Oleh: Martin Simamora
Benarkah
Karena Tidak Menolak Injil Hingga Ke Tingkat Penghinaan Maka Ada Kebenaran Lain Di Luar Kristus (5.J)
Bacalah lebih
dulu: “Tinjauan Pengajaran Pdt.Dr.Erastus Sabdono Pada Keselamatan Di Luar Kristen (5.i)”
Tak terhindarkan juga
maka pernyataan pendeta Dr. Erastus Sabdono pada bagian berikutnya sebagaimana pada paragraf “Keselamatan Di Luar Kristen (Pelajaran 05)” yang ditampilkan oleh situs resmi GBI Rhema
Church,dengan demikian, sangat salah:
Bagi
mereka yang menolak Tuhan Yesus, berarti mereka berpihak kepada kuasa
kegelapan. Mereka menyaksikan dan mengalami bagaimana kuasa Allah dinyatakan
yaitu dengan pengusiran setan dan berbagai mujizat. Tetapi mereka menolak Tuhan
Yesus maka berarti mereka di pihak kuasa kegelapan (Luk 11:20). Kalau mereka tidak melihat atau tidak pernah mendengar
Injil secara memadai mereka tidak berdosa, tetapi kalau mereka melihat
(mendengar Injil secara memadai) tetapi tidak percaya maka dosa mereka kekal
(Yoh 9:41). Penolakan mereka dalam ekspresi nyata yaitu memusuhi
Tuhan Yesus dan menuduh Tuhan Yesus menggunakan kuasa penghulu setan
(baalzebul). Mereka menganggap Tuhan Yesus sesat dan pantas dimusuhi, ajaran
dan pengikut-Nya pantas diberantas.
Sebagaimana pada
bagian sebelumnya, sudah saya tunjukan bahwa “dosa” bukan sebuah keadaan
yang baru muncul setelah Yesus hadir
pada tindakan menolak-Nya, sebaliknya Yesus sebagai Terang Dunia menunjukan
realitas dunia berserta segenap mahkluk sejak kejatuhan Adam hingga kini.
Apakah saat saya menyatakan”sangat salah,” itu berdasarkan penghakiman yang
lahir dari sebuah analisa? Jawabnya: Tidak sama sekali. Tetapi secara gamblang Alkitab
telah menunjukan.
Saya
ingin menunjukan pernyataan pendeta Erastus yang
berbunyi “kalau mereka tidak melihat atau
tidak pernah mendengar Injil secara memadai mereka tidak berdosa” adalah
salah, sebab yang benar, bahkan sebelum Yesus masuk ke dalam dunia ini, dosa
sudah menguasai dan menjajah segenap manusia.
Sebagaimana Kitab
Suci telah menunjukan realita gelap itu.
Saya akan memulai
dengan Kitab Ayub. Perhatikan bagian ini:
▬▬Ayub 1:1-5 Ada seorang laki-laki di
tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan
jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan. Ia mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus
pasang lembu, lima ratus keledai betina dan budak-budak dalam jumlah yang
sangat besar, sehingga orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di
sebelah timur. Anak-anaknya yang lelaki
biasa mengadakan pesta di rumah mereka masing-masing menurut giliran dan ketiga
saudara perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama-sama mereka. Setiap
kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi,
bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan
korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya:
"Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan
telah mengutuki Allah di dalam hati." Demikianlah
dilakukan Ayub senantiasa.
Apakah
yang terlihat begitu gamblang di sini? Ada 2 hal. Pertama: Ayub seorang yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan
menjauhi kejahatan, dan kedua: Ayub
bergumul dengan kejahatan-kejahatan yang tak sama sekali mewujud dalam tindakan
jahat atau dosa, namun demikian, itu sungguh menakutkan Ayub.
Dapatkah
anda membayangkan lokasi yang terpisah dari Musa atau Kitab Musa, namun kisah
ini muncul dengan sebuah penekanan kekudusan versus dosa dalam pandangan Allah
dari sorga ke bawah? Menjadi bagian Kitab Suci? Saya tidak akan melakukan
paparan penuh pada Kitab Ayub ini, namun bagi para pembaca yang ingin
mempelajarinya saya merekomendasikannya sebagai salah satu sumber studi, yaitu:
“Notes On Job- by Dr. Thomas L. Constable,” "An Introduction To The Book Of Job - by Dr. David Malick."
Tetapi
terkait kesalahan fatal yang dilakukan oleh pendeta Eratus, apa yang
diperlihatkan oleh Ayub bahwa “ Ia saleh,
jujur dan takut akan Tuhan” bukan
sama sekali oleh kekuatan atau
kemuliaan dirinya sendiri. Sebaliknya,
bahwa ia saleh, jujur, dan takut akan Tuhan semata refleksi dari jiwa seorang manusia yang
sungguh-sungguh hamba atau milik Allah
dan mengasihi Allah.
Lihatlah
bagian ini:
Anak-anaknya yang lelaki biasa
mengadakan pesta di rumah mereka masing-masing menurut giliran dan ketiga
saudara perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama-sama mereka.
Setiap kali,
Ini
kisah gaya hidup anak-anak seorang kaya raya yang karib dan kompak: “anak-anaknya yang lelaki biasa mengadakan
pesta di rumah mereka masing-masing menurut giliran dan ketuga saudara
perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama mereka.” Jika anda
membaca ini maka tidak akan anda jumpai
satu saja ekspresi nyata adanya satu saja dosa. Maksud saya tidak ada satu saja
informasi mengenai anak-anak Ayub baik yang laki-laki dan yang perempuan
menyatakan adanya satu saja tindakan atau perbuatan dosa.
Tetapi bagi Ayub?
Ini
sungguh menakjubkan bagaimana seorang Ayub memahami betapa Allah begitu benci
dengan dosa atau noda bahkan pada apa yang tersembunyi di dalam relung-relung
pikiran manusia, yang mungkin saja tidak sama sekali terucapkan. Ayub mengenal
sekali betapa Allah membenci dosa, sebagaimana nampak dari apa yang kemudian
dilakukannya:
“apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan
mereka.”
Ayub
memanggil mereka untuk melakukan pengudusan atas diri mereka. Pertanyaannya,
kemudian, atas dosa apakah? Tidak ada satupun dosa spesifik yang bisa ditemukan
atau diidentifikasi oleh Ayub:
“sebab
pikirnya:
"Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati."
Tak
ada satu perbuatan atau tindakan dosa
yang nyata sebagai perbuatan. Sangat mungkin dalam pemanggilan itu, Ayub sudah
melakukan dialog dengan anak-anaknya baik yang laki-laki dan yang perempuan
untuk mengetahui kalau saja ada satu saja perbuatan dosa yang mereka lakukan.
Dan pastilah semua anak-anaknya tidak akan melihat satu saja kemungkinan dosa
di dalam aktifitas penuh persaudaraan semacam itu. TETAPI Ayub tahu bahwa
hakikat manusia adalah dikuasai dosa atau dijiwai dosa, bagi Ayub, bagaimanapun,
sangat tak mungkin tidak ada satu saja perbuatan dari anak-anak mereka yang
bukan merupakan kebencian dan kejijikan bagi Tuhan, sebagaimana dinyatakan
dalam kitab ini: sebab pikirnya, mungkin sudah berbuat dosa dan mengutuki Allah di dalam hati. Ayub bahkan menunjukan
bahwa kekudusan hidup seorang manusia bukan semata apakah ia berbuat atau
berlaku baik atau berlaku jahat; bagi Ayub, apa yang disebut dosa sudah terjadi
sejak itu bersemi di dalam hati tanpa perlu sama sekali menjadi buah-buah
perbuatan.
Tetapi
apa yang lebih penting lagi, adalah: bagaimana Ayub
menguduskan anak-anaknya? Apakah
dengan serangkaian pertobatan dan komitmen hidup saleh, yang akan
menguduskan (pertobatan di sini perlu sekali
tetapi pengudusan adalah hal lain yang tidak datang dari apapun keputusan dan
perbuatan manusia)? Tidak
sama sekali, tetapi ini:
keesokan
harinya, pagi-pagi, bangunlah
Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak
jumlah mereka sekalian
pengudusan
yang Ayub maksudkan di sini, bukan
sama sekali sebuah perubahan sikap atau sebuah perjuangan untuk memperbaiki
kehidupan atau sebuah proses pengudusan melalui serangkaian penderitaan yang
sampai merampas segala bentuk kebahagiaan dunia yang pada hakikatnya merupakan
berkat Tuhan sendiri atas Ayub beserta anak-anaknya, atau yang melenyapkan atau
memusnahkan segala keinginan daging Ayub hingga ia dapat layak menjadi kudus
dan berkenan pada Allah. Pengudusan yang Ayub maksudkan di sini, dengan
demikian, datang dari Allah atau Allah saja yang sanggup menguduskan dosa
manusia-dosa anak-anak-Nya. Kesalehan dirinya pun bahkan berdiri sebagai orang
yang pengudusan dirinya sendiripun datang secara demikian, oleh Allah.
Mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian-
anak-anaknya-sudah menunjukan bahwa dalam ia mempersembahkan korban bakaran
itulah, ia bermohon kepada Tuhan agar mau memperhitungkan pengudusan dan
pembenaran berdasarkan belas kasihan-Nya. Tak ada yang dapat dilakukan oleh
manusia, dalam segala aspek untuk mengejar kekudusan selain Allah menganugerahkan kehidupan kudus yang bekerja di dalam jiwa manusia itu. Sebagaimana yang ditunjukan oleh jiwa Ayub yang begitu mengenali betapa mulia dan kudusnya kesalahean yang dikehendaki Allah..
Ini
adalah kebenaran mengenai kekudusan Allah dan ketakberdayaan manusia terhadap
dosa yang dipegang oleh Ayub sebagai sebuah kebenaran yang harus dilakukan
senantiasa:
Demikianlah
dilakukan Ayub senantiasa
Pengudusan
manusia atas dosa hanya dapat dilakukan oleh Allah, senantiasa.
Perbuatan Ayub yang senantiasa
mempersembahkan korban bakaran pada dasarnya menunjukan ketakberdayaan manusia
untuk menguduskan dirinya olehnya sendiri, selain dari keberkenanan Tuhan untuk
menganugerahkannya melalui kurban bakaran. Harus dicamkan bahwa persembahan
korban ini diselenggarakan oleh Ayub berdasarkan kesadarannya bahwa semua
manusia berdosa dan tidak ada satupun yang berdiri di hadapan Allah dapat
berkenan tanpa sebuah pengudusan dari-Nya, bahkan
mulai dari pengudusan dalam hati setiap
manusia!
Sehingga
ketika anda membaca:
Ada
seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan
Allah dan menjauhi kejahatan.
Itu
adalah buah-buah kehidupan seorang manusia yang kehidupannya senantiasa menerima
pengudusan dari Allah. Bukan karena
salehnya atau jujurnya dan takutnya ia akan Allah sehingga menjauhi kejahatan,
maka Allah begitu menempatkan dirinya sebagai sebuah unjuk kehidupan yang benar di dalam Allah, terhadap iblis:
Ayub1:8
Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku
Ayub? Sebab tiada
seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur,
yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan."
►Bagaimana
kesalehannya? kesalehannya menyatakan bahkan ia tak
pernah percaya bahwa manusia tak sama
sekali membutuhkan pengudusan dari Allah secara terus-menerus, sebab kesalehan
yang dibicarakan di sini bahkan sejak dimulai dari dalam hati. Sebagaimana
nilai kesalehan ini muncul sedemikian kuatnya di dalam praktik imannya
sehari-hari di dalam keluarga. Bagaimana dengan para ayah atau papa moderen dewasa
ini, apakah anda memperhatikan dan membawakan kehidupan anak-anakmu ke dalam
tangan Tuhan agar hati mereka dipandu
untuk mengenal dan hidup bagi kekudusan Tuhan? Mari kita belajar melakukannya
bersama-sama, kalau anda mau memulainya sekarang, pun itu tak terlambat sama
sekali!
►Bagaimana
jujurnya? Kejujurannya pertama-tama harus
terhadap Tuhan. Harus ada sebuah alasan yang begitu mulia dan kudus,
sampai-sampai Tuhan menunjukan keunggulan Ayub di bola bumi, terhadap iblis!
Bagaimana Ayub bisa terlihat begitu jujur dalam nilai yang demikian? Pertama: Ayub memandang bahwa
pengudusan harus dimulai dengan mengakui
akan adanya sebuah dosa. Jikapun itu tak ditemukan dan bahkan memang tak ada
satupun bukti adanya perbuatan dosa,
maka itu sama sekali tak menunjukan manusia-manusia tak berdosa. Manusia-manusia
dewasa sudah berdosa bahkan sebelum melakukan perbuatan jahat itu mewujud,
sebab hatinya sudah dapat merancangkan hal-hal yang keji dan begitu menjijikan
di mata Tuhan. Itulah bentuk kejujuran Ayub dihadapan Tuhan, sehingga dapat
dikatakan tak pernah mungkin ia
mendatangi Tuhan tanpa sebuah kesadaran bahwa Ia dapat saleh, dapat jujur dan
dapat menjauhi kejahatan jika tidak sebuah
kehidupan yang lahir dari pengudusan oleh Allah atas dirinya. Jika ia
menyatakan bahwa anak-anaknya mungkin sudah berbuat dosa di dalam hati atau
sebuah keinginan jahat saja sudah merupakan dosa, maka demikianlah juga Ayub
memperlakukan dirinya dihadapan Allah.
Seorang ayah yang
memiliki nilai-nilai kebenaran, pasti akan terefleksi pada keluarganya,
terutama dalam menegakan kebenaran Tuhan. Ayah adalah pilar di tangan Tuhan
untuk menegakan kebenaran-Nya, itu sebabnya kesetiaan terhadap kebenaran firman
Tuhan adalah akar bagi semua kesetiaan seorang suami terhadap keluarganya.
Tanpa ini, maka itu hanya menunggu waktu untuk terkuak dan menghadapi Allah
yang tak mau kekudusannya dipermainkan.
►Menjauhi kejahatan?
Bagaimana Ayub melakukannya, dimulai dari hatinya dengan datang kepada Allah sebab
pengudusan atas hatinya hanya datang dari Allah melalui mempersembahkan korban
bakaran. Kekudusan dan pengudusan dari Allah, adalah akar
dari menjauhi kejahatan yang berkenan bagi Allah. Bagi Ayub, tanpa
hati yang senantiasa dikuduskan [perhatikan
bagaimana Ayub melakukan pengdusan secara senantiasa atas anak-anaknya bahkan
untuk kejahatan-kejahatan yang ia pun tak dapat menyebutkan atau menemukannya
sebab belum terwujud sama sekali] maka tak ada sebuah tindakan menjauhi
kejahatan yang berkenan bagi Tuhan!
►Takut akan Allah.
Inilah satu-satunya komponen yang menunjukan bahwa Allah yang dikenal Ayub
adalah Allah yang benar dan satu-satunya. Allah atas segala suku dan bangsa
yang menghendaki pengudusan dan begitu membenci kejahatan bahkan sejak
kejahatan itu hanya berupa gagasan-gagasan yang begitu lemah dan begitu samar
di dalam hati manusia. Takut akan Allah yang satu-satunya itu, juga menunjukan
inilah akar dari kesalehannya, kejujurannya dan menjauhi kejahatan. Dengan kata
lain, semua hal yang disebut saleh pada Ayub, benar-benar buah kehidupan
orang yang mengenal dan mengasihi Allah.
Jika anda sungguh mengenal-Nya maka kesalehan akan menjadi sebuah kehidupan yang
menuntun jiwamu sebagaimana nyata terefleksi pada kehidupan seorang yang mengenal Tuhan yang kudus. Ingatlah mengenal kudus-Nya Tuhan itu sendiri sebuah keajaiban tanpa sebuah kebinasaan sebagai akibat alami kala manusia-manusia yang pada dasarnya najis berdiri dan berjumpa di hadapan-Nya!
Semua
ini dimulai dengan Allah yang menguduskan Ayub dan yang menyatakan
kehadiran-Nya kepada jiwa Ayub, sementara saat itu Ia tidak sama sekali mengenal Kitab Musa,
setidak-tidaknya.
Pada kasus Ayub ini,
dengan demikian tidak sama sekali menunjukan bahwa kekudusan atau keberkenanan
di hadapan Tuhan terjadi melalui serangkaian perjuangan yang berat dan
tidak mudah. Harus diingat bahwa penderita Ayub sama sekali bukan ajang untuk
membuktikan Ayub sukses atau tidak dalam semacam tes hebat ini yang menunjukan capaian kekudusan dan keberkenanan dirinya di hadapan Allah, sebab pada
akhirnya Allah sendiri yang memulihkan semuanya, dan pemulihan itu tak sama
sekali menunjukan Ayub sesudah serangkaian tes itu barulah menjadi kudus atau berkenan dihadapan-Nya, karena sejak
semula Ayub dihadapan Allah sudah berkenan:
●Ayub
1:8 Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia,
yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan."
●Ayub
2:3 Firman TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau
memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia,
yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia
tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia
untuk mencelakakannya tanpa alasan."
Harus
dicamkan, bahwa Ayub memang adalah orang yang dibenarkan Allah, dalam arti yang
sebenarnya: Tak pernah Allah membiarkan setan begitu saja melakukan
suka-sukanya atas Ayub tanpa sebuah limitasi yang ditentukan Allah atas Ayub:
●Ayub
1:12 Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam
kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan
tanganmu terhadap dirinya." Kemudian pergilah Iblis dari
hadapan TUHAN.
●Ayub
2:6 Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya."
Saya hanya batasi
sampai poin ini untuk kasus Ayub, karena kepentingannya hanya untuk menunjukan
bahwa dosa
sudah ada sejak sebelum Yesus sendiri masuk ke dalam dunia ini. Bukan saja
melalui tindakan Ayub yang melakukan pengudusan dengan
mempersembahkan kurban bakaran-bukan dengan perbuatan kudus manusia- hanya
untuk sebuah dosa yang tidak dapat dipastikan keotentikannya[sebab sebagai manusia ia tak tahu, tetapi
ia tahu sebagaimana dirinya tak mungkin hatinya tak pernah memiliki kejahatan
yang sesamar apapun di hadapan Tuhan. Walau begitu samar namun itu sudah
sebuah kejijikan bagi Tuhan sehingga tak akan pernah ada pengudusan yang dapat
dilakukan oleh manusia] kalau-kalau dilakukan anak-anaknya, tetapi
dengan kehadiran setan yang menjadi sumber utama perbuatan jahat
atau kekejian di mata Tuhan setelah diberikan kuasa untuk melakukan apa yang
boleh dilakukan atas kehidupan Ayub, seperti yang ditunjukan dalam peristiwa
ini:
●Ayub
1:15-19 datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul
penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat
memberitahukan hal itu kepada tuan." Sementara orang itu berbicara, datanglah
orang lain dan berkata: "Api telah menyambar dari langit dan membakar
serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. Hanya aku sendiri yang
luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan." Sementara
orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: "Orang-orang Kasdim
membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya serta memukul
penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat
memberitahukan hal itu kepada tuan." Sementara orang itu berbicara,
datanglah orang lain dan berkata: "Anak-anak tuan yang lelaki dan yang
perempuan sedang makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang
sulung, maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah
itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu,
sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat
memberitahukan hal itu kepada tuan."
Sekali lagi, dosa bukan baru ada setelah seseorang menolak berita injil beserta Yesus, seolah ini adalah definisi dosa pada dunia perjanjian baru, dengan demikian bersifat terbatas dan bukan sebuah ketetapan universal bahwa menolak Yesus adalah dosa. Tidak demikian, ini ketentuan Allah yang universal bahwa semua manusia telah berdosa dan hanya Allah yang dapat menguduskan dan menyelamatkan.
Dosa
sudah ada jauh sebelum Anak Allah masuk
ke dalam dunia ini, Kisah Ayub menunjukan dua hal: kesalehan datang dari sebuah kehidupan yang mengenal Tuhan, dan pengudusan atas dosa tidak bisa sama sekali
dilakukan oleh kesalehan manusia selain melalui mempersembahkan korban yang
melalui itu pengudusan dari Allah datang, bahkan ketika dosa itu hanyalah hal yang begitu samar di dalam hati
manusia!
Itu sebabnya,
kemudian, pembaca Alkitab di dalam Tuhan, akan mengerti bahwa penghakiman Tuhan
atas semua manusia ini satu: semua berdosa dan semua membutuhkan pengudusan
dari Allah.
Perhatikan lagi
beberapa firman berikut ini:
▬▬Mazmur 14:2-3 TUHAN memandang ke
bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada
yang berakal budi dan yang mencari Allah. Mereka semua telah menyeleweng,
semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.
Ini
sama dengan apa yang dicatat dalam Kitab Ayub, bahwa Tuhan memang memandang ke
bawah dari sorga. Jikapun pada Mazmur dikatakan:”mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak” sama sekali tidak menunjukan bertentangan dengan apa yang
dicatat Kitab Ayub yang menunjukan Tuhan melihat seorang manusia yang saleh.
Mengapa tidak bertentangan? Karena kalau anda meneruskan Mazmur 14 pada ayat 4,
maka diketahui bahwa yang dimaksud
dengan SEMUA adalah semua manusia yang tidak mengenal Tuhan yang satu-satunya
itu!
Perhatikan
ayat 4-6:
●Tidak
sadarkah semua
orang yang melakukan kejahatan, yang memakan habis umat-Ku seperti
memakan roti, dan yang tidak berseru kepada TUHAN? Di sanalah
mereka ditimpa kekejutan yang besar, sebab Allah menyertai angkatan yang benar.
Kamu dapat mengolok-olok maksud orang yang tertindas, tetapi TUHAN adalah
tempat perlindungannya.
Di
sini kita menjumpai bahwa semua orang yang melakukan kejahatan adalah: yang melakukan kejahatan terhadap orang
benar kepunyaan Tuhan dan yang tidak mengenal satu-satunya Tuhan yang
benar itu, yang juga dikenal Ayub!
Dalam
hal ini, bahkan, pada Mazmur 14 orang
benar, bukan karena ia
memiliki kesalehan tanpa
mengenal Tuhan, sebaliknya karena dibuat mengenal Tuhanlah maka mereka
bisa berseru kepada Tuhan. Jadi ini bukan sembarang berseru menyebut nama Tuhan
dalam budaya atau spiritualisme apapun, tetapi ini kepada satu-satunya yang
berkuasa dan memerintah di semesta ini, yang bukan saja membuat dirinya menjadi
dikenal sehingga dikenali, tetapi memerintah atau menuntun dengan tangan-Nya
sendiri, atas kehidupan orang-orang yang disebut-Nya sendiri “umat-Ku.”
Dosa
tidak baru muncul dalam dunia perjanjian baru karena menolak menerima
Yesus sehingga terbedakan atau terisolasi dengan realita dosa yang sudah muncul
dalam perjanjian lama atau keseluruhan dunia di segela zaman, tetapi sudah
merupakan natur manusia yang bahkan penanggulangannya tak mungkin datang dari
manusia. Bahkan sudah dilihat tadi,
seorang pemazmur atau seorang pemuji terutama yang begitu dekat dengan Allah
dan dari keturunannyalah seorang Mesias akan datang untuk menebus dosa manusia,
telah menunjukan bahwa dosa telah
memerintah bahkan sebelum Yesus
masuk ke dalam dunia ini.
Perhatikanlah mazmur
Daud berikut ini:
▬▬Mazmur 32:1-8
Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!
Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang
tidak berjiwa penipu! Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu
karena aku mengeluh sepanjang hari; sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan
berat, sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas. Dosaku
kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata:
"Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku," dan Engkau
mengampuni kesalahan karena dosaku. Sebab itu hendaklah setiap orang saleh
berdoa kepada-Mu, selagi Engkau dapat ditemui; sesungguhnya pada waktu banjir
besar terjadi, itu tidak melandanya. Engkaulah persembunyian bagiku, terhadap
kesesakan Engkau menjaga aku, Engkau mengelilingi aku, sehingga aku luput dan
bersorak. Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus
kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.
Sebagaimana
kesalehan Ayub datang dari kehidupan yang dosa-dosanya diampuni Allah dalam
kasih karunia korban bakaran,sehingga berdasarkan Tuhan berkenan pada korban
bakaran itu, ia menerima pengudusan dari Tuhan, maka demikianlah juga kesalehan
yang sedang dibicarakan Daud, datang dari pengampunan atas pelanggaran dan yang
dosanya ditutupi. Makna “ditutupi” disini bukan berarti dosa-dosanya menjadi
diabaikan sebagai yang menjijikan, sebaliknya menjijikan namun “tidak
diperhitungkan.” Itu bisa terjadi sebagai akibat dari “pengampunan” yang
diberikan Allah bukan dalam cara memperhitungkan apa yang dapat dilakukan oleh
manusia itu untuk pada dirinya sendiri menerima pengampunan-Nya. Itu sebabnya
Daud berkata: “berbahagialah.”
Kehidupan
saleh yang demikian membuahkan hidup yang juga berporos pada relasi diriku atau dirimu yang dibawa-Nya sendiri sehingga dapat bertaut pada Tuhan. Jadi seperti
pada kasus Ayub, maka kehidupan saleh bukan soal perilaku atau moralitas
berkualitas tinggi yang diupayakan manusia, tetapi apakah ia memiliki relasi
dengan Allah. Dalam Alkitab, kesalehan berpijak pada poros hubungannya dengan
Allah itu bagaimana, sementara perbuatan-perbuatan saleh adalah buah-buah lebat
yang dihasilkan oleh seseorang yang memiliki relasi dengan Tuhan. Itu sebabnya
salah satu sentral dalam perjanjian lama adalah mengenal dan memiliki hubungan
dengan Allah: “berdoa kepada-Mu selagi dapat ditemui.” Hal semacam ini pun
adalah hal yang mencuat dalam perjanjian baru, misal saja:
Yohanes
12:35-36 Kata Yesus kepada mereka: "Hanya sedikit waktu lagi terang ada di antara
kamu. Selama terang itu ada padamu, percayalah kepadanya, supaya kegelapan
jangan menguasai kamu; barangsiapa berjalan dalam kegelapan, ia tidak tahu ke
mana ia pergi. Percayalah kepada terang itu, selama terang itu ada padamu,
supaya kamu menjadi anak-anak terang." Sesudah berkata demikian, Yesus
pergi bersembunyi dari antara mereka.
Yohanes
13:33 Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu.
Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang
Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang, demikian pula Aku
mengatakannya sekarang juga kepada kamu.
Mengapa menemukan
Allah begitu penting? Karena hanya Allah saja yang dapat menghapus dosamu dan
yang menguduskanmu. Celakalah manusia yang tidak dapat menemukan Allah sebab
dengan demikian tak akan pernah pengudusan dapat diterimanya, sebagaimana
ditunjukan oleh Ayub, Daud, dan Yesus sendiri menekankan bahwa relasi manusia
dengan Allah atau manusia yang memiliki Allah dalam relasi kudus-Nya adalah satu-satunya dasar
untuk mendapatkan keberkenanan sempurna di hadapan Bapa. Bagaimanakah sempurna itu, inilah yang ditunjukan oleh Sang Mesias satu-satunya itu:
Matius
14:1-4 Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.
Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku
mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat
bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat
bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat
di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke
situ."
Bagaimana saya, anda
dan siapapun juga dapat mengetahui jalan kepada Allah? Hanya jika anda
ditemukan-Nya dan diakui-Nya sebagai hamba-Nya atau kepunyaan-Nya oleh Tuhan.
Tepat sebagaimana digambarkan dalam kisah Ayub dan bahkan pemazmur terkemuka
dari dunia perjanjian lama: Daud yang darinyalah datang Sang Mesias.
Kesalehan adalah
kehidupan yang lahir dari Allah karena pada manusia tak ada satu saja kesalehan.
Ayub telah jujur menunjukannya, bahkan menyatakan bahwa tak mungkin hati
manusia tak membutuhkan pengudusan dari Allah, yang dilakukannya dengan penuh
kegentaran dengan mempersembahkan korban bakaran demi sebuah pengudusan dari
dosa!
Bagaimana dengan
anda? Sangkamu anda bisa menyembuhkan kebusukan jiwa dengan kesalehan
dirimu sendiri, dan itu menjadikanmu
manis dihadapan Allah? Belajarlah dari Ayub, Daud dan apa yang telah dinyatakan
oleh Yesus, bahwa tak ada apapun yang
anda bisa lakukan untuk menguduskan dirimu. Belajarlah jujur dan rendah hati
sebagaimana Ayub.
Bersambung ke bagian 5K
AMIN
Segala
Pujian Hanya Kepada TUHAN
The cross
transforms present criteria
of relevance: present criteria of relevance do not transform the cross
[dari
seorang teolog yang saya lupa namanya]
No comments:
Post a Comment