Oleh: Dr. John Frame
APOLOGETIKA PRESUPPOSISIONAL
: SEBUAH PENGANTAR
Bagian 1 dari 2 : Pengantar dan Penciptaan
Bacalah
: bagian utama dari Bagian 1
C.Problem-Problem
1.Psikologi Mengasumsikan Firman Tuhan Adalah Kebenaran
sejak awalnya ( Presupposing)
Saya mengakui adalah sukar untuk menginterpretasi atau memahami piskologi iman semacam ini. Bagaimana bisa orang menjadi percaya pada
sebuah Kata dari Tuhan yang berkontradiksi dengan semua sarana-sarana normal
pengetahuan mereka? Bagimana bisa dahulu Abraham mengenali suara yang memanggil
dirinya untuk mengorbankan puteranya (Kejadian 22:1-18; bandingkan dengan
Ibrani 11:17-19; Yakobus 2:21-24) memang benar adalah suara Tuhan? Apa yang
telah dikatakan suara itu padanya untuk dilakukan merupakan hal bertentangan dengan naluri-naluri pada
seorang ayah, pertimbangan-pertimbangan etika normal, dan malahan. Kelihatannya,
bertentangan dengan Kata-Kata lain Tuhan
(Kejadian 9:6). Tetapi dia telah mematuhi suara tersebut dan telah diberkati.
Lebih dekat dengan pengalaman kita sendiri: bagaimana bisa orang menjadi
percaya kepada Yesus walaupun mereka tidak pernah, seperti Tomas, melihat
tanda-tanda Yesus dan
keajaiban-keajaiban ( Yohanes 20:29)?
Saya tidak dapat menjelaskan
psikologi di sini untuk kepuasan bagi
setiap banyak orang. Dalam kasus ini sebagaimana dalam kasus-kasus lainnya
(karena kita berjalan oleh iman, bukan oleh melihat!) kita tak terhindarkan
harus menerima fakta bahkan tanpa sebuah
penjelasan fakta. Untuk alasan tertentu
yang tak selalu dipahami, Tuhan
mengupayakan agar Firman-Nya mencapai kita, sekalipun terdapat halangan-halangan
yang bersifat logika dan psikologi. Tanpa menjelaskan bagaimana hal itu bekerja, Kitab suci menggambarkan
dalam berbagai cara sebuah “faktor supernatural” dalam komunikasi ilahi-manusia :
(a)Kitab suci berbicara mengenai kuasa Firman. Firman itu telah menciptakan segala sesuatu (Kejadian 1:3 dan sejenisnya; Maz 33:3-6; Yohanes 1:3) dan mengendalikan perjalanan natur dan sejarah (Maz 46:6; 148:5-8). Apa yang Tuhan katakan secara pasti akan terwujud (Yesaya 55:11; Kejadian 18:14 [9]; Bilangan 18:21 dst). Injil adalah “Kuasa Tuhan yang membawa keselamatan” (Roma 1:16; bandingkan dengan Yesaya 6:9-10; Lukas 7:7 dst; Ibrani 4:12).(b)Kitab suci juga berbicara kuasa pribadi Roh Kudus yang beroperasi dengan Firman (Yohanes 3:5; 1 Korintus 2:4, 12 dst; 2 Korintus 3:15-18; 1 Tesalonika 1:5)[10]. Walau prosesnya bisa jadi misterius, namun demikian Tuhan mengiluminasi pikiran manusia untuk mengenali atau mengidentifikasi sumber ilahi Kata tersebut. Kita tahu tanpa mengetahui bagaimana kita tahu.[11]
2.
Isi atau Konten Presupposisi-Presupposisi
Kita
Apa sesungguhnya, isi
presupposisi orang-orang percaya? Saya tadi sejauh ini telah membicarakan “mengasumsikan sebagai kebenaran
atau mem-presupposisikan Firman Tuhan” secara umum. Dalam satu pengertian,
presupposisi kita sederhananya merupakan Firman Tuhan itu sendiri, yang bagi kita adalah isi atau konten Kitab
suci.
Tetapi tentu saja,
orang-orang percaya beragam dalam pengetahuan mereka akan Firman Tuhan.
Pemahaman-pemahaman kita akan firman selalu mengandung sejumlah derajat
kesalahan, dan kita tak pernah mencapai sebuah pengetahuan yang bersifat
menyeluruh, seksama dan presesi pada setiap firman dalam Kitab suci (bersama
dengan ini, tentu saja, dengan implikasi-implikasinya dan aplikasi-aplikasinya yang tepat-proper)[12]. Karena itu ada sejumlah
perubahan, sejumlah perkembangan dalam pemanfaat atau pendayagunaan dan
penggunaan presuposisi kita.
Karena saya percaya bahwa
bayi-bayi dapat dilahirbarukan, saya berpendapat adalah mungkin untuk menjadi miliki Kristus tanpa memiliki sedikitpun satu presupposisi yang diformulasikan. Tetapi orang-orang yang menjadi milik Kristus
selalu memiliki sedikitnya sebuah disposisi atau hasrat dalam jiwanya untuk
melayani-Nya, sebuah disposisi yang menjadi sebuah kepatuhan yang bertumbuh
dewasa seiring mereka dewasa di dalam
Kristus. Kala mereka belajar menggunakan firman-firman dan konsep-konsep,
mereka belajar untuk mematuhi firman-firman-Nya, yang tertulis dan yang
dikhotbahkan. Kala mereka mempelajari dan menyelami firman-firman-Nya, dan
semakin mendapatkan lebih banyak kepastian tentang penerapan-penerapan
firman-firman tersebut, mereka mampu
untuk mematuhi lebih lagi dan semakin
banyak lagi yang mereka patuhi. Dan mematuhi firman-firman Tuhan mencakup
melakukan presupposisi; karena satu hal, perintah-perintah Tuhan bagi kita adalah memberikan prioritas pada
firman-firmannya diatas semua hal yang lain.
Dalam sebuah pemahaman, semua orang Kristen me-presupposisi (baca: mempertimbangkan, memikirkan dan menerima,mengasumsi sejak semula sebagai kebenaran) seluruh Firman Tuhan; karena orang-orang Kristen diperintah oleh Roh yang memberikan hasrat bagi kita untuk mengikut Yesus, kemanapun Roh itu menuntun. Akan tetapi, penerapan-penerapan spesifik kita atas presupposisi, berubah setiap saat, seiring kita bertumbuh dalam apresiasi dan pemahaman kita akan apa yang Tuhan telah katakan. Tentu, beberapa dari penerapan atau pelaksanaan mungkin membutuhkan koreksi. Gagasan-gagasan doktrinal bisa jadi harus dikoreksi oleh gagasan-gagasan doktrinal lainnya selagi kita mengupayakan sebuah perspektif yang lebih biblikal. Banyak penerapan-penerapan spesifik pada presupposisi kita, karena itu, dimungkinkan untuk dikoreksi atau direformasi. Pada sisi lainnya, ada banyak penerapan-penerapan semacam ini tidak untuk dikoreksi atau direformasi. Beberapa diantara penerapan-penerapan yang tidak dapat dikoreksi atau direformasi adalah: eksistensi Tuhan. Ketuhanan Kristus, inkarnasi Kristus, penebusan dan kebangkitan Yesus, kedatangan Yesus kedua kali dalam kemuliaan. Ini, saya berpendapat, mustahil dalam diri seorang percaya yang dewasa dengan kecerdasan normal untuk memisahkan keyakinan-keyakinan doktrinal semacam ini dari disposisi atau hasrat dalam jiwa untuk mengikut Yesus; keyakinan-keyakinan dan hasrat dalam jiwa, secar pasti, adalah sama berotoritas, sama tak dapat dikoreksi atau direformasi.
Ada perubahan-perubahan,
karena itu, dalam pemikiran orang percaya sepanjang waktu. Tetapi presupposisi
itu sendiri, presupposisi umum untuk mengikut Yesus, plus keyakinan-keyakinan
mereka yang tak dapat dipisahkan dari hasrat dalam jiwa untuk mengikut
Yesus-disposisi, tetap kokoh bertahan ditengah-tengah oposisi terhadapnya sekalipun disepanjang
perubahan-perubahan ini. Tentu, perubahan-perubahan itu berperan sebagai ujian utama akan perubahan-perubahan yang harus dibuat.
Istilah atau terminologi “presupposisi,”
kemudian, berlaku, pertama, pada disposisi atau hasrat terdasar kita mengikut
Yesus, dan juga pada doktrin-doktrik
keyakinan terdasar yang tak tak dapat dipisahkan kala dikaitkan dengan hasrat mengikut Yesus.
Terminologi ini juga dapat diterapkan dalam sebuah makna sekunder pada keyakinan-keyakinan doktrinal yang dapat
berubah: pada saat ini, saya diyakinkan bahwa doktrin baptisan bayi, dan keyakinan itu kerap berfungsi sebagai sebuah presupposisi dalam diskusi-diskusiku,
katakanlah, diskusi natur gereja. Namun
demikian, saya dapat secara mudah membayangkan mengubah posisiku pada baptisan
jika seseorang menyajikan padaku dengan sebuah argumen Alkitab yang kuat pada
sisi yang berlainan denganku.
Ada terdapat, dengan demikian banyak perbedaan
diantara orang-orang Kristen terkait doktrin-doktrin, secara tepat, menggunakan
kekuatan presupposisional. Pada umumnya, apapun yang dipercayai seseorang
dengan kepastian bahwa dia memiliki dasar skriptural menjadi karakter baginya; karena jika sebuah
doktrin adalah skriptural, itu adalah apa yang Yesus harapkan agar kita mempercayainya. “Tuhan
menginginkan korban Ishak” pada dasarnya
bukan merupakan presupposisi-presupposisi Abraham. Ketika Abraham telah menjadi
diyakinkan (entah bagaimana caranya!) bahwa Tuhan menginginkan hal itu,
proposisi atau skema atau rencana telah memasuki lingkaran presupposisinya.
Setelah malaikat itu menampakan diri untuk mengakhiri episode tersebut,
proposisi itu, karena alasan lain, telah keluar
pergi dari dafatar presupposisi-presupposisi Abraham. Orang-orang
percaya lainya memiliki pengalaman-pengalaman lain, derajat pertumbuhan yang
berbeda, naik turun (dinamika) yang berbeda, dan konsekuensinya, berbeda dalam
presupposisi-presupposisi yang sekunder (bukan primer). Tetapi mereka disatukan dalam banyak doktrin-doktrin
terdasar, khususnya dalam disposisi (baca hasrat jiwa) untuk melayani Yesus;
karena itulah mereka disatukan dalam
presupposisi yang berkata bahwa Yesus adalah Tuhan yang layak akan kesetiaan penuh penundukan tertinggi dari diri kita.
3.
Sirkularitas
(argumentasi yang telah disimpulkan
terbukti benar namun sesungguhnya itupun setara atau sebetulnya merupakan sebuah premise—ada semacam “lingkaran”
dalam argumentasi-tambahan editor)
Yang telah dipresupposisikan
itu memerintah pikiran kita yang tunduk penuh dalam kesetiaan pada
presupposisi itu, sebagaimana presupposisi (baca: firman Tuhan) memerintah
segenap aspek kehidupan. Dan karena presupposisi-presupposisi Kristen mendasari segenap argumentasi atau
pemikiran Kristen, maka argumentasi kita bagi kebenaran Kekristenan itu
sendiri tak terhindarkan, dalam sebuah
kepastian, sirkular. Kita harus berupaya untuk memahami apa yang dimaksud “dalam makna pasti.” Itu bukan bermakna bahwa kita direduksi untuk
mengatakan “Kekristenan benar karena memang benar,” atau semacam omong kosong. Sebaliknya, argumen
Kristen itu sirkular (bahasa gampangnya: muter-muter di situ-situ aja atau mau panjang lebar omong kebenaran
balik lagi ke firman itu juga sebagai pembuktian kebenaran itu padahal
kebenaran itu dimulai dari firman sebagai sebuah premis—ditambahkan oleh editor) dalam
hal argumen itu menundukan dirinya pada kriteria kebenaran dan rasionalitas
yang mana kriteria-kriteria itu sendiri Kristen dalam hal kriteria-kriteria itu
selaras dengan presupposisi-presupposisi Kristen. Tetapi jikalau itu adalah
benar, maka kita sedang menyajikan sebuah argumen yang mengasumsikan dari sejak
permulaan bahwa Kekristenan adalah benar; itu mengasumsikan, dengan kata lain,
konklusinya berupaya untuk untuk
menegakan kebenaran.
Sekarang, normalnya “argumen
sirkular” dinilai sebagai sebuah kesalahan atau sesat logika. Akan tetapi, jenis
sirkularitas satu ini, saya yakini, bukan sebuah kesalahan, tetapi sebuah
keharusan pemikiran manusia.
Pertimbangkanlah hal-hal
berikut ini:
(a)Semua argumen-argumen valid adalah sirkular dalam sebuah cara yang serupa. Dalam silogisme “Semua manusia dapat mati, Socrates adalah seorang manusia, karena itu Socrates dapat mati,” kesimpulan itu sudah ada dalam premis-premisnya (semua manusia dapat mati, Socrates adalah manusia) secara implisit. Sama juga dengan argumen-argumen induktif, walaupun dalam argumen-argumen jenis ini kesimpulannya melampaui premis-premisnya. Bahkan dalam sebuah argumen induktif, premis-premisnya perlu dituntut harus kompatible dengan kebenaran pada kesimpulan, yang tidak selalu dalam kriteria rasionalitas dan kebenaran yang bertanggungjawab terhadap premis-premis tersebut.(b)Argumen-argumen untuk sistem-sistem agama dan filsafat adalah argumen-argumen untuk pandangan-pandangan dunia-world views. Sebuah pandangan dunia adalah sebuah pernyataan argumen atau penjelasan atas semua realita, sebuah pemahaman yang amat dasar mengenai karakteristik-karakteristik alam semesta. Semua argumen untuk kebenaran pandangan-pandangan dunia (apakah agama, apakah sifatnya filsafat, politik, saintifik atau apapun juga) harus me-presupposisi (mengasumsikan, mempertimbangkan atau memikirkan) standard-standard rasionalitas yang konsisten dengan pandangan-pandangan dunia tersebut. Semua argumen semacam ini, oleh karena itu, adalah sirkular dalam sebuah cara yang sama dengan presupposisi-presupposisi milik kita (Kristen).(c)Itulah yang secara khusus kasusnya, karena pandangan-pandangan dunia pada umumnya mencakup kriteria kebenaran, ketepatan atau kesesuaian (rightness), rasionalitas, dan lain sebagainya. Tetapi semua argumen-argumen untuk kriteria semacam itu harus sejak semula konsisten dengan kriteria-kriteria tersebut. Benar adanya, argumen-argumen semacam itu harus memenuhi atau tunduk pada kriteria, dan karena itu presuppose atau mengasumsikan/memikirkan, kriterianya dipertanyakan. Pada kriteria-kriteria apa lagi presupposisi itu tunduk? Jenis sirkularitas semacam ini tidak terbatas hanya pada Kekristenan; sangat jelas dalam pandangan-pandangan dunia lainnya demikian juga adanya. Seorang rasionalis yang filosopis, sebagai contoh, orang yang percaya bahwa penalaran atau pemikiran manusia merupakan hakim atau penentu (arbiter) tertinggi atas kebenaran, harus, pada puncaknya membuktikan kebeneran maksudnya dengan tunduk pada pada penalaran atau pemikiran manusia. Serupa juga dengan seorang empiricist, seorang subyektivist, seorang Muslim, seorang Budhist, atau siapapun juga. Mengapa, kemudian, orang harus dikejutkan bahwa seorang Kristen akan berupaya untuk mendukung kebenaran pandangan dunianya dengan tunduk pada Alkitab, kriteria tertingginya untuk kebenaran?
Terlihat bagiku, karenanya, bahwa sirkularitas semacam ini menjadi jauh dari sebuah sesat berpikir, jenis argumen sirkular yang seperti ini adalah penting bagi siapapun juga yang sedang melakukan argumentasi untuk kepentingan pandangan dunia, terutama orang yang memasukan kriteria tersendiri pada rasionalitas dan kebenaran.[13]
4.
Persuasi atau Upaya Untuk Meyakinkan
Tetapi bagaimana, seorang
dapat bertanya secara baik,
dapatkah sebuah argumen sirkular semacam
itu menjadi persuasif atau meyakinkan
orang yang berada di luar lingkaran? Jika seseorang tidak bersedia menerima
kriteria Kristen terkait rasionalitas,
kebenaran dan pengetahuan, bagaimana bisa orang Kristen itu dapat mengharapkan
orang itu menjadi diyakinkan oleh sebuah argumen yang mengasumsikan
kriteria-kriteria ini?
Kita harus ingat,
pertama-tama, bahwa problem ini bukan hal unik hanya pada Kekristenan. Inilah problem
bagi setiap orang yang berargumen untuk
sejumlah sistem gagasan-gagasan yang mencakup kriteria epistemik (terkait
pengetahuan atau kognitif) yang khusus.
Memang, ini adalah sebuah problem yang muncul dalam kehidupan manusia lebih
daripada yang kita sangkakan. Betapa sering setiap dari kita berupaya
berargumentasi dengan seseorang yang kelihatannya berada pada sebuah “pancar gelombang”
yang sama sekali berbeda daripada diri kita sendiri, seseorang yang tidak
terlihat merespon pada pemikiran normal, tetapi yang memiliki
pemikiran-pemikiran yang tunduk pada sebuah tatanan aneh yang tidak dapat kita
pahami?
Untuk menyajikan sebuah
kasus ekstrim: bayangkan seorang pelajar yang
tanpa satu alasan apapun paranoid, bahwa dia berpikir semua profesornya
berusaha untuk membunuhnya [14]. Dia menolak bukti yang menyanggah
pikirannya, memelintirnya sehingga bukti yang sebenarnya menyanggah itu malahan
menjadi memperkokoh asumsi atau pemikiran atau presupposisinya. Anda
mengingatkannya pada Profesor A yang
telah memperlakukan siswa dengan baik. Si pelajar ini menjawab, “Profesor A
hanya berupaya untuk mendapatkan kepercayaanku sehingga dengan itu dapat
menjadi lebih mudah untuk membunuh saya. Faktanya, mengapa Profesor A
telah sejak dulu begitu baik, jika dia
tidak memiliki motif jahat semacam itu?
Kebaikan Profesor A membuktikan atau membenarkan niat membunuhnya!” Bayangkan
si pelajar secara konsisten menggunakan pemikiran semacam ini.
Jelas, si siswa memiliki
sebuah kesalahan pandangan dunia yang telah secara mendalam mempengaruhi
kekuatan-kekuatan berpikirnya. Apa yang paling menjadi kriteria kebenaran dan
rasionalnya telah terdistorsi. Dia tidak akan percaya apapun juga hal yang tidak mendukung presuposisi-presuposisinya bahwa profesor-profesor berupaya untuk
membunuhnya. Jadi pemikirannya adalah sirkular dalam artian pada apa yang telah
didefinisikannya sejak semula. Dia memiliki sebuah konsep rasionalitas tersendiri,
yang dengan itu dia menguji semua argumen, semua bukti. Karena hampir semua kita tidak menerima sistem ini,
kita berada di luar lingkarannya dan dia berada di luar lingkaran kita.
Bagaimana, kemudian, kita melakukan komunikasi? Argumen jenis apakah yang dapat
kita gunakan untuk menyanggahnya?
Baiklah, apa yang kita
lakukan normalnya dalam situasi-situasi semacam ini? Pastilah kita tidak
menerima sistemnya, kriteria
kebenarannya, dan berargumentasi pada
basis semacam itu! Melakukan hal semacam ini pada dasarnya memperkokoh konklusinya.
Kita juga tidak berupaya untuk menemukan
sejumlah “dasar netral,” sejumlah kriteria yang tidak menyukakan baik pada presupposisinya dan
demikian juga dengan kita; karena memang tidak ada dasar netral semacam ini.
Satu orang memang harus mengasumsikan
bahwa semua profesor sedang berupaya untuk membunuh siswa tersebut, atau
seseorang harus menyingkirkan presupposisi itu. Apa yang kita lakukan, apa yang
seharusnya kita lakukan, pada dasarnya berargumen pada standard kebenaran kita sendiri. Bagaimana hal itu dapat
menjadi dapat meyakinkan bagi si paranoid? Ya..., berangkali tidak akan
terjadi. Tetapi kita berargumentasi atau melakukan sanggahan dalam harapan bahwa pada level tertentu pada kesadarannya, dia masih
berkontak dengan realita. Dan kita berharap, tentu berdoa, bahwa jikalau kita
menekankan bahwa realita pada dirinya dalam sebuah cara yang cukup tajam, sehingga realita itu mungkin
menembus sistemnya, menyingkirkan distorsi-distorsinya, memandu pikirannya yang
telah menyimpang. Pengharapan ini mungkin tak bernilai besar, tetapi itu
satu-satunya harapan yang kita miliki. Dan terkadang pengharapan itu menerima
upahnya. Karena betul, para paranoid memang kadang keluar dari paranoianya.
Dalam kasus-kasus semacam ini argumennya sirkular, namun demikian persuasif.
Dalam analisa final, ini apa
yang kita lakukan, dan harus dilakukan, dalam argumen yang seperti apapun
dengan seseorang yang berbeda dengan kita pada standard-standard terdasar. Kita
tidak, kita tidak dapat, bernalar atau menyatakan pemikiran pada basisnya atau
pada kriteria “netral”. Sebaliknya kita
bernalar pada basis kita sendiri,
dalam pengharapan. Dan kadang argumen itu meyakinkan, sekalipun penolakan-penolakan orang lain terhadap
standard-standard kita. Sekarang standard-standard ini berlaku sangat baik pada
apologetika-apologetika Kristen. Apologet Kristen juga, harus menghindar
mengadopsi sistem-sistem lawan-lawannya, atau berpura-pura berdiri pada dasar
atau basis “netral”. Dia mengasihi Yesus Kristus, dan karena itu dia
tidak dapat melepaskan diri menjadi “dibiaskan.”
Satu-satunya alternatif baginya adalah memperkatakan kebenaran sebagaiman yang
dia ketahui, dalam harapan dan doa. Tak ada lebih dari ini yang lebih persuasif
daripada itu. Dan, sebagaimana akan kita lihat dalam bagian selanjutnya (2),
ada terdapat, berdasarkan Kitab suci, banyak paralel antara non Kristen dan paranoid atau ketakuatan tak berdasar yang
bersifat hipotetik ( diasumsikan).
Selanjutnya: Bagian 2 :Kejatuhandan Penebusan; dan Sumari dan Kesimpulan
PRESUPPOSITIONAL APOLOGETICS: AN
INTRODUCTION Part 1 of 2: Introduction and Creation|diterjemahkan dan diedit
oleh : Martin Simamora
Kredit Foto Ilustrasi : drranjanpatel.com, mindfullness and technology
Keterangan
catatan kaki (belum saya terjemahkan):
9.
Literally, "no Word of God shall be void of power."
10. For
more on the work of the Spirit with the Word, see John Murray, "The
Attestation of Scripture," in Ned Stonehouse and Paul Woolley, eds., The
Infallible Word (Phila.: Presbyterian and Reformed, 1946), 1-54, also my
"The Spirit and the Scriptures," in Donald Carson and John
Woodbridge, eds., Hermeneutics, Authority, and Canon (Grand Rapids: Zondervan,
1986), 213-235.
11. A
parallel would be the evangelical doctrine of biblical inspiration: we know
that Scripture is God's Word, but we know very little about the process by
which God inspires the biblical writers and texts.
12. In
my book cited earlier, I argue that the applications of Scripture are its
meaning; so one cannot properly argue that he "knows the Bible"
except to the degree that he knows the proper applications of the Bible to all
situations.
13.
Kuhn, in the book mentioned earlier, acknowledges the circularity, in this
sense, of scientific arguments.
14.
Example adapted from R. M. Hare, his contribution to "Theology and
Falsification," in Antony Flew and Alasdair MacIntyre, eds., New Essays in
Philosophical Theology (N. Y.: Macmillan, 1955), 99-103.
No comments:
Post a Comment