Disajikan oleh : Pdt. Budi Asali, M.Div-
Tulisan ini dikutip dari buku 'Systematic Theology' tulisan Louis Berkhof, hal 537-540 (Libronix).
H. Karakter Tidak sempurna
pada Pengudusan dalam Hidup Ini
1. Pengudusan tidak sempurna dalam derajat/tahapan.
Ketika kita membicarakan pengudusan sebagai mahkluk yang tidak sempurna dalam hidup ini, kita tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa itu tidak sempurna pada bagian-bagian tertentu, seolah hanya satu bagian pada diri manusia kudus yang dihasilkan dalam regenerasi yang telah dipengaruhi. Adalah keseluruhannya, namun demikian manusia baru yang belum berkembang, yang harus bertumbuh menjadi manusia dalam derajat perkembangan yang penuh. Seorang anak yang baru lahir adalah, terlepas dari pengecualian-pengecualian, sempurna dalam bagian-bagian (tubuhnya), tetapi belum dalam derajat pengembangan/pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan untuk terjadi. Sangatlah benar manusia baru itu adalah sempurna dalam bagian-bagian, tetapi tetap dalam kehidupan sekarang, tidak sempurna dalam derajat pembangunan rohani. Orang-orang Percaya harus bersaing dengan dosa selama mereka hidup, 1 Raja-Raja 8:46; Amsal 20:9; Pengkhotbah 7:20; Yakobus 3:2; 1 Yohanes 1:8.
-
Credit : Michigan Cares |
[=H. The Imperfect Character of Sanctification in This Life
1. Sanctification imperfect in degree. When we speak of sanctification as being imperfect in this life, we do not mean to say that it is imperfect in parts, as if only a part of the holy man that originates in regeneration were affected. It is the whole, but yet undeveloped new man, that must grow into full stature. A new-born child is, barring exceptions, perfect in parts, but not vet in the degree of development for which it is intended. Just so the new man is perfect in parts, but remains in the present life imperfect in the degree of spiritual development. Believers must contend with sin as long as they live, 1 Kings 8:46; Prov. 20:9; Eccl. 7:20; Jas. 3:2; 1 John 1:8.]
2. Penyangkalan Ketidaksempurnaan ini oleh Perfeksionis
a. Doktrin Perfeksionisme.
Berbicara secara umum, doktrin ini adalah sebagai akibat dari apa yang disebutkan bahwa kesempurnaan dapat dicapai dalam hidup saat ini. Doktrin ini diajarkan dalam beragam bentuk oleh penganut Pelagian, Roma Katolik atau Semi Pelagian, Arminian, Wesleyan, semacam sekte-sekte mistis seperti penganut Labadis, Quietis, Quakers, dan lain-lain, beberapa dari para teolog Oberlin, seperti Mahan dan Finney, dan Ritschl.
Semua mereka ini setuju dalam mempertahankan bahwa adalah mungkin bagi orang-orang percaya dalam hidup ini untuk mencapai sebuah kondisi dimana mereka memenuhi semua ketentuan yang dipersyaratkan hukum yang mana mereka tunduk padanya dalam hidup saat ini, atau dibawah hukum yang dalam derajat tertentu disesusaikan atau diselaraskan terhadap kemampuan dan kebutuhan mereka saat ini,dan, sebagai konsekuensinya, menjadi bebas dari dosa.
Akan tetapi, mereka berbeda :
(1) Dalam pandangan mereka atas dosa, penganut Pelagian, dalam membedakan dari semua yang lain, menyangkal kerusakan manusia sebagai hal yang melekat tak terpisahkan. Akan tetapi, mereka semua setuju dalam eksternalisasi dosa.
(2) Dalam konsepsi mereka pada hukum yang mana orang-orang percaya sekarang diwajibkan untuk memenuhinya, penganut Arminian, termasuk Wesleyan,berbeda dari semua yang lain dalam memegang bahwa hukum bukanlah hukum moral yang asli, tetapi persyaratan-persyaratan injil atau hukum baru iman dan ketaatan injili. Penganut Roma Katolik dan para teolog Oberlin mempertahankan bahwa itu adalah hukum asli, tetapi mengakui bahwa tuntutan-tuntutan hukum ini disesuaikan dengan kemerosotan kekuatan-kekuatan manusia dan kemampuannya pada saat ini. Dan Ritschl mencampakan seluruh ide bahwa manusia tunduk pada sebuah hukum yang diberlakukan sebagai wajib secara eksternal. Dia membela otonomi perilaku moral, dan meyakini bahwa kita tidak berada dibawah hukum tetapi hal semacam itu muncul keluar dari watak atau kecenderungan moral kita sendiri dalam perjalanan aktivitas-aktivitas untuk memenuhi panggilan atau fungsi khusus.
(3) Dalam gagasan mereka, ketergantungan orang berdosa pada anugerah Tuhan yang memperbarui kemampuan mereka untuk memenuhi hukum. Semua, kecuali penganut Pelagian, mengakui bahwa dia dalam derajat tertentu bergantung pada anugerah ilahi agar dapat mencapai kesempurnaan.
Ini sangat signifikan/ penting bahwa semua menuntun pada teori-teori perfeksionis (dengan satu-satunya pengecualian Pelagian, yang menyangkal kerusakan manusia yang melekat atau tidak terpisahkan dari manusia) yang percaya adalah perlu untuk menurunkan standard kesempurnaan dan tidak memegang tanggung jawab manusia untuk sebuah urusan besar yang tidak diragukan telah dituntut oleh hukum moral asli. Dan adalah sama pentingnya bahwa mereka merasa keharusan mengeksternalisasikan ide dosa, ketika mereka mengklaim bahwa hanya kesadaran berbuat salah dapat dianggap demikian/dosa dan menolak untuk mengakui dosa adalah sebuah soal besar yang digambarkan seperti dalam Kitab suci.
[=2. Denial of this imperfection by the Perfectionists
a.
The doctrine of perfectionism.
Speaking generally, this doctrine is to the effect that religious perfection is
attainable in the present life. It is taught in various forms by Pelagians,
Roman Catholics or Semi-Pelagians, Arminians, Wesleyans, such mystical sects as
the Labadists, the Quietists, the Quakers, and others, some of the Oberlin
theologians, such as Mahan and Finney, and Ritschl. These all agree in maintaining
that it is possible for believers in this life to attain to a state in which
they comply with the requirements of the law under which they now live, or under that law as it was adjusted to their present ability
and needs, and, consequently, to be free from sin. They differ, however:
(1) In their view of sin, the Pelagians, in distinction from all the rest,
denying the inherent corruption of man. They all agree, however, in
externalizing sin. (2) In their conception of the law which believers are now obliged
to fulfill, the Arminians, including the Wesleyans, differing from all the rest
in holding that this is not the original moral law, but the gospel requirements
or the new law of faith and evangelical obedience. The Roman Catholics and the
Oberlin theologians maintain that it is the original law, but admit that the
demands of this law are adjusted to man’s deteriorated powers and to his
present ability. And Ritschl discards the whole idea that man is subject to an
externally imposed law. He defends the autonomy of moral conduct, and holds
that we are under no law but such as is evolved out of our own moral
disposition in the course of activities for the fulfilment of our vocation. (3)
In their idea of the sinner’s dependence on the renewing grace of God for the
ability to fulfill the law. All, except the Pelagians, admit that he is in some
sense dependent on divine grace, in order to the attainment of perfection.
It
is very significant that all the leading perfectionist theories (with the sole
exception of the Pelagian, which denies the inherent corruption of man) deem it
necessary to lower the standard of perfection and do not hold man responsible
for a great deal that is undoubtedly demanded by the original moral law. And it
is equally significant that they feel the necessity of externalizing the idea
of sin, when they claim that only conscious wrong-doing can be so considered,
and refuse to recognize as sin a great deal that is represented as such in
Scripture.]
b. Bukti-Bukti Skriptural
yang dikemukakan doktrin Perfeksionisme
(1) Alkitab memerintahkan orang-orang percaya untuk menjadi kudus dan bahkan menjadi sempurna, 1 Petrus 1:16; Matius 5:48; Yakobus 1:4, dan mendesak mereka untuk mengikuti contoh Kristus yang tidak melakukan dosa, 1 Petrus 2:21f.
Perintah-perintah semacam ini akan
menjadi tidak masuk akal, jika tidak
mungkin untuk mencapai kesempurnaan
tanpa dosa. Tetapi teks firman menuntut
untuk menjadi kudus dan sempurna mengikat bagi yang belum regenerasi serta juga
bagi yang sudah regenerasi (lahir baru), karena hukum Tuhan menuntut kekudusan sejak
pada mulanya dan tidak pernah dicabut. Jika
perintah menyatakan secara tersirat bahwa mereka yang kepadanya hukum itu datang,
dapat hidup memenuhi persayaratan
tersebut, maka pasti benar bagi setiap orang. Akan tetapi
hanya mereka yang mengajarkan perfeksionisme dalam Pelagian menganggap dapat
menganut pandangan ini. Ukuran kemampuan kita tidak dapat disimpulkan secara berdasar dari
perintah-perintah Kitab suci.
[=b. Scriptural proofs adduced for the doctrine of perfectionism.
[=b. Scriptural proofs adduced for the doctrine of perfectionism.
(1)
The Bible commands believers to be holy and even to be perfect, 1 Pet. 1:16;
Matt. 5:48; Jas. 1:4, and urges them to follow the example of Christ who did no
sin, 1 Pet. 2:21 f. Such commands would be unreasonable, if it were not
possible to reach sinless perfection. But the Scriptural demand to be holy and
perfect holds for the unregenerate as well as for the regenerate, since the law
of God demands holiness from the start and has never been revoked. If the
command implies that they to whom it comes can live up to the requirement, this
must be true of every man. However, only those who teach perfectionism in the
Pelagian sense can hold that view. The measure of our ability cannot be
inferred from the Scriptural commandments.]
(2) Kekudusan dan kesempurnaan kerap dilekatkan kepada orang-orang percaya dalam Kitab suci, Kidung Agung 4:7; 1 Kor 2:6; 2 Kor 5:17; Efesus 5:27; Ibrani 5:14; Filipi 4:13; Kolose 2:10.
(2) Kekudusan dan kesempurnaan kerap dilekatkan kepada orang-orang percaya dalam Kitab suci, Kidung Agung 4:7; 1 Kor 2:6; 2 Kor 5:17; Efesus 5:27; Ibrani 5:14; Filipi 4:13; Kolose 2:10.
Akan tetapi, ketika Alkitab berbicara orang-orang percaya sebagai kudus dan sempurna, hal ini tidaklah perlu bermakna bahwa mereka tanpa dosa, karena kedua kata-kata tersebut kerap dipergunakan dalam sebuah pengertian yang berbeda, tidak hanya dalam pembicaraan umum, tetapi juga didalam Alkitab. Orang-orang yang dikhususkan untuk pelayanan khusus bagi Tuhan disebut kudus dalam Alkitab, tanpa mempertimbangkan kondisi moral dan hidup mereka. Orang-orang percaya dapat dan disebut kudus, karena mereka secara obyektif kudus didalam Kristus, atau karena mereka pada prinsipnya/dasarnya secara subyektif telah dikuduskan oleh Roh Tuhan.
Paulus dalam epistelnya secara konstan mengalamatkan pembaca-pembacanya sebagai orang-orang kudus, yaitu “orang kudus”, dan kemudian melanjutkan dalam sejumlah kasus untuk membawa mereka untuk menegur keras pada dosa-dosa mereka. Dan ketika orang-orang percaya digambarkan sebagai sempurna, ini bermakna dalam beberapa kasus hanya bahwa mereka bertumbuh dewasa, 1 Korintus 2:6; Ibrani 5:14, dan dalam ayat-ayat lainnya bahwa mereka sepenuhnya telah dilengkapi untuk melakukan pekerjaan yang diembankan pada mereka, 2 Timotius 3:17. Semua ini secara pasti tidak memberikan pandangan pada teori kesempurnaan tidak berdosa.
[=(2) Holiness and perfection are often ascribed to
believers in Scripture, Song of Sol. 4:7; 1 Cor. 2:6; 2 Cor. 5:17; Eph. 5:27;
Heb. 5:14; Phil. 4:13; Col. 2:10. When the Bible speaks of believers as holy
and perfect, however, this does not necessarily mean that they are without sin,
since both words are often used in a different sense, not only in common
parlance, but also in the Bible. Persons set aside for the special service of
God are called holy in the Bible, irrespective of their moral condition and life.
Believers can be and are called holy, because they are objectively holy in
Christ, or because they are in principle subjectively sanctified by the Spirit
of God. Paul in his Epistles invariably addresses his readers as saints, that
is “holy ones,” and then proceeds in several cases to take them to task for
their sins. And when believers are described as perfect, this means in some
cases merely that they are full-grown, 1 Cor. 2:6; Heb. 5:14, and in others
that they are fully equipped for their task, 2 Tim. 3:17. All this certainly
does not give countenance to the theory of sin less perfection.]
(3) Ada terdapat, dikatakan, contoh-contoh Biblikal, orang-orang kudus yang menjalani kehidupan-kehidupan sempurna, semisal Nuh, Ayub, dan AS, Kejadian 6:9; Ayub 1:1; 1 Raja-Raja 15:14.
Tetapi, secara pasti, contoh-contoh semacam ini tidak membuktikan benar poin yang dimaksud karena alasan sederhana bahwa mereka bukan contoh-contoh kesempurnaan tidak berdosa. Bahkan orang-orang kudus yang paling patut diperhatikan di Alkitab adalah digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki kegagalan-kegagalan mereka dan yang telah berdosa, dalam beberapa kasus secara sangat menyedihkan. Ini benar pada Nuh, Musa, Ayub, Abraham, dan semua yang lainnya.
Memang benar bahwa ini tidak harus membuktikan bahwa kehidupan-kehidupan mereka tetap penuh dosa selama mereka hidup di dunia, tetapi itu adalah sebuah fakta yang menyolok bahwa kita tidak sedang diperkenalkan pada satupun yang dahulu tanpa dosa.
Pertanyaan Salomo masih berhubungan secara kuat dengan hal ini :”Siapa dapat berkata, aku telah membuat hatiku bersih, aku murni dari dosaku?” Amsal 20:9. Bahkan, Yohanes berkata:” Jika kita berkata bahwa kita tidak memiliki dosa, kita memperdaya diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada didalam diri kita,” 1 Yohanes 1:8
[=(3) There are, it is said, Biblical examples of saints
who led perfect lives, such as Noah, Job, and Asa, Gen. 6:9; Job 1:1; 1 Kings
15:14. But, surely, such examples as these do not prove the point for the
simple reason that they are no examples of sinless perfection. Even the most
notable saints of the Bible are pictured as men who had their failings and who
sinned, in some cases very grievously. This is true of Noah, Moses, Job,
Abraham, and all the others. It is true that this does not necessarily prove
that their lives remained sinful as long as they lived on earth, but it is a
striking fact that we are not introduced to a single one who was without sin.
The question of Solomon is still pertinent: “Who can say, I have made my heart
clean, I am pure from my sin?” Prov. 20:9. Moreover, John says: “If we say that
we have no sin, we deceive ourselves, and the truth is not in us,” 1 John 1:8.]
(4) Rasul Yohanes mendeklarasikan secara eksplisit bahwa mereka yang dilahirkan dari Tuhan tidak berbuat dosa, 1 Yohanes 3:6,8,9; 5:18.
Tetapi ketika Yohanes berkata bahwa mereka yang lahir dari Tuhan tidak berbuat dosa, dia sedang mengontraskan (membuat pembedaan tajam) dua kondisi, dilukiskan dengan manusia lama dan baru, terkait dengan natur dan prinsip esensial mereka.
Salah satu dari karakteristik esensial manusia baru adalah bahwa dia tidak berbuat dosa. Memandangan fakta bahwa Yohanes konstan menggunakan kalimat bentuk present/kalimat bentuk saat ini untuk mengekspresikan gagasan bahwa orang yang lahir dari Tuhan tidak berbuat dosa, adalah mungkin bahwa dia ingin mengekspresikan gagasan bahwa anak Allah tidak meneruskan melakukan dosa sebagai kebiasaan, seperti iblis, 1 Yohanes 3:8.
Ia secara pasti tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa orang percaya tidak pernah melakukan sebuah tindakan dosa, bandingkan 1 Yohanes 1:8-10. Lebih lagi, Perfeksionis tidak dapat menggunakan nas ini dengan sangat baik untuk membuktikan kebenaran poinnya, karena mereka akan membuktikan terlampau banyak bagi tujuannya. Dia tidak bisa bertindak berani untuk mengatakan bahwa semua orang percaya pada dasarnya tidak berdosa, tetapi hanya mereka yang dapat meraih sebuah kondisi kesempurnaan tidak berdosa.
Dan lebih daripada itu, mereka juga akan membuktikan bahwa orang-orang percaya tidak pernah jatuh dari kondisi anugerah (karena ini adalah perbuatan dosa); dan lagian para Perfeksionis adalah orang yang secara ekstrim percaya bahwa bahkan orang-orang Kristen sempurna mungkin terjatuh.
[=4) The apostle John declares explicitly that they who
are born of God do not sin, 1 John 3:6, 8, 9; 5:18. But when John says that
they who are born of God do not sin, he is contrasting the two states,
represented by the old and the new man, as to their essential nature and
principle. One of the essential characteristics of the new man is that he does
not sin. In view of the fact that John invariably uses the present to express
the idea that the one born of God does not sin, it is possible that he desires
to express the idea that the child of God does not go on sinning habitually, as the devil does, 1 John 3:8.He
certainly does not mean to assert that the believer never commits an act of
sin, cf. 1 John 1:8–10. Moreover, the Perfectionist cannot very well use these
passages to prove his point, since they would prove too much for his purpose.
He does not make bold to say that all believers are actually sinless, but only
that they can reach a state of sinless perfection. The Johannine passages,
however, would prove, on his interpretation, that all believers are without
sin. And more than that, they would also prove that believers never fall from
the state of grace (for this is sinning); and yet the Perfectionists are the
very people who believe that even perfect Christians may fall away.]
(1). Dalam terang Kitab suci, doktrin Perfeksionisme mustahil dipertahankan secara absolut. Alkitab memberikan kepada kita jaminan yang eksplisit dan sangat pasti/ tidak dapat dipersengketakan bahwa tidak ada seorangpun diatas bumi yang tidak berbuat dosa, 1 Raja-Raja 8:46; Amsal 20:9; Pengkhotbah 7:20; Roma 3:10; Yakobus 3:2; 1 Yohanes 1:8.
Dalam pandangan pernyataan-pernyataan yang jelas dari Kitab suci, adalah sukar untuk melihat bagaimana ada orang yang mengklaim percaya Alkitab sebagai Firman Tuhan yang tidak dapat salah dapat menganut bahwa mungkin bagi orang-orang percaya untuk menjalani kehidupan-kehidupan tidak berdosa, dan bahwa beberapa diantaranya secara aktual telah sukses dalam menghindari semua dosa.
[=c. Objections to the theory of Perfectionism.
Keberatan-Keberatan
Terhadap Teori Perfeksionisme
(1). Dalam terang Kitab suci, doktrin Perfeksionisme mustahil dipertahankan secara absolut. Alkitab memberikan kepada kita jaminan yang eksplisit dan sangat pasti/ tidak dapat dipersengketakan bahwa tidak ada seorangpun diatas bumi yang tidak berbuat dosa, 1 Raja-Raja 8:46; Amsal 20:9; Pengkhotbah 7:20; Roma 3:10; Yakobus 3:2; 1 Yohanes 1:8.
Dalam pandangan pernyataan-pernyataan yang jelas dari Kitab suci, adalah sukar untuk melihat bagaimana ada orang yang mengklaim percaya Alkitab sebagai Firman Tuhan yang tidak dapat salah dapat menganut bahwa mungkin bagi orang-orang percaya untuk menjalani kehidupan-kehidupan tidak berdosa, dan bahwa beberapa diantaranya secara aktual telah sukses dalam menghindari semua dosa.
[=c. Objections to the theory of Perfectionism.
(1)
In the light of Scripture the doctrine of Perfectionism is absolutely
untenable. The Bible gives us the explicit and very definite assurance that
there is no one on earth who does not sin, 1 Kings 8:46; Prov. 20:9; Eccl.
7:20; Rom. 3:10; Jas. 3:2; 1 John 1:8. In view of these clear statements of
Scripture it is hard to see how any who claim to believe the Bible as the
infallible Word of God can hold that it is possible for believers to lead
sinless lives, and that some actually succeed in avoiding all sin.]
(2) Menurut Kitab suci ada sebuah peperangan konstan/terus-menerus antara daging dan Roh dalam kehidupan anak-anak Allah, dan bahkan yang paling baik dari mereka masih berupaya keras untuk kesempurnaan.
Paulus memberikan sebuah penggambaran yang tajam atas perjuangan ini dalam Roma 7:7-25, sebuah nas yang secara pasti merujuk pada dia dalam regenerasinya yang tidak sepenuhnya bersih/mengalami hal yang tidak menyenangkan. Dalam Galatia 5:16-24 dia sedang berbicara tentang perjuangan yang sangat sama sebagai sebuah perjuangan yang menjadi karakteristik semua anak-anak Allah. Dan dalam Filipi 3:10-14 dia sedang membicarakan dirinya sendiri, secara praktis pada pengujung karirnya, sebagai orang yang belum juga telah mencapai kesempurnaan, tetapi mendesak dirinya sekuatnya pada tujuan.
[=(2) According to Scripture there is a constant warfare between the flesh and the Spirit in the lives of God’s children, and even the best of them are still striving for perfection. Paul gives a very striking description of this struggle in Rom. 7:7–25, a passage which certainly refers to him in his regenerate stale. In Gal. 5:16–24 he speaks of that very same struggle as a struggle that characterizes all the children of God. And in Phil. 3:10–14 he speaks of himself, practically at the end of his career, as one who has not yet reached perfection, but is pressing on toward the goal.]
(3)Pengakuan dosa dan doa bagi pengampunan secara terus menerus diperlukan.
Yesus telah mengajarkan
semua murid-murid-Nya tanpa pengecualian apapun untuk berdoa bagi pengampunan dosa-dosa dan bagi pelepasan dari cobaan dan dari yang jahat, Matius 6:12,13.
Dan Yohanes berkata:”Jika kita mengakui dosa-dosa kita, Dia adalah setia dan benar untuk mengampuni kita atas dosa-dosa kita, dan untuk membersihkan kita dari semua ketidakbenaran,” 1 Yohanes 1:9.
Lebih lagi, orang-orang kudus Alkitab secara konstan telah digambarkan sebagai mengakui dosa-dosa mereka, Ayub 9:3,20; Mazmur 32:5; 130:3; 143:2; Amsal 20:9; Yesaya 64:6; Daniel 9:16; Roma 7:14.
[=(3) Confession of sin and prayer for forgiveness are continually required. Jesus taught all His disciples without any exception to pray for the forgiveness of sins and for deliverance from temptation and from the evil one, Matt. 6:12, 13. And John says: “If we confess our sins, He is faithful and righteous to forgive us our sins, and to cleanse us from all unrighteousness,” 1 John 1:9. Moreover, Bible saints are constantly represented as confessing their sins, Job 9:3, 20; Ps. 32:5; 130:3; 143:2; Prov. 20:9; Isa. 64:6; Dan. 9:16; Rom. 7:14.]
Dan Yohanes berkata:”Jika kita mengakui dosa-dosa kita, Dia adalah setia dan benar untuk mengampuni kita atas dosa-dosa kita, dan untuk membersihkan kita dari semua ketidakbenaran,” 1 Yohanes 1:9.
Lebih lagi, orang-orang kudus Alkitab secara konstan telah digambarkan sebagai mengakui dosa-dosa mereka, Ayub 9:3,20; Mazmur 32:5; 130:3; 143:2; Amsal 20:9; Yesaya 64:6; Daniel 9:16; Roma 7:14.
[=(3) Confession of sin and prayer for forgiveness are continually required. Jesus taught all His disciples without any exception to pray for the forgiveness of sins and for deliverance from temptation and from the evil one, Matt. 6:12, 13. And John says: “If we confess our sins, He is faithful and righteous to forgive us our sins, and to cleanse us from all unrighteousness,” 1 John 1:9. Moreover, Bible saints are constantly represented as confessing their sins, Job 9:3, 20; Ps. 32:5; 130:3; 143:2; Prov. 20:9; Isa. 64:6; Dan. 9:16; Rom. 7:14.]
(4)Para Perfeksionis itu sendiri memandang perlu untuk merendahkan/menurunkan standar hukum dan untuk mengeksternalisasi gagasan/ide dosa, agar dapat mempertahankan teori mereka.
Bahkan, beberapa dari mereka telah secara berulang memodifikasi idealnya yang mana, dalam estimasi/perkiraan mereka, orang-orang percaya dapat mencapainya.
Pada mulanya, idealnya adalah “kemerdekaan dari semua dosa”; kemudian “kemerdekaan dari semua dosa yang disadari,” selanjutnya “seluruh yang dikhususkan kudus bagi Tuhan,” dan, pada akhirnya, “ jaminan Kristen.” Ini didalamnya sendiri merupakan sebuah pengecaman yang memadai dari teori mereka. Kita pada dasarnya tidak menyangkal bahwa orang Kristen dapat memperoleh jaminan iman.
[=(4) The Perfectionists themselves deem it necessary to lower the standard of the law and to externalize the idea of sin, in order to maintain their theory. Moreover, some of them have repeatedly modified the ideal to which, in their estimation, believers can attain. At first the ideal was “freedom from all sin”; then, “freedom from all conscious sin,” next, “entire consecration to God,” and, finally, “Christian assurance.” This is in itself a sufficient condemnation of their theory. We naturally do not deny that the Christian can attain to the assurance of faith.]
diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
No comments:
Post a Comment