Oleh: Martin Simamora
Kemerdekaan Orang Kristen Di Dalam Kristus(6)
Bacalah
lebih dulu bagian 5
Seorang ahli Taurat
berdiri untuk mencobai Yesus dengan
sebuah pertanyaan: "Guru, apa
yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"-Lukas
10:25. Ini adalah pertanyaan yang serupa dengan yang ditanyakan oleh orang kaya yang telah lebih dulu kita pelajari,
memiliki sebuah kemiripan identik: "Guru
yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
Kedua-duanya mendasarkan pertanyaan tersebut pada kebenaran yang memang terdapat di dalam hukum Taurat, baik
si orang kaya: Markus 10:19-20 dan si ahli Taurat, sebagaimana yang
diindikasikan oleh Yesus:
Lukas 10:26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"
Setiap kali berbicara mengenai “hidup kekal” maka pasti
akan bertaut dengan apa yang harus kuperbuat agar mendapatkannya sebab
demikianlah keadaan setiap orang yang hidup dibawah Taurat, selalu terpenjara oleh
apa yang harus dilakukan agar memilikinya.
Pada si orang kaya, sekalipun Yesus telah memberikan jawabnya-apa yang harus
dilakukan - telah terbukti bahwa dia tak
dapat melakukannya. Bagaimana dengan ahli Taurat satu ini, apakah dia akan
berbeda daripada yang lainnya? Dapatkah ia memenuhi tuntutan hukum Taurat
sebagaimana yang Yesus akan kemukakan. Saya ingin mengatakan bahwa baik pada peristiwa dialog antara orang kaya
dengan Yesus, dan dengan seorang ahli Taurat, adalah berbicara tentang mengasihi atau mengikut Tuhan dalam sebuah totalitas,
seperti “apa yang tertulis dalam hukum Taurat.” Anda atau siapapun yang mengandalkan kehidupan
kekal atau keselamatan berdasarkan perbuatan maka pasti tak terpisahkan dengan
hukum Taurat dan kesempurnaan untuk memenuhinya.
Menyangka
Dapat Memenuhi, Namun Sesungguhnya Tak Berdaya
Terhadap
pertanyaan Yesus ini, si ahli Taurat memberi jawaban sebagai berikut:
Lukas 10:27Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Jika
kita membandingkan dengan orang kaya yang diminta oleh Yesus untuk melakukan “satu
yang kurang”: pergilah, juallah apa yang
kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan
beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku- Markus
10:21, maka dapat dikatakan bahwa kegagalan si orang kaya itu terkait
ketakmampuannya untuk Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap... segenap... segenap. Keenggenannya untuk menjual
apa yang dimiliki (=semua) bukan saja
menunjukan bahwa belenggu dosa pada
dirinya telah memenjarakan dirinya-mencegahnya untuk datang
kepada Yesus, sehingga memiliki kehidupan yang kekal adalah sebuah
kemustahilan untuk diupayakan oleh manusia yang tak memiliki kuasa mandiri untuk
menaklukan kuasa-kuasa dosa di dalam dirinya.
Poin
paling krusial: “mengasihi Yesus yang
dikaitkan dengan melepaskan atau memberikan diri secara totalitas dalam
kesegenapan bagi Yesus” kembali
mencuat dalam dialog antara Yesus dengan si ahli Taurat. Jawaban si ahli Taurat
memiliki dua hal yang sama besar dan sama sekali tak dapat dipisahkan satu sama
lain. Tak bisa hanya diambil satu bagian untuk kemudian mengabaikan bagian
lainnya (Matius 22:37-40):
(1) Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu(2) kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Mengasihi Tuhan harus dengan
sebuah totalitas, maka mengasihi manusia harus juga dalam sebuah totalitas.
Pada mengasihi Tuhan totalitas adalah segenap hatimu, segenap jiwamu,segenap
kekutanmu dan segenap akal budimu, maka mengasihi sesamamu adalah seperti
dirimu sendiri- tak ada perbedaan atau diskriminasi antara dirimu dan pada yang
anda tolong.
Pada kasus orang kaya yang
diminta oleh Yesus untuk pergi menjual apa yang dimilikinya, baru kemudian boleh kembali kepada dan mengikut
Yesus, sebetulnya bukan semata Yesus
berbicara mengenai kecintaan tertinggi yang seharusnya ditujukan hanya kepadanya,
namun secara bersamaan berbicara mengasihi sesamamu manusia seperti halnya
anda mencintai dirimu, “seautoú”,
tak boleh engkau mendiskriminasikan cintamu pada dirimu dan kepada orang lain,
ketika anda mengasihi orang lain maka haruslah sebagaimana engkau bertindak pada dirimu dalam sebuah aksi
mencintai dirimu sendiri. Pada Matius 22:37-40 kita mendapatkan bahwa bagi Yesus ini adalah 2 hukum yang sama pentingnya
atau sama tinggi dan sama mulia, yang
ditegaskan oleh Yesus dengan sebuah pernyataan “pada kedua
hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." Bisakah anda mengasihi orang lain dengan
sebuah kesetaraan tindakan mengasihi sebagaimana engkau melakukannya pada
dirimu sendiri?
Hal inilah yang sedang
ditunjukan atau disingkapkan oleh Yesus
kepada si ahli Taurat yang sedang mencobainya melalui sebuah pertanyaan.
Perhatikan tanggapan Yesus selanjutnya:
Lukas 10:28Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
Jawaban si ahli Taurat adalah benar. Tetapi apakah sudah melakukan? Yesus menunjukan bahwa sebetulnya si ahli Taurat belum melakukannya. Sebaliknya Yesus memintanya untuk berbuat demikian sehingga apa yang didambakan atau diinginkannya dapat terwujud- hidup kekal. Dia sudah memberikan jawaban yang lurus atau benar atau orthos, namun tanpa perbuatan tidak akan mengalami berkat tersbut atau mendapatkan hidup kekal. Si ahli Taurat baru akan mengalami jika dia melakukannya secara benar atau lurus-tanpa sebuah kebengkokan sedikitpun. Yesus jelas melihat ada kesenjangan besar antara apa yang diinginkannya dengan apakah dia melakukannya. Yesus hanya melihat sebuah kemunafikan hebat pada diri ahli Taurat, sama munafiknya dengan mengapa dia mengajukan pertanyaan itu sendiri, untuk mencobai atau sebuah motivasi yang bengkok.
Dan
kelihatannya, kemunafikan yang sedang tertangkap basah oleh Yesus ini berupaya
keras untuk disembunyikannya dihadapan Yesus:
Lukas 10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
Si
ahli taurat berupaya mendeklarasikan dirinya benar – dikaiōsai, dengan
mengajukan pertanyaan berikutnya “Dan siapakah sesamaku manusia?”
Namun,
benarkah si
ahli Taurat tersebut memang telah
memenuhi tuntutan hukum Taurat sebagaimana deklarasinya? Yesus
menjawabnya dalam sebuah cara yang tak langsung , melalui sebuah narasi
perumpamaan. Jawaban Yesus yang tak langsung, yang didalamnya sangat menekankan
perbuatan yang dimaksudkan oleh Yesus dalam sebuah intensitas yang luar biasa,
Yesus menjawab si ahli Taurat:
Lukas 10:30-35, 36-37(30)Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.(31) Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.(32) Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. (33)Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.(34) Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.(35) Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.(36) Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"(37) Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"
Yesus
memberikan sebuah jawaban melalui PERUMPAMAAN, untuk menjawab si ahli Taurat, bahkan
secara nyata, Yesus memasukan kedalam perumpamaannya hal paling sukar bagi
bangsa Yahudi untuk dapat terjadi, jika berbicara mengenai orang Samaria maka
apa yang mengemuka adalah sebuah permusuhan antara bangsa Yahudi dan bangsa
Samaria. Sebetulnya Orang Samaria adalah
orang setengah Yahudi. Sebenarnya memiliki pertalian darah dengan orang Yahudi
itu sendiri, apa yang membuat mereka terpisah jauh adalah karena telah tercemar
dengan pernikahan campur dengan
bangsa-bangsa asing dan pengaruh penyembahan berhala pada kehidupan rohani yang
menjijikan Tuhan (coba baca 2
Raja-Raja 17:29-41, 2 Raja-Raja 18:9-11. juga bandingkan dengan Ezra
9:1-10, Nehemia 13:23-28).
Dalam
menunjukan kasih kepada sesama manusia, Sang Rabbi Sang Mesias memasukan
saudara jauhnya, orang Samaria kedalam
perumpamaan ini. Satu-satunya yang bukan aktual dalam Perumpamaan ini
adalah kejadian yang dikisahkan Yesus. Namun
“orang Samaria”, “seorang imam”, “seorang Lewi”
adalah 3 tokoh yang mewakili keaktualan yang ada di dalam masyarakat
nyata, demikian juga halnya dengan apa
yang dikehendaki Yesus dan hukum Taurat terkait “mengasihi sesama” yang
digambarkan melalui interaksi ketiga tokoh tersebut. Sekarang mari kita lihat wujud
kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri dan siapakah sesamu
didalam hal perumpamaan tersebut.
Yesus membuka
sebuah kisah kemanusiaan yang memilukan:
seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
Nampaknya,
ada sebuah titik dalam rute perjalanan itu yang sangat rawan dengan tindak
kejahatan dengan kekerasan, dan seorang
yang tak disingkapkan siapakah dia –tak jelas apakah dia orang Yahudi
ataukah bukan, kecuali dia seorang yang berasal dari Yerusalem- telah disergap
oleh perampok. Tak hanya dirampok habis-habisan sehingga tak ada lagi yang tersisa pada dirinya, tak ada lagi
apapun yang dapat disebut sebagai harta bendanya. Tak hanya dirampok
habis-habisan hartanya, juga dipukuli dan nampaknya dipukuli secara hebat sehingga dalam keadaan sekarat. Dia
ditinggalkan begitu saja dalam keadaan tak berdaya bukan hanya kehilangan semua
harta bendanya namun kini terancam kehilangan nyawanya.
Di
rute perlintasan para pejalan seperti ini pastilah dia memiliki kemungkinan
cukup besar untuk dapat dilihat dan
ditemukan, sehingga memiliki peluang untuk diselamatkan dari resiko kematian,
tetapi hal sebaliknyalah yang terjadi:
“Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan”
Ada
2 orang yang melintasi tempat kejadian perkara dan melihat kondisinya yang mencemaskan
namun baik seorang Yahudi yang adalah seorang Imam dan seorang Yahudi yang adalah seorang Lewi, sekalipun
melihat korban tergeletak dalam keadaan kritis dengan matanya,berada dekat
sekali dengan korban dan mengetahui bahwa pastilah korban tersebut membutuhkan
pertolongan, namun membiarkannya!
Melewatkannya dan meninggalkannya dalam kesekaratan di jalan perlintasan
tersebut! Baik orang Lewi dan Imam tersebut adalah orang-orang yang mengetahui
kebenaran hukum Taurat- Kitab Musa sehingga
pasti mengetahui hukum kasih tersebut:
Imamat 19:18 Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.
Ulangan 6:5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.
Baik
Imam tersebut dan seorang Lewi itu adalah orang yang mengetahui kebenaran,
bahkan mengajarkannya namun tidak berbuat sebagaimana yang dituntut oleh firman
Tuhan.
Hingga
satu tokoh dalam perumpamaan ini muncul. Seorang Israel yang tak lagi murni, namun nampaknya dia dapat lebih baik
menerapkan hukum kasih yang pernah mereka dengar dan pernah diajarkan
kepadanya. Seorang Samaria yang adalah
Israel yang sesat- yang terhilang dalam kesalahan-kesalahannya, namun
kelihatannya dalam kisah yang disampaikan
oleh Yesus ini, jauh lebih baik dalam menerapkan hukum kasih:
“Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan”
Tak
hanya dia adalah seorang yang pernah
mendengarkan dan diajarkan hukum Taurat,
dan walaupun dia telah menjadi begitu kabur dengan kebenaran yang pernah
diperdengarkan dan diajarkan kepadanya, namun jelas dia memiliki kasih yang
luar biasa, yang menggerakan hatinya untuk berbuat demikian:
“Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.”
Dia
tak sekedar mengambil resiko dalam menolong seorang korban. Pernahkah
anda berhenti untuk menolong seorang korban kecelakaan yang tergeletak di jalan
raya? Apakah anda berhenti dan menolongnya? Anda menghentikan kendaraan
anda dan bergegas berlari memberikan bantuan untuk segera menyelamatkan nyawa
korban ke rumah sakit, tentu dengan uangmu sendiri! Atau, pernahkah anda
menolong seseorang yang baru saja menjadi korban kejahatan yang kebetulan anda temukan saat anda melintas, entah
anda berjalan kaki atau anda mengendarai kendaraan, ditikam perutnya tangannya
menutupi luka yang mengucur darah sambil mengerang kesakitan minta tolong,
terduduk di trotoar dan banyak orang mengabaikan sebab takut terlibat- mungkin takut dimintai
keterangan oleh Polisi(?), atau ala kadarnya melihat namun kemudian pergi
meninggalkannya untuk banyak alasan yang tak diketahui. Inilah juga situasi
yang dapat dihadapi oleh orang Samaria ini. Dia mengambil sebuah resiko besar,
menolong seorang korban di lokasi yang kemungkinan besar adalah rawan. Dia
dapat saja menjadi korban segera berikutnya pada saat sedang menolong.
Kasihnya
telah mengalahkan ketakutan dan kasihnya telah menempatkan dirinya dalam bahaya
besar demi menolong korban. Ia kemudian menaikannya ke tungganganya, dan membawanya
ke penginapan, untuk merawatnya.
Betapa ini sudah dinilai “berlebihan” bagi masyarakat kita yang
moderen, untuk dilakukan bagi seseorang yang tak dikenalinya sama sekali? Mengapa
nekat mengambil resiko keamanan dan resiko keuangan-bagaimana kalau keuangan
rumah tanggaku menjadi terganggu karena menolong? Tak menggunakan hikmatkah, orang Samaria itu kala menolong orang?Pernahkah
anda membawa ke rumah atau membawa ke
rumah sakit korban kejahatan dan anda menanggung sepenuhnya, tanpa anda
mengetahui latar belakangnya? Sehingga ada sebuah resiko dalam menolong semacam
ini. Dia
merawatnya dan tidak meninggalkanya; dia menanggung berapapun biaya itu
tak peduli apakah itu akan menguras keuangannya:” Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar
kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan
lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali”
Tak
sekedar menanggung biaya pengobatan hingga tuntas,namun menanggung kekurangannya.
Si Samaria akan mengganti semua uang belanja untuk kebutuhan proses penyembuhan
korban, yang dikeluarkan oleh si pemilik penginapan. Dia, orang Samaria itu,
akan kembali untuk itu.
Siapakah
yang dirawatnya? Seorang asing yang tak dikenalinya. Seperti
apakah dia merawat orang asing tersebut? Seperti dia merawat dirinya,
bahwa dia memastikan yang terbaik tak
peduli semahal apapun yang harus
ditanggungnya. Bagaimana dengan saya dan anda? Saya masih harus belajar sangat
banyak untuk dapat seperti orang Samaria tersebut, atau lebih tepatnya saya harus
belajar banyak bagaimana dapat hidup dalam kasih Kristus sebagai orang yang
telah diselamatkan oleh Yesus. Orang Samaria telah menjadi reflektor mengasihi sesamamu manusia yang
sukses mendemonstrasikan kebenaran kasih Tuhan yang dahsyat, dalam
narasi Yesus.
Memang
mengejutkan, jika Yesus memunculkan seorang Samaria sebagai seorang yang
memiliki kasih. Sama mengejutkannya dengan seorang Imam dan seorang Lewi yang
digambarkan Yesus sebagai tak peduli atas keadaan seorang korban. Orang Samaria,
Seorang Imam, dan Seorang Lewi dapat dikatakan adalah orang-orang yang masih atau
pernah (orang Samaria) memiliki atau mengecap kebenaran hukum Taurat. Orang Samaria yang dipandang
rendah ternyata digambarkan oleh Yesus sebagai yang berhenti dan menolong
secara total- dalam sebuah kesegenapan!
Menutup narasinya yang diakhiri dengan demonstrasi perbuatan mengasihi yang sangat keras dan sangat totalitas, Yesus kemudian bertanya kepada si ahli Taurat itu: siapakah dari ketiga tokoh tersebut adalah sesama bagi si korban?(Lukas 10:36). Dan kembali secara benar, si ahli Taurat dapat menjawab benar: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Untuk kemudian Yesus, juga kembali memberi perintah yang sama untuk kedua kalinya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"
Si
ahli Taurat bagi Yesus, sama sekali
belum memenuhi tuntutan hukum Taurat. Dia hanya mengetahui kebenaran namun
tak pernah berbuat. Tepat seperti 2
orang Yahudi dalam perumpamaan atau narasi yang disampaikan oleh Yesus
tersebut, tahu namun tak berbuat apapun. Bisa berbicara
kasih dengan fasih namun hampa perbuatan.
Bagaimana
bisa, dia masih menyangka dapat atau malah beranggapan dirinya sudah berhasil
memenuhi tuntuan hukum Taurat, sementara
dia sama sekali belum berbuat seperti dimintakan Taurat? Dan kita dapat
secara pasti tanpa spekulasi, menyatakan bahwa memang benar si ahli Taurat
belum sama sekali dapat memenuhi tuntutan hukum Taurat, bahkan sejak pertama
kali dia bertanya:
(1) Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus- Lukas 10:25(2) Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"-Lukas 10:29
Sang Rabi Sang Mesias telah
mengetahui sedari awal, bahwa sang ahli Taurat tak berdaya untuk berbuat apapun
terkait tuntutan hukum Taurat. Jika dia berharap dari perbuatannya untuk dapat
memiliki kehidupan kekal maka niscaya dia gagal, tepat seperti yang dialami oleh orang kaya yang
juga gagal untuk mengasihi Tuhan sebab dia lebih mencintai kekayaannya-sehingga dia lebih memilih harta dan meninggalkan kehidupan kekal yang didambakannya.
Penggambaran Yesus bagaimana
wujud mengasihi sesama manusia yang demikian keras, luas dan melibatkan seluruh
kehidupanmu dalam sebuah kedalaman yang
hebat, tak dapat ditawar-tawar sebab itu adalah gambaran terbaik darinya tentang bagaimana
mengasihi sesama dalam sebuah ketotalitasan, sebagaimana juga sebuah totalitas dalam mengasihi Tuhan,kala Yesus
menyuruh orang kaya itu untuk menjual apa yang dimilikinya untuk kemudian
mengikutnya dan memperoleh hidup yang kekal. Sang
Rabbi telah memberikan interpretasi yang begitu mulia atas hukum kasih dalam Kitab
Musa. Hal yang tak diajarkan oleh ahli Taurat apalagi untuk
dipraktikan.
Mengasihi sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri dalam versi Sang Terang Sang Rabbi adalah sebuah
kehendak Allah yang begitu mulia dan tak ada manusia yang dapat memenuhinya sehingga
dapat memiliki kehidupan kekal dengan
melakukannya.
Orang Samaria adalah sesama
manusia bagi korban. Dalam hal ini, sama sekali tak hendak mengatakan
bahwa walaupun seorang itu hidup dalam
penyembahan berhala atau bukan orang percaya
akan dapat memiliki hidup kekal asalkan dia dapat berbuat baik sebagaimana yang Yesus tuntut.
MENGAPA? Sebab mengasihi sesamamu manusia tak dapat dilepaskan dari mengasihi
Allah. Allah yang telah memberikan kasihnya yang terbesar bagi manusia (Yohanes
3:16).
Harus menjadi catatan yang sangat
penting bahwa dalam Lukas 10:16 Yesus menegaskan
kesentralan pengajarannya atau firmannya yang tak dapat dilepaskan dengan
dirinya sendiri:
“Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku."
Tak ada satupun pengajaran
atau firman dan kandungan pengajaran atau firman yang boleh diinterpretasikan
sebagai dasar untuk melepaskan keselamatan berdasarkan perbuatan baik terlepas dari
keberimanan kepada Yesus. Menolak Yesus adalah menolak Dia yang mengutus Aku.
Sehingga orang Samaria yang baik hati, di dalam narasi Yesus, tidak sedang diarahkan
oleh Yesus untuk menggagaskan keterlepasan dari diri Yesus sendiri sebagai
satu-satunya yang harus diikuti agar memiliki kehidupan kekal. Yesus senantiasa memastikan bahwa semua
pengajarannya atau firmannya, termasuk didalam perumpamaan ini, tak dapat
dilepaskan dari dirinya.
Selamat membaca dan
merenungkannya.
Bersambung
ke Bagian 7
AMIN
Segala
Kemuliaan Hanya Bagi TUHAN
Rujukan:
Terkait Orang Samaria :
(2)Samaritans
No comments:
Post a Comment