukan bahwa ketakmungkinan manusia untuk memiliki kehidupan kekal
berdasarkan ketaatan pada hukum taurat
hanya dapat diselesaikan oleh Allah di dalam dirinya.
Sekarang
jika ditanyakan pada diri kita sendiri, saya dan anda yang sedang membaca,
apakah demikian juga bagimu “mengasihi
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri?” Aplikasinya ini tidak mengenal
batasan waktu dan tidak mengenal batasan biaya atau apapun juga yang anda
miliki! Bahkan esensinya bukan anda sanggup melakukannya tanpa batasan waktu
dan biaya tetapi apakah anda memiliki kasih yang tak bercela dan tak berbatas
waktu dan kesegenapan diri sebagaimana dituntut oleh hukum Taurat tadi. Akan jelas bagaimanakah kesudahan
penghakiman atas setiap orang yang membangun kebenaran berdasarkan dirinya dan
perjuangan untuk membangun karakter dan perilaku mulia, yaitu: akan segera
gagal saat ia diukurkan pada “kasihilah Allahmu” sebagaimana hukum Taurat
menuntut!
Ini
tentu saja menunjukan, sejak semula, bahwa mana ada manusia yang memiliki
sumber daya kasih yang tak berbatas kepada di luar dirinya secara kerangka
waktu! Apalagi aplikasi ini dibangun berdasarkan pada “demikianlah seharusnya
jika anda mau mengasihi Allah” sebagaimana tuntutan Taurat. Mana mungkin
mengasihi Allah dengan tak berputus-putus
atau berinterval, sebab bunyi hukum kasih kepada Allah itu disarati dengan
tuntutan-tuntutan kualitatif tak
berputus agar berkasih kepada Allah, yaitu: dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu yang
mana itu adalah keseketikaan atau secara
totalitas pada diri manusia.
Saya bisa saja berkata dapat melakukannya
berdasarkan janji untuk berjuang terus dan semakin lama akan semakin seperti
yang dikehendaki-Nya, tetapi apakah sebelum mata menutup anda bisa sama sekali
tak bercela lahir dan batin dalam mengasihi Allah dalam segala waktu dan dalam
segala situasi? Kalau membicarakan bahwa kita bisa kalau kita mau berjuang
keras, jelas sangat mungkin untuk
siapapun untuk melakukannya, tetapi sayangnya dalam hukum kasih ini tidak ada
“relatifitas” semacam itu selain ketakbercelaan dan ketakterbatasan
untuk mengasihi dalam kerangka waktu, sumber daya yang dimiliki yang pasti
dapat menghabiskan apapun yang anda miliki jika ini yang anda harus lakukan di sebuah waktu pada masa kini pada sebuah rumah sakit: keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik
penginapan itu, katanya:
Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Namun menutup ruang
berspekulasi, inilah kegagalan mutlak pada setiap manusia untuk melakukan hukum
ini, yaitu menggenapi hukum mengasihi Allah sehingga dapat menggenapi hukum
mengasihi sesamamu manusia.
Haruskah Yesus
menjadi segala-galanya bagi setiap jawaban dan setiap cara untuk memiliki
kehidupan kekal? Jawabannya bukan sebuah spekulasi dan Yesus tak memberikan
ruang sama sekali bagi sebuah spekulasi yang dinyatakannya dengan sebuah
pernyataan yang membuat dirinya adalah kesempurnaan bagi hukum taurat dan kitab
para nabi. Perhatikanlah pernyataan Yesus berikut ini:
Matius
5:17-18 Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum
Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan
untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum
lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan
dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.
Yang
mana penggenapannya telah dibawa oleh Yesus dalam cara menggenapi hukum kasih
yang diatur taurat dalam sebuah aplikasi yang identik dengan deskripsi kehendak
taurat seperti ini: “ia melihat orang itu, tergeraklah
HATINYA.” Apa yang ada di dalam hati dan benak seorang manusia
menjadi permulaan berlangsungnya penggenapan hukum taurat oleh manusia.
Sehingga kita akan menjumpai sabda Yesus yang semacam ini:
Matius
5:21-22 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan
membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah
terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada
saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata:
Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Yang
mana “marah,” “berkata menuding baik kafir dan jahil” telah dinilai sebagai
sebuah kejahatan yang tak berbeda sama sekali dengan membunuh. Ini dengan
demikian menunjukan bahwa sebagaimana tidak ada orang yang memarahi dirinya
sendiri, tidak ada orang yang menuding dirinya
sendiri sebab begitulah ia mengasihi dirinya sendiri maka demikianlah juga
dengan apa yang dikehendaki dengan perintah “jangan membunuh” pada
penggenapannya dimulai sejak di hati dan pikiran. Sedikit saja kegagalan,
konsekuensinya tak main-main dan mematikan, sebagaimana sabda Yesus: harus diserahkan ke dalam neraka yang
menyala-nyala.
Hal
yang sama juga jelas terlihat pada tuntutan hukum ini:
Kamu
telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap
orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia
di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah
dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu
binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.- ayat 27-29.
Hukum taurat di sini,
dengan demikian, menuntut ketaatan tak bercela sama sekali sejak di dalam jiwa
yang tak dapat dilihat oleh manusia dan bahkan dapat dibungkus dengan kata-kata
manis dan perilaku-perilaku derma dan belas kasih yang begitu aktif dan begitu
mengharukan dalam pandangan manusia.
Itu sebabnya dalam Surat Yakobus
telah digambarkan juga bahwa penggenapan tuntutan hukum taurat menghendaki
kesempurnaan yang tak boleh sama sekali bercela walau sehalus apapun juga, sebab tak
ada apa yang disebut sebagai kesempatan kedua BERDASARKAN TUNTUTAN HUKUM. Coba
perhatikan ini:
Yakobus
3:1-2 Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi
guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran
yang lebih berat. Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal;
barangsiapa
tidak bersalah dalam perkataannya,
ia adalah
orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.
Di sini, sebagaimana
Yesus telah bersabda, ketakbersalahan atau ketakbercelaan manusia atau
ketakberdosaan manusia tidak dihitung saat ia membuahkan atau setalah ia mewujudkan dosa itu didalam rupa perbuatan, tetapi semenjak kejahatan itu barulah hasrat atau
angan di dalam jiwa, pikiran dan
menari-nari di atas lidah dalam rupa rangkaian kata-kata. Kunci
ketakbercelaan manusia dengan demikian bukan mencegah atau mengekang gagasan
dosa di dalam jiwa, didalam piiran dan di dalam lidah mewujud, tetapi kuncinya
adalah mengendalikan SELURUH TUBUH agar tidak mewujudkan kejahatan. Kalau gagal
saja mengendalikan seluruh tubuh walau belum berbuahkan kejahatan maka itu
sendiri telah membuat manusia itu bersalah.
Coba
perhatikan ini:
Yakobus
3:3-5 Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia
menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan
seluruh tubuhnya. Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan
digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat
kecil menurut kehendak
jurumudi.
Apakah
itu kesempurnaan atau ketakbercelaan seorang manusia terletak pada jika ia
sanggup mengendalikan secara kokoh dan menyeluruh pada seluruh tubuhnya tanpa
ada satupun yang luput atau gagal tunduk padanya. Dimulai dari bagaimana manusia dapat mengendalikan jiwanya
agar sekalipun godaan atau dorongan-dorongan keras mendesak tubuhnya namun jiwa manusia itu tetap di dalam kendali
penuhnya bukan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar yang berlawanan dengan
keinginannya sendiri:
Dan
lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras,
namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi
Jadi apakah pada pada
manusia yang merupakan “kemudi yang sangat kecil” namun menentukan keseluruhan tubuh atau apakah yang perlu
dikekang pada manusia sebagaimana pada seekor kuda sehingga kuda dapat menuruti
kehendak kita? Perhatikan ini:
Demikian juga lidah,
walaupun
suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan
perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.
Lidahpun adalah api; ia merupakan
suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota
tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita,
sedang ia sendiri dinyalakan oleh
api neraka.- ayat 5-6
Apakah
kekudusan atau ketakbercelaan diri manusia itu, ternyata bukan dimulai dari
apakah anda sanggup untuk BERBUAT baik atau apakah anda sanggup untuk MEMBANGUN
MORALITAS atau apakah anda sanggup untuk
berjuang keras menjadi serupa dengan Yesus, sebab dikatakan oleh Surat
Yakobus, kemampuan manusia mengendalikan lidah (ini menunjuk pada pikiran atau hasrat yang menjadi pelecut lidah untuk
bertindak dalam kata-kata) akan menentukan ketakberdosaan manusia. Tak
mengejutkan jika kemudian surat ini menyatakan: betapapun
kecilnya api, ia dapat
membakar hutan yang besar. Dikatakan bahwa lidah sama sekali tak berada
di dalam kendali manusia itu sendiri: Lidahpun
adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara
anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh
tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.
Apakah mungkin
manusia dapat mengambil alih kendali lidah dari tangan maut walau berjuang
sekuat tenaga dan penuh dedikasi?
Perhatikan penjelasan
Surat Yakobus berikut ini:
Semua
jenis binatang liar, burung-burung, serta
binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang berkuasa
menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak
terkuasai, dan penuh racun
yang mematikan.- ayat 7-8
Sekarang mari kita
cek pada diri kita sendiri, adakah diantara kita sukses menjinakan kebuasan
lidah kita? Caranya adalah dengan mengukurnya pada bukti kebuasan lidah yang
tak terkuasai oleh manusia, adakah semacam ini terjadi pada diri kita:
Dengan lidah kita
memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut
rupa Allah, dari mulut yang satu
keluar berkat dan kutuk.
Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.- ayat 9-10
Surat ini membawa
manusia untuk berurusan dengan satu realitas ketakberdayaan manusia dalam cara
yang begitu berbeda dalam bagaimana manusia memandang moralitas. Surat
ini membawa nilai moralitas pada kekudusan Allah yang menjadi Tuhan atas manusia,
sementara dunia bisa berkata “persetan dengan Tuhan,” karena apakah ia harus
senantiasa dilibatkan dalam moralitas manusia?! Tetapi Surat Yakobus meletakan
Allah dan kebenarannya sebagai satu-satunya “meter” absolut dan menolak
relatifitas kebenaran yang bagaimanapun juga baik kelihatannya.
“Dengan lidah kita memuji Tuhan,
Bapa kita” dan “dengan lidah
kita mengutuk manusia yang diciptakan
menurut rupa Allah,” inilah meter moralitas dalam kitab suci
yang diukur dengan satu-satunya ukuran
yaitu milik Allah, sehingga selalu harus dimulai dengan: manusia harus memiliki relasi
dengan Tuhan sebagai Bapanya secara pribadi sehingga sanggup
memujinya atau memiliki relasi dengannya.
Relasi atau di dalam
kehidupan yang berelasi dengan Bapa, itulah yang menjadi pangkal perjuangan
manusia untuk belajar menjinakan lidahnya agar berada sepenuhnya di dalam
kendalinya untuk melayani Allah bukan membiarkan diri ini melayani apapun juga
maksud daging ini sementara berkata hidup di dalam kasih karunia keselamatan
yang datang dari Yesus Kristus. Manusia didalam Bapa adalah manusia-manusia
yang harus belajar untuk hidup didalam pemulihan maksud dan tujuan Allah
baginya. Sebagaimana Allah memberikan kuasa untuk berkuasa atas segala ciptaan
(Kejadian 1:27-28) maka demikian jugalah terhadap jiwanya sendiri sehingga
dapat melayani kehendak Allah secara utuh:
Semua
jenis binatang liar, burung-burung,
serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan
dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorangpun yang
berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak
terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.
Bagaimana manusia
dapat membawa lidahnya dalam kendalinya jika pada realitasnya tidak ada satupun
manusia yang dapat mengendalikannya sementara ia adalah anak-anak Bapa?
Maka ini adalah
jawaban pada Surat Yakobus:
Yakobus
3:13-17 Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara
hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari
kelemahlembutan. Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri
sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan
kebenaran! Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari
nafsu manusia, dari setan-setan. Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan
diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Tetapi hikmat
yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai,
peramah,
penurut,
penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak
munafik.
Bagaimana
saya dapat belajar untuk mengendalikan lidah agar ia melayani kehendak kita untuk melayani kehendak Bapa atas setiap
anak-anak tebusan Kristus dan bukan setan, ia
harus memiliki hikmat dari atas atau dari Tuhan, sebab pada manusia itu
sendiri tak akan pernah memiliki hikmat demikian. Jadi bukan berdasarkan hikmat
dan kekuatan diri sendiri.
Sehingga permulaan
dari semua ini adalah harus memiliki persekutuan dengan Yesus
sehingga dapat memiliki persekutuan dengan Bapa sebagai sumber segala hikmat
bagi manusia untuk berjuang menaklukan hasrat iblis sebab sementara kita
anak-anak Allah, kita masih hidup di dunia “biarlah
gandum dan lalang tumbuh bersama.” Itu sebabnya Surat Yakobus dipenuhi
tuntutan untuk menjauhi persahabatan dengan dunia sementara kita sebagai anak-anak Allah hidup berdasarkan kasih karunia
Allah saja, Yakobus 4:1-10.
Sebetulnya
jantung utama Surat Yakobus adalah
sebagaimana yang telah diajarkan Yesus dalam sebuah pengontrasan tajam agar
siapapun yang mengaku adalah anak-anak Bapa jangan
pernah lagi menghamba pada dunia ini walau memang Yesus sendiri mengajarkan realitas dunia
anak-anak Allah adalah “biarlah gandum dan lalang tumbuh bersama.” Di dunia ini
sebagai anak-anak Bapa harus menyatakan kasih Allah yang telah dimiliki di
dalam Yesus Kristus, sementara kita di dunia ini dan mengingatkan pada setiap
kita bahwa di luar kasih karunia atau berdasarkan hukum taurat tak akan ada
yang sanggup menggenapinya, apalagi dengan fakta mana ada manusia yang dapat
menjinakan kebuasan lidah.
Perhatikan
hal ini:
Galatia
2:8-11 Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam
Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri",
kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan
oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran. Sebab barangsiapa menuruti seluruh
hukum itu, tetapi mengabaikan satu
bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab
Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga:
"Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh,
maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.
Sekali lagi kebenaran
setiap orang beriman terletak di dalam Kristus, bukan pada ketaatan pada hukum
taurat tetapi ketaatan berdasarkan imannya pada Yesus sehingga diamalkan atau
dinyatakan di dunia ini: “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada
Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang
muka”(Yakobus 2:1).
Tak perlu heran jika
iman kepada Yesus menjadi segala-galanya dalam permulaan kita menyatakan
buah-buah kehidupan didalam Yesus, sebab Yakobus sendiri adalah hamba kebenaran
yang ada di dalam Yesus Kristus sebagaimana yang dinampakannya di dalam
salamnya:” Salam dari
Yakobus, hamba Allah dan Tuhan Yesus
Kristus, kepada kedua belas suku di perantauan”
(Yakobus 1:1) yang sedang menuntut anak-anak Tuhan untuk menjadi terang yang
bersinar di dunia yang gelap ini, sebuah kebenaran yang ditunjukan berdasarkan
pengenalan akan Yesus Kristus yang telah memberikan kasihnya yang terbesar
(Yohanes 15:9-10,13) sehingga kita benar-benar menjadi pelaku firman Yesus: “Sebab
itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan
terimalah dengan lemah lembut
firman
yang
tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Tetapi hendaklah kamu menjadi
pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika
tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar
firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang
mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah
pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya (ayat 21-24).
Ini adalah tuntutan
yang hanya akan ada didalam relasi dengan Yesus Kristus atau yang memiliki
kehidupan di dalam penggembalaan oleh Yesus Kristus. Perhatikan salah satu
tuntutan Yesus berikut ini:
Yohanes
8:30-32,34-36 Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya
kepada-Nya. Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya:
"Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan
kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu."….
Kata Yesus kepada mereka: "Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba
dosa. Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal
dalam rumah. Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar
merdeka."
Mengikut
Yesus dan berada didalam PENGGEMBALAAN YESUS akan mengakibatkan konfrontasi dan
berbagai pembongkaran-pembongkaran pada tabiat atau karakter manusia sebagai
cara kerja keselamatan di dalam kasih karunia untuk menggenapi sabda Yesus yang berbunyi: “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Dan hamba tidak
tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi apabila
Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.”
Begitu
jelas oleh Yesus sendiri bahwa penggembalaannya bukan
untuk menghasilkan manusia-manusia
berkarakter mulia tetapi agar manusia-manusia di dalam gembalaannya dapat bebas
dari perhambaan dosa secara otentik mulai dari dalam jiwanya berdasarkan pemerdekaan oleh Anak.
Inilah perwujudan memerintahnya pemerintahan
kerajaan Allah atas setiap murid-murid Kristus!
Penggembalaan
Yesus memiliki tujuan agar manusia bukan
hanya masuk didalam kerajaan Allah tetapi hidup berdasarkan kebenaran-Nya
sekalipun masih hidup didalam dunia yang jahat atau “biarlah gandum dan lalang
tumbuh bersama.”
Jadi bukan sama
sekali penggembalaan Yesus atas kita dan apalagi tujuan penciptaan Allah agar
saya dan anda mau menjadi corpus delicti sehingga Allah yang sedang bercela
dihadapan iblis hingga kini dapat kita tolong,dan apalagi sekedar memiliki
moral atau karakter mulia.
Bersambung ke bagian 22
Segala
Kemuliaan Hanya Bagi Allah
No comments:
Post a Comment