Sebelas Tesis
Daniel B. Wallace, Ph.D di Indonesia- dalam acara Sola Scriptura |
Inilah pengalaman penyakit kanker yang diidap oleh anak lelakiku yang membangunkan
semua kesadaranku, yang membawaku kembali
kepada hal-hal yang paling mendasar. Dan diluar pengalaman ini saya sedang
bergulat dengan isu-isu praktis tentang pneumatology ( doktrin Roh Kudus).
Saya hendak
menawarkan sebelas saran, sebelas tantangan—sebelas tesis jika anda mau—yang berkaitan dengan area-area ini dalam
kehidupanku sendiri yang Tuhan sampaikan. Saya belum sampai dengan 95 buah—dan ini
bukanlah Schlosskirche of Wittenberg
(Gereja di Wittenberg). Tetapi saya berharap dan berdoa agar esai ini akan
membantu orang-orang Kristen lainnya penganut pandangan “cessationist”
terhindar dari perangkap dimana saya
terjerembab kedalamnya.
(1) Walaupum tanda
karunia-karunia telah berakhir pada abad pertama, Roh Kudus tidak. Para penganut pandangan “cessationist”
dapat membenarkan secara teologi, tetapi
secara pragmatis kita berlaku seolah-olah
Roh Kudus telah mati bersama dengan para
rasul. Ini merupakan tesis fundamentalku, dan ini layak untuk
dieksplorasi. Apa yang dapat kita
lakukan sebagai cessationist dalam meneguhkan apa yang sedang dilakukan
oleh Roh Kudus saat ini? Apa yang
Yesus maksud ketika dia berkata “Domba-Ku
mendengarkan suaraku” (Yohanes 10:27)?
Apakah yang dimaksud Paulus ketika dia mendeklarasikan,”Semua yang dipimpin Roh adalah anak-anak Allah” (Roma 8:14)? Apakah yang dimaksud Yohanes ketika dia menulis, “Engkau memiliki pengurapan dari Dia yang Kudus” (1 Yohanes 2:20)” Saya semakin diyakinkan walaupun Tuhan tidak berkomunikasi dalam sebuah cara yang bertentangan dengan nas-nas kitab suci, dia kerap berkomunikasi dalam sebuah cara non verbal kepada anak-anaknya. Memberikan mereka jaminan, membawakan kedamaian, memandu mereka melalui kehidupan yang ganas. Menyangkali bahwa Tuhan berbicara secara verbal kepada kita saat ini selain dari kitab suci bukan untuk menyangkali bahwa dia berkomunikasi kepada kita selain dari kitab suci.
(2) Walaupun para penganut kharismatik terkadang memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada pengalaman daripada kepada hubungan, evangelikal yang rasionalistik juga kerap kali memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada pengetahun daripada hubungan. Keduanya kehilangan nilainya. Dan Paulus dalam 1 Korintus, mengecam keduanya. Pengetahuan meletihkan; dan pengalaman tanpa kasih tidak bernilai.
(3) Penekanan pada pengetahuan semacam ini yang melampaui hubungan/relasi dapat menghasilkan pemberhalaan Alkitab (bibliolatry). Bagi saya sebagai professor Perjanjian Baru, teks merupakan pekerjaanku—tetapi saya telah membuatnya menjadi Tuhanku. Teks menjadi berhalaku. Izinkan saya mengatakan lebih gamblang lagi: Alkitab bukanlah anggota Tritunggal. Seorang wanita dalam gerejaku dengan wajah jenaka berkata kepada saya, “saya peraya akan Tritunggal: Bapa, Anak dan Kitab Suci. “ Sedihnya begitu banyak “cessationist” yang beroperasi seolah memang demikian.
Apakah yang dimaksud Paulus ketika dia mendeklarasikan,”Semua yang dipimpin Roh adalah anak-anak Allah” (Roma 8:14)? Apakah yang dimaksud Yohanes ketika dia menulis, “Engkau memiliki pengurapan dari Dia yang Kudus” (1 Yohanes 2:20)” Saya semakin diyakinkan walaupun Tuhan tidak berkomunikasi dalam sebuah cara yang bertentangan dengan nas-nas kitab suci, dia kerap berkomunikasi dalam sebuah cara non verbal kepada anak-anaknya. Memberikan mereka jaminan, membawakan kedamaian, memandu mereka melalui kehidupan yang ganas. Menyangkali bahwa Tuhan berbicara secara verbal kepada kita saat ini selain dari kitab suci bukan untuk menyangkali bahwa dia berkomunikasi kepada kita selain dari kitab suci.
(2) Walaupun para penganut kharismatik terkadang memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada pengalaman daripada kepada hubungan, evangelikal yang rasionalistik juga kerap kali memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada pengetahun daripada hubungan. Keduanya kehilangan nilainya. Dan Paulus dalam 1 Korintus, mengecam keduanya. Pengetahuan meletihkan; dan pengalaman tanpa kasih tidak bernilai.
(3) Penekanan pada pengetahuan semacam ini yang melampaui hubungan/relasi dapat menghasilkan pemberhalaan Alkitab (bibliolatry). Bagi saya sebagai professor Perjanjian Baru, teks merupakan pekerjaanku—tetapi saya telah membuatnya menjadi Tuhanku. Teks menjadi berhalaku. Izinkan saya mengatakan lebih gamblang lagi: Alkitab bukanlah anggota Tritunggal. Seorang wanita dalam gerejaku dengan wajah jenaka berkata kepada saya, “saya peraya akan Tritunggal: Bapa, Anak dan Kitab Suci. “ Sedihnya begitu banyak “cessationist” yang beroperasi seolah memang demikian.
Salah satu
warisan hebat Karl Barth yang terlupakan
adalah fokus kristosentrik yang kuat.
Adalah hal yang memalukan bahwa
terlampau banyak dari kita yang telah bereaksi
terlampau kuat terhadap Barth, oleh
karena kegairahan kita untuk memperlihatkan kekurangan-kekurangan pada doktrin
Alkitab, kita telah menjadi penyembah-penyembah Alkitab dalam proses. Barth dan Calvin
membagikan sebuah kehangatan, sebuah kesalehan, sebuah devosi/ketaatan, sebuah
ketakjuban dalam hadirat Tuhan yang
tidak terlalu dijumpai didalam begitu banyak buku-buku teologia yang tebal dan
berjilid-jilid, yang dihasilkan oleh
rekan-rekan dalam
komunitas-komunitas kita.
(4)Efek lansung dari
pemberhalaan Alkitab yang sedemikian adalah Tuhan yang pribadinya terlucuti. Pada akhirnya, kita tidak lagi berelasi atau membangun hubungan dengan Dia. Tuhan menjadi obyek
investigasi kita ketimbang Raja yang kepadanya kita menjadikannya subyek.
Vitalitas agama kita menjadi
memuakkan. Tuhan dibedah dan
dipotong-potong menjadi tiga ( dalam hal ini bagi anda penganut Trikotomi), pandangan kita berubah dari “
Saya percaya kepada” menjadi “Saya yakin bahwa.”
(5) Bagian dari dorongan untuk melucuti kepribadian Tuhan adalah sebuah upaya yang lebih besar untuk memegang kendali Apa yang sangat saya sesalkan mengenai kharismatik adalah mereka kehilangan kontrol, atas emosionalisme mereka. Kami menakutkan hal itu. Kami dapat nyaman atau menerima dengan fakta bahwa bagian dari buah Roh adalah “penguasaan diri.” Tetapi dengan ini kita bermaksud “Lakukan semua hal dalam keteraturan”—termasuk dalam menyembah Tuhan. Tetapi tidak seharusnyakah kita boleh memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam devosi kita kepadanya? Bukankah tidak seharusnyakah kita menjatuhkan diri kita kepada-Nya, menyadari bahwa terlepas darinya kita tidak dapat berbuat apapun?
Sebaliknya, sebagai seorang yang berpandangan “cessationist,” kita ingin memegang kendali di sepanjang waktu. Bahkan ketika itu berarti bahwa kita membungkam Tuhan. Ini merupakan isu kendali yang telah membuat teman saya menjadi seorang yang cesaationist begitu lamanya. Sekarang sebagai seorang anggota gerakan Vineyard, dia cukup bahagia: dia mengakui bahwa dia tidak pernah memimpin di gerejanya yang pertama. Ditengah-tengah apa yang saya anggap sebagai peralihan heterodox pada sebagian dirinya, walaupun ini merupakan terobosan yang tulus dengan Tuhan.
(6) Tuhan tetaplah Tuhan yang menyembuhkan dan mengerjakan mujizat-mujizat. Sebagai seorang cessationist, saya dapat membenarkan/mengiakan fakta mujizat-mujizat yang terjadi pada masa kini tanpa mengkonfirmasi pembuat mujizat. Tuhan tetaplah Tuhan yang menyembuhkan sekalipun aku berpikir modus operandi normalnya tidak melalui seorang penyembuh iman. Problem dengan beberapa kharismatik adalah : bahwa mereka percaya bahwa Tuhan tidak hanya dapat menyembuhkan, bahwa Tuhan HARUS menyembuhkan. Ini salah satu alasan mengapa, hingga kira-kira beberapa waktu lalu, charismata telah menjadi sebuah gerakan diantara para Arminianisme. Beberapa tahun lampau saya secara resmi dinyatakan mengidap semacam virus ensapalitis yang aneh. Saya mengunjungi rumah sakit demi rumah sakit, dan akhirnya berakhir di sebuah Klinik di Mayo. Pada sebuah rumah sakit, seorang teman Kristen datang membesukku. Temanku yang perempuan ini mendoakanku dengan panjang, masuk kedalam hal ritual, memerintahkan Tuhan untuk menyembuhkanku! Baginya, Tuhan pada dasarnya adalah sebuah alat, sebuah instrumen yang dipergunakan Kristen yang mahakuasa. Jika imannya (atau imanku) cukup kuat, Tuhan HARUS menyembuhkanku. Begitulah cara ajaib itu bekerja.
(5) Bagian dari dorongan untuk melucuti kepribadian Tuhan adalah sebuah upaya yang lebih besar untuk memegang kendali Apa yang sangat saya sesalkan mengenai kharismatik adalah mereka kehilangan kontrol, atas emosionalisme mereka. Kami menakutkan hal itu. Kami dapat nyaman atau menerima dengan fakta bahwa bagian dari buah Roh adalah “penguasaan diri.” Tetapi dengan ini kita bermaksud “Lakukan semua hal dalam keteraturan”—termasuk dalam menyembah Tuhan. Tetapi tidak seharusnyakah kita boleh memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam devosi kita kepadanya? Bukankah tidak seharusnyakah kita menjatuhkan diri kita kepada-Nya, menyadari bahwa terlepas darinya kita tidak dapat berbuat apapun?
Sebaliknya, sebagai seorang yang berpandangan “cessationist,” kita ingin memegang kendali di sepanjang waktu. Bahkan ketika itu berarti bahwa kita membungkam Tuhan. Ini merupakan isu kendali yang telah membuat teman saya menjadi seorang yang cesaationist begitu lamanya. Sekarang sebagai seorang anggota gerakan Vineyard, dia cukup bahagia: dia mengakui bahwa dia tidak pernah memimpin di gerejanya yang pertama. Ditengah-tengah apa yang saya anggap sebagai peralihan heterodox pada sebagian dirinya, walaupun ini merupakan terobosan yang tulus dengan Tuhan.
(6) Tuhan tetaplah Tuhan yang menyembuhkan dan mengerjakan mujizat-mujizat. Sebagai seorang cessationist, saya dapat membenarkan/mengiakan fakta mujizat-mujizat yang terjadi pada masa kini tanpa mengkonfirmasi pembuat mujizat. Tuhan tetaplah Tuhan yang menyembuhkan sekalipun aku berpikir modus operandi normalnya tidak melalui seorang penyembuh iman. Problem dengan beberapa kharismatik adalah : bahwa mereka percaya bahwa Tuhan tidak hanya dapat menyembuhkan, bahwa Tuhan HARUS menyembuhkan. Ini salah satu alasan mengapa, hingga kira-kira beberapa waktu lalu, charismata telah menjadi sebuah gerakan diantara para Arminianisme. Beberapa tahun lampau saya secara resmi dinyatakan mengidap semacam virus ensapalitis yang aneh. Saya mengunjungi rumah sakit demi rumah sakit, dan akhirnya berakhir di sebuah Klinik di Mayo. Pada sebuah rumah sakit, seorang teman Kristen datang membesukku. Temanku yang perempuan ini mendoakanku dengan panjang, masuk kedalam hal ritual, memerintahkan Tuhan untuk menyembuhkanku! Baginya, Tuhan pada dasarnya adalah sebuah alat, sebuah instrumen yang dipergunakan Kristen yang mahakuasa. Jika imannya (atau imanku) cukup kuat, Tuhan HARUS menyembuhkanku. Begitulah cara ajaib itu bekerja.
Pada saat
yang sama, problem pada banyak non Kharismatik adalah walau mereka mengklaim
bahwa Tuhan dapat menyembuhkan, mereka berlaku seolah dia tidak akan
menyembuhkan. Kita kerap tidak percaya akan kemampuan Tuhan—kita tidak
sungguh-sungguh yakin bahwa Tuhan dapat menyembuhkan.
Ini dapat berwujud dalam ragam bentuk.
Saya mungkin tidak akan berdoa bagi
seseorang karena pengertianku akan kedaulatan Tuhan :”Apapun yang akan terjadi
tetap akan terjadi, dan tidak ada yang dapat aku lakukan untuk mengubah pikiran
Tuhan.” Oleh karena itu, kita dapat memaklumi kelemahan doa pada seseorang yang
yakin akan kedaulatan Tuhan. Atau kita dapat memiliki pandangan yang
berlawanan: “Tuhan sungguh-sungguh tidak cukup berkuasa untuk melakukan hal
semacam ini. Pasti, dia dapat melakukan
mujizat-mujizat tetapi mujizat-mujizat
itu hanya sedikit dan belum tentu terjadi.
Mujizat-mujizat itu mungkin sudah mendekati kuotanya untuk tahun ini,
lantas mengapa peduli dengan doa?”
Jadi,
problem dengan beberapa kharismatik
adalah sebuah penyangkalan terhadap kedaulatan Tuhan; problem dengan
beberapa non kharismatik adalah sebuah
penyangkalan akan kemampuan Tuhan atau kebaikan Tuhan atau kedua-duanya. Dan tidak satupun dari kedua kelompok ini menjadi
tulus sepenuhnya dengan Tuhan. Tidak juga sepenuhnya tunduk mempercayai Dia.
(7) Rasionalisme
Evangelikal dapat membawa kepada kecacatan rohani. Saya sedang merujuk kepada
kesesakan nafas karena tercekik oleh Roh dalam pelatihan teologia pasca
sarjana, demikian juga dengan rayuan akademia. Hampir semua professor seminari
dapat mengemukakan contoh-contoh para siswa bertalenta yang telah kita didik yang
nampaknya telah kehilangan semua keyakinan Kristen mereka dalam sebuah panggung akademik. Bagi
banyak dari kita, mengingat akan
hal ini sungguh amat menyakitkan. Berapa kalikah kami telah mengirimkan
Daniel-Daniel ke sarang singa-singa, hanya untuk mengatakan kepada mereka oleh
karena tindakan kita maka doa-doa tidak menghasilkan hal baik apapun?
Satu contoh utama yang sangat sulit bagiku untuk dipikirkan. Salah satu muridku di program Master yang sangat cerdas, dua dekade lalu pergi melanjutkan ke program doktoral di Oxford. Pelatihan seminari mereka telah mempersiapkan mereka dengan baik dalam eksegesis. Tetapi seminari itu tidak mempersiapkan mereka dengan baik dalam hal doa. Beberapa tahun lalu saya berjumpa dengannya dan mendapatkan dirinya tidak hanya bingung akan warisan evangelikalnya, dia bahkan mempertanyakan keunikan Yesus. Mahasiswa ini memiliki senjata simpanan dalam bantahannya: saksi yaitu Roh, sesuatu yang tidak dapat disentuh oleh orang non Kristen. Hingga hari ini saya bertanya-tanya seberapa besar saya telah berkontribusi terhadap kebingungan orang ini dan bantahannya terkait saksi Roh.
Satu contoh utama yang sangat sulit bagiku untuk dipikirkan. Salah satu muridku di program Master yang sangat cerdas, dua dekade lalu pergi melanjutkan ke program doktoral di Oxford. Pelatihan seminari mereka telah mempersiapkan mereka dengan baik dalam eksegesis. Tetapi seminari itu tidak mempersiapkan mereka dengan baik dalam hal doa. Beberapa tahun lalu saya berjumpa dengannya dan mendapatkan dirinya tidak hanya bingung akan warisan evangelikalnya, dia bahkan mempertanyakan keunikan Yesus. Mahasiswa ini memiliki senjata simpanan dalam bantahannya: saksi yaitu Roh, sesuatu yang tidak dapat disentuh oleh orang non Kristen. Hingga hari ini saya bertanya-tanya seberapa besar saya telah berkontribusi terhadap kebingungan orang ini dan bantahannya terkait saksi Roh.
Bukan berupa
bukti-bukti historis saja yang dapat
menuntun seseorang untuk menerima kebangkitan sebagai kebenaran. Roh harus
bekerja didalam hati kita, mengatasi sikap kita yang tidak komunikatif. Ketika
lulusan-lulusan kita melanjutkan ke
pekerjaan doktoral, dan melupakan bahwa
Roh telah membawa mereka kepada Kristus untuk kali pertama, dan meneguhkan kesaksianya dalam hati kita,
mereka telah siap untuk mengalami kerusakan rohani. Kita harus diingatkan
kembali—khususnya bagi mereka yang hidup dalam lingkungan akademik—bahwa eksegesis
dan apologetika bukan merupakan puncak kehidupan Kristen.
Saya
tidak hanya berbicara dari
pengalaman siswa-siswaku. Dalam program
doktoralku, sementara dengan seriusnya
bergulat dengan bukti kebangkitan,
saya tiba-tiba mendapatkan diriku dalam sebuah krisis eksistensial. Saya
sedang membaca sebuah teologia biblikal pada saat itu, sedang bergulat
dengan dua pemikir besar, Rudolf
Bultmann dan Karl Barth. Saya terkesan
dengan fakta yang sama kuatnya dengan
bukti historkal tentang kebangkitan, ada
dan selalu akan menjadi sebuah ukuran untuk meragukan. Bukti itu sendiri tidak dapat
menjembatani jurang antara kita dengan
Tuhan. Sebanyak-banyaknya bukti yang saya inginkan untuk
menjembatani semuanya, saya tidak dapat melakukannya juga. Pada satu
titik ada sebuah keputus-asaan yang nyata
segera mengemuka. Hanya ketika saya
dengan enggan menerima fakta yang
harus melibatkan sejumlah iman—dan
itu melalui perantaraan Roh— saya dapat melewati keputusasaan
itu. Elemen-elemen iman yang tidak dapat
diverifikasi telah menjadi Sesuatu yang memalukan bagiku, ketimbang menjadi
sebuah jangkar.
Selanjutnya : 11 Tesis, nomor 8-11
Introduction:Who's Afraid of the Holy Spirit? The Uneasy Conscience of a Non-CharismaticEvangelical| diterjemahkan dan diedit oleh : Martn Simamora
Selanjutnya : 11 Tesis, nomor 8-11
Introduction:Who's Afraid of the Holy Spirit? The Uneasy Conscience of a Non-CharismaticEvangelical| diterjemahkan dan diedit oleh : Martn Simamora
No comments:
Post a Comment