Oleh : Budi Asali, M.Div
Dalam Diet of Worms itu, pada waktu ia diminta untuk menarik kembali buku-bukunya / ajarannya, ia berkata:
“Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience”
I) Kelahiran dan masa muda Luther:
Martin Luther dilahirkan pada tanggal
10 Nopember 1483, di Eisleben, di propinsi Saxony, Prussia / Jerman (dimana ia
nantinya mati pada tanggal 18 Februari 1546), dan keesokan harinya ia
dibaptiskan. Ia adalah anak pertama dan ia mempunyai 3 saudara laki-laki dan 3
saudara perempuan. 6 bulan setelah kelahirannya, keluarganya pindah dan menetap
di Mansfield. Keluarganya adalah orang-orang kelas bawah yang amat miskin,
tetapi jujur, rajin, dan saleh. Luther tidak pernah merasa malu terhadap asal
usulnya yang rendah itu.
Luther mengalami masa kecil yang keras,
tanpa kenangan manis, dan ia dibesarkan dibawah disiplin yang sangat keras.
Ibunya pernah menghajarnya sehingga mengeluarkan darah hanya karena ia mencuri
kacang, dan ayahnya pernah mencambuknya dengan begitu hebat sehingga
menyebab-kan ia lalu lari meninggalkan rumahnya, tetapi ia mengerti akan maksud
baik mereka.
Dalam hal rohani ia diajar untuk berdoa
kepada Allah dan para orang suci, menghormati gereja dan pastor, dan
cerita-cerita mengerikan tentang setan dan ahli-ahli sihir, yang menghantuinya
sepanjang hidupnya.
Di sekolah ia juga mengalami
pendisiplinan yang sangat keras. Ia ingat bahwa pernah dicambuk 15 x dalam satu
pagi. Di sekolah itu ia juga belajar Katekisasi, yang mencakup Pengakuan Iman,
doa Bapa Kami dan 10 hukum Tuhan, dan juga beberapa lagu dalam bahasa Latin dan
Jerman.
II) Luther di Universitas:
Pada usia 18 tahun (tahun 1501) ia
masuk Universitas di Erfurt dan mempelajari scholasticism (= sistim
logika, filsafat, dan theology abad 10-15). Universitas ini adalah salah satu
yang terbaik pada saat itu. Di sini, pada waktu ia berusia 20 tahun, untuk
pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat satu copy yang lengkap dari Alkitab
(bahasa Latin)! (Catatan: Ingat bahwa sebetulnya gereja Roma Katolik
melarang orang awam untuk membaca atau bahkan memiliki Alkitab).
Ia membacanya dengan sukacita dan
mengalami suatu kejutan karena Alkitab itu mengajarkan banyak hal yang tidak
pernah dibacakan / diajarkan dalam gereja.
Tetapi dari pembacaan itu ia bukannya
mendapat gambaran tentang Allah yang penuh kasih dan belas kasihan, tetapi
sebaliknya tentang Allah yang benar yang murka terhadap manusia berdosa.
Pada tahun 1502, ia mendapat gelar B.A.
(Bachelor of Arts), dan pada tahun 1505 ia mendapat gelar M.A. (Master of
Arts).
III) Luther menjadi biarawan:
Sebetulnya, sesuai dengan keinginan
ayahnya, setelah lulus ia mempersiapkan diri untuk bekerja dalam bidang hukum,
tetapi ada peristiwa yang menyebabkan ia lalu pindah haluan.
Pada usia antara 21-22 tahun, ia lolos
dari kematian akibat sambaran petir, sementara teman seperjalanannya yang ada
di sebelahnya, mati tersambar (Catatan: ada yang mengatakan bahwa temannya
bukan mati kena petir tetapi karena suatu duel). Tidak lama setelah itu, pada
tanggal 2 Juli 1505, ia mengalami hujan badai yang sangat hebat di dekat Erfurt
setelah kembali dari perkunjungan terhadap orang tuanya. Ia menjadi begitu
takut sehingga ia menjatuhkan diri ke tanah dan berdoa dan bernazar dengan
gemetar:
“Help, beloved Saint
Anna! I will become a monk!”
(= Tolonglah Santa Anna yang kekasih. Aku akan menjadi seorang biarawan!) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’,
vol VII, hal 112.
Ia memang selamat dari hujan badai itu,
dan untuk menggenapi nazarnya ia lalu masuk the Augustinian convent pada tahun
1505.
Tentang Augustinian convent itu, yang
menggunakan nama Augustine / Agustinus, Schaff memberikan komentar sebagai
berikut:
“... it is an error
to suppose that this order represented the anti-Pelagian or evangelical views
of the North African father; on the contrary it was intensely catholic in
doctrine, and given to excessive worship of the Virgin Mary, and obedience to
the papal see which conferred upon it many special privileges” (= adalah sesuatu yang salah untuk mengira bahwa ordo ini
mewakili pandangan-pandangan yang anti-Pelagian atau injili dari bapa Afrika
Utara ini; sebaliknya ordo ini bersifat sangat katolik dalam doktrin /
pengajaran, dan sangat memuja Perawan Maria, dan taat pada Paus yang memberikan
kepada ordo ini banyak hak istimewa)
- Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 114.
Tentang masuknya Luther ke biara untuk
menjadi biarawan, Philip Schaff berkata:
- “Luther himself declared in later years, that his monastic vow was forced from him by terror and the fear of death and the judgment to come; yet he never doubted that God’s hand was in it” (= Dalam tahun-tahun belakangan, Luther sendiri menyatakan bahwa nazar kebiarawanannya dipaksakan dari dia oleh teror dan ketakutan pada kematian dan pada penghakiman yang akan datang; tetapi ia tidak pernah meragukan bahwa tangan Allah ada di dalamnya) - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.
- “He was never an infidel, nor a wicked man, but a pious Catholic from early youth; but now he became overwhelmed with a sense of the vanity of this world and the absorbing importance of saving his soul, which, according to the prevailing notion of his age, he could best secure in the quiet retreat of a cloister” (= Ia tidak pernah menjadi orang kafir, atau orang jahat, tetapi ia adalah orang Katolik yang saleh sejak masa kecilnya; tetapi sekarang ia diliputi oleh suatu perasaan akan kesia-siaan dari dunia ini dan kepentingan untuk menyelamatkan jiwanya, yang, menurut pemikiran umum jaman itu, bisa ia pastikan dengan cara yang terbaik dalam pengunduran diri / pengucilan diri yang tenang dalam biara) - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.
Pada waktu Luther menjadi seorang
biarawan ia berusaha mati-matian untuk hidup sesuai dengan ajaran gereja
Katolik pada waktu itu. Ia berusaha untuk mendapatkan keselamatan melalui
usahanya sendiri dengan membuang dosa, berbuat baik, dsb. Tetapi ia tidak
pernah merasakan damai, sukacita atau ketenangan. Ia terus-menerus dihantui
oleh perasaan berdosa yang luar biasa hebatnya, dan pemikiran tentang Allah
yang suci, adil, bahkan bengis.
¨ “If
there was ever a sincere, earnest, conscientious monk, it was Martin Luther.
His sole motive was concern for his salvation. To this supreme object he
sacrificed the fairest prospects of life. He was dead to the world and was
willing to be buried out of the sight of men that he might win eternal life.
His latter opponents who knew him in convent, have no charge to bring against
his moral character except in certain pride and combativeness, and he himself
complained of his temptations to anger and envy” (= Jika pernah ada seorang
biarawan yang tulus dan sungguh-sungguh, maka itu adalah Martin Luther.
Motivasi satu-satunya adalah perhatian untuk keselamatannya. Untuk tujuan
tertinggi ini ia mengorbankan harapan terbaik hidupnya. Ia mati terhadap dunia,
dan rela dikubur terhadap pandangan manusia supaya ia bisa mendapatkan hidup
yang kekal. Penentang-penentangnya, yang mengenalnya di biara, tidak mempunyai
tuduhan terhadap karakter moralnya kecuali dalam hal kesombongan tertentu dan
kesukaannya melawan, dan ia sendiri mengeluh tentang pencobaan-pencobaan yang
ia alami terhadap kemarahan dan iri hati) - Philip Schaff, ‘History of
the Christian Church’, vol VII, hal 113-114.
¨ “He
assumed the most menial offices to subdue his pride: he swept the floor, begged
bread through the streets, and submitted without murmur to the ascetic
severities” (= Ia menerima jabatan-jabatan yang paling rendah untuk
menundukkan kesombongannya: ia mengepel lantai, mengemis roti di jalan-jalan,
dan tunduk tanpa menggerutu pada kekerasan / kesederhanaan hidup pertapa) -
Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115.
¨ “He
said twenty-five Paternosters with the Ave Maria in each of the seven appointed
hours of prayer. He was devoted to the Holy Virgin ... He regularly confessed
his sins to the priests at least once a week. At the same time a complete copy
of the Latin Bible was put into his hands for study, ... At the end of the year
of probation Luther solemnly promised to live until death in poverty and
chastity according to the rules of the holy father Augustin, to render
obedience to Almighty God, to the Virgin Mary, and to the prior of the
monastery. ... His chief concern was to become a saint and to earn a place in
heaven. ‘If ever,’ he said afterward, ‘a monk got to heaven by monkery, I would
have gotten there’. He observed with minutest details of discipline. No one
surpassed him in prayer, fasting, night watches, self-mortification” [= Ia
mengucapkan 25 x doa Bapa Kami dengan Salam Maria dalam setiap dari 7 jam doa
yang ditetapkan. Ia berbakti kepada Perawan yang Kudus ... Ia mengaku dosa
secara rutin kepada imam / pastor sedikitnya sekali seminggu. Pada saat yang
sama suatu copy Alkitab Latin yang lengkap ada di tangannya untuk dipelajari,
... Pada akhir dari tahun percobaan Luther berjanji dengan khidmat /
sungguh-sungguh untuk hidup sampai mati dalam kemiskinan dan kesederhanaan /
kesucian menurut peraturan-peraturan bapa kudus Agustinus, taat kepada Allah
yang mahakuasa, kepada Perawan Maria, dan kepada kepala biara. ... Perhatiannya
yang terutama adalah untuk menjadi orang suci dan mendapatkan tempat di surga.
‘Jika ada,’ katanya belakangan, ‘seorang biarawan mencapai surga melalui
kebiarawanan, Aku sudah sampai di sana’. Ia menjalankan disiplin dengan sangat
terperinci. Tidak seorangpun melampaui dia dalam doa, puasa, jaga malam (?),
mematikan diri sendiri] - Philip Schaff, ‘History of the Christian
Church’, vol VII, hal 115-116.
¨ “He
sought by the means set forth by the Church and the monastic tradition to make
himself acceptable to God and to earn salvation of his soul. He mortified his
body. He fasted, sometimes for days on end and without a morsel of food. He
gave himself to prayers and vigils beyond those required by the rule of his
order. He went to confession, often daily and for hours at a time. Yet
assurance of God’s favour and inward peace did not come and the periods of
depression were acute” (= Ia mencari melalui cara-cara yang dinyatakan oleh
Gereja dan tradisi biara untuk membuat dirinya sendiri diterima oleh Allah dan
mendapatkan keselamatan jiwanya. Ia mematikan dirinya. Ia berpuasa,
kadang-kadang selama berhari-hari tanpa makanan sedikitpun. Ia menyerahkan
dirinya untuk berdoa dan berjaga-jaga melebihi apa yang dituntut oleh peraturan
ordonya. Ia mengaku dosa, seringkali setiap hari dan untuk berjam-jam dalam
satu kali pengakuan. Tetapi keyakinan akan perkenan Allah dan damai di dalam
tidak datang dan ia mengalami masa depresi yang parah) - Kenneth Scott
Latourette, ‘A History of Christianity’, vol II, hal 705.
¨ “But
he was sadly disappointed in his hope to escape sin and temptation behind the
walls of the cloister. He found no peace and rest in all his pious exercises.
The more he seemed to advance externally, the more he felt the burden of sin
within. He had to contend with temptations of anger, envy, hatred and pride. He
saw sin everywhere, even in the smallest trifles. The Scriptures impressed upon
him the terrors of divine justice. He could not trust in God as a reconciled
Father, as a God of love and mercy, but trembled before him, as a God of wrath,
as a consuming fire. He could not get over the words: ‘I, the Lord thy God, am
a jelous God’” (= Tetapi ia sangat kecewa dalam harapannya untuk lepas dari
dosa dan pencobaan di balik tembok-tembok biara. Ia tidak mendapatkan damai dan
ketenangan dalam semua hal-hal saleh yang ia lakukan. Makin ia kelihatan maju
secara lahiriah, makin ia merasa beban dosa di dalam. Ia harus berjuang melawan
pencobaan untuk marah, iri, kebencian, dan kesombongan. Ia melihat dosa dimana-mana,
bahkan dalam hal-hal yang paling remeh. Kitab Suci memberikan kesan kepadanya
tentang keadilan ilahi. Ia tidak bisa percaya kepada Allah sebagai Bapa yang
diperdamaikan, sebagai Bapa yang kasih dan berbelas kasihan, tetapi gemetar di
hadapanNya, sebagai Allah yang murka, sebagai api yang menghanguskan. Ia tidak
bisa mengatasi kata-kata: ‘Aku, Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu’)
- Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 116.
¨ “He
entered the confessional and stayed for hours every day. On one occasion Luther
spent six hours confessing the sins he had committed in the last day!” (=
Ia masuk ke dalam ruang pengakuan dosa dan berada di sana berjam-jam setiap
hari. Pada suatu kali Luther menghabiskan waktu 6 jam untuk mengaku dosa-dosa
yang ia lakukan pada hari terakhir) - R.C. Sproul, ‘The Holiness of God’,
hal 114.
¨
Pengakuan dosa Luther ini menyebabkan Staupitz menjadi marah dan berkata:
“‘Look here,’ he
said, ‘if you expect Christ to forgive you, come in with something to forgive -
parricide, blasphemy, adultery - instead of all these peccadilloes. ... Man,
God is not angry with you. You are angry with God. Don’t you know that God
commands you to hope?’”
(= ‘Lihatlah,’ katanya, ‘Jika kamu berharap supaya Kristus mengampuni kamu,
datanglah dengan sesuatu untuk diampuni - pembunuhan orang tua, penghujatan,
perzinahan - dan bukannya semua dosa-dosa remeh ini. ... Bung, Allah tidak
marah kepadamu. Kamu yang marah kepada Allah. Tidak tahukah kamu bahwa Allah memerintahkan
kamu untuk berharap?’) - R.C. Sproul, ‘The
Holiness of God’, hal 114, dimana ia mengutip dari Roland Bainton, dalam
bukunya ‘Here I Stand’.
¨ Pada
tahun 1505, sebagai seorang pastor muda ia memimpin misa untuk pertama kalinya.
Pada waktu ia mengangkat roti dan mengucapkan kata-kata “Ini adalah tubuhKu”,
ia mengalami rasa takut yang luar biasa karena ia merasakan dirinya penuh dosa
di hadapan Allah yang tak terbatas dalam kekudusanNya.
IV) Pertobatan Luther:
Seorang biarawan tua menghibur Luther
dalam kesedihan dan keputusasaannya, dan mengingatkan dia tentang kata-kata
Paulus bahwa orang berdo-sa dibenarkan oleh kasih karunia melalui iman.
Juga Johann von Staupitz, yang adalah
teman baik, sekaligus penasehat dan bapa rohani Luther, mengarahkan Luther dari
dosa-dosanya kepada apa yang Kristus lakukan di kayu salib, dari hukum Taurat
kepada salib, dan usaha berbuat baik kepada iman. Ia juga yang mendorong Luther
untuk belajar Kitab Suci.
Melalui bantuan biarawan tua dan
Staupitz, dan khususnya melalui penyelidikannya terhadap surat-surat Paulus,
perlahan-lahan Luther sadar bahwa orang berdosa bisa dibenarkan bukan karena
mentaati hukum, tetapi hanya karena iman kepada Yesus Kristus.
“He pondered day and
night over the meaning of ‘the righteousness of God’ (Rom. 1:17), and thought
that it is the righteous punishment of sinners; but toward the close of his
convent life he came to the conclusion that it is the righteousness which God
freely gives in Christ to those who believe in him. Righteousness is not
acquired by man through his own exertions and merits; it is complete and
perfect in Christ, and all the sinner has to do is to accept it from Him as a
free gift” [= Ia merenungkan
siang dan malam tentang arti dari ‘kebenaran Allah’ (Ro 1:17), dan mengira
bahwa itu adalah hukuman yang adil terhadap orang-orang berdosa; tetapi
menjelang akhir dari kehidupan biaranya ia sampai pada kesimpulan bahwa itu
adalah kebenaran yang Allah berikan dengan cuma-cuma dalam Kristus kepada mereka
yang percaya kepadaNya. Kebenaran tidak didapatkan oleh manusia melalui usaha
dan kebaikan / jasanya sendiri; kebenaran itu lengkap dan sempurna dalam
Kristus, dan semua yang harus dilakukan oleh orang berdosa adalah menerimanya
dari Dia sebagai pemberian cuma-cuma]
- Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 122.
Cerita tentang pertobatannya agak
simpang siur, dan sukar dipastikan kapan persisnya ia sungguh-sungguh bertobat
dan diselamatkan. Pengertiannya dan kepercayaannya akan keselamatan /
pembenaran karena iman yang diajarkan oleh Ro 1:17 itupun melalui
pergumulan hebat dan cukup lama.
Karena itu, pada tahun 1510, sekalipun
ia sudah tahu tentang pembenaran karena iman, tetapi karena ia belum
betul-betul mantap dalam hal itu, maka ia masih melakukan ziarah / perjalanan
agama (pilgrimage) ke Roma. Ia berharap untuk bisa mendapatkan
penghiburan untuk jiwanya dengan mela-kukan perjalanan ini.
Philip Schaff mengatakan:
“He ascended on
bended knees the twenty-eight steps of the famous Scala Santa (said to have
been transported from the Judgment Hall of Pontius Pilate in Jerusalem), that
he might secure the indulgence attached to his ascetic performance since the
days of Pope Leo IV. in 850, but at every step the word of the Scripture
sounded as a significant protest in his ears: ‘The just shall live by faith’
(Rom. 1:17). Thus at the very height of his medieval devotion he doubted its
efficacy in giving peace to the troubled conscience” [= Dengan menggunakan lututnya ia menaiki 28 anak tangga
dari Scala Santa yang terkenal (dikatakan bahwa Scala Santa itu telah
dipindahkan dari Ruang Pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem), supaya ia bisa
memastikan pengampunan dosa yang dicantelkan pada pelaksanaan pertapaannya
sejak jaman Paus Leo IV pada tahun 850, tetapi pada setiap langkah kata-kata
Kitab Suci terngiang di telinganya sebagai suatu protes: ‘Orang benar akan
hidup oleh iman’ (Ro 1:17). Jadi, pada puncak dari kebaktian keagamaannya
ia meragukan kemujarabannya dalam memberikan damai pada hati nurani yang kacau] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal
129.
Tetapi, setelah ia betul-betul mengerti
dan percaya, maka kegagalannya dalam mencapai ‘keselamatan / pembenaran melalui
perbuatan baik’, dan pengalamannya dalam mendapatkan ‘keselamatan / pembenaran
karena iman’, menyebabkan ia sangat membenci doktrin ‘keselamatan karena
perbuatan baik’. Ia berkata:
“The most damnable
and pernicious heresy that has ever plagued the mind of men was the idea that
somehow he could make himself good enough to deserve to live with an all-holy
God” (= Ajaran sesat yang
paling terkutuk dan jahat / merusak yang pernah menggoda pikiran manusia adalah
gagasan bahwa entah bagaimana ia bisa membuat dirinya sendiri cukup baik
sehingga layak untuk hidup dengan Allah yang mahasuci) - Dr. D. James Kennedy, ‘Evangelism Explosion’, hal
31-32.
V) Reformasi:
Gereja Roma Katolik membutuhkan uang,
dan ini menyebabkan terjadinya penjualan surat pengampunan dosa / letter
of indulgence. Orang Katolik yang terkenal dengan penjualan surat
pengampunan dosa ini adalah Johann Tetzel, yang oleh Philip Schaff digambarkan
dengan kata-kata sebagai berikut:
“who was not ashamed
to boast that he saved more souls from purgatory by his letters of indulgence
than St. Peter by his preaching”
(= yang tidak malu untuk membanggakan bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa
dari api pencucian oleh surat-surat pengampunan dosanya dari pada Santo Petrus
oleh khotbahnya) - ‘History of the
Christian Church’, vol VII, hal 154.
Philip Schaff menambahkan:
“Luther had
experienced the remission of sin as a free gift of grace to be apprehended by a
living faith. This experience was diametrically opposed to a system of relief
by means of payments in money”
(= Luther telah mengalami pengampunan dosa sebagai suatu pemberian cuma-cuma
oleh iman yang hidup. Pengalaman ini sama sekali bertentangan dengan sistim
pembebasan dengan cara membayar dengan uang)
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.
Penjualan surat pengampunan dosa itu
menyebabkan pada tanggal 31 Oktober 1517 Luther menempelkan 95 thesisnya pada
pintu gereja Witten-berg, Jerman.
-
-
Martin Luther nailed his 95 Theses to the church door at Wittenburg, Germany CREDIT: Social Media University Global |
- Tanggal 31 Oktober 1517 ini
akhirnya diperingati sebagai hari Reformasi.
- Tulisan Luther ini menyerang penjualan surat pengampunan dosa itu, dan tulisannya ditujukan kepada para ahli theologia jaman itu untuk diperdebatkan. Dan tulisannya ini memang menimbulkan pertentangan / perdebatan yang luar biasa.
Dalam bulan Juli 1519 Luther dan teman
sejawatnya yang bernama Andreas Carlstadt bertemu dengan John Eck, yang
merupakan ahli debat top pada saat itu. Mereka mengadakan debat di depan umum
di Leipzig. Dalam perdebatan itu John Eck menunjukkan bahwa beberapa pandangan
Luther sesuai dengan pandangan John Hus, yang saat itu dianggap sebagai ajaran
sesat oleh gereja Roma Katolik. Akhirnya Luther terpaksa mengakui dengan segan,
sesuai dengan keinginan John Eck, sebagai berikut:
“Among the condemned
beliefs of John Hus and his disciples, there are many which are truly Christian
and evangelical and which the Catholic Church cannot condemn” (= Di antara kepercayaan-kepercayaan John Hus dan
murid-muridnya yang dikecam, ada banyak yang adalah benar-benar Kristen dan
injili dan yang Gereja Katolik tidak bisa mengecam) - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’,
hal 31.
John Huss Credit :Columbia.edu |
Catatan:
John Hus (1373-1415) adalah pemimpin
dari The Bohemian Brethren di Bohemia, Cekoslowakia. John Hus dipengaruhi oleh
theologia dari Augustine dan Wycliffe. Dalam suatu tulisannya yang berjudul ‘On
the Church’ ia berkata bahwa hanya Kristus sendiri yang adalah kepala
gereja. Ia menyerang penjualan indulgence / pengampunan dosa dan juga
menyerang kejahatan dari gereja dan pastor. Ini menimbulkan konflik, dan
Sigismund, kaisar Romawi, mendesak supaya John Hus hadir dalam the Council of
Constance dalam tahun 1415, dan kepada John Hus diberikan jaminan keamanan di
sana sampai ia bisa kembali dengan selamat. Tetapi ternyata begitu sampai, ia
langsung ditangkap, dipenjarakan, diadili dengan cepat, dinyatakan bersalah,
dan dihukum mati dengan dibakar, karena ia menolak untuk menarik kembali
tulisannya kecuali ia diyakinkan kesalahannya berdasarkan Kitab Suci.
Dengan pengakuan yang mendukung John
Hus itu, Luther sudah menentang Council!
Dr. Albert Freundt mengomentari dengan
berkata:
“He intended no
revolution; he aimed at purifying the Catholic Church and preserving its truth.
But the Leipzig debate tore down the last barrier which held him to Rome” (= Ia tidak memaksudkan revolusi; ia bertujuan memurnikan
Gereja Katolik dan memelihara kebenarannya. Tetapi perdebatan di Leipzig
menghancurkan halangan terakhir yang menahannya pada Roma) - ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
Dan pada bulan Februari 1520 Luther
mengakui lebih jauh dari pada pengakuannya di Leipzig dengan berkata: “We
are all Hussites without knowing it,” (= Kita semua adalah pengikut Hus
tanpa kita sadari) tulisnya, “St. Paul and St. Augustine are
Hussites” (= Santo Paulus dan Santo Agustinus adalah pengikut-pengikut
Hus / mempunyai pandangan seperti Hus) - Dr. Albert Freundt, ‘History of
Modern Christianity’, hal 31.
Pada bulan Juni 1520, Roma mengeluarkan
‘the Bull’ (= surat keputusan dari Paus), yang diberi nama ‘Exsurge
Domine’, yang mengecam 41 usul / gagasan Luther sebagai sesat, dan
memerintahkan orang yang setia kepada Roma Katolik untuk membakar buku-buku
Luther dimanapun bisa ditemukan. Luther diberi waktu 2 bulan untuk menarik
kembali ucapan / tulisannya atau ia akan dikucilkan.
Pada tanggal 10 Desember 1520, pada pk
9 pagi, Luther membakar bull tersebut beserta buku-buku Katolik lain, di
depan umum. Dan pada tanggal 3 Januari 1521, pengucilan terhadap Luther
dilaksanakan.
Luther lalu berkata:
“I said (at the
Leipzig disputation of 1519) that the Council of Constance condemned some
propositions of Hus that were truly Christian. I retract. All his propositions
were Christian, and in condemning him the Pope has condemned the Gospel” [= Aku berkata (pada perdebatan Leipzig pada tahun 1519)
bahwa Council of Constance mengecam beberapa pernyataan dari Hus yang adalah
benar-benar Kristen. Aku menarik kembali. Semua pernyataannya adalah Kristen,
dan dalam mengecam dia Paus sudah mengecam Injil] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’,
hal 33.
24 hari setelah pengucilan Luther,
Charles V (kaisar Romawi) membuka Diet of Worms (Catatan: Diet =
pertemuan formil, Worms adalah nama kota) yang pertama. Ia memberi jaminan
keselamatan bagi Luther. Luther datang, sekalipun ia tentu tahu bahwa sekitar 1
abad sebelumnya John Hus dibakar hidup-hidup sekalipun ada jaminan keselamatan.
Luther berkata:
“I shall go to Worms,
though there were as many devils there as tiles on the roofs” (= Aku akan pergi ke Worms, sekalipun disana ada
setan-setan sebanyak genteng pada atap-atap) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’,
vol VII, hal 298.
Dalam perjalanan ke Worms, ia menulis
surat kepada Spalatin:
“‘You may expect
every thing from me,’ he wrote Spalatin, ‘except fear or recantation. I shall
not flee, still less recant. May the Lord Jesus strengthen me’” (= ‘Kamu boleh mengharapkan segala sesuatu dari aku,’
tulisnya kepada Spalatin, ‘kecuali rasa takut atau penarikan kembali /
pengakuan kesalahan. Aku tidak akan lari, dan lebih-lebih aku tidak akan
menarik kembali / mengaku salah. Kiranya Tuhan Yesus menguatkan aku’) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’,
vol VII, hal 294.
Dalam Diet of Worms itu, pada
waktu ia diminta untuk menarik kembali buku-bukunya / ajarannya, ia berkata:
“Unless I am refuted
and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I
believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they
have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures
quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will
not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against
the conscience” [= Kecuali aku
disangkal / dibuktikan salah dan diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh
argumentasi-argumentasi yang jelas (karena aku tidak percaya kepada Paus
ataupun councils saja; adalah jelas bahwa mereka sering salah dan bertentangan
dengan diri mereka sendiri), aku ditaklukkan oleh Kitab Suci yang Kudus yang
aku kutip, dan hati nuraniku terikat pada firman Allah: aku tidak bisa dan
tidak mau menarik kembali apapun, karena adalah tidak aman dan berbahaya untuk
melakukan apapun yang bertentangan dengan hati nurani] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’,
vol VII, hal 304-305.
“Here I stand. (I can
not do otherwise.) God help me! Amen”
[= Disinilah aku berdiri (Aku tidak bisa berbuat yang lain.) Kiranya Allah
menolong aku! Amin] - Philip Schaff, ‘History
of the Christian Church’, vol VII, hal 305.
Luther menceritakan Diet of Worms
sebagai berikut:
“‘I expected,’ he
wrote to the artist Cranach, ‘that his Majesty the Emperor would have collected
fifty doctors of divinity to confute the monk in argument. But all they said
was: ‘Are these books yours?’. ‘Yes’. ‘Will you recant?’. ‘No’. ‘Then get
out!’” (= ‘Aku berharap,’
tulisnya kepada artis Cranach, ‘bahwa Yang Mulia Kaisar telah mengumpulkan 50
doktor theologia untuk membantah / membuktikan kesalahan biarawan ini dalam
perdebatan. Tetapi semua yang mereka katakan adalah: ‘Apakah buku-buku ini
milikmu?’. ‘Ya’. ‘Maukah kamu menariknya kembali?’. ‘Tidak’. ‘Kalau begitu
keluarlah!’) - Dr. Albert
Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 34.
-
-
Martin Luther before Holy Roman Emperor Charles V at Worms, 1521 CREDIT : allposters.com |
Setelah pulang dari Worms, ia bertemu
dengan Spalatin:
“To Spalatin, in the
presence of others, he said, ‘If I had a thousand heads, I would rather have
them all cut off one by one than make one recantation’” (= Kepada Spalatin, di depan orang-orang lain, ia berkata,
‘Jika aku mempunyai 1000 kepala, aku lebih suka semuanya itu dipenggal satu
demi satu dari pada membuat satu penarikan kembali / pengakuan salah’) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’,
vol VII, hal 306.
VI) Kematian Luther:
Luther meninggal dunia pada tanggal 18
Februari 1546, dan dikuburkan pada tanggal 22 Februari 1546.
“His later years had
been marked by a complication of various physical illneses, presumably
aggravated by the strains and labours of a tempestuous life. This may in part
account for his frequent irascibility and occasional outburst of wrath and
coarse vituperation” (= Tahun-tahun
terakhir hidupnya ditandai oleh komplikasi dari bermacam-macam penyakit fisik,
rupanya diperparah oleh ketegangan dan pekerjaan dari hidup yang bergejolak.
Ini merupakan sebagian penyebab dari sikap mudah marahnya yang sering terjadi
dan kemarahannya yang kadang-kadang meledak dan makian dengan kata-kata kasar) - Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’,
vol II, hal 729.
VII) Kesimpulan tentang Luther:
Dr. R.C. Sproul dalam bukunya ‘The
Holiness of God’ (= Kekudusan / kesucian Allah) menuliskan sebuah bab yang
berjudul ‘The Insanity of Luther’ (= Kegilaan Luther), dimana ia
menceritakan banyak ‘kegilaan’ yang dilakukan Luther. Dr. R.C. Sproul akhirnya
menutup bab itu dengan kata-kata sebagai berikut:
[ yang disampaikan oleh Dr.R.C. Sproul dapat dilihat pada video ini]
[ yang disampaikan oleh Dr.R.C. Sproul dapat dilihat pada video ini]
“Was Luther crazy?
Perhaps. But if he was, our prayer is that God would send to this earth an
epidemic of such insanity that we too may taste of the righteousness that is by
faith alone” (= Apakah Luther
gila? Mungkin. Tetapi kalau ia gila, doa kita adalah supaya Allah akan
mengirimkan ke dunia ini suatu epidemi kegilaan seperti itu supaya kita juga
boleh merasakan kebenaran yang hanya karena iman) - R.C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 126.
-o0o-
No comments:
Post a Comment