אָמֵן׃ ,אֶחָד הָאֱלֹהִים ,הַקֹּדֶשׁ וְרוּחַ וְהַבֵּן הָאָב בְּשֵׁם
ܒ݁ܫܶܡ ܐܰܒ݂ܳܐ ܘܰܒ݂ܪܳܐ ܘܪܽܘܚܳܐ ܕ݁ܩܽܘܕ݂ܫܳܐ ܚܰܕ ܐܰܠܳܗܳܐ ܐܰܡܺܝܢ
بسم الاب والابن و الروح
القدس، الاله الواحد،آمين
EKSISTENSI “AGAMA ASLI
INDONESIA” DAN PERKEMBANGANNYA DARI MASA KE MASA*)
Oleh: Bambang Noorsena
*) Disampaikan
dalam Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka “Permohonan Uji Materi
Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965”, di Jakarta, 23 Maret 2010.
Copyright © 2015 Institute For Syriac Culture
Studies
I.
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan/
Penodaan Agama − terlepas dari maksud untuk menjaga dan melindungi keluhuran
nilai-nilai agama − kenyataannya
jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi, khususnya
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.
Penjelasan
Pasal 1 undang-undang ini jelas hanya memprioritaskan 6 agama yang diakui
pemerintah, sekaligus mendapat bantuan dan perlindungan, yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha dan Kongfusius. Sedangkan agama-agama lain, misalnya
Yahudi, Sarazustrian, Shinto, Thaoism, sekalipun tidak dilarang tetapi terkesan
dinomor duakan, seperti tampak pada rumusan “…dan mereka dibiarkan adanya, asal
tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau
peraturan perundang-undangan lainnya”.
Ada lagi
penjelasan Undang-undang ini yang jelas-jelas merendahkan eksistensi aliran
kepercayaan yang berbunyi: Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha
menyalurkan kearah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ungkapan ini jelas-jelas menempatkan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa seolah-olah mereka menjadi “objek
binaan”, karena karena pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bahkan
dalam Penjelasan Umum angka 2,
disebutkan bahwa kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan
“… bahwa pada akhir-akhir ini hampir di
seluruh Indonesia timbulnya aliran-aliran dan organisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan
hukum agama”. Terkesan bahwa tolok ukur “ajaran-ajaran dan hukum agama”
yang dimaksud di sini adalah agama-agama resmi yang diprioritaskan negara (Penjelasan pasal 1), dan aliran-aliran
tidak resmi (termasuk yang muncul dari salah satu agama) harus tunduk pada definisi agama-agama resmi.
Karena
itu, agama-agama resmi itu perlu dijaga dengan Pasal 1 Undang-undang ini, di mana “penafsiran yang berbeda” dan “membuat
kegiatan keagamaan yang menyerupai” dari agama-agama resmi tersebut
dianggap sebagai delik penodaan agama. Inilah letak masalahnya, siapakah yang
harus menentukan standardisasi tafsir agama, atau siapakah yang berhak
menentukan salah atau benar suatu keyakinan? Jadi, sama sekali bukan menyetujui agama dinodai, tetapi masalahnya pada kriteria penodaan agama
dalam undang-undang ini didominasi oleh
agama-agama yang diakui pemerintah.
Kembali
kepada eksistensi aliran kepercayaan yang terdiskriminasi, selanjutnya Penjelasan Umum angka 2 juga
menyebutkan: “Di antara
ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah
banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan
nasional dan menodai agama”. Sejarah membuktikan justru ekstrimisme yang
membahayakan persatuan nasional sering tumbuh subur dalam agama-agama resmi,
bukan kepercayaan tradisional.
Sejarah
panjang perjalanan bangsa Indonesia justru
menunjukkan bahwa “agama asli” bersikap sangat ramah, inklusif, dan toleran
terhadap agama-agama pendatang. Lalu mengapa yang jadi “tolok ukur” justru
agama-agama pendatang, dan bukan pada keyakinan tradisional yang memang jarang
mendefinisikan atau membuat pembakuan keyakinan? Di bawah ini akan dibuktikan
eksistensi agama asli Indonesia dan bagaimana perkembangannya dari masa ke
masa. Dalam lintas sejarah dibuktikan bahwa agama-agama pendatang disambutnya
ramah, bukan dianggap sebagai musuh dan ancaman, sebaliknya dihargai,
diadaptasi dan diterima untuk menghiasai mozaik
keyakinan asli yang menyangga dan mendasarinya.
II.
Definisi Agama (Religion)
Sebelum
menguraikan apakah yang disebut “Folk Religion (agama asli)” dan
bagaimana perkembangannya dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, izinkanlah
saya menguraikan dahulu definisi agama itu sendiri dari beberapa bahasa yang
akhirnya diserap dalam bahasa Indonesia.
H. Zainal
Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan Pemikiran terhadap Agama,
kata “agama” berasal dari bahasa
Sanskerta “tidak kacau”: a berarti “tidak”, dan gama berarti “kacau”. Sedangkan menurut P.J. Zoelmulder dan R.O. Robson dalam Kamus
Jawa Kuno-Indonesia, kata “agama” telah diserap dalam bahasa
Jawa kuno yang mengandung beberapa arti: “doktrin
atau ajaran tradisional yang suci”, “himpunan
doktrin”, “karya-karya suci”.
Dalam makna ini kata agama muncul dalam berbagai karya sastra Jawa kuna, antara
lain: Adiparwa, Wirataparwa, Ramayana, dan sebagainya.
Tidak
jauh berbeda dengan P.J. Zoelmulder, menurut L. Mardiwarsito dalam Kamus
Jawa Kuna-Indonesia kata agama berarti: (1) ilmu, ilmu pengetahuan; (2)
hukum atau perundang-undangan; dan (3) agama atau religi. Kata “agama”
dalam makna religi ini misalnya dijumpai dalam Kakawin Negarakertagama
(XXV,2): “Mapanji santara widagdheng agama wruh kawi”. Artinya: “Para
panji yang lain ahli dalam pengetahuan agama dan mahir pula dalam kesusastraan”.
Kata “agama”
memang diserap dari bahasa Sanskerta:
a
berarti “tidak” dan gama “bergerak”, artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan
mengikat bagi yang mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa
Jawa kuna “agama” berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu
aspeknya “kepastian”. Karena itu,
kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu Hayamwuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama
lain dari Kutaramanawa), dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Wikramawardhana (1389-1427 M)
disebut Sang Hyang Adi Āgama. Perlu dicatat pula, bahwa Undang-undang Adi Agama warisan
Majapahit ini sampai sekarang masih
diberlakukan di Bali, khususnya berkaitan dengan tindak pidana adat Lokika Sanggraha yang diatur dalam Pasal 384 Adi Agama jo. Pasal 5 ayat (3)
sub b Undang-undang Nomor 1/Drt/1951.
Ungkapan
lain yang diserap dari bahasa-bahasa Barat adalah “Religi”, “Religion”.
Kata religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya religare
yang berarti “mengikat”. Jadi, arti
“religio”
di sini adalah way of life lengkap
dengan peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya, sebagai alat
untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama
manusia dan alam semesta.
Sedangkan
dalam bahasa-bahasa semitik di Timur Tengah, “agama” disebut dalam
bahasa Arab “Dîn”, yang sering dimaknai sebagai lembaga ilahi yang memimpin
manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Terlepas dari makna syar’i dalam konteks Islam, kata Arab dîn
ternyata cognate dengan bahasa-bahasa
semitik: danu (Akkadia), den (Ibrani), dîn/dîna
(Aramaik/Suryani) yang berarti “religion”, “cult”. Selain itu dalam
bahasa Ibrani dan Aramaik, kata den juga berarti “pengadilan”, misalnya
seperti ungkapan Ibrani: Yom
ha-Den (hari Pengadilan), yang sejajar juga dengan bahasa Arab: Yaum ad-dîn (hari pembalasan/
hari pengadilan).
Selain
kata dîn,
dalam bahasa Arab juga dikenal kata Millah, yang juga sejajar dengan
bahasa Aramaik Milta (firman, kata). Sekali lagi, terlepas dari makna syar’i-nya, kata Arab millah
juga berkaitan dengan “ketaatan”, “kepasrahan” manusia kepada Allah, yang
dalam agama-agama semitik diteladankan dari sosok kepasrahan Ibrahim (Abraham) kepada Sang Pencipta, yang dijuluki “Bapa orang-orang
beriman” (Arab: Abu al-Mu’minin,
Ibrani: Ab ha Ma’a-minim) dalam
Yudaisme, Kristen dan Islam.
Dari
ungkapan-ungkapan berbagai bahasa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama
atau religi mengandung baik unsur “pengabdian”, “kepasrahan” − sebagai kata
kerja − maupun “sekumpulan ajaran yang dianggap benar” − sebagai kata benda.
Yang pertama “agama” sebagai gerak
hati dan religiusitas, yang kedua
“agama” sebagai “ajaran-ajaran baku”, atau “ajaran-ajaran yang dibakukan” oleh
lembaga keagamaan (the organized religion).
Jadi, dalam makna di atas maka apa yang disebut “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” adalah agama (religion)
dalam makna yang semurni-murninya secara ilmu agama-agama (Inggris: the sciense of religions, Jerman: Religionswisseschaft; Perancis: la science de religion).
Bahwa
definisi agama atau religion ini tidak
sesuai dengan definisi yang diberikan oleh agama-agama besar dunia (Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, dan sebagainya) ini adalah masalah lain. Lebih
tegasnya, “dîn” atau “millah” dalam Islam, “dîn/dîna” atau “religio” dalam Kristen, atau “agama”, “dharma”,
“dhamma”
dalam Hindu dan Buddha adalah makna
teologis yang diberikan oleh agama-agama tersebut terhadap suatu ungkapan yang secara bahasa adalah netral. Padahal
soal teologi atau akidah adalah “wilayah”
keyakinan, dan soal itu di luar
wewenang ilmu agama-agama, yang tidak berpretensi membenarkan atau menyalahkan
keyakinan suatu agama.
III. Eksistensi “Agama Asli”
dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa
Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia
sudah berTuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas
segala-galanya. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang
Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan
selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhanan yang
lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang sepanjang sejarah masuk dan diterima
ramah oleh bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia dalam
lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran
dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar
diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks kebudayaannya
sendiri.
Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat
diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:
1.
“Agama Asli”
Pada Era Pra-Hindu
Prof. Dr. Purbatjaraka mencatat bahwa jauh sebelum kedatangan
Hindu/Buddha sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan
menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dari
era pra-Hindu dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli,
sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu
sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang
(Tuhan, yang diagungkan), Sang
Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha
Esa), dan Sang Hyang Taya (Sang
Maha Tiada). Maksudnya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuna ini
masih terpelihara dalam bahasa Sunda,
Teu
Aya (tidak ada).
Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa (Jilid II)
membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar
dunia, antara lain mengutip ungkapan Van
Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian).
Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah
(Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati (Batak), dan lain-lain,
menunjukkan ada keyakinan tentang Yang
maha Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Akar kata
bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi
kata Tuhan, sejajar dengan bahasa
Nusantara kuna lainnya: Hyang. Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara
menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”).
J. Ensink, seorang sarjana Belanda, mendukung kesimpulan Pigeaud, sarjana Perancis pendahulunya,
yang mencatat salah satu ciri kepercayaan asli Indonesia antara lain tercermin
dalam klasifikasi alam “serba dua” (mono-dualistis):
Bapa
angkasa-Ibu pertiwi; Nini among-Kaki among, Kiri-Kanan, Kaja-Kelod, dan
sebagainya, di mana keduanya berbeda tetapi saling berdampingan secara
abadi. Filosofi inilah yang menyangga
pendekatan alam yang serba harmoni, yang terbukti menjadi tiang penyangga
tradisional perekat kebangsaan kita dari zaman pra-sejarah hingga NKRI.
Selanjutnya,
kekuatan Yang Maha tinggi itu sering
diibaratkan dengan “gunung”. Simbol
keyakinan asli Indonesia ini, meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis
tertua dari Indonesia sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana, berbahasa Sanskerta (150 M)
yang berbunyi: “Yavadwipa matikramya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena Dewa
danawasevitah (Di ujung Nusantara, berdiri gunung Sisira, yang
puncaknya bersalju menyaput langit, dikunjungi oleh para
dewa dan danawa)”.
Jadi,
sebelum bangsa India datang ke Nusantara, sudah terdengar dari India sendiri
tentang negeri Nusantara dengan gunung
Parwata-nya yang dikunjungi Dewa. Maksudnya, gunung yang menjadi simbol
penyembahan kepada Sang Pencipta. Akan dibuktikan dalam tulisan ini
selanjutnya, bahwa pemujaan kepada Sang Pencipta dengan simbol “gunung Parwata” ini, masih terus
bertahan di tengah-tengah berjayanya agama Hindu/Buddha pada zaman Majapahit.
Sebab tenyata Mpu Tantular sendiri
(abad XIV M) bukan pemuja Siwa maupun Buddha, melainkan seorang yang memuja Sri Parwata Raja, istilah yang lahir
dari local
genius bangsa Indonesia pada zamannya. Istilah ini kini sejajar dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
“Agama Asli”
Pada Era Hindu-Buddha
Pada masa
kejayaan Hindu-Buddha, konsep agama asli secara ramah menyambut kedatangan Hindu/Buddha. Namun pengaruh
Hindu/Buddha ini hanya memperindah mozaik spiritualitas Nusantara, tetapi sama sekali tidak sampai larut
dalam samudera spiritualitas India. Bahkan sering
kali spiritualitas asli ditempatkan
di atas agama-agama India. Ungkapan-ungkapan India sering dipinjam tetapi disesuaikan dengan alam pikiran asli
Indonesia. Beberapa contoh di bawah ini membuktikannya:
2.1.
Zaman Kerajaan Sriwijaya
Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional
pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya
ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang
melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra)
demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang nayik di samwau manalap
siddhayatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke bahtera pergi
menjemput berkah keba-hagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhiyatha adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan
adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa). Bahkan dibuktikan
bahwa nama Dapunta Hyang secara
jelas membuktikan pemujaan kepada Sang
Hyang (Tuhan) sebelum masuknya
pengaruh Hindu/ Buddha.
2.2.
Zaman Kerajaan Sunda
Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
dari kerajaan Sunda kuno, ditulis
kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya
disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah
ing Hulun di Sanghyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca
Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi
kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agama-agama yang datang – yang diwakili dengan kata “Bathara”
– ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi
bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang” (Mangkubumi
berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada dewa-dewa, dan dewa-dewa berbakti
kepada Hyang/Prinsip Ketuhanan yang universal).
2.3.
“Agama Asli” Pada Era Kerajaan
Mataram Kuno, Kediri, Singasari, dan Majapahit
Perkembangan kedua agama selanjutnya
menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab
Siwa dan Buddha, pada masa-masa
sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah,
berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur secara
bertahap, dari relasi co-existence
meningkat menjadi relasi “pro-existence”
(saling ada dan saling berbagi). Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada
karya-karya sastra sebagai berikut:
Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari ditekankan kerukunan
antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha (Semua menjadi satu, kita
yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha), tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan
sosiologis. Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha
tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu), mulai merenungkan relasi
keduanya secara metafisik. Raja
Kertanegara, pencetus politik
persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan).
Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha
disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu
sendiri.
Puncak dari refleksi mengenai prinsip
universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond
religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua,
yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya
beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak
menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum
negara”. Pada era keemasan Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu
disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan
mengandung unsur-unsur prinsipil
baik Siwa maupun Buddha.
Prinsip Ketuhanan yang lebih universal
tersebut dapat dibaca dalam Kakawin
Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut:
Rwaneka dhatu winuwus wara
Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa
kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa.
Artinya:
“Disebutkan bahwa Sang Hyang
Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya
sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan
keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak
ada kebenaran yang mendua”.
Siapakah Sri Parwataraja? Seperti telah disinggung sebelumnya dalam tulisan
ini, Sri Parwata Raja adalah istilah
bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari
melalui agama-agama India (Siwa, Buddha) atau penghayat kepercayaan asli
(karesian). Bahwa Sri Parwata Raja
adalah “prinsip tertinggi, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan
Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha
ning anatha), “Raja dari segala raja di dunia” (Pati ning Jagad pati),
dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang
ning hyang inisthi)”.
Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang
Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta
Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum
kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu
yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh
luar, yang ternyata tidak pernah
menenggelamkan jatidiri bangsa kita.
Spiritualitas agung Nusantara yang
mengatasi aspek lahiriah agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam
menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan
mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya.
2.4.
Kerajaan Demak dan Pajang
Kebebasan beragama yang bersumber pada
kesadaran Holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan
dengan prinsip “negara agama” (theokrasi).
Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah
belah Nusantara itu, antara lain
ditunjukkan dengan “pengadilan atas
keyakinan yang berbeda” berdasarkan
tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan Demak dengan jelas membuktikan
kebangkrutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner”
yang kurang memberi tempat pada keyakinan
iman yang berbeda-beda.
Dalam kaitannya dengan paham kebangsaan, Bung Karno, dalam pidatonya tanggal 1
Juni 1945 ketika mengusulkan Dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita
hanya memiliki dua kali negara nasional
(Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit.
Karena keduanya bukan “negara
agama”, maka keduanya pernah berhasil
mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang
berbeda dalam formula iman dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun
alasannya. Tetapi ketika Demak
menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama
ageming aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syekh Siti Jenar, dan sejak Demak Nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan
Nusantara, sesama Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak.
2.5. Kerajaan Mataram
Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba
mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan
kolonialisme dan Imperialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama
yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan ajaran Manunggaling Kawula-Gusti berdasarkan “Serat
Dewa Ruci”, atas laporan dari Ketib
Anom yang mewakili Islam Santri.
Serat Dewa Ruci adalah salinan dan pengembangan dari naskah Jawa kuna berjudul Nawa Ruci, karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit. Kasus “beda tafsir agama”
ini dicatat dalam Serat Cabolek.
Selanjutnya menarik untuk
dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat berkembang, di kemudian hari
masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelompok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi
(yang cenderung kepada Kejawen). Serat
Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Mutamakin yang “dituduh
mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita
mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sinuhun Paku Buwana II tampaknya tidak suka kepada para ulama yang
berusaha mengadili keyakinan Mutamakin, sehingga Mutamakin dibebaskan dari
tuduhan mengajarkan ajaran sesat. Kedua paham yang berbeda tersebut akhirnya
boleh berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa negara secara bijak mengambil jarak
dari soal-soal yang termasuk dalam ”ruang
privat” warga negara.
Bercermin dari “kaca
benggala” sejarah di atas, patut
dipertanyakan apakah beberapa kasus pengadilan atas keyakinan seseorang
atau sekelompok orang a la Syeh Siti Jenar ini akan terus
berlangsung, gara-agara negara terlalu turut campur dalam menentukan sesat
tidaknya sebuah aliran agama, seperti tersirat dan tersurat dari Pasal 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965? Sekali lagi, dengan mengatakan bahwa
undang-undang penodaan agama harus dicabut tidak
berarti bahwa saya menyetujui penodaan terhadap nilai-nilai luhur agama. Sama sekali bukan, melainkan jangan sampai negara terlalu
jauh mencampuri urusan sesat/ tidaknya sebuah agama atau aliran kepercayaan
yang sepanjang sejarah dari zaman ke zaman selalu tumbuh dalam masyarakat
Indonesia.
IV.
Mengkritisi unsur-unsur
Tindak
Pidana Penodaan Agama
Jelaslah
bahwa pembatasan terhadap hanya 6 agama yang diakui pemerintah, ditinjau dari
sudut ilmu agama-agama − dan ini jelas di luar kewenangan pemerintah untuk
mengurusinya − jelas-jelas tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tampak sekali “definisi agama” yang melatarbelakangi munculnya undang-undang diskriminatif ini adalah jelas-jelas definisi agama menurut agama
tertentu. Misalnya, syarat-syarat
bahwa agama harus mempunyai konsep Tuhan, Kitab Suci, dan Nabi adalah jelas-jelas definisi Islam. Diantara
agama-agama semitik saja (Yahudi, Islam dan Kristen), konsep Nabi, Kitab Suci
dan pewahyuan saja sudah berbeda, lebih-lebih lagi agama-agama non-Semitik,
seperti Hindu dan Buddha.
Agama-agama
semitik mengklaim diri sebagai “agama monoteis”, dan bisa saja menuduh
agama lain “politheis”, atau minimal “kurang
monotheis”. Padahal baik tradisi monotheisme, monisme dan pantheisme semua ada dalam agama Hindu.
Sebaliknya, agama Buddha jelas-jelas terpaksa menerima syarat harus
ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”, padahal filosofi
ajaran Buddha jelas-jelas bersifat non-theis
(bukan atheis, melainkan non-theis sebab tidak mengenal konsep Tuhan sebagai Personal
God). Lebih-lebih lagi dalam satu agama, misalnya Kristen/ Protestan,
ada lebih dari “satu penafsiran”. Begitu juga dalam Islam, Hindu, Buddha dan
sebagainya. Lalu apabila terjadi lebih
dari satu tafsir terhadap kitab suci masing-masing, bagaimana harus menerapkan ketentuan
dalam pasal 1 “melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang berlaku di
Indonesia?”
Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor1/PNPS/1965 juga bisa menghalangi studi ilmu
agama-agama. Misalnya, dalam Kristen kadang-kadang berkembang penafsiran akademis atas
agama Islam. Tentu saja “penafsiran Kristen” atas Islam ini berbeda dengan
Islam. Apakah ini termasuk penodaan agama? Sebaliknya, apabila seorang teolog
Muslim mengembangkan penafsiran atas Kristen dengan memakai ayat-ayat Alkitab
yang jelas-jelas berbeda dengan pandangan Kristen sendiri. Apakah perbedaan
penafsiran ini juga melanggar undang-undang penodaan agama? Kalau dijawab, “Ya!”, berarti Ibnu Taimiyyah dan Imam al-Ghazali juga bisa
dikenakan tuduhan melakukan penodaan terhadap agama Kristen. Karena Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Jawâb
ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al-Masîh (Jawaban yang Benar atas orang
Yang mengubah agama Kristus), yang menafsirkan
ayat-ayat Alkitab berbeda dengan “penafsiran resmi” Kristen.
Begitu juga dengan Imam al-Ghazali
(wafat 1111 M), dalam bukunya Ar-Radd al-Jamîl li Ilahiyyati ‘Isa bi
Syarîh al-Injîl (Penolakan Sempurna atas keilahian Yesus berdasarkan
Injil yang Otentik), seharusnya juga
bisa dikenakan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama, karena buku ini berisi
penafsiran a la Islam atas teks-teks
Suci Kristen demi mendukung pandangan teologis Islam sendiri. Kalau kita
menengok sejarah agama-agama dan penyiaran-nya, pertanyaan bisa semakin
panjang. Misalnya, proses
“islamisasi” (yang bisa disambung dengan “kristenisasi”) cerita-cerita wayang
yang cerita-ceritanya banyak mengadaptasi dari India.
Jangan-jangan
penulis “Babad Cirebon” dapat
dikenai delik penodaan agama, karena
menafsirkan pustaka Kalimasada dengan tafsiran Islam Kalimat Syahadat. Padahal
Kalimasada
berasal dari bahasa Sanskerta Kalimahosadha (Kali, “zaman Kali”, “zaman Kegelapan”; maha,
“besar” dan usadha “penyembuh”), artinya “Penyembuh besar pada zaman Kegelapan”. Keterangan mengenai pustaka Kalimahosada
ini dapat dibaca dalam Kakawin Barata
Yuddha (syair XLI,5), karya Mpu
Sedah (1135-1157 M), seorang pujangga Prabu
Jayabaya Kediri, sebagai berikut:
“….enget
ring wekasan Yudhisthira sukang pinituturan tan dwang sanjata pustaka
Kalimahosada rinegepira. Sampun sida sinidikara dadi tomara mangarab-arab.
Artinya:
“Akhirnya Yudistira menemukan kembali
kesadarannya dan ia suka dalam hati, karena ada orang-orang yang
mengingatkannya. Dengan wajarnya ia memegang senjata pusaka Kalimahosada,
mantera-menteranya diucapkan secara sempurna, sehingga senjata itu memiliki
kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak sakti yang berkobar-kobar”.
Kalau
kita lacak lebih jauh lagi, sebagaimana disimpulkan dari hasil penelitian Hazeu, Rassers dan Kruyt, Wayang adalah seni pertunjukan asli Jawa yang berfungsi untuk penyembahan kepada Sang Pencipta. Pada awal
kerajaan Hindu, wayang masih berfungsi sebagai ritual penyembahan, sekalipun
sudah diisi dengan cerita-cerita Hindu. Hal ini terbukti dari prasasti Balitung (905 M): “…Si
Galigi mawayang bwat Hyang, macarita Bhima ya kumara” (Si Galigi
memainkan wayang untuk menyembah Tuhan, bercerita tentang Bhima ketika masih
muda).
Apakah
memakai pertunjukan wayang Jawa demi menyiarkan prinsip-prinsip ajaran Hindu
dan kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah “penodaan agama”? Pada zaman Islam
para wali memakai wayang demi dakwah Islam, dan kisah-kisah Hindu
di-“islam”-kan habis-habisan, sampai-sampai dalam Serat Kanda Bathara Guru (Sang Hyang Siwa), Dewa Pralina dalam agama Hindu, diidentikkan
dengan Iblis, yang mengaku diri Tuhan? Begitu juga, dalam sejumlah naskah
Jawa-Islam dewa-dewa Hindu
diturunkan derajatnya menjadi keturunan Nabi
Adam? Bukankah ini memenuhi rumusan delik “… atau membuat kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”?
Memang,
bagi orang Muslim dan Kristen, pertunjukan wayang hanyalah tontonan, tetapi bagi orang Jawa kuna adalah kegiatan
keagamaan. Jadi, apakah
menggunakan istilah-istilah Jawa-Hindu dan menafsirkan dengan ajaran Islam bukan merupakan penodaan agama menurut Penjelasan pasal 2 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965?
Dengan
kata-kata “kegiatan keagamaan”
dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan
suatu aliran dengan agama, mempergunakan istilah dalam menjalankan atau
mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya dan sebagainya (Penjelasan Pasal 2).
Perlu
dipertanyakan “menggunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya”. Siapakah yang bisa mengklaim bahwa suatu “pola ibadah” dan term-term keagamaan tanpa pengaruh dari bahasa-bahasa yang
digunakan oleh komunitas agama sebelumnya. Misalnya, membaca Kitab dengan tartil yang dikenal Tilawat Al-Qur’an dalam Islam, ternyata sebelumnya sudah ada dalam komunitas Kristen Ortodoks di Timur Tengah dengan sebutan “mulahan
Injil”. Dari zaman pra-Islam sampai sekarang adab pembacaan Kitab Suci
ini dikenal di seluruh gereja-gereja ortodoks, baik di Timur Tengah, Eropa
Timur dan Rusia. Kita semua bisa menyaksikan di negera-negara Arab, bagaimana
orang Kristen mengajikan Injil sangat
mirip dengan umat Islam mengajikan ayat-ayat Al-Qur’an.
Begitu
juga pemakaian jilbab sudah dikenal
di Code Hamurrabi (abad XIV SM),
yang kemudian dilestarikan oleh
orang Yahudi, Kristen Timur dan kemudian dilanjutkan
oleh Islam. Bagi kita yang hidup di Indonesia, kalau ada orang Kristen membaca
Injil dengan dingajikan bisa dituduh
membuat “kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama itu (Islam)”, padahal di Timur Tengah orang Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai adab ibadah yang
hampir sama, karena ketiga agama itu memang mempunyai akar dan rumpun yang sama.
Khususnya
untuk penghayat Kepercayaan dilarang
menggunakan istilah “agama” (setelah
istilah yang diambil dari bahasa Jawa kuna ini mengalami pembakuan oleh
pemerintah), secara historis bisa dipertanyakan: “Siapakah yang lebih dahulu memakai istilah “agama””? Bukankah kata
“agama” telah terlebih dahulu
diserap dalam bahasa Jawa kuna,
sedangkan kata ini tidak dijumpai
baik dalam Injil maupun Al-Qur’an? Begitu juga soal pembakuan bahwa agama harus
mempunyai konsep “Tuhan”, “Nabi”, “Kitab Suci”, ini benar-benar sebuah bentuk imperialisme doktriner yang menggunakan
kekuasaan negara, bahkan tidak sesuai dengan jalannya logika dan fakta sejarah.
Sebab faktanya kaum penghayat mempunyai konsep yang sama sekali berbeda. Orang
Jawa tidak pernah mengenal nabi atau
rasul. Kasunyatan Jawi, misalnya,
memandang bahwa ibu kita sendiri adalah “utusan”
Tuhan untuk melahirkan kita. Tentu saja konsep “utusan” ini sangat berbeda
bila dipahami menurut logika agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Namun paham Kristen atau Islam ini tentu tidak bisa dijadikan “tolok ukur”
untuk menilai keyakinan atau pandangan
lain yang berbeda. Sebab sekali
lagi, dalam konteks ilmu agama-agama,
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah “agama dalam pengertian yang
sebenar-benarnya”.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, maka kami memandang bahwa Undang-undang
Nomor 1/PNPS/1965 tidak diperlukan
dan harus dicabut, karena telah
mendeskriminasi agama dan kepercayaan lain di luar yang diakui oleh
Pemerintah. Rumusan delik sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 1 sangat sulit dilaksanakan, karena secara faktual
bertentangan dengan sejarah agama-agama itu sendiri:
Pertama, kriteria “melakukan
penafsiran terhadap suatu agama yang berlaku di Indonesia” bertentangan dengan fakta bahwa tidak pernah ada tafsir tunggal dalam
satu agama itu sendiri, apalagi
antara agama yang satu dengan agama lainnya. Kegiatan saling menafsirkan agama
dari perspektif agama yang dianut oleh penafsirnya, justru sepanjang sejarah
telah terjadi. Lebih-lebih dalam prakteknya selama ini, perbedaan tafsir dengan “versi agama resmi” ini telah menjadi
justifikasi terhadap tindakan kekerasan atas nama kebenaran agama, seperti yang
khususnya dialami oleh kaum penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, kriteria “membuat
kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu” juga bertentangan dengan fakta sejarah agama. Kesamaan istilah atau term-term keagamaan, pola ibadah, dan
sebagainya, kadang-kadang muncul karena
keserumpunan agama (misalnya: Yahudi, Kristen dan Islam di Timur Tengah; Hindu dan Buddha di India; Konfusius dan Tao di Cina, dan sebagainya), atau beberapa
agama dalam perkembangannya tumbuh di
suatu tempat yang sama.
Sekali
lagi harus ditekankan bahwa pencabutan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tidak berarti membiarkan terjadi penodaan agama, sebab pasal-pasal
KUHP sudah mengaturnya. Pada prinsipnya, usulan pencabutan Undang-undang
Penodaan Agama ini salah satunya dilandasi
oleh alasan bahwa keberadaan Undang-undang ini telah membuat pemerintah terlalu jauh mengintervensi keyakinan
seseorang, yang seharusnya termasuk “wilayah
privat” masing-masing orang dalam tanggungjawab penuh kepada Sang
Hyang Tunggal, Gusti Kang Akarya Jagad (Tuhan Yang Maha
Esa, Pencipta alam semesta) dan sesama manusia, dan segenap makhluk ciptaan-Nya.
Copyright
© 2015 Institute For Syriac Culture Studies
No comments:
Post a Comment