Oleh : Prof. Daniel B Wallace, Ph.D
Ini merupakan bagian pertama dari sebuah serial esai singkat bertajuk “ Pemelintiran Ayat.” Tujuan dari esai-esai yang sangat ringkas ini adalah untuk menentang interpretasi-interpretasi populer tertentu terhadap Alkitab yang sangat sedikit atau tidak memiliki dasar.
Menyalahgunakan Ayat, Menyalahgunakan Tuhan
Orang-orang Kristen evangelikal mendasarkan kehidupan mereka pada Alkitab. Kita percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan dan oleh karena itu berotoritas atas kita dalam hal-hal iman dan prakteknya. Alkitab mengindikasikan kebenaran-kebenaran besar mengenai siapakah Tuhan, bagaimana kita dapat berhubungan dengannya, bagaimana kita dapat memahami diri kita dan dunia. Singkatnya, Alkitab mengandung kata-kata kehidupan. Orang-orang percaya menggunakan Alkitab untuk memandu mereka dalam mencari tahu kehendak Tuhan, dari hal yang monumental hingga duniawi. Kita membaca Alkitab untuk mendapatkan pengharapan serta juga untuk menggali kebenaran. Alkitab berdampak pada keyakinan-keyakinan, sikap-sikap, dan perilaku kita. Singkatnya, Alkitab adalah pipa saluran menuju surga: tanpa Alkitab, kita terhanyut, tak terlindungi di tempat yang tidak bersahabat.
Ini merupakan bagian pertama dari sebuah serial esai singkat bertajuk “ Pemelintiran Ayat.” Tujuan dari esai-esai yang sangat ringkas ini adalah untuk menentang interpretasi-interpretasi populer tertentu terhadap Alkitab yang sangat sedikit atau tidak memiliki dasar.
Menyalahgunakan Ayat, Menyalahgunakan Tuhan
Orang-orang Kristen evangelikal mendasarkan kehidupan mereka pada Alkitab. Kita percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan dan oleh karena itu berotoritas atas kita dalam hal-hal iman dan prakteknya. Alkitab mengindikasikan kebenaran-kebenaran besar mengenai siapakah Tuhan, bagaimana kita dapat berhubungan dengannya, bagaimana kita dapat memahami diri kita dan dunia. Singkatnya, Alkitab mengandung kata-kata kehidupan. Orang-orang percaya menggunakan Alkitab untuk memandu mereka dalam mencari tahu kehendak Tuhan, dari hal yang monumental hingga duniawi. Kita membaca Alkitab untuk mendapatkan pengharapan serta juga untuk menggali kebenaran. Alkitab berdampak pada keyakinan-keyakinan, sikap-sikap, dan perilaku kita. Singkatnya, Alkitab adalah pipa saluran menuju surga: tanpa Alkitab, kita terhanyut, tak terlindungi di tempat yang tidak bersahabat.
Alasan Satu :
Rendahnya Sikap Hormat
Satu
fenomena yang membuat penasaran belakangan ini adalah bagaimana orang-orang Kristen telah menggunakan Alkitab. Ketimbang
mengakui Alkitab merupakan sebuah buku yang terdiri dari 66 kitab,
masing-masing ditulis untuk orang yang
spesifik karena alasan spesifik, kita cenderung memilin ayat-ayat keluar dari
konteks mereka karena kata-kata tersebut menyetujui apa yang
telah kita percayai. Terkadang orang-orang percaya mengatakan hal-hal yang
konyol seperti, “Tuhan telah memberikanku sebuah ayat hari ini.” Apa yang salah
dengan itu? Dua hal: Pertama, pendekatan
semacam ini terhadap kitab suci tidak menghormati kepenulisan yang Ilahi pada
Kitab Suci. Tuhan telah memberikan ayat itu setidaknya 1900 tahun lampau. Anda berangkali
telah menemukannya pada hari ini, tetapi ayat ini telah lama ada disitu sejak
awalnya. Mengatakan bahwa Tuhan telah memberikan sebuah ayat pada hari ini sungguh merupakan
sebuah pernyataan yang bersifat
eksistensial (pengalaman menerima ayat yang sungguh-sungguh nyata dialami
secara pribadi-red), seolah Alkitab tidak pernah memberikan
kehidupan sampai kita membacanya dalam sebuah cara tertentu. Tetapi
wahyu telah berakhir. Semua wahyu telah ada didalam Alkitab. Sikap
berbicara semacam ini hampir terdengar seolah-olah pewahyuan masih
berlangsung. Tetapi karya Roh Kudus saat ini jelas-jelas tidak pada level
kognitif: Roh Kudus tidak memberikan
pewahyuan baru kepada kita. Karya Roh Kudus dalam kaitannya dengan Alkitab terutama dalam aspek peyakinan: dia membantu kita untuk memiliki
pengertian yang sebenarnya, ketika
dipahami secara tepat. Kedua, pendekatan ini (seperti pendekatan “ Tuhan
telah memberikan kepadaku sebuah ayat hari ini”) terhadap kitab suci tidak
menghargai kepenulisan manusia atas
Alkitab.
Ketika Paulus menulis kepada orang-orang Galatia, dia menuliskan sebuah pesan yang holistik dan koheren. Dia tidak pernah bermaksud agar seseorang pada dua milenia berikutnya memperkosa ayat-ayat keluar dari konteksnya dan menggunakan mereka dalam cara apapun yang mereka pilih! Tentu saja kita berhak untuk mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci; tetapi kita tidak berhak untuk mengabaikan konteksnya, atau membuat ayat-ayat itu mengatakan apa yang tidak dikatakan oleh kalimat dalam Alkitab. Jika tidak, seseorang dapat membawa ide dan berkata “ Yudas telah menggantung dirinya sendiri”; Pergi dan lakukanlah hal seperti itu”! karena itu, satu dasar untuk melakukan penyalahgunaan Alkitab merupakan akibat dari rendahnya sikap hormat terhadap Alkitab sebagai karya manusia dan Ilahi. Dalam pendekatan semacam ini Alkitab menjadi sebuah buku mantera sihir—hampir merupakan sebuah buku yang berisikan rangkaian kata-kata keberuntungan yang tak terkait satu sama lain.
Alasan Dua : Kemalasan
Bagian kedua yang tidak dapat dipisahkan pada penyalahgunaan kitab suci adalah kemalasan. Dengan kata lain, hampir semua orang pada dasarnya tidak akan bermasalah untuk membaca konteksnya atau untuk melakukan pekerjaan rumah mengenai makna Alkitab. Dan bahkan ketika mereka diperlihatkan dengan bukti telak yang bertentangan dengan pandangan mereka, mereka kerap menjawab dengan fasih, “Itu kan semata interpretasimu.” Tanggapan semacam ini terdengar seolah-olah semua interpretasi dapat digunakan, seakan-akan semua interpretasi sama logisnya. Pandangan semacam ini telak-telak salah. Perhatikan kalimat ini sebagai sebuah contoh :”Ibuku suka memanjat tanaman-tanaman anggur.” Salah satu interpretasi dari kata-kata ini tidaklah sesahih yang lainnya. Kalimat ini tidak dapat berarti “Ayahku adalah seorang mekanik mobil.” “Ibu” bukan berarti “Ayah”; “suka” bukan berarti “adalah”; “memanjat tanaman anggur” bukan sebuah sinonim untuk “mekanik mobil”. Bahasa tidak dapat dipelintir dalam cara semacam ini. Namun, kini tanpa sebuah konteks, ada dua pilihan yang berbeda untuk dipertanyakan pada kalimat tersebut. Entah “Ibuku suka tanaman anggur yang memanjat/merambat” atau “ibuku suka memanjat tanaman anggur.” Yang manakah pemahaman yang benar? Satu-satunya cara untuk mengatakannya adalah melihat pada konteks yang sesungguhnya—atau bertanya pada penulis kalimat tersebut! Kedua hal tersebut telah dilakukan dalam interpretasi Alkitab. Terkadang konteks memecahkan masalah; pada waktu lainnya, semakin kita mengenali tentang si penulis, semakin lebih baik kita dapat menentukan makna si penulis. Tapi satu resep untuk kehilangan makna teks adalah menjadi sangat mengenali tentang Alkitab. Pada akhirnya Paulus berkata kepada Timotius, “ Belajarlah untuk memperlihatkan dirimu diperkenan”?[2 Tim 2:15]
Ketika Paulus menulis kepada orang-orang Galatia, dia menuliskan sebuah pesan yang holistik dan koheren. Dia tidak pernah bermaksud agar seseorang pada dua milenia berikutnya memperkosa ayat-ayat keluar dari konteksnya dan menggunakan mereka dalam cara apapun yang mereka pilih! Tentu saja kita berhak untuk mengutip ayat-ayat dari Kitab Suci; tetapi kita tidak berhak untuk mengabaikan konteksnya, atau membuat ayat-ayat itu mengatakan apa yang tidak dikatakan oleh kalimat dalam Alkitab. Jika tidak, seseorang dapat membawa ide dan berkata “ Yudas telah menggantung dirinya sendiri”; Pergi dan lakukanlah hal seperti itu”! karena itu, satu dasar untuk melakukan penyalahgunaan Alkitab merupakan akibat dari rendahnya sikap hormat terhadap Alkitab sebagai karya manusia dan Ilahi. Dalam pendekatan semacam ini Alkitab menjadi sebuah buku mantera sihir—hampir merupakan sebuah buku yang berisikan rangkaian kata-kata keberuntungan yang tak terkait satu sama lain.
Alasan Dua : Kemalasan
Bagian kedua yang tidak dapat dipisahkan pada penyalahgunaan kitab suci adalah kemalasan. Dengan kata lain, hampir semua orang pada dasarnya tidak akan bermasalah untuk membaca konteksnya atau untuk melakukan pekerjaan rumah mengenai makna Alkitab. Dan bahkan ketika mereka diperlihatkan dengan bukti telak yang bertentangan dengan pandangan mereka, mereka kerap menjawab dengan fasih, “Itu kan semata interpretasimu.” Tanggapan semacam ini terdengar seolah-olah semua interpretasi dapat digunakan, seakan-akan semua interpretasi sama logisnya. Pandangan semacam ini telak-telak salah. Perhatikan kalimat ini sebagai sebuah contoh :”Ibuku suka memanjat tanaman-tanaman anggur.” Salah satu interpretasi dari kata-kata ini tidaklah sesahih yang lainnya. Kalimat ini tidak dapat berarti “Ayahku adalah seorang mekanik mobil.” “Ibu” bukan berarti “Ayah”; “suka” bukan berarti “adalah”; “memanjat tanaman anggur” bukan sebuah sinonim untuk “mekanik mobil”. Bahasa tidak dapat dipelintir dalam cara semacam ini. Namun, kini tanpa sebuah konteks, ada dua pilihan yang berbeda untuk dipertanyakan pada kalimat tersebut. Entah “Ibuku suka tanaman anggur yang memanjat/merambat” atau “ibuku suka memanjat tanaman anggur.” Yang manakah pemahaman yang benar? Satu-satunya cara untuk mengatakannya adalah melihat pada konteks yang sesungguhnya—atau bertanya pada penulis kalimat tersebut! Kedua hal tersebut telah dilakukan dalam interpretasi Alkitab. Terkadang konteks memecahkan masalah; pada waktu lainnya, semakin kita mengenali tentang si penulis, semakin lebih baik kita dapat menentukan makna si penulis. Tapi satu resep untuk kehilangan makna teks adalah menjadi sangat mengenali tentang Alkitab. Pada akhirnya Paulus berkata kepada Timotius, “ Belajarlah untuk memperlihatkan dirimu diperkenan”?[2 Tim 2:15]
Alasan Tiga :
Ketidakjujuran
Alasan lainnya pemelintiran nas kitab suci semata karena ketidakjujuran. Petrus mengingatkan pembacanya bahwa Paulus menuliskan hal-hal yang sulit dimengerti, dimana mereka yang tidak stabil dan memelintirkannya dengan jahat mengakibatkan kehancuran bagi mereka sendiri ( 2 Petrus 3:15-16). Saya khawatir bahwa pendekatan semacam ini terhadap kitab suci mewakili sikap begitu banyak teman-teman. Bukan hanya para bidat. Kerap kali para penghotbah jatuh kedalam mangsa godaan, “Dapatkah ini dikhotbahkan?” bukannya pada sebuah peyakinan,”benarkah ini?” Beberapa tahun lalu, saya bekerja di sebuah gereja, mempersiapkan sebuah khotbah bagi para dewasa lajang. Pastor gereja tersebut sedang mempersiapkan sebuah khotbah untuk seluruh jemaatnya. Kala itu sebuah malam Sabtu. Dia masuk ke kantor saya dan bertanya kepadaku bagaimana saya memahami sebuah kata tertentu. Saya katakan kepada dia pilihan-pilihan yang saya anggap diizinkan dalam teks bahasa Yunani, memberikan dasar-dasar atas preferensi-preferensi khusus yang saya sampaikan. Tanggapannya adalah, “Jadi, anda tidak berpikir bahwa kata itu dapat bermakna ‘X’?” Saya menjawab bahwa X bukanlah sebuah opsi; bahasa Yunani (bahasa Perjanjian Baru-red) tidak dapat dipelintir agar bermakna seperti itu. Dia kemudian berucap, “Itu buruk sekali. Saya telah mempersiapkan khotbahku, dan salah satu poin fundamental yang saya buat didasarkan pada pemaknaan kata itu menjadi X. Sangat terlambat untuk mengubahnya sekarang.” Saya terperanjat. Disini seorang pria yang hendak naik ke atas mimbar keesokan harinya, mengetahui bahwa dia akan berkhotbah hal-hal yang bukan kebenaran!
Alasan lainnya pemelintiran nas kitab suci semata karena ketidakjujuran. Petrus mengingatkan pembacanya bahwa Paulus menuliskan hal-hal yang sulit dimengerti, dimana mereka yang tidak stabil dan memelintirkannya dengan jahat mengakibatkan kehancuran bagi mereka sendiri ( 2 Petrus 3:15-16). Saya khawatir bahwa pendekatan semacam ini terhadap kitab suci mewakili sikap begitu banyak teman-teman. Bukan hanya para bidat. Kerap kali para penghotbah jatuh kedalam mangsa godaan, “Dapatkah ini dikhotbahkan?” bukannya pada sebuah peyakinan,”benarkah ini?” Beberapa tahun lalu, saya bekerja di sebuah gereja, mempersiapkan sebuah khotbah bagi para dewasa lajang. Pastor gereja tersebut sedang mempersiapkan sebuah khotbah untuk seluruh jemaatnya. Kala itu sebuah malam Sabtu. Dia masuk ke kantor saya dan bertanya kepadaku bagaimana saya memahami sebuah kata tertentu. Saya katakan kepada dia pilihan-pilihan yang saya anggap diizinkan dalam teks bahasa Yunani, memberikan dasar-dasar atas preferensi-preferensi khusus yang saya sampaikan. Tanggapannya adalah, “Jadi, anda tidak berpikir bahwa kata itu dapat bermakna ‘X’?” Saya menjawab bahwa X bukanlah sebuah opsi; bahasa Yunani (bahasa Perjanjian Baru-red) tidak dapat dipelintir agar bermakna seperti itu. Dia kemudian berucap, “Itu buruk sekali. Saya telah mempersiapkan khotbahku, dan salah satu poin fundamental yang saya buat didasarkan pada pemaknaan kata itu menjadi X. Sangat terlambat untuk mengubahnya sekarang.” Saya terperanjat. Disini seorang pria yang hendak naik ke atas mimbar keesokan harinya, mengetahui bahwa dia akan berkhotbah hal-hal yang bukan kebenaran!
Pastinya,
para guru Firman tidak memiliki semua jawaban. Ada banyak hal yang kita
pertanyakan ditengah-tengah instruksi-instruksi kami. (Saya memiliki anjuran yang panjang, salah satu
hal yang
perlu dimiliki guru-guru Alkitab semestinya menerapkan kerendahan hati
ketika mereka tidak tahu. Akan tetapi,
biasanya hal itu-kerendahan hati terjadi ketika mimbar gereja sudah terhantam
dari segala sisi dengan lebih keras!).
Tetapi ini sangat berbeda daripada mengetahui bahwa kita berada dalam
kesalahan dan tetap mengajarkannya juga. Melewati garis etika memiliki konsekuensi-konsekuensi
tertentu. Tidakkah Yakobus menuliskan, “janganlah banyak orang di antara kamu
mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi
menurut ukuran yang lebih berat” [Yak 3:1].
Kita tidak
dapat selalu menyatakan dasar-dasar yang
Ilahi mengapa beberapa rekan menggunakan
Alkitab dalam cara yang semacam ini, cara yang tidak pernah dikehendaki untuk
digunakan. Tetapi kita memiliki tanggungjawab menjadi pelayan-pelayan firman
yang baik. Tidakah seharusnya sikap kita sama dengan jemaat di Berea? Ketika orang-orang di Berea mendengarkan injil yang dikhotbahkan Paulu, Lukas memberitahukan kepada kita bahwa mereka lebih
berpikiran luhur ketimbang jemaat di Tesalonika, karena mereka telah
menerima hal-hal yang Paulus katakan
dengan sukacita, namun mereka juga menyelediki kitab suci untuk memeriksa pengajaran Paulus (Kisah Para Rasul 17:11)!
Kita sepatutnya mendengarkan firman dengan
telinga yang kritis dan sebuah senyum
pada wajah kita.
Pada artikel selanjutnya, saya akan
mengeksplorasi ayat-ayat yang kerap dipelintirkan. Esai-esai ini memang dibuat menjadi sangat singkat. Walaupun memang benar
bahwa sebagian tujuan kami untuk mengoreksi beberapa instruksi yang buruk,
teks-teks pilihan biasanya memiliki sebuah nilai yang lebih unggul yang
membuatnya harus didengarkan. Kita jarang mendengarkan khotbah mereka, akan
tetapi, karena kita telah diinstruksikan dalam interpretasi populer sedemikian
lamanya sehingga kita tidak dapat mengenali makna sejati dari sebuah teks. Kita
akan menutupnya dengan sebuah contoh. Kerap dalam pernikahan, sebuah ayat diambil
dari kitab Rut yang berbunyi :” sebab ke
mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di
situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut
1:16). Kata-kata itu diucapkan oleh
isteri kepada suami. Ini merupakan sentimen yang besar, dan setiap suami kan
berbahagia karena isterinya menyatakan hal ini. Tetapi Rut tidak mengatakan
kata-kata ini kepada Boaz (suaminya).
Dia mengatakan hal ini kepada ibu mertuanya! Membacakan ayat-ayat
ini pada sebuah pernikahan sama dengan
memelintirkan ayat-ayat ini dari konteksnya. Hal salah ini
dilanjutkan mungkin karena sebuah
penyebab yang baik,
mengekspresikan sebuah sentimen
romantis, tetapi hal itu
merupakan pemelentiran Kitab suci
walau bagaimanapun juga.
ScriptureTwisting: Read me First! | Diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
ScriptureTwisting: Read me First! | Diterjemahkan dan diedit oleh : Martin Simamora
No comments:
Post a Comment