Oleh: Pdt. Budi Asali, M.Div
BOLEHKAH MERAYAKAN NATAL? (2)
Bacalah lebih dulu bagian 1
5)Natal berasal dari kekafiran.
Internet
1.“Catatan-catatan
sejarah di dalam Ensiklopedia, yang bisa kita dapatkan di
perpustakaan-perpustakaan, dan yang dapat dipercaya, memberikan fakta-fakta
ini: bahwa Natal berasal dari bangsa kafir. Jika ditelusuri, Natal merupakan
kepanjangan dari penyembah-penyembah matahari di antara bangsa-bangsa kafir.
Banyak hari kelahiran dari para pemimpin kafir dirayakan oleh bangsa Babilonia.
Semua perayaan penyembahan berhala ini berasal dari bangsa kafir. Kata
Christmas (Natal) berarti Misa Kristus. Kata ini kemudian disingkat menjadi
Christ-Mass; dan akhirnya menjadi Christmas. Kita kenal misa ini sebagai Misa
Roma Katolik. Tetapi dari mana mereka mendapatkannya? Oleh karena kita
mengenalnya lewat Gereja Roma Katolik, dan tidak ada wewenang selain Gereja
Roma Katolik, marilah kita selidiki Ensiklopedia Katolik, yang diterbitkan oleh
denominasi ini. Di bawah judul Christmas (Natal) engkau akan menemukan
kata-kata ini: Natal tidak terdapat pada perayaan-perayaan Gereja jaman dahulu
… Bukti awal dari perayaan ini adalah dari Mesir. Adat kebiasaan dari para
penyembah berhala yang berlangsung sekitar bulan Januari ini kemudian dijadikan
Natal. ... ENSIKLOPEDIA AMERICANA, edisi 1969, berkata: Natal, nama ini berasal
dari bahasa Inggris kuno Chrites Maesse dan ejaan sekarang ini nampaknya mulai
digunakan pada sekitar abad ke 16. Semua gereja Kristen kecuali gereja Armenia
merayakan hari kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember. Tanggal ini tidak
dikenal di negeri Barat sampai kira-kira pertengahan abad ke 4 dan di Timur
sampai kira-kira seabad kemudian”.
2.“Mengikuti CARA-CARA ORANG
KAFIR bukanlah persoalan mengenai mana yang harus kita lakukan atau mana yang
tidak boleh kita lakukan menurut pemikiran kita sendiri. Di dalam 1 Raja-raja
11:4-11 Allah menghukum raja Salomo untuk hal yang satu ini. Allah merobek
Kerajaannya darinya”.
Penyamaan dengan Salomo,
yang memang mendukung penyembahan berhala ini merupakan kegilaan yang tidak
perlu ditanggapi.
3.“Tradisi ini mungkin
berasal dari perayaan Saturnalia, di mana para budak menjadi sejajar dengan
tuannya. Membakar kayu Natal dimasukkan menjadi adat orang Inggris yang asalnya
dari adat orang Skandinavia tatkala mereka menghormati titik balik matahari
pada musim dingin”.
4.“Asal mula Natal. Alasan
mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas, tetapi
seperti yang dipercayai tanggal ini dipilih untuk menyesuaikan dengan perayaan
penyembahan berhala yang berlangsung pada musim dingin waktu terjadi titik
balik matahari, yaitu ketika siang hari mulai panjang, untuk merayakan lahirnya
kembali sang matahari. Suku-suku bangsa Eropa Utara merayakan Natal mereka pada
musim dingin waktu titik balik matahari untuk merayakan kelahiran kembali sang
matahari (dewa) sebagai yang memberikan terang dan kehangatan. Saturnalia
Romawi (perayaan yang dipersembahkan kepada Saturnus, dewa pertanian) juga
berlangsung pada waktu tersebut, dan beberapa adat Natal diperkirakan berakar
pada perayaan penyembahan berhala ini. Perayaan ini diadakan oleh beberapa
orang terpelajar bahwa kelahiran Kristus sebagai Terang Dunia dianalogikan
dengan kelahiran kembali sang matahari agar supaya kekristenan menjadi lebih
berarti bagi para petobat baru yang dulunya menyembah matahari”.
Jawaban saya:
a)Penulis internet yang bodoh ini berbicara dengan lidah
bercabang.
Perhatikan bagian-bagian
yang saya garis bawahi dari kutipan pertama, ketiga dan keempat. Dalam kutipan
pertama dia mengatakan bahwa hal itu (bahwa Natal berasal dari kekafiran)
‘dapat dipercaya’. Tetapi dalam kutipan ketiga ia mengatakan ‘mungkin’, dan
dalam kutipan keempat ia mengatakan ‘Alasan mengapa menetapkan tanggal 25
Desember sebagai Natal adalah tidak jelas’ dan pada bagian akhir ia menggunakan
kata ‘diperkirakan’. Yang mana yang benar?
b) Asal usul Natal dari
kekafiran bukanlah merupakan sesuatu yang pasti.
Di sini saya memberikan
informasi dari Encyclopedia Britannica tentang sejarah Natal, juga tentang kata
‘Christmas’, dan asal usul tanggal 25 Desember dan perayaannya.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas’:
“from Old English Cristes
maesse, ‘Christ’s mass’), Christian festival celebrated on December 25,
commemorating the birth of Jesus Christ. It is also a popular secular holiday.
According to a Roman almanac, the Christian festival of Christmas was
celebrated in Rome by AD 336. In the eastern part of the Roman Empire, however,
a festival on January 6 commemorated the manifestation of God in both the birth
and the baptism of Jesus, except in Jerusalem, where only the birth was
celebrated. During the 4th century the celebration of Christ’s birth on
December 25 was gradually adopted by most Eastern churches. In Jerusalem,
opposition to Christmas lasted longer, but it was subsequently accepted. In the
Armenian Church, a Christmas on December 25 was never accepted; Christ’s birth
is celebrated on January 6. After Christmas was established in the East, the
baptism of Jesus was celebrated on Epiphany, January 6. In the West, however,
Epiphany was the day on which the visit of the Magi to the infant Jesus was
celebrated. The reason why Christmas
came to be celebrated on December 25 remains uncertain, but most probably the reason is that early Christians wished the date to
coincide with the pagan Roman festival marking the ‘birthday of the unconquered
sun’ (natalis solis invicti); this festival celebrated the winter solstice,
when the days again begin to lengthen and the sun begins to climb higher in the
sky. The traditional customs connected with Christmas have accordingly developed
from several sources as a result of the coincidence of the celebration of the
birth of Christ with the pagan agricultural and solar observances at midwinter.
In the Roman world the Saturnalia (December 17) was a time of merrymaking and
exchange of gifts. December 25 was also regarded as the birth date of the
Iranian mystery god Mithra, the Sun of Righteousness. On the Roman New
Year (January 1), houses were decorated with greenery and lights, and gifts
were given to children and the poor. To these observances were added the German
and Celtic Yule rites when the Teutonic tribes penetrated into Gaul, Britain,
and central Europe. Food and good fellowship, the Yule log and Yule cakes,
greenery and fir trees, and gifts and greetings all commemorated different
aspects of this festive season. Fires and lights, symbols of warmth and lasting
life, have always been associated with the winter festival, both pagan and
Christian. Since the European Middle Ages, evergreens, as symbols of survival,
have been associated with Christmas. Christmas is traditionally regarded as the
festival of the family and of children, under the name of whose patron, Saint
Nicholas, or Santa Claus, presents are exchanged in many countries”.
Saya
hanya menerjemahkan bagian yang saya garis bawahi:
“Alasan mengapa Natal sampai dirayakan pada tanggal 25 Desember tetap tidak
pasti, tetapi paling mungkin alasannya adalah bahwa orang-orang kristen
mula-mula ingin tanggal itu bertepatan dengan hari raya kafir Romawi yang
menandai ‘hari lahir dari matahari yang tak terkalahkan’ ...; hari raya ini
merayakan titik balik matahari pada musim dingin, dimana siang hari kembali
memanjang dan matahari mulai naik lebih tinggi di langit. Jadi, kebiasaan yang
bersifat tradisionil yang berhubungan dengan Natal telah berkembang dari
beberapa sumber sebagai suatu akibat dari bertepatannya perayaan kelahiran
Kristus dengan perayaan kafir yang berhubungan dengan pertanian dan matahari
pada pertengahan musim dingin. ... Tanggal 25 Desember juga dianggap sebagai
hari kelahiran dari dewa misterius bangsa Iran, yang bernama Mithra, sang Surya
Kebenaran”.
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik
‘from church year Christmas’:
“The word Christmas is
derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.’ There is no certain tradition of the date
of Christ’s birth. Christian chronographers of the 3rd century believed that
the creation of the world took place at the spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new
creation in the incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must
therefore have occurred on the same day, with his birth following nine months
later at the winter solstice, December 25. The oldest extant notice of
a feast of Christ’s Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of
354, or Philocalian Calendar), which indicates that the festival was observed
by the church in Rome by the year 336. Many
have posited the theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of
righteousness’ (Malachi 4:2), was instituted in Rome, or possibly North Africa,
as a Christian rival to the pagan festival of the Unconquered Sun at the winter
solstice. This syncretistic cult that leaned toward monotheism had been
given official recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in
the armies of the Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including
Constantine’s father. Constantine himself was an adherent before his conversion
to Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by
him to promote the Christian festival. The
exact circumstances of the beginning of Christmas Day remain obscure.
From Rome the feast spread to other churches of the West and East, the last to
adopt it being the Church of Jerusalem in the time of Bishop Juvenal (reigned
424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of Eastern origin commemorating
the manifestation of Christ to the world, the celebration of the incarnation of
Christ as Redeemer and Light of the world was favoured by the intense concern
of the church of the 4th and 5th centuries in formulating creeds and dogmatic
definitions relating to Christ’s divine and human natures. Christmas is the
most popular of all festivals among Christians and many non-Christians alike,
and its observance combines many strands of tradition. From the ancient Roman
pagan festivals of Saturnalia (December 17) and New Year’s come the merrymaking
and exchange of presents. Old Germanic midwinter customs have contributed the
lighting of the Yule log and decorations with evergreens. The Christmas tree
comes from medieval German mystery plays centred in representations of the Tree
of Paradise (Genesis 2:9). Francis of Assisi popularized the Christmas crib, or
crèche, in his celebration at Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval
feast was that of St. Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint
was believed to visit children with admonitions and gifts, in preparation for
the gift of the Christ child at Christmas. Through the Dutch the tradition of
St. Nicholas (Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their
colony of New Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at
Christmas began in Britain in the 1840s and was introduced to the United States
in the 1870s”.
Saya
hanya menerjemahkan bagian yang saya garis bawahi:
“Tidak ada tradisi tertentu yang pasti tentang tanggal kelahiran Kristus. Para
penghitung waktu Kristen dari abad ketiga percaya bahwa penciptaan dunia / alam
semesta terjadi pada musim semi di saat siang dan malam sama lamanya, yang pada
saat itu dianggap sebagai tanggal 25 Maret; karena itu penciptaan baru dalam
inkarnasi (yaitu ‘pembuahan’ / mulai adanya janin Kristus) dan kematian Kristus
harus terjadi pada hari yang sama, dengan kelahiranNya 9 bulan berikutnya pada
titik balik matahari pada musim dingin, 25 Desember. ... Banyak orang
memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari
‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara,
sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak
terkalahkan pada titik balik matahari. ... Keadaan yang tepat tentang permulaan
/ asal usul hari Natal tetap kabur”.
Perhatikan 2 hal:
1.Kata-kata ‘tetap tidak
pasti’, ‘tidak ada tradisi tertentu yang pasti’, dan ‘keadaan yang tepat
tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur’, yang saya cetak dengan
huruf besar itu. Ini menunjukkan bahwa asal usul kafir itu memang tidak bisa dipastikan.
Lalu mengapa orang-orang bodoh yang anti Natal ini menuduh hanya berdasarkan
suatu kemungkinan yang tidak pasti?
2.Sedikitnya ada 4 asal usul
tanggal 25 Desember (yang tiga dari Encyclopedia Britannica 2000 di atas, dan
yang satu ditambahkan oleh Alfred Edersheim), yaitu:
a.Hari raya Romawi yang
memperingati titik balik matahari.
b.Hari lahir dari dewa
bangsa Iran.
c.Itu ditentukan oleh para
penghitung waktu Kristen (sekalipun dengan cara yang sangat tidak masuk akal).
d.Alfred Edersheim
memberikan asal usul tanggal 25 Desember yang berbeda.
Alfred Edersheim: “the date of the Feast of the Dedication - the 25th of Chislev -
seems to have been adopted by the ancient Church as that of the birth of our
blessed Lord - Christmas - the Dedication of the true Temple, which was the
body of Jesus” [= tanggal dari hari raya Pentahbisan Bait Allah - bulan Kislew
tanggal 25 - kelihatannya telah diadopsi oleh Gereja kuno sebagai tanggal
kelahiran dari Tuhan kita yang terpuji - Natal - Pentahbisan dari Bait Allah
yang sejati, yang adalah tubuh dari Yesus (bdk. Yoh 2:19-22)] - ‘The Temple’,
hal 334.
Perhatikan
bahwa point c. dan d. tidak menunjukkan asal usul dari kafir!
Semua ini jelas menunjukkan
bahwa asal usul tanggal 25 Desember sebagai hari Natal masing simpang siur dan
tidak ada kepastiannya. Tetapi orang-orang bodoh yang anti Natal itu dengan
beraninya (atau dengan cerobohnya / lancangnya) telah menuduh tidak karu-karuan.
Menuduh tanpa fakta yang pasti, sama dengan memfitnah!
c)Sekarang andaikata tanggal 25 Desember itu
memang diadopsi dari hari raya kafir, kita masih harus memperhitungkan apa
motivasi orang-orang kristen pada saat itu untuk melakukan hal tersebut.
Encyclopedia Britannica 2000
yang
sudah saya kutip di atas, mengatakan bahwa ada teori yang mengatakan
bahwa orang-orang kristen mengadopsi tanggal itu supaya perayaan Natal
menyaingi perayaan kafir tersebut. Untuk jelasnya saya mengutip ulang bagian
itu.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’:
“The word Christmas is
derived from the Old English Cristes maesse, ‘Christ’s Mass.’ There is no
certain tradition of the date of Christ’s birth. Christian chronographers of
the 3rd century believed that the creation of the world took place at the
spring equinox, then reckoned as March 25; hence the new creation in the
incarnation (i.e., the conception) and death of Christ must therefore have
occurred on the same day, with his birth following nine months later at the
winter solstice, December 25. The oldest extant notice of a feast of Christ’s
Nativity occurs in a Roman almanac (the Chronographer of 354, or Philocalian
Calendar), which indicates that the festival was observed by the church in Rome
by the year 336. Many have posited the
theory that the feast of Christ’s Nativity, the birthday of ‘the sun of
righteousness’ (Malachi 4:2), was
instituted in Rome, or possibly North Africa, as a Christian rival to the pagan
festival of the Unconquered Sun at the winter solstice. This
syncretistic cult that leaned toward monotheism had been given official
recognition by the emperor Aurelian in 274. It was popular in the armies of the
Illyrian (Balkan) emperors of the late 3rd century, including Constantine’s
father. Constantine himself was an adherent before his conversion to
Christianity in 312. There is, however, no evidence of any intervention by him
to promote the Christian festival. The exact circumstances of the beginning of
Christmas Day remain obscure. From Rome the feast spread to other churches of
the West and East, the last to adopt it being the Church of Jerusalem in the
time of Bishop Juvenal (reigned 424-458). Coordinated with Epiphany, a feast of
Eastern origin commemorating the manifestation of Christ to the world, the
celebration of the incarnation of Christ as Redeemer and Light of the world was
favoured by the intense concern of the church of the 4th and 5th centuries in
formulating creeds and dogmatic definitions relating to Christ’s divine and
human natures. Christmas is the most popular of all festivals among Christians
and many non-Christians alike, and its observance combines many strands of
tradition. From the ancient Roman pagan festivals of Saturnalia (December 17)
and New Year’s come the merrymaking and exchange of presents. Old Germanic
midwinter customs have contributed the lighting of the Yule log and decorations
with evergreens. The Christmas tree comes from medieval German mystery plays
centred in representations of the Tree of Paradise (Genesis 2:9). Francis of
Assisi popularized the Christmas crib, or crèche, in his celebration at
Greccio, Italy, in 1223. Another popular medieval feast was that of St.
Nicholas of Myra (c. 340) on December 6, when the saint was believed to visit
children with admonitions and gifts, in preparation for the gift of the Christ
child at Christmas. Through the Dutch the tradition of St. Nicholas
(Sinterklaas, hence ‘Santa Claus’) was brought to America in their colony of New
Amsterdam, now New York. The sending of greeting cards at Christmas began in
Britain in the 1840s and was introduced to the United States in the 1870s”.
Saya
hanya menerjemahkan bagian yang saya garis bawahi:
“Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari
lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di
Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya
yang tak terkalahkan pada titik balik matahari”.
Hal yang mirip dengan itu
adalah, baik Nebukadnezar dan Artahsasta disebut dengan istilah ‘raja di atas
segala raja’.
- Dan 2:37 - “Ya tuanku raja, raja segala raja, yang kepadanya oleh Allah semesta langit telah diberikan kerajaan, kekuasaan, kekuatan dan kemuliaan”.
- Ezra 7:12 - “‘Artahsasta, raja segala raja, kepada Ezra, imam dan ahli Taurat Allah semesta langit, dan selanjutnya. Maka sekarang”.
Tetapi gelar dari raja kafir
itu lalu diberikan kepada Yesus / Allah.
- 1Tim 6:15 - “yaitu saat yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan”.
- Wah 17:14 - “Mereka akan berperang melawan Anak Domba. Tetapi Anak Domba akan mengalahkan mereka, karena Ia adalah Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia.’”.
- Wah 19:16 - “Dan pada jubahNya dan pahaNya tertulis suatu nama, yaitu: ‘Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.’”.
Mengapa
bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh Encyclopedia di
bawah ini.
The
International Standard Bible Encyclopedia, vol II:
“The title ‘King of kings,’
denoting absolute authority rather than divinity per se, is used of God and
Christ in the NT (always with ‘Lord of lords’: 1Tim. 6:15; Rev. 17:14; 19:16).
Its use was a response by both Jews and Christians to the practice of deifying
earthly political rulers”
[= Gelar ‘Raja segala raja’ lebih menunjukkan
otoritas mutlak dari pada keilahian sendiri, digunakan terhadap Allah dan
Kristus dalam PB (selalu dengan ‘Tuhan segala Tuhan’: 1Tim 6:15; Wah 17:14;
19:16). Penggunaannya merupakan suatu tanggapan baik oleh orang-orang Yahudi
dan orang-orang Kristen terhadap praktek pendewaan penguasa-penguasa politik
duniawi] - hal 508.
Jadi rupanya pada jaman itu banyak raja
duniawi disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’. Orang-orang kristen
merasakan itu sebagai tidak tepat, dan mereka menganggap hanya Yesus / Allah
yang pantas memakai gelar itu, dan mereka lalu memberikan gelar itu kepada
Allah / Yesus, dan bahkan setiap kali gelar itu mereka berikan kepada Allah /
Yesus, maka mereka menambahi dengan kata-kata ‘Tuhan atas segala Tuhan’. Jadi
mereka menampilkan Yesus / Allah sebagai saingan terhadap raja-raja kafir yang
didewakan oleh rakyat kafir mereka. Apakah ini juga mau kita anggap berasal
dari kafir? Kalau mau dikatakan berasal dari kafir, memang jelas berasal dari
kafir. Tetapi apakah kita mau menyalahkan motivasi mereka, yang sebetulnya bisa
dikatakan sebagai ‘mulia’?
Demikian juga, andaikata
Natal memang diambil dari kafir, tetapi motivasinya adalah untuk menyaingi
hari-hari raya kafir, itu adalah sesuatu yang ‘mulia’, dan bertujuan untuk
memuliakan Tuhan.
Apa
maksudnya orang-orang kristen itu menyaingi hari-hari raya kafir itu?
Mungkin pada jaman itu orang-orang kristen tertentu sering menghadiri hari raya
kafir, dan pada saat-saat seperti itu biasanya mereka jatuh ke dalam dosa-dosa
tertentu, seperti penyembahan berhala, perzinahan, makan makanan yang telah
dipersembahkan kepada berhala, dan sebagainya. Karena itu gereja lalu
menepatkan Natal dengan tanggal tersebut, supaya orang-orang kristen itu
merayakan Natal di gereja, dan tidak pergi ke perayaan-perayaan kafir.
Ini mirip dengan kalau
gereja mengadakan acara pada malam tahun baru (tanggal 31 Desember), yang
sebenarnya sama sekali bukan hari kristen / rohani, tetapi sebaliknya hanya
merupakan hari sekuler. Dari pada jemaatnya pergi ke tempat-tempat hiburan yang
tidak karuan, lebih baik mereka diarahkan untuk pergi ke gereja. Hanya orang
bodoh dan tidak rohani yang akan menyalahkan hal seperti ini!
d)Dalam kristen maupun dalam
kehidupan kita sehari-hari ada banyak hal yang berasal dari kekafiran, tetapi
tetap dipertahankan, setelah dibuang kekafirannya. Sebagai contoh adalah gelar
‘raja di atas segala raja’ yang sudah kita bahas di atas. Saya akan memberikan
beberapa contoh lain:
1.Nama
‘Lucifer’ (KJV) / ‘bintang timur’ (Yes 14:12), yang berasal dari astrology,
suatu bentuk pemberhalaan.
Yes 14:12 - “‘Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa!”.KJV: ‘How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art thou cut down to the ground, which didst weaken the nations!’ (= Bagaimana engkau jatuh dari surga, hai Lucifer / Bintang Timur, putera pagi / Fajar! bagaimana engkau ditebang / dijatuhkan ke tanah, yang melemahkan bangsa-bangsa!).
Dari
‘International Standard Bible Encyclopedia’ dengan topik ‘ASTROLOGY’:
“THE WORSHIP OF THE HEAVENLY
BODIES THE FORM OF IDOLATRY TO WHICH THE ISRAELITES WERE MOST PRONE: ... 5.
Lucifer, the Shining Star” (= Penyembahan terhadap benda-benda surgawi /
angkasa; bentuk pemberhalaan terhadap mana bangsa Israel paling condong: ... 5.
Lucifer, bintang yang bersinar).
UBS
New Testament Handbook Series (tentang 2Pet 1:19):
“The ‘morning star’ is phoosphoros in Greek, a word that refers to the planet
Venus and the Greek goddess Artemis. Some scholars have argued that, since
phoosphoros means ‘daybreak,’ it cannot refer to Venus but to the sun. But in
ordinary usage phoosphoros does refer to Venus, which rises with the dawn
and, in a manner of speaking, introduces light into the world. Once again we
see Greek culture being used as a vehicle for the Christian message. Here the
‘morning star’ stands for the Messiah, or Christ (see Num 24:17; Rev 22:16),
who will bring light into the hearts of believers, in much the same way as the
morning star brings light into a dark world”
[= ‘Bintang pagi’ adalah PHOOSPHOROS dalam bahasa Yunani, suatu kata yang
menunjuk pada planet Venus dan dewi Yunani Artemis. Beberapa / sebagian sarjana
telah berargumentasi bahwa, karena PHOOSPHOROS berarti ‘fajar menyingsing’, itu
tidak bisa menunjuk pada Venus tetapi pada matahari. Tetapi dalam penggunaan
biasa PHOOSPHOROS memang menunjuk pada Venus, yang muncul / terbit bersama
subuh / fajar dan, boleh dikatakan, membawa terang ke dalam dunia. Sekali lagi
kita melihat kebudayaan Yunani digunakan sebagai suatu sarana untuk berita
Kristen. Di sini ‘bintang pagi’ berarti sang Mesias, atau Kristus (lihat Bil
24:17; Wah 22:16), yang akan membawa terang ke dalam hati orang-orang percaya,
dengan cara yang sama seperti bintang pagi membawa terang ke dalam dunia yang
gelap].
Tetapi nama ‘Lucifer’ /
‘bintang timur’ ini akhirnya dipakai oleh Yesus untuk diriNya sendiri dalam Wah
22:16 - “‘Aku, Yesus, telah mengutus malaikatKu untuk memberi kesaksian tentang
semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan
Daud, bintang timur yang gilang-gemilang.’”.
Kalau Yesus sendiri boleh
menggunakan suatu nama yang berasal dari kekafiran untuk diriNya sendiri, lalu
mengapa kita tidak boleh?
Catatan: sebetulnya merupakan sesuatu yang
salah untuk mengatakan bahwa kata Lucifer itu menunjuk kepada pemimpin malaikat
yang lalu jatuh dan menjadi setan.
- Kata / nama ‘Lucifer’ hanya muncul satu kali dalam Kitab Suci, yaitu dalam Yes 14:12, dan itupun hanya dalam versi-versi Kitab Suci tertentu, seperti KJV, NKJV, Living Bible. Selain ketiga versi ini, saya tidak tahu apakah ada versi lain lagi yang menerjemahkannya seperti itu.
- Kata / nama ‘Lucifer’, berarti ‘light-bearer’ (= pembawa terang), dan merupakan nama bahasa Latin untuk planet Venus, benda yang paling terang di langit selain matahari dan bulan, yang kelihatan sebagai suatu bintang, kadang-kadang pada malam dan kadang-kadang pada pagi (‘The New Bible Dictionary’).
Kata ‘bintang timur’ /
‘Lucifer’ dalam Yes 14:12 ini lalu ditujukan kepada Iblis / setan, karena:
- konteks dari Yes 14:12, khususnya Yes 14:12-14 yang berbunyi: “(12) Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! (13) Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. (14) Aku hendak naik mengatasi ketinggian awan-awan, hendak menyamai Yang Mahatinggi!”.
dihubungkan dengan ayat-ayat
seperti:
- Luk 10:18 - “Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit.”.
- Wah 9:1 - “Lalu malaikat yang kelima meniup sangkakalanya, dan aku melihat sebuah bintang yang jatuh dari langit ke atas bumi, dan kepadanya diberikan anak kunci lobang jurang maut”.
- Wah 12:9 - “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya”.
Tetapi, sekalipun penafsiran
seperti ini sangat populer, ini adalah penafsiran yang salah, karena:
a.Jelas
bahwa dalam Yes 14 istilah ‘Bintang Timur’ / ‘Lucifer’ itu sebetulnya menunjuk
kepada raja Babel.
Yes 14:4,22-23 - “(4) maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini tentang raja Babel, dan berkata: ‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah berakhir orang lalim! ... (22) ‘Aku akan bangkit melawan mereka,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam, ‘Aku akan melenyapkan nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’ demikianlah firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi milik landak dan menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu bersih dan Kupunahkan,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam”.
b.Kejatuhan
raja Babel dalam Yes 14:12-14 itu merupakan peristiwa sejarah.
Peristiwa sejarah tidak
boleh dilambangkan / dialegorikan. Peristiwa sejarah hanya bisa menjadi TYPE,
tetapi kalau demikian, maka peristiwa itu akan menunjuk ke masa depan, karena
TYPE tidak pernah menunjuk ke masa lalu. Padahal kejatuhan setan terjadi di
masa lalu. Karena itu, saya menganggap bahwa teks tersebut (Yes 14) itu sama
sekali tidak berbicara tentang setan maupun kejatuhannya. Kalau saudara merasa
bahwa penggambaran tentang raja Babel (perhatikan bagian-bagian yang saya
garis-bawahi dalam Yes 14:12-14) rasanya tidak menunjuk kepada seorang manusia,
maka ingatlah bahwa bagian ini berbentuk suatu puisi, dan karenanya menggunakan
bahasa puisi, yang tentunya tidak bisa diartikan secara hurufiah.
Untuk mendukung pandangan
saya ini, saya memberikan 2 kutipan di bawah ini, yang merupakan komentar John
Calvin dan Adam Clarke tentang Yes 14:12.
Calvin: “The exposition of
this passage, which some have given, as if it referred to Satan, has arisen
from ignorance; for the conteks plainly shows that these statements must be
understood in reference to the king of the Babylonians. But when passages of
Scripture are taken at random, and no attention is paid to the conteks, we need
not wonder that mistake of this kind frequently arise. Yet it was an instance
of very gross ignorance, to imagine that Lucifer was the king of devils, and
that the Prophet gave him this name. But as these inventions have no
probability whatever, let us pass by them as useless fables”
(= Exposisi yang diberikan oleh beberapa orang tentang teks ini,
seakan-akan teks ini menunjuk kepada setan / berkenaan dengan setan, muncul /
timbul dari ketidak-tahuan; karena konteks secara jelas menunjukkan bahwa
pernyataan-pernyataan ini harus dimengerti dalam hubungannya dengan raja Babel.
Tetapi pada waktu bagian-bagian Kitab Suci diambil secara sembarangan, dan konteks
tidak diperhatikan, kita tidak perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul /
timbul. Tetapi itu merupakan contoh dari ketidak-tahuan yang sangat hebat,
untuk membayangkan bahwa Lucifer adalah raja dari setan-setan, dan bahwa sang
nabi memberikan dia nama ini. Tetapi karena penemuan-penemuan ini tidak
mempunyai kemungkinan apapun, marilah kita mengabaikan mereka sebagai dongeng /
cerita bohong yang tidak ada gunanya) - hal 442.
Adam Clarke: “And
although the conteks speaks explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet this has
been, I know not why, applied to the chief of the fallen angels, who is most
incongruously denominated Lucifer, (the bringer of light!) an epithet as common
to him as those of Satan and Devil. That the Holy Spirit by his prophets should
call this arch-enemy of God and man the light-bringer, would be strange indeed.
But the truth is, the teks speaks nothing at all concerning Satan nor his fall,
nor the occasion of that fall, which many divines have with great confidence
deduced from this teks. O how necessary it is to understand the literal meaning
of Scripture, that preposterous comments may be prevented!”
[= Dan sekalipun konteksnya
berbicara secara explicit tentang Nebukadnezar, tetapi entah mengapa konteks
ini telah diterapkan kepada kepala dari malaikat-malaikat yang jatuh, yang
secara sangat tidak pantas disebut / dinamakan Lucifer (pembawa terang!), suatu
julukan yang sama umumnya bagi dia, seperti Iblis dan Setan. Bahwa Roh Kudus
oleh nabiNya menyebut musuh utama dari Allah dan manusia sebagai ‘pembawa
terang’, betul-betul merupakan hal yang sangat aneh. Tetapi kebenarannya
adalah, teks ini tidak berbicara sama sekali tentang Setan maupun kejatuhannya,
ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang dengan keyakinan yang besar telah
disimpulkan dari teks ini oleh banyak ahli theologia. O alangkah pentingnya
untuk mengerti arti hurufiah dari Kitab Suci, supaya komentar-komentar yang
gila-gilaan / tidak masuk akal bisa dicegah!] - hal 82.
2.Kata
‘Behold’ / ‘Lihatlah’ dalam Yes 7:14 diambil dari kekafiran dan diterapkan pada
kelahiran Kristus.
Yes 7:14 - “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel”.KJV: ‘Therefore the Lord himself shall give you a sign; Behold, a virgin shall conceive, and bear a son, and shall call his name Immanuel’ (= Karena itu, Tuhan sendiri akan memberimu suatu tanda; Lihatlah, seorang perawan akan mengandung, dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan menamaiNya Immanuel).
E. J. Young:
“‘Behold!’ ... It has also appeared in the tekss from Ugarit. ... In Ugarit it
had been used to announce the birth of gods, nonexistent beings who were a part
of that web of superstition which covered the ancient pagan world. On Isaiah’s
lips, however, this formula is lifted from its ancient pagan conteks and made
to introduce the announcement of the birth of the only One who truly is God and
King”
(= ‘Lihatlah!’ ... Kata itu juga
muncul dalam teks-teks dari Ugarit. ... Di Ugarit kata itu telah digunakan
untuk mengumumkan kelahiran allah-allah / dewa-dewa, makhluk-makhluk yang tidak
mempunyai keberadaan yang merupakan sebagian dari jaringan takhyul yang
meliputi dunia kafir kuno. Tetapi di bibir Yesaya, formula ini diangkat dari konteks
kafir kunonya dan digunakan untuk mengajukan pengumuman tentang kelahiran dari
satu-satunya ‘Makhluk’ yang sungguh-sungguh adalah Allah dan Raja) - ‘The
Book of Isaiah’, vol I, hal 284-285.
Kalau Yesaya boleh
menggunakan kata yang berasal dari orang kafir dalam urusan berhala mereka, dan
menggunakannya untuk menubuatkan kelahiran Kristus, mengapa orang Kristen jaman
sekarang menolak Natal dengan alasan itu berasal dari orang kafir / penyembah
berhala?
3.Kata Yunani THEOS (= Allah) mungkin juga
berhubungan dengan kekafiran, seperti yang dikatakan oleh Bavinck di bawah ini.
Herman Bavinck: “Formerly
the Greek word THEOS was held to be derived from TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI.
At present some philologists connect it with Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana,
Juno, Dio, Dieu. So interpreted it would be identical with the Sanskrit ‘deva,’
the shinning heaven, from ‘divorce’ to shine. Others, however, deny all
etymological connection between the Greek word THEOS and the Latin Deus and
connect the former with the root THES in THESSASTHAI to desire, to invoke. In
many languages the words ‘heaven’ and ‘God’ are used synonymously; the oldest
Grecian deity Uranus was probably identical with the Sanskrit Varuna; the
Tartar and Turkish word ‘Taengri’ and the Chinese word ‘Thian’ mean both heaven
and God; and also in Scripture the words heaven and God are sometimes used
interchangeably; e.g., in the expression ‘kingdom of heaven’ or ‘kingdom of
God.’”
(=Dahulu dipercaya bahwa kata Yunani THEOS diturunkan dari TITHENAI,
THEEIN, THEASTHAI. Pada saat ini beberapa ahli bahasa menghubungkannya dengan
Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. Ditafsirkan demikian, maka
kata itu menjadi identik dengan kata Sansekerta ‘deva’, ‘langit / surga yang
berkilau / bersinar’, dan berasal dari kata ‘div’ yang berarti ‘berkilau /
bersinar’. Tetapi para ahli bahasa yang lain menyangkal semua hubungan asal
usul kata antara kata Yunani THEOS dan kata Latin DEUS dan menghubungkan kata
THEOS itu dengan akar kata THES dalam THESSASTHAI, yang berarti ‘menginginkan’,
‘meminta / memohon’) - ‘The Doctrine of God’, hal 98-99.
Juga
bandingkan dengan kata-kata Dabney di bawah ini.
R. L. Dabney:
“... the Greek and Latin names of God, Zeus and Jove. ... Now the votaries of the
comparative philology of modern days, will have Zeus derived (by a change of Z
to its cognate D,) from the sanscrit root, Dis, whose root-meaning was supposed
to be ‘splendour.’ To the same source they trace THEOS, Deus, Divus, Dies,
&c. ... But as to Zeus and Jove, may not another etymology be more
probable? (as is confessed by some of the best Greek scholars) that Zeus is
from Zeo, Zao, ‘I live,’ and Zoe, ‘life.’ Notice, then, the strange
resemblance, almost an identity, between ‘Jehovah,’ and ‘Jove.’ The latter,
with ‘pater,’ makes the Latin nominative Jupiter - Jov-Pater - father Jove. If
this origin is true, then we have the Greek name of the chief God, Zeus,
involving the same fundamental idea; ‘The Living One,’ - the self-existent
source of life. This is much more explanatory of the early myths touching Jove,
as the ‘Father of Gods and men,’ than the primary idea of the supposed sanscrit
root” [= ... nama-nama Allah dalam bahasa Yunani dan Latin, Zeus dan Jove. ...
Sekarang penggemar-penggemar dari ilmu perbandingan bahasa jaman modern,
menurunkan kata Zeus
(dengan suatu perubahan dari Z kepada D yang asal usulnya sama), dari
akar kata Sansekerta, Dis, yang arti akar katanya dianggap sebagai ‘semarak /
kemegahan’. Kepada sumber / asal usul yang sama mereka menelusuri THEOS, Deus,
Divus, Dies, &c. ... Tetapi berkenaan dengan Zeus dan Jove, tidak bisakah
etymology / asal usul kata yang lain lebih memungkinkan? (seperti yang diakui
oleh sebagian ahli-ahli bahasa Yunani yang terbaik) bahwa Zeus berasal dari
Zeo, Zao, ‘Aku hidup’, and Zoe,
‘kehidupan’. Lalu perhatikan kemiripan, dan bahkan hampir merupakan
suatu keindetikan, yang aneh, antara ‘Yehovah’ dan ‘Jove’. Yang terakhir,
dengan ‘pater’, membuat kata nominatif bahasa Latin ‘Yupiter’ - ‘Yov-Pater’ - ‘bapa
Jove’. Jika asal usul ini benar, maka kita mempunyai nama Yunani dari Allah
utama / tertinggi, Zeus, melibatkan pengertian dasar yang sama; ‘Yang Hidup’, -
sumber kehidupan yang ada dari dirinya sendiri. Ini lebih memberi penjelasan
dari mitos-mitos mula-mula mengenai Jove, sebagai ‘Bapa dari Allah-Allah dan
manusia-manusia’, dari pada pengertian utama dari akar kata Sansekerta yang
diduga] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 145 (footnote).
Memang dalam Kitab Suci kata
Elohim, Theos, dsb, dipakai, baik untuk menunjuk kepada Allah yang benar,
maupun kepada dewa-dewa / berhala-berhala kafir, bahkan kepada setan (1Sam
28:13 2Kor 4:4). Apakah kita harus membuang
penggunaan istilah itu?
1Sam 28:13 - “Maka berbicaralah raja kepadanya: ‘Janganlah takut; tetapi apakah yang kaulihat?’ Perempuan itu menjawab Saul: ‘Aku melihat sesuatu yang ilahi (Ibrani: ELOHIM) muncul dari dalam bumi.’”.
Istilah ELOHIM, yang
biasanya diterjemahkan ‘Allah’, di sini diterjemahkan ‘sesuatu yang ilahi’, dan
pasti menunjuk kepada setan.
2Kor 4:4 - “yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah (THEOS) zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah”.
Istilah ‘ilah zaman ini’
tentu menunjuk kepada setan.
4.Istilah
dalam Wah 1:4 yang digunakan untuk Allah juga mempunyai banyak kemiripan dengan
istilah-istilah yang digunakan terhadap dewa kafir.
Wah 1:4 - “Dari Yohanes
kepada ketujuh jemaat yang di Asia Kecil: Kasih karunia dan damai sejahtera
menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, dan
dari ketujuh roh yang ada di hadapan takhtaNya”.
Barnes’ Notes (tentang
Wah 1:4): “It is remarkable that there are some passages in pagan inscriptions
and writings which bear a very strong resemblance to the language used here by
John respecting God. Thus, Plutarch (De Isa. et Osir., p. 354.), speaking of a
temple of Isis, at Sais, in Egypt, says, ‘It bore this inscription -- ‘I am all
that was, and is, and shall be, and my vail no mortal can remove’’ -- ... . So
Orpheus (in Auctor. Lib. de Mundo), ‘Jupiter is the head, Jupiter is the
middle, and all things are made by Jupiter.’ So in Pausanias (Phocic. 12),
‘Jupiter was; Jupiter is; Jupiter shall be.’” [= Merupakan sesuatu yang luar biasa bahwa ada beberapa teks dalam
prasasti-prasasti dan tulisan-tulisan kafir yang mengandung suatu kemiripan
yang sangat kuat dengan bahasa / ungkapan yang digunakan oleh Yohanes di sini
berkenaan dengan Allah. Sesuai dengan itu, Plutarch (De Isa. et Osir., p 354.),
berbicara tentang kuil dari Isis, di Sais, di Mesir, berkata: ‘Itu mengandung
tulisan ini - ‘Aku adalah semua yang dahulu ada, dan sekarang ada, dan yang akan
datang, dan tidak seorangpun bisa menyingkirkan cadar(?)ku’’ - ... Demikian
juga Orpheus (in Auctor. Lib. de Mundo), ‘Yupiter adalah kepala, Yupiter adalah
tengah-tengah, dan segala sesuatu dibuat oleh Yupiter’. Demikian juga dalam
Pausanias (Phocic. 12), ‘Yupiter ada dahulu; Yupiter ada sekarang; Yupiter akan
ada’.] - hal 1543.
5.Pada
jaman dahulu (Perjanjian Lama) banyak orang kafir menyembah benda-benda
angkasa, termasuk bintang.
- 2Raja 23:5 - “Ia memberhentikan para imam dewa asing yang telah diangkat oleh raja-raja Yehuda untuk membakar korban di bukit pengorbanan di kota-kota Yehuda dan di sekitar Yerusalem, juga orang-orang yang membakar korban untuk Baal, untuk dewa matahari, untuk dewa bulan, untuk rasi-rasi bintang dan untuk segenap tentara langit”.
- Amos 5:26 - “Kamu akan mengangkut Sakut, rajamu, dan Kewan, dewa bintangmu, patung-patungmu yang telah kamu buat bagimu itu”.
- Kis 7:43 - “Tidak pernah, malahan kamu mengusung kemah Molokh dan bintang dewa Refan, patung-patung yang kamu buat itu untuk disembah. Maka Aku akan membawa kamu ke dalam pembuangan, sampai di seberang sana Babel”.
Juga bintang dipakai sebagai
alat meramal (horoscope) seperti dalam Yes 47:13 - “Engkau telah payah karena
banyaknya nasihat! Biarlah tampil dan menyelamatkan engkau orang-orang yang
meneliti segala penjuru langit, yang menilik bintang-bintang dan yang pada
setiap bulan baru memberitahukan apa yang akan terjadi atasmu!”.
Encyclopedia
Britannica 2000 dengan topik ‘nature worship’, ‘Stars and
constellations’: “True star worship existed only among some ancient
civilizations associated with Mesopotamia, where star worship was practiced” (=
Penyembahan bintang yang sesungguhnya
hanya ada di antara beberapa kebudayaan kuno yang bersekutu dengan Mesopotamia,
dimana penyembahan bintang dipraktekkan).
Tetapi pada kelahiran Kristus, bintang dipakai
oleh Allah untuk memimpin orang-orang Majus untuk bisa menemukan Kristus.
Mat 2:2,7,9-10 - “(2) dan bertanya-tanya: ‘Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintangNya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.’ ... (7) Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak. ... (9) Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada. (10) Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka”.
Mengapa Allah mau
menggunakan bintang, yang tadinya merupakan ‘alat kafir’ ini, sebagai alatNya
untuk menunjukkan Kristus kepada orang-orang Majus?
6. Tahun Baru dan perayaannya juga berasal
dari kekafiran.
Saksi Yehuwa mengatakan:
“Menurut ‘The World Book Encyclopedia, ‘Penguasa Roma Julius Caesar menetapkan
tanggal 1 Januari sebagai Hari Tahun Baru pada tahun 46 S.M. Orang-orang Roma
membaktikan hari ini kepada Yanus, dewa dari gerbang, pintu, dan awal mula.
Bulan Januari disebut menurut nama Yanus, yang mempunyai dua wajah - satu
melihat ke depan dan yang lainnya melihat ke belakang.’ - (1984), Jil. 14, h.
237.” - ‘Bertukar Pikiran Mengenai Ayat-Ayat Alkitab’, hal 133.
Secara implisit Saksi Yehuwa
menentang perayaan tahun baru dengan alasan ini. Dengan kata lain, mereka
menentang perayaan Tahun Baru karena berbau kafir, atau berasal usul kafir.
Haruskah kita mengikuti Saksi-Saksi Yehuwa yang sesat ini, dengan mulai
sekarang mengabaikan Tahun Baru dan perayaannya?
7.Orang
kristen berbakti pada hari yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Sunday’, yang
berasal dari nama hari raya kafir.
Microsoft
Encarta Reference Library 2003: “‘Sunday,’ first day of
the week. Its English name and its German name ( Sonntag) are derived from the
Latin dies solis, ‘sun’s day,’ the name of a pagan Roman holiday. In the New
Testament (see Revelation 1:10) it is called the Lord’s Day (Dominica in the
Latin version), from which the name of Sunday is derived in Romance languages
(French Dimanche; Italian Domenica; Spanish Domingo; Roman Duminica). In the
early days of Christianity, Sunday began to replace the Sabbath and to be
observed to honor the resurrection of Christ. Sunday was instituted as a day of
rest, consecrated especially to the service of God, by the Roman emperor
Constantine the Great”
[= ‘Minggu’, hari pertama dari suatu minggu. Nama bahasa Inggris dan
bahasa Jermannya (Sonntag) diturunkan / didapatkan dari kata bahasa Latin ‘dies
solis’, ‘hari matahari’, nama dari hari raya Roma kafir. Dalam Perjanjian Baru
(lihat Wahyu 1:10) itu disebut ‘Hari Tuhan’ (‘Dominica’ dalam versi Latin),
dari mana nama ‘Sunday’ didapatkan dalam bahasa-bahasa Romance (Perancis
‘Dimanche’; Italy ‘Domenica’; Spanyol ‘Domingo’; Romawi ‘Duminica’). Pada
hari-hari awal dari kekristenan, Minggu mulai menggantikan Sabat dan
diperingati / dihormati untuk menghormati kebangkitan Kristus. Hari Minggu
ditetapkan sebagai hari istirahat, dipersembahkan secara khusus untuk pelayanan
/ ibadah kepada Allah, oleh kaisar Romawi Kontantin yang Agung].
Apakah kita tidak boleh
berbakti pada hari itu, karena hari itu berasal usul dari hari raya kafir?
Atau apakah kita sebagai orang-orang kristen harus mengubah nama hari itu?
Apakah orang kristen tidak boleh menggunakan istilah ‘Sunday School’ (= Sekolah
Minggu)?
Juga, semua nama hari dalam
bahasa Inggris dan juga nama-nama bulan seperti Januari, dan sebagainya,
berasal dari nama-nama dewa atau dari nama-nama kaisar Romawi yang didewakan.
Apakah kita sebagai orang-orang kristen tidak boleh memakai nama-nama hari dan
bulan itu?
8.Kebiasaan
melakukan ‘toast’ dalam perayaan pernikahan juga berasal dari tradisi kafir
dalam penyembahan berhala. Tetapi boleh dikatakan semua orang kristen melakukan
‘toast’ tersebut.
Dalam tafsirannya tentang
1Kor 10:21 Albert Barnes
mengatakan: “In the feasts in honor of the gods, wine was poured out as a
libation, or drank by the worshippers; .... The custom of drinking ‘toasts’ at
feasts and celebrations arose from this practice of pouring out wine, or
drinking in honor of the pagan gods; and is a practice that still partakes of
the nature of paganism. It was one of the abominations of paganism to suppose
that their gods would be pleased with the intoxicating drink. Such a pouring
out of a libation was usually accompanied with a prayer to the idol god, that
he would accept the offering; that he would be propitious; and that he would
grant the desire of the worshipper. From that custom the habit of expressing a
sentiment, or proposing a toast, uttered in drinking wine, has been derived”
(= Dalam pesta-pesta untuk menghormati dewa-dewa, anggur dicurahkan
sebagai suatu upacara pencurahan, atau diminum oleh penyembah-penyembah itu;
... Kebiasaan untuk minum toast pada pesta-pesta dan perayaan-perayaan muncul
dari praktek pencurahan anggur ini, atau minum untuk menghormati dewa-dewa
kafir; dan merupakan suatu praktek yang tetap mengambil bagian dalam sifat
dasar / hakekat dari kekafiran. Merupakan sesuatu yang menjijikkan dari
kekafiran untuk menganggap bahwa dewa-dewa mereka disenangkan dengan minuman yang
memabukkan. Pencurahan minuman keras seperti itu biasanya disertai dengan suatu
doa kepada dewa berhala, supaya ia menerima persembahan itu; supaya ia bermurah
hati / senang; dan supaya ia mau mengabulkan keinginan dari si penyembah. Dari
tradisi itu telah didapatkan kebiasaan untuk menyatakan suatu permohonan, atau
pengajuan ‘toast’, dinyatakan dengan peminuman anggur).
9.Seluruh
Kanaan dulunya adalah negeri kafir yang dipenuhi dengan penyembahan berhala.
Tetapi Tuhan mengambilnya dan memberikannya kepada bangsa pilihanNya, dan
Kanaan lalu menjadi Holy Land, dan Bait Allah dibangun di sana.
10.Bahasa
Yunani juga merupakan bahasa bangsa kafir, tetapi lalu diambil dan digunakan
sebagai bahasa asli dari Kitab Suci.
11.
Kata Yunani PAROUSIA berasal dari kekafiran.
UBSNew Testament Handbook Series (tentang 2Pet 1:16):
“‘Coming,’ on the other hand, is a Greek term for the appearance of a god
(parousia); when used of Christ it refers primarily to his future coming in
glory (see Matt 24:3,27; 1 Cor 15:23; 1 Thess 3:13; 4:15; James 5:7-8; 1 John
2:28)” [= ‘Kedatangan’, di sisi lain, adalah suatu istilah Yunani untuk suatu
pemunculan / penampilan dari seorang dewa (parousia); pada waktu digunakan
tentang Kristus, itu terutama menunjuk pada kedatangannya yang akan datang
dalam kemuliaan (lihat Mat 24:3,27; 1Kor 15:23; 1Tes 3:13; 4:15; Yak 5:7-8;
1Yoh 2:28)].
12.
Kata Yunani HADES juga berasal dari kekafiran / nama dewa.
Eerdmans’Family Encyclopedia of the Bible: “Hades or Pluto (Dis), god of the dead”
[= Hades atau Pluto (Dis), dewa dari orang mati] - hal 158.
Catatan:
mengingat ‘Hades’ adalah nama dewa, apakah kata Yunani HADES yang begitu banyak
digunakan dalam Kitab Suci, tidak seharusnya dihapuskan saja atau diganti
dengan kata lain?
Kesimpulan:
karena dunia ini dulunya seluruhnya kafir, adalah mustahil bagi kita untuk
menghindari hal-hal yang berasal dari kekafiran. Jadi selama kekafiran itu bisa
disaring / dibersihkan, tidak jadi soal dengan hal-hal yang asal usulnya kafir
itu.
-bersambung-
Kredit foto ilustrasi : HKBP Jambi, Warta Nasrani
No comments:
Post a Comment