Oleh: Dr. John Frame
APOLOGETIKA PRESUPPOSISIONAL
: SEBUAH PENGANTAR
Bagian 1 dari 2 : Pengantar dan Penciptaan
Dalam
mempertahankan atau mempertanggungjawabkan atau menjawab pertanyaan atau
tudingan atau serangan yang diajukan terhadap seorang Kristen dan dibidikan pada iman Kristen kita, pertanyaan paling
penting bagi kita adalalah “Jenis jawaban atau pertanggungjawaban yang seperti
apakah yang paling memuliakan Tuhan kita (bandingkan dengan 1 Korintus 10:21)?”
Tuhan melarang, dalam upaya memberikan jawaban atau pertanggungjawaban iman
Kristen dihadapan orang-orang lain, sama sekali untuk mengkompromikan firman dalam melakukannya.
Apa
yang disebut sebagai mashab apologetika-apologetika “presupposisional [1]” peduli
dengan semua hal di atas tersebut, menjawab pertanyaan ini. Tentu saja, ada
pertanyaan-pertanyaan lain dalam apologetika yang, walau kurang memiliki nilai penting ultimat, juga layak
menerima jawaban-jawaban. Para Presupposisionalis juga mendiksusikan hal-hal
ini. Namun, menimbang keterbatasan ruang, dan agar berlaku adil pada inti sari
presupposisionalisme, saya harus memfokuskan perhatian kita pada pertanyaan yang
paling penting dan kemudian sejauh ruang mengizinkan, akan mengaitkan beberapa
isu dengan upaya menjawab atau mempertanggungjawabkan iman Kristen pada
orang-orang lain yang mempertanyakannya.
Diantara
semua sumber-sumber pewahyuan ilahi (termasuk alam, sejarah, umat manusia dalam
citra Tuhan), Kitab suci memainkan sebuah peran sentral. Benar sekali, walau
poinnya tak dapat diargumentasikan dalam detail di sini, pandanganku adalah, bahwa kitab suci merupakam otoritas
terpuncak, firman Tuhan tidak dapat menjadi salah, dituliskan secara
ilahi/divinitas, konstitusi tertulis gereja Yesus Kristus [2]. Firman Tuhan atau kitab suci
dengan demikian otoritas paling
mendasar bagi seluruh kehidupan manusia
termasuk apologetika. Sebagai otoritas terpuncak, Firman Tuhan itu sendiri,
menyediakan justifikasi-justifikasi terdasar bagi semua penjelasan atau jawaban
[3]
tanpa Firman Tuhan itu sendiri
menjadi tunduk pada
justifikasi-justifikasi itu sendiri.
Karena
itu, dalam sebuah upaya menemukan sebuah apologetika yang memuliakan Tuhan,
kita harus bertanya paling pertama, apa
yang Kitab suci katakan pada subyek
tersebut. Tentu saja, kita tidak akan menemukan “apologetika-apologetika”
di dalam konkordansi biblikal manapun. Tetapi Kitab suci memang berkata cukup jelas mengenai pengetahuan manusia akan
Tuhan dan mengenai perbedaan-perbedaan antara yang percaya dan yang tidak
percaya, masalah-masalah sentral yang penting bagi para apologetik.
Berita
atau kabar Kitab suci dapat disumarikan dalam
3 fakta besar: penciptaan, kejatuhan dan penebusan. Masing-masing
memiliki implikasi-implikasi penting bagi apologetika-apologetika.
I. Penciptaan
A. Firman
Tuhan vs. Semata Hikmat Yang Datang Dari Ciptaan
Tuhan telah menciptakan semua ciptaan, termasuk diri kita sendiri, untuk
kemuliaan Tuhan sendiri. Dia adalah Tuhan; kita adalah pelayan-pelayannya. Ketuhanan meliputi
otoritas, dan ketuhanan utama Tuhan
meliputi otoritas absolut, Ketika Tuhan berbicara, umat manusia harus
mendengar dan mematuhi. Tuhan telah menetapkan tujuan hidup Adam dengan
memberikan dia sebuah perintah (Kejadian 1:28 dst), dan kejatuhan manusia
merupakan ketakpatuhan pada Firman Tuhan (Kejadian 2:16 dst; Kejadian 3:11).
Kutuk pasca kejatuhan, demikian juga dengan janji penebusan, ditetapkan oleh Firman Tuhan (Kejadian 3:14-19). Umat
manusia dilindungi dari penghukuman oleh satu kepatuhan manusia terhadap Firman
Tuhan (Kejadian 6:9 – 8:19) dan kembali dikonstitusikan oleh
janji-janji Tuhan (Kejadian 8:20 – 9:17). Abraham dipanggil keluar dari negerinya oleh Firman Tuhan (Kejadian 12:1 dst), dan
imannya adalah sebuah iman pada janji Tuhan yang telah diperkatakan-Nya
(Kejadian 15:1-21; 17:1-22 ; 18:13 dst ; Roma 4:18-21; Ibrani 11:8-19). Berulang kali, Israel diperintahkan untuk
menjalankan setiap perintah yang datang dari mulut Tuhan (Ulangan 4:1-14;
5:30-33; 6:1-9; 7:11-164 [4] ; Yos 1:8 dst; Maz 1; 12:6; 19:7-11. 119;
Yesaya 8:20).
Perjanjian Baru, jauh dari
penolakan penekanan ini, pada otoritas Firman Tuhan, memberikan peneguhan
otoritas kitab-kitab suci Perjanjian
Lama (Matius 4:4; 5:17-20; Yohanes 5:45 dst; 10:35; Roma 3:1 dst; 15:4; 2Tim
3:15-17; Yakobus 1:22-25; 2:8-12; 4:11; 2 Petrus 1:19-21). Perjanjian Baru
menghadirkan bagi kita Kata-Kata baru dari Tuhan, kata-kata dari Yesus dan para
rasul. Kata-kata ini juga adalah kata-kata
otoritas absolut, dan mematuhi mereka adalah sebuah soal mati dan hidup
(Yesus: Matius 7:21-29; Markus 8:38; Lukas 8:21; Yohanes 6:63-68; 8:47; 12:47
dst; 14:15,21,23 dst; 15:7,10,14; 17:6; 1 Yohanes 2:3-5; 3:22; 5:22 dst; 2
Yohanes 6; Para Rasul: Roma 1:16 dst; 16:25; 1Kor 2:10-13; 4:1; 14:37; Gal
1:1,8 dst, 11 dst,16; 2:2; Efesus 3:3; 2Pet 3:16; Wahyu 1:11)[5]
Sehingga kita hidup di bawah
otoritas Tuhan. Diantara hal-hal lainya, ini bermakna bahwa kita harus menarik
sebuah perbedaan tajam antara Firman Tuhan dan hikmat atau wisdom manusia yang
telah jatuh [6].
Ulangan 18:20 mengutarakan sebuah kutuk terhadap seorang yang dianggap nabi “yang terlalu berani
untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk
dikatakan olehnya.” Yesaya 29:13 menyerang orang sebagai para munafik karena “ibadahnya
padaku dibuat hanya dari aturan-aturan yang
telah diajarkan oleh manusia.” Yesus mengutip nas ini dalam Matius 15:8
dst dan Markus 7:6 dst. Dalam serangan Yesus terhadap “tradisi-tradisi” Farisi
dan pengajar-pengajar Hukum Taurat. Paulus menyerang mereka yang menudukan diri
pada aturan-aturan etika manusia seolah aturan-aturan itu berasal dari Tuhan (Kolose 2:20-23; bandingkan dengan
Roma 14; 1 Kor 8-10). Lihat juga Amsal 1:7; 9:10; 15:33; Pengkhotbah 12:13 dst;
Yesaya 33:6; Yeremia 7:24; 11:8; 13:10; 16:12; 18:12; 23:17; 1Kor 1:18-2:16;
3:18-23. Mencampuradukan Firman-Firman Tuhan dengan kata-kata manusia belaka berarti membuat diri kita tanpa sebuah
otoritas ilahi yang jelas atau jernih.
Seseorang mungkin keberatan
bahwa pada faktanya tidaklah mungkin membedakan secara tajam antara kata-kata
ilahi dengan kata-kata ilahi. Pada akhirnya, tidakkah kita bergantung pada
indera-indera dan nalar kita untuk memahami dan membedakan Firman Tuhan itu? Bagaimana, kemudian, bisa Firman Tuhan ditentukan secara tajam
terhadap hikmat manusia sebagai satu-satunya otoritas terpuncak kita? Haruskah
kita tidak menganggap pikiran-pikiran kita sendiri sebagai dalam sejumlah
kriteria penentu yang dengannya Firman Tuhan diukur? Tidakah ini kasusnya,
kemudian, bahwa pikiran-pikiran kita,
kata-kata kita merupakan otoritas
final yang penting?
Cara kita memberikan jawaban atas hal ini atau keberatan semacam
ini
:
(1)Sebagaimana telah kita lihat, kitab suci mengatakan ada sebuah perbedaan antara Kata-Kata Tuhan dan kita, dan itu menyiratkan bahwa kita mampu untuk mengenali atau menangkap perbedaan itu dan untuk menguji kata-kata kita dengan kata-kata Tuhan. Bahkan jika kita tidak dapat menjawab keberatan yang diajukan pada kita, karena itu, kita harus percaya (semata bertumpu pada iman jika tidak ada dasar sama sekali untuk bertumpu) bahwa pertanyaan itu dapat dijawab, jikalau kita harus percaya pada otoritas biblikal sama sekali.(2)Faktanya, persepsi-persepsi dan nalar itu sendiri merupakan sarana-saran pewahyuan Tuhan. Umat manusia diciptakan dalam citra Tuhan (Kejadian 1:27). Karena itu fasilitas-fasilitas rasional kita, bilamana digunakan secara benar, tidak akan membawa kita menjauh dari Firman Tuhan, tetapi sebaliknya menuju ke Firman Tuhan. Persepsi-persepsi nalar tidak akan menuntun kita mengkompromikan otoritas Firman Tuhan; sebaliknya, dengan membawa Firman masuk ke dalam pikiran dan hati, maka pikiran dan hati akan membuat otoritas itu semakin tak dapat terlepaskan. Kitab suci tak pernah menganjurkan bahwa penalaran manusia terhadap Firman, dalam penalaran itu sendiri, menuntun kita untuk mensubstitusikan otoritas penalaran untuk otoritas Firman. Malahan, memikirkan Firman pasti membawa diri kita sendiri semakin menyadarkan akan ancaman-ancaman (jika memberontak seperti misal Kejadian 2:17 yang menimpa Adam dan Hawa- editor) dan janji-janji Firman.(3)Ada sebuah problem lebih jauh di sini, yaitu apa yang disebut efek-efek dosa terhadap proses rasional kita. Saya akan mendiskusikan ini dalam detail yang lebih besar nanti. Tetapi sekalipun distorsi keberdosaan kita atas Firman Tuhan, itu tidak mencegah Firman untuk menembus kita pada derajat tertentu. Bahkan para pagan, tanpa memiliki Kitab suci dan hanya “pewahyuan umum” yang tersedia bagi mereka, walau mereka menekan kebenaran itu dan menukarkan kebenaran itu demi sebuah dusta, namun demikian “mengenal Tuhan” (Roma 1:21); mereka mengetahui realita. Natur dan hukum dia yang mereka upayakan untuk dihindari( Roma 1:18-20,32). Firman Tuhan datang pada mereka dalam otoritas penuhnya.(4)Orang-orang percaya tahu dari pengalaman bahwa Firman Tuhan memiliki kuasa untuk memisahkan dan menelusuri kerja rasionalisasi yang paling seksama. Kerap kita mengimpikan untuk mengelaborasi konstruksi-konstruksi teologis, bahkan mengskemakan hermenetika-hermenetika biblikal, berupaya untuk membuat Kitab suci mengatakan apa yang kita inginkan kitab suci mengatakannya; tetapi berulang kali Kitab suci menolak proyek-proyek ini. Firman memperlihatkan bahwa Firman tidak dapat dipaksakan menjadi apa yang kita inginkan. Firman itu penuh kuasa (Yesaya 55:11; Roma 1:16; Ibrani 4:12 dst). Terkadang, kemudian, Kitab suci memaksa kita untuk meruntuhkan skema-skema rasional kita, memperlihatkan bahwa Kitab suci mampu memerintah proses-proses rasional kita pada level yang terdalam. Pada kesempatan lain, tak terbantahkan, kita melawan tekanan dari Kitab suci dan terus saja mempertahankan skema-skema kita; tetapi tidak dapatkah kita melihat bahwa perlawanan semacam itu adalah ketakpatuhan? Itu pasti bukan sebuah hermentika atau rasional yang penting. Firman Tuhan penuh kuasa, dan Firman telah menciptakan pikiran manusia untuk dapat mengakses pada Firman itu. Sebuah hermenetika yang tepat atau proper adalah hermenetika yang memberi dirinya untuk diperintah oleh Kitab suci, dan hermenetika yang kita pegang secara cukup lentur sehingga kita dapat membolehkan Kitab suci untuk mengoreksinya.(5)Analisa natur persepsi-persepsi rasional kita menuntun pada konklusi atau penyimpulan dimana persepsi-persepsi itu sendiri tidaklah bergerak otonomi atau mandiri. Persepsi-persepsi nalar tidak cocok untuk berperan atau melayani sebagai hakim tertinggi atas apapun; sebaliknya, persepsi-persepsi nalar itu menunjuk pada sebuah hakim tertinggi melampaui persepsi-persepsi nalar itu sendiri. Persepsi terhadap pengalaman kerap keliru, dan demikian juga dengan nalar manusia. Dan tidak juga persepsi-persepsi atau juga nalar-nalar kita menyediakan, olehnya sendiri, sebuah rangkaian kriteria kebenaran, sebuah standard yang dengan itu kita dapat membedakan apakah sebuah pernyataan adalah benar atau salah. Sebaliknya, kriteria-kriteria itu harus dipasok pada persepsi atau nalar oleh orang yang berpsepsi atau bernalar/berargumen. Dengan kata lain, bernalar atau berpikir tak akan mengajarkan anda apapun kecuali anda memasok premis-premis bagi argumen-argumen rasional, jauh lebih daripada sebuah komputer dapat mengajarkanmu apapun juga tanpa sebuah program [7](6)Seseorang dapat, karena itu, membedakan seorang Kristen dari seorang non Kristen dalam menggunakan nalar. Orang-orang Kristen akan memasok penalaran atau argumentasi mereka dengan premis-premis (atau pernyataan-pernyataan yang disimpulkan sebagai benar atau kebenaran) biblikal. Bagi mereka, apa yang masuk akal atau memiliki rasional, dalam analisa final, adalah apa yang Tuhan katakan. Karena itu, dalam sebuah epistemologi (sebuah investigasi yang membedakan keyakinan yang memiliki dasar dibenarkan dari opini-ditambahkan editor) Kristen, tidak boleh, dalam prinsip, ada konflik antara penalaran atau pemahaman kita dan Firman Tuhan, akan tetapi banyak dosa kita dapat mendistorsi harmoni antara keduanya.
Keberatan, dengan demikian
gagal. Penalaran atau pemikiran manusia tidak cocok menjadi kriteria-kriteria
ultimat atau tertinggi bagi kebenaran
dan kesalahan, sekalipun kita sungguh-sungguh
menggunakan penalaran atau pertimbangan untuk membedakan apa yang merupakan Firman Tuhan dan untuk
menentukan maknanya. Penalaran yang dengan itu kita membedakan mana Firman
Tuhan dan yang dengannya kita menentukan maknanya harus menjadi penalaran
Kristen, operasi menalar atau menimbang atau berpikir pada premis-premis
Kristen, penalaran yang mana penalaran itu sendiri tunduk pada Firman Tuhan [8],
Firman Tuhan, bukan nalar manusia, adalah kriteria-kriteria terpuncak.
B.Firman Tuhan adalah Presuposisi Kita
Sekali kita telah membuat pembedaan antara Firman Tuhan dan “imajinasi-imajinasi
hati kita,” Tuhan memanggil kita untuk hidup berdasarkan pada Firman Tuhan
(karena itu kita bergantung pada
Firman Tuhan), sebab setiap otoritas
manusia dapat berdusta ( Roma 3:4). Jika kita mengadopsi Firman Tuhan sebagai
komitmen ultimat atau terpuncak kita, standard tertinggi kita, kriteria tertinggi
kebenaran dan kesalahan kita, Firman Tuhan kemudian menjadi “presuposisi” kita.
Itu untuk mengatakan bahwa sejak kita menggunakan Firman untuk mengevaluasi
semua kepercayaan-kepercayaan lain, kita harus menilai Firman sebagai lebih
pasti daripada kepercayaan-kepercayaan lain.
Nuh tidak memiliki bukti empirik atau bukti yang
dapat diamati dan diverifikasi bahwa
dunia akan dihancurkan oleh sebuah banjir, hanya bukti Firman Tuhan;
tetapi oleh anugerah dia telah percaya pada Tuhan (Kejadian 6:18, 22; Ibrani
11:7). Orang-orang lain telah mendengarkan Firman itu, tetapi telah menolaknya
( 2 Petrus 2:5), tanpa ragu dan dengan tawa. Abraham telah percaya kepada
Tuhan, walaupun bukti empirik yang terlihat berkontradiksi atau bertentangan
dengan Firman Tuhan. Tuhan telah berkata bahwa dia dan Sarah akan memiliki
seorang putera, sekalipun keduanya
sama-sama telah masuk usia senja
(Kejadian 18:10-15). Sarah tertawa;
tetapi Paulus memuji iman Abraham
yang tak terlimbungkan pada Firman Tuhan sekalipun godaan untuk tak mempercayai
(Roma 4:20 dst).
Perjanjian Baru memuji
mereka yang percaya bahkan tanpa
tanda-tanda yang dapat dilihat atau dibuktikan kebenarannya – empirikal (Yohanes
20:29, dan Perjanjian Baru mengecam
mereka yang menolak untuk mempercayai tanpa tanda-tanda semacam itu (Matius
12:39; 16:1 dst; 1 Kor 1:22). Ada sebuah perbedaan antara berjalan berjalan
dengan iman dan berjalan dengan penglihatan ( 2 Korintus 5:7, Ibrani 11). Dunia
berkata, “Seeing is believing” atau “Melihat adalah mempercayai”; Yesus berkata
“andaikan kamu percaya maka kamu akan melihat kemuliaan Tuhan” (Yohanes 11:40).
Bersambung pada : Problem-Problem
PRESUPPOSITIONAL APOLOGETICS: AN
INTRODUCTION Part 1 of 2: Introduction and Creation|diterjemahkan dan diedit
oleh : Martin Simamora
Foto Kredit : christianity.malaysia.com
Keterangan
catatan kaki ( belum saya terjemahkan):
1. I
am not enthusiastic about this term. It tends to connote an opposition between
"presuppositions" and "evidences" that is foreign to my own
thinking, and it obscures important differences among the various so-called
presuppositionalists, especially between Cornelius Van Til and Gordon H. Clark.
Still, I will use it (henceforth without quotation marks) in deference to the
prevailing usage. It should be noted that although I am deeply influenced by
other presuppositionalists, especially Van Til, I shall in this essay take
responsibility to expound only my own position, which differs from the others
in some particulars. For a more elaborate presentation of my epistemology, see
my Doctrine of the Knowledge of God (Phillipsburg, N. J.: Presbyterian and
Reformed, 1987) (henceforth, DKG). For other presuppositional thinkers, see
especially Van Til, The Defense of the Faith (Phila.: Presbyterian and
Reformed, 1955, rev. ed., 1963, 1967), and Clark, A Christian View of Men and
Things (Grand Rapids: Eerdmans, 1952). Note also my Apologetics to the Glory of
God (Phillipsburg: P&R Publishers, 1994), and Cornelius Van Til (Phillipsburg:
P&R Publishers, 1995).
2. See
my "Scripture Speaks For Itself," in John W. Montgomery, ed., God's
Inerrant Word (Minneapolis: Bethany Fellowship, 1973), also Meredith G. Kline,
The Structure of Biblical Authority) (Grand Rapids: Eerdmans, 1972).
3. See
DKG, 123-139, also I, A, below.
4.
Nearly every chapter of Deuteronomy contains admonitions to keep the
"laws, commands, decrees, testimonies, statutes, ordinances . . ."
The rich redundancy of terms underscores the point.
5. I
wish that I could do more than simply list these "proof-texts," but,
again, space is the problem. I would urge readers who have questions in these
areas to study these passages carefully in context. See also the articles by
Kline and myself mentioned in an earlier note.
6.
Even if man had not fallen, he would still be obliged to submit his thinking to
God's Word, as was Adam, Gen 2:17. The fact of the fall, however, introduces a
discrepancy between God's wisdom and man's which otherwise would not have
existed. See texts below.
7. See
the books by Frame, Van Til and Clark noted earlier for more considerations
along this line. Also the influential book by Thomas Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, second edition,
1970). Kuhn does not write from a Christian perspective, but he, together with
a number of other Christian and secular thinkers, has concluded that reason
(even in the seemingly "objective" form of scientific thought) is not
a "neutral" enterprise but depends very much on the prior commitments
of the thinker. See also the works of Michael Polanyi, Norwood R. Hanson,
Herman Dooyeweerd.
8.
There is, of course, a kind of circularity here which I shall discuss at a
later point. See C, 3, below.
No comments:
Post a Comment