אָמֵן׃ ,אֶחָד הָאֱלֹהִים ,הַקֹּדֶשׁ וְרוּחַ וְהַבֵּן הָאָב בְּשֵׁם
ܒ݁ܫܶܡ ܐܰܒ݂ܳܐ ܘܰܒ݂ܪܳܐ ܘܪܽܘܚܳܐ ܕ݁ܩܽܘܕ݂ܫܳܐ ܚܰܕ ܐܰܠܳܗܳܐ ܐܰܡܺܝܢ
بسم الاب والابن و الروح
القدس، الاله الواحد،آمين
EKSISTENSI “AGAMA ASLI
INDONESIA” DAN PERKEMBANGANNYA DARI MASA KE MASA*)
Oleh: Bambang Noorsena
*) Disampaikan
dalam Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka “Permohonan Uji Materi
Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965”, di Jakarta, 23 Maret 2010.
Copyright © 2015 Institute For Syriac Culture
Studies
I.
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan/
Penodaan Agama − terlepas dari maksud untuk menjaga dan melindungi keluhuran
nilai-nilai agama − kenyataannya
jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi, khususnya
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.
Penjelasan
Pasal 1 undang-undang ini jelas hanya memprioritaskan 6 agama yang diakui
pemerintah, sekaligus mendapat bantuan dan perlindungan, yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha dan Kongfusius. Sedangkan agama-agama lain, misalnya
Yahudi, Sarazustrian, Shinto, Thaoism, sekalipun tidak dilarang tetapi terkesan
dinomor duakan, seperti tampak pada rumusan “…dan mereka dibiarkan adanya, asal
tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau
peraturan perundang-undangan lainnya”.
Ada lagi
penjelasan Undang-undang ini yang jelas-jelas merendahkan eksistensi aliran
kepercayaan yang berbunyi: Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha
menyalurkan kearah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ungkapan ini jelas-jelas menempatkan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa seolah-olah mereka menjadi “objek
binaan”, karena karena pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bahkan
dalam Penjelasan Umum angka 2,
disebutkan bahwa kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan
“… bahwa pada akhir-akhir ini hampir di
seluruh Indonesia timbulnya aliran-aliran dan organisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan
hukum agama”. Terkesan bahwa tolok ukur “ajaran-ajaran dan hukum agama”
yang dimaksud di sini adalah agama-agama resmi yang diprioritaskan negara (Penjelasan pasal 1), dan aliran-aliran
tidak resmi (termasuk yang muncul dari salah satu agama) harus tunduk pada definisi agama-agama resmi.