Oleh : Robin Schumacher, Ph.D
Seorang skeptik Bertrand Russel menuliskan kalimat berikut ini yang ada didalam bukunya berjudul Why I am Not a Christian : “Ada sebuah ketimpangan serius bagi pemikiran saya terkait karakter moral Kristus dan itu adalah bahwa Dia percaya akan adanya neraka. Saya sendiri tidak merasakan bahwa siapapun juga yang benar-benar berbelas kasihan dapat percaya pada penghukuman kekal…orang akan menemukan sebuah amarah pendendam secara berulang terhadap orang-orang yang tidak mendengarkan khotbah Yesus…saya harus katakana bahwa saya memikirkan semua doktrin ini, bahwa api neraka sebuah penghukuman bagi dosa, adalah sebuah doktrin kejam.”
Ada sebuah tren yang mengemuka yaitu universialisme, sebuah ide yang mengajarkan semua orang akan menghabiskan kekekalan bersama dengan Tuhan dan tidak seorangpun yang akan menderita. Akan tetapi sebuah pembacaan pada injil-injil tidak sedikitpun memberikan keraguan bahwa Yesus percaya pada keberadaan neraka secara harfiah; Dia bahkan mengajarkan bahwa beberapa orang akan menghabiskan kekekalannya di sana. Namun demikian beberapa orang Kristen menganut pada pandangan universialis dan mencoba untuk menyebarluaskan isu dengan merujuk pada bapa gereja perdana, Origen yang mengklaim bahwa Neraka pada dasarnya sebuah “pengajaran” dan proses penyucian dari api purgatori. Contoh terbaru dan paling terlihat adalah buku berjudul Love Wins karya Rob Bell.
Akan tetapi
tidak ad exegesis atau penjelasan kitab
suci, tak peduli sehebat apapun disimpangkan, dapat menaklukan pengajaran Yesus
yang sangat jelas. Ini dapat sama eksplisitnya
seperti kalimat penutup Yesus
dalam khotbah di bukit dimana Dia berkata :” Masuklah melalui pintu yang sesak
itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan
banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan
yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya"(Matius
7:13-14).
Atau, neraka
adalah sesuatu yang lebih halus manakala Kristus mengutip Mazmur :” Sebab Daud sendiri berkata
dalam kitab Mazmur: Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah
kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuh-Mu menjadi tumpuan kaki-Mu” (Lukas
20:42-43).
Yesus secara
konsisten dan konstan mereferensikan
penghakiman dan Neraka, dan karena hal
ini beberapa orang meninggalkan
Dia. Tetapi mereka seharusnya tak
berlaku demikian; justru mereka semestinya bergegas merangkul-Nya karena Dia
adalah keselamatan mereka ( 1 Tesalonika 5:9).
Mereka
yang mempertanyakan bagaimana Tuhan yang kasih (Yesus) dapat mengirimkan
siapa saja ke Neraka akan mengabaikan
dua hal kunci. Pertama, mereka gagal
menyadari bahwa semua dosa terlebih
dahulu bersifat vertikal sebelum horisontal . Dosa semacam ini tindakan melawan
Tuhan yang kekal, dan karenanya, dosa
semacam ini kekal dan menuntut penghukuman kekal.
Ini tidak
seharusnya mengejutkan siapapun juga
sebab keadilan dan tingkat
penghukuman kerap dikaitkan kepada status atau pentingnya orang yang menjadikan
target . Sebagai sebuah contoh,
tindakan yang mengancam kehidupan saya dan tidak ada tindakan legal
yang nyata terhadap anda. Tetapi dalam hal mengancam kehidupan presiden maka anda akan
dengan segera ditahan dan menghilang dari masyarakat untuk jangka waktu
panjang.
Kedua, siapapun yang meragukan kompas moral Yesus pada topik Neraka
seharusnya mengerti keterkaitan yang
unik antara belas kasihan dan keadilan
Tuhan. Merupakan fakta bahwa didalam setiap agama atau iman di dunia ini—selain
daripada Kristen—ketuhanan dipertanyakan kala memberikan belas kasihan dalam menegakan keadilannya.
Tetapi hal semacam ini malah melawan kerangka-kerangka moral pada diri kita sebagaimana juga dengan sistem legal. Kita tidak akan pernah berpikir seorang hakim yang benar membiarkan seorang pencuri atau pembunuh pergi bebas (tanpa pertanggungjawabab atas tindak kejahatannya) begitu saja dikarenakan perbuatan-perbuatan baik yang mereka lakukan di masa lalu. Para pelaku kejahatan harus menerima ganjaran atas seluruh tindak kejahatannya.
Tetapi hal semacam ini malah melawan kerangka-kerangka moral pada diri kita sebagaimana juga dengan sistem legal. Kita tidak akan pernah berpikir seorang hakim yang benar membiarkan seorang pencuri atau pembunuh pergi bebas (tanpa pertanggungjawabab atas tindak kejahatannya) begitu saja dikarenakan perbuatan-perbuatan baik yang mereka lakukan di masa lalu. Para pelaku kejahatan harus menerima ganjaran atas seluruh tindak kejahatannya.
Kekristenan
berbeda. Dalam kekristenan Tuhan
memberikan belas kasih melalui keadilan-Nya. Kebenarannya adalah bahwa kita
semua telah berdosa terhadap Tuhan yang kekal dan kita layak menerima Neraka yang dikatakan
Yesus. Tetapi karena Tuhan adalah Kasih
dan mengasihi kita, Dia menyediakan belas kasihan dan sebuah jalan untuk
melepaskan diri dari penghukuman kekal.
Tetapi Tuhan
juga adil. Seseorang harus membayar ganjaran dosa, dan Yesus dengan suka rela
memberikan dirinya untuk menerima peluru itu bagi kita semua. Kita hanya harus percaya kepada-Nya untuk menerima
karuni tersebut.
Pada
intinya, Kristus telah mati bagi Gereja-Nya, tetapi Dia juga mati bagi Tuhan
sehingga memuaskan keadilan-Nya. Paulus mengungkapkan fakta ini ketika dia
berkata , “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena
iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya,
karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa
kesabaran-Nya. Maksud-Nya ialah untuk
menunjukkan keadilan-Nya pada masa ini, supaya nyata, bahwa Ia benar dan juga
membenarkan orang yang percaya kepada Yesus” (Roma 3:25-26).
Apakah Yesus
“jahat” karena Dia mengajarkan hal
tentang Neraka? Tidak. Dia
tak terbayangkan baiknya kala berbicara tentang kebenaran tersebut.
Dia menyediakan belas kasihan dan kasih dari Tuhan di satu sisi dan memuaskankeadilan Tuhan di
saat yang sama bagi mereka yang percaya
kepada-Nya.
Apa yang tidak disukai tentang Yesus?
Setelah musuh-musuh-Nya melemparkan segala
sesuatu dan mencuci kesalahan pada-Nya,
hasil akhir dari enam pengadilan agama
dan sekular ilegal disimpulkan
dalam kata-kata Pilatus, “ Saya
tidak menemukan kesalahan pada orang ini” (Lukas 23:4). Walaupun beberapa
pihak masih berupaya untuk mencoreng karakternya, kesimpulan yang sama
juga dianut oleh mereka yang mendekati Dia dengan sebuah hati dan pikiran yang tulus.
Ketika
memutuskan bagaimana untuk memotret Yesus dalam karyanya yang terkenal Chronicles
of Narnia ,C.S. Lewis memilih cara berikut ini, yang mana saya pikir merupakan karya
hebat dalam menggambarkan natur
dan kebaikan Kristus :
“Apakah dia—cukup aman? Aku akan merasa lebih gugup untuk menemui seekor singa.”
“Apakah dia—cukup aman? Aku akan merasa lebih gugup untuk menemui seekor singa.”
“Kamu bisa sayang,
dan jangan berbuat salah,” kata ibu Beaver, “jika ada siapapun juga yang dapat tampil didepan Aslan tanpa lututnya
bergemelutuk, mereka jelas lebih berani dibandingkan dengan hampir
semua atau sebagian yang memang bodoh.”
“Jadi dia
tidak aman?” Kata Lucy
“Aman?” Ujar pak Beaver.” Tidakkah kamu dengarkan apa yang dikatakan bu Beaver kepadamu? Siapa yang mengatakan apapun tentang aman?” Tentu dia tidak aman. Tetapi dia baik.”
“Aman?” Ujar pak Beaver.” Tidakkah kamu dengarkan apa yang dikatakan bu Beaver kepadamu? Siapa yang mengatakan apapun tentang aman?” Tentu dia tidak aman. Tetapi dia baik.”
What don’t
you like about Jesus? - Part 2 | diterjemahkan oleh Martin Simamora
Apabila anda berminat untuk lebih dalam mengetahui tentang Universialisme yang diajarkan Rob Bell, bisa mempelajari slide berikut ini :
Apabila anda berminat untuk lebih dalam mengetahui tentang Universialisme yang diajarkan Rob Bell, bisa mempelajari slide berikut ini :
No comments:
Post a Comment