Oleh: Henry Clarence Thiessen
Bacalah lebih dulu: “Persatuan Dengan Kristus dan Pengangkatan Orang Percaya Menjadi Anak-Anak Allah”
Pentingnya doktrin ini nampak dari pernyataan semacam ini, “Berusahalah
hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan
tidak seorangpun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Nas ini tidak sedang memberikan penekanan penuh kekuatan pada
realisasi kekudusan absolut dalam hidup, sebagai pengejaran untuk absolut kudus
pada diri. Petrus menulis, “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu
sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1Petrus 1:15).
Perbedaan-perbedaan pengajaran yang disampaikan pada saat ini membuat doktrin
ini perlu kita pandang secara cermat
pada pengajarannya. Mari kita mempelajari definisi, waktu, dan sarana-sarana
pengudusan.
I.Definisi Pengudusan
Kata benda “pengudusan” ditemukan beberapa kali
dalam Perjanjian Baru (Roma 6:19,22; 1Kor 1:30; 1 Tes 4:3dst,7; 2 Tes 2:13; 1
Tim 2:15; Ibra 12:14; 1Pet 1:2). Ada beberapa kata lain yang memiliki kaitan
ketat dengan kata pengudusan: kekudusan (Roma 1:4; 2Kor 7:1; 1Tes 3:13), kudus
(Kisah Para Rasul 7:33; 1Kor 3:17; 2Kor 13:12), orang kudus (1Kor 16:1; Efe
1:1; Fil 4:21), tempat kudus (Ibra 8:2), dan kuduskan atau dikuduskan (Matius
6:9; Yohanes 17:17; Ibrani 13:12). Kata kerja “menguduskan” memiliki sedikitnya
3 makna: menyatakan atau mengakui menjadi dapat disucikan, dikuduskan (Lukas
11:2; 1Petrus 3:15); memisahkan dari hal-hal yang najis dan mendedikasikan
kepada Allah, dikhususkan untuk tujuan suci (Matius 23:17; Yohanes 10:36;
17:19; 2Tim 2:21); dan dibersihkan dari
hal-hal kotor (Efesus 5:26; 1Tes 5:23; Ibra 9:13). Kata sifat “kudus” digunakan
pada berbagai hal (gunung, 2Petrus 1:18; cium, 1Kor 16:20), Roh (Roma 5:5),
Bapa (Yohanes 17:11; 1Pet 1:15), Hukum (Roma 7:12; 2Pet 2:21),
malaikat-malaikat (Markus 8:38), orang-orang percaya (Efe 1:1; Ibra 3:1),
nabi-nabi Perjanjian Lama (2Pet 3:2), dan lain sebagainya. Kerap kata sifat ini
digunakan sebagai sebuah substantif dan diterjemahkan “orang-orang kudus.” Dalam
cara ini, kata ini digunakan pada malaikat-malaikat (Yudas 14), orang-orang
percaya (Yudas 3; Wahtu 8:3), atau keduanya (1Tes 3:13). Apakah maknanya
menjadi seorang kudus dan menjadi orang yang telah dikuduskan?
Membicarakannya secara luas, kita dapat
mendefinisikan pengudusan sebagai sebuah pemisahan bagi Allah, sebuah
pengimputasian (diperhitungkannya)
Kristus sebagai kekudusan kita, pengudusan dari moral jahat, dan penyelarasan
pada citra Kristus.
A.Pemisahan Untuk Kepentingan Allah
Pemisahan untuk Allah didasarkan pada gagasan yang
pasti akan pemisahan dari kecemaran. Ini terutama berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang mati. Jadi Hizkia
menugaskan para Lewi untuk menguduskan
rumah Tuhan dengan mengeluarkan hal-hal sangat menjijikan dari tempat
kudus (2Tawarikh 29:5, 15-19). Biasanya, kita memiliki gagasan positif pada
pemisahan atau pendedikasian bagi Allah. Dalam pemahaman ini, tabernakel dan
bait suci telah dikuduskan beserta semua
perabot dan bejana (Keluaran 40:10 dst;
Bilangan 7:1; 2 Taw 7:16). Seorang manusia dapat menguduskan rumahnya atau
bagian pada ladangnya (Im 27:14-16). Tuhan telah menguduskan anak pertama Israel bagi dirinya sendiri
(Keluaran 13:2; Bil 3:3). Bapa menguduskan Anak (Yohanes 10:36), dan Anak telah
menguduskan dirinya sendiri (Yohanes 17:19). Orang-orang Kristen telah
dikuduskan pada saat pertobatan berimannya (1Kor 1:2; 1Pet1:2; Ibr 10:14).
Yeremia telah dikuduskan sebelum dia dilahirkan (Yer 1:5), dan Paulus berbicara
mengenai dirinya yang telah dipisahkan sejak di kandungan ibunya (Galatia 1:15).
B.Pengimputasian Atau Diperhitungkannya Kristus Sebagai Kekudusan Kita
Pengimputasian Kristus sebagai kekudusan kita
mendampingi pengimputasian Kristus sebagai kebenaran kita. Dia telah dijadikan
bagi kita baik kebenaran dan pengudusan (1Kor 1:30). Paulus mengatakan orang-orang percaya “telah
dikuduskan di dalam Kristus Yesus” (1Kor 1:2). Kekudusan ini didapatkan oleh
iman dalam Kristus (Kisah Para Rasul 26:18). “Pembasuhan air dengan firman”
telah mendahului pengudusan (Efe 5:26). Orang percaya dengan demikian telah diperhitungkan
kudus serta juga benar, karena dia (orang percaya itu) telah dipakaikan dengan kekudusan Kristus.
Dalam pemahaman ini, semua orang percaya disebut “orang-orang kudus,” tak
memandang kondisi rohani pada diri mereka sendiri (Roma 1:7; 1Kor 1:2; Efe 1:1;
Fil 1:1; Kol 1:2). Dalam kasus orang-orang Korintus, karakter ketidakkudusan
mereka secara khusus terlihat nyata (1Kor 3:1-4; 5:1dst; 6:1;11:17-22).
Orang-orang percaya Ibrani adalah orang-orang kudus, namun belum dewasa (Ibra
2:11; 3:1; 5:11-14).
C.Pembersihan Dari Moral Jahat
Pembersihan dari moral jahat, dalam realitanya,
merupakan bentuk lain pemisahan. Para imam telah diminta untuk menguduskan diri
mereka sendiri sebelum mendekat pada Allah (Keluaran 19:22), dan orang percaya
masa kini diminta untuk memisahkan diri mereka sendiri dari ketaksalehan pada
umumnya (2Kor 6:17 dst), memisahkan diri dari guru-guru dan
pengajaran-pengajaran palsu (2Tim 2:21; 2Yohanes 9dst), dan memisahkan diri
dari natur jahatnya sendiri (Roma 6:11 dst; Efe 4:25-32; Kol 3:5-9; 1Tes
4:3-7). Paulus menulis, “Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang
memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua
pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan
kita dalam takut akan Allah” (2Kor 7:1). Akan menjadi perhatian bahwa dalam
sejumlah nas, pengudusan diperlakukan sebagai sebuah tindakan tunggal seketika,
dan dalam nas-nas lain sebagai sebuah proses yang berkesinambungan; dalam
beberapa nas, pembersihan lebih
merupakan sebuah natur yang terwujud keluar atau terlihat, sementara
dalam nas-nas lainnya, pembersihan atau pengudusan pada pokoknya terjadi pada dalam diri manusia.
Dalam semua nas tersebut, pengudusan atau pembersihan dinilai sebagai sebuah
tindakan manusia dan bukan sebagai sebuah
tindakan Allah. Allah sudah mengkhususkan dirinya bagi setiap orang yang percaya dalam Kristus;
sekarang orang percaya mendedikasikan dirinya bagi Allah untuk kepentingan
penggunaan Allah.
D.Penyelarasan Pada Citra Kristus
Penyelarasan pada citra Kristus adalah aspek
positif dari pengudusan, sementara pengudusan
adalah aspek negatif, dan pemisahan dan pengimputasian kekudusan Kristus
adalah aspek posisional. Ada sejumlah nas yang menyentuh fase pengudusan ini. Paulus menulis, “Sebab semua
orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula
untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi
yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:29); “Yang kukehendaki ialah
mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya,
di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”(Fil 3:10); dan “Dan
kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan
karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah
menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar”(2Kor
3:18); bandingkan dengan Galatia 5:22f; Fil 1:6). Dan Yohanes berkata,”
Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita
adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi
kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama
seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya”
(1Yoh 3:2). Jelas, ini adalah sebuah proses yang berlangsung sepanjang hidup
dan baru akan mencapai keberbuahan penuh hanya ketika kita kelak melihat Tuhan.
II.Waktu Pengudusan
Pengudusan itu adalah sekaligus sebuah peristiwa seketika satu kali dan sebuah
proses. Dalam hal ini, berbeda dengan pembenaran atau justifikasi yang
merupakan sebuah peristiwa seketika yang
berlangsung satu kali, dan bukan sebuah proses. Mari kita mempelajari 3 elemen waktu dalam pengudusan.
A.Tindakan Awal Pengudusan
Ini adalah pengudusan poisional. Kitab suci
mengajarkan bahwa pada saat seorang manusia percaya kepada Kristus maka pada
saat itu juga dia dikuduskan. Ini jelas dari fakta bahwa orang-orang percaya
disebut orang-orang kudus dalam Perjanjian Baru tanpa memadang keadaan-keadaan
rohani pada dirinya (1Kor 1:2; Efe 1:1; kol 1:2; Ibra 10:10; Yudas 3). Pada
orang-orang Kristus, Paulus secara eksplisit berkata bahwa mereka “telah
dikuduskan” (1Kor 6:11), walau dia juga telah mendeklarasikan bahwa keadaan mereka “masih bersifat kedagingan” (1
Kor 3:3). Dalam 2 Korintus, dia mendesak mereka untuk “menyempurnakan kekudusan
dalam takut akan Tuhan” (7:1). Dalam surat Efesus, dia berkata mengenai “memperlengkapi
orang-orang kudus” (4:12) dan mendorong para pembacanya untuk berjalan “sebagai
sepatunya di antara orang-orang kudus” (5:3). Dalam surat-surat Tesalonika dia
memastikan para pembacanya adalah orang-orang yang sudah lebih dulu atau sejak
mula telah dikuduskan (2Tes 2:13), walau dia juga berdoa bagi pengudusan mereka
(1Tes 5:23dst).
Berdasarkan Ibrani 10:10, pengudusan dan persembahan
tubuh Kristus yang menang atau
gagal sama sekali. Penderitaan Kristus telah selesai tanpa pintu “ untuk menguduskan
umat-Nya dengan darah-Nya sendiri” (Ibrani 13:12). Jadi, kematian Kristus
diperlukan untuk pengudusan umatnya. Ketika seseorang menerima Kristus, dia
telah mengalami dirinya di dalam Kristus, pengudusan (1Kor 1:30). Ini bukan
Kristus plus pengudusan;
Kristus adalah pengudusan orang percaya. Orang percaya sekarang ini lengkap di
dalam dia (Kolose 2:10). Dia – orang percaya itu adalah seorang pemilik waris
kebenaran dan kekudusan Kristus, kebenaran dan kekudusan Kristus telah
diimputasikan atau diperhitungkan
kepadanya karena hubungannya dengan
Kristus, bukan karena usaha atau perbuatan apapun juga yang dapat dilakukannya
atau kelayakan apapun pada dirinya yang dapat dicapainya. Dia berdiri di
hadapan Allah, serupa dengan Kristus (Roma 8:29; 1Kor 1:30). Dalam pengudusan
posisional tidak ada kerja anugerah kedua, tidak ada pergerakan maju, tidak ada pertumbuhan.Karena
hubungan dengan Kristus yang bersifat posisi ini, orang percaya dinikmatkan
untuk berjalan “sebagai yang patut di antara orang-orang kudus” (Efesus 5:3).
B. Pergerakan Maju Pengudusan
Sebagai sebuah proses, pengudusan berlanjut seumur
hidup. Pada basis apa yang telah dilakukan orang percaya pada saat pertobatan
beriman, dia didorong untuk melakukan
hal sama secara aktual dalam pengalaman dirinya sendiri. Karena dia
telah “menanggalkan” dan “mengenakan,” dia sekarang “menanggalkan” dan “mengenakan”
(Kolose 3:8-13). Dimana penyerahan diri awal tidak mencakupnya, pertama ada
kebutuhan sebuah penghadiran yang definitif
pada hidup bagi Allah sebelum kekudusan yang dipraktikan dalam keseharian itu mungkin (Roma 6:13; 12:1 dst); tetapi
ketika orang percaya itu secara utuh didedikasikan bagi Allah, pergerakan maju dalam
pengudusan dijamin. Kemudian Roh Kudus akan mematikan tabiat-tabiat tubuh (Roma
8:13), mengerjakan di dalam diri orang percaya kepatuhan kepada Firman (1Pet
1:22), memproduksi buah Roh (Gal 5:22f), dan menggunakan orang percaya itu
dalam pelayanan Allah. Kemudian dia akan “bertumbuh di dalam anugerah dan
pengetahuan akan Tuhan dan Juruselamat Yesus Kristus” (2Pet 3:18), “bertambah
dan berlimpah dalam kasih” (1Tes 3:12), membersihkan dirinya sendiri “dari
segala kecemaran daging dan roh, menyempurnakan kekudusan dalam takut akan
Allah” (2Kor 7:1), dan ditransformasikan menjadi citra Kristus (2Kor 3:18; Efe
4:11-16). Paulus telah mendeklarasikan,” aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat
juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus” (Fil
3:12).
Ini bukan bermakna sejenis kesempurnaan tanpa dosa. “Sempurna” atau “tak bercacat” digunakan sejumlah
orang dalam kitab suci; namun demikian tidak bermakna tanpa dosa atau tak
bercela. Kata ini digunakan pada Nuh (Kejadian 6:9); namun faktanya Nuh
bukanlah seorang sempurna tanpa cela atau dosa begitu nyata dari kemabukannya
yang sungguh memalukan (Kejadian 9:20-27). Demikian juga pada Ayub yang disebut
“sempurna” atau “tak bercacat” (Ayub 1:1), tetapi dia dalam banyak hal tidak
sempurna. Ketika dia tiba pada pengertian akan Alah secara lebih penuh, dia
menjadi jijik pada dirinya sendiri dan bertobat dalam debu dan abu (Ayub 42:6).
Allah telah berkata pada Abram untuk berjalan dihadapannya dan menjadi sempurna
(Kejadian 17:1). Yesus telah memerintahkan, “Kamu harus sempurna, sebagaimana
Bapa surgawimu adalah sempurna” (Matius 5:48). Jika ini merujuk pada pada
ketakberdosaan dan keserupaan Allah yang
absolut, maka tidak ada orang Kristen pernah ada bisa memenuhi prinsip yang
harus dipenuhi ini. Adalah jelas dari konteksnya bahwa Yesus sedang mendorong
para pengikutnya untuk menjadi seperti Bapa dalam menyatakan kasih baik kepada
yang baik dan yang jahat. Paulus secara terbuka menyangkal telah menjadi orang
yang sudah sempurna dalam satu tarikan nafas dan dalam klaim-klaim selanjutnya telah menjadi sempurna (Fil 3:12,15). Jelas
bahwa satu pernyataan tersebut adalah
posisional dan pernyataan yang lainnya adalah pengudusan yang bersifat
pengalaman. Secara posisi, dia telah sempurna semenjak hari dimana dia telah
menjadi percaya kepada Kristus; secara pengalaman atau keseharian, dia telah
sempurna pada derajat tertentu. Kata Yunani yang sama digunakan dalam kedua
ayat tersebut, kecuali bahwa yang pertama adalah sebuah kata kerja dan yang
kedua adalah sebuah kata sifat. Kolose 1:28; 4:12; dan Ibrani 12:23
memperlakukan kekudusan sebagai sebuah tujuan yang harus dikejar untuk dicapai
hingga kesudahan, tetapi tidak di dalam hidup ini. Itu jelas dari nas-nas ini
dan yang lainnya bahwa kesempurnaan absolut tidak diharapkan dalam hidup ini.
Kita sampai pada konklusi yang sama oleh alur
argumen yang berbeda. Beberapa orang menggunakan 1 Yohanes 3:8 dst
untuk mendukung kesempurnaan tanpa dosa. Yohanes di situ menuliskan, “barangsiapa
yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari
mulanya... Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab
benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia
lahir dari Allah.” Perhatian pada bentuk
kalimat dalam bahasa Yunani menyingkirkan
kemungkinan bahwa ini adalah
kesempurnaan tanpa dosa, karena semuanya dalam bentuk “present” atau “saat ini.”
Berdasarkan itu, maknanya adalah, dia yang berkebiasaan dosa adalah berasal
dari iblis; dia yang berasal dari Allah
tidak berdosa secara berulang-ulang.
Jika bukan ini maknanya, maka Yohanes mengontradiksikan dirinya sendiri di
dalam epistel ini sendiri, karena dia berkata pada orang percaya apa yang harus
dilakukan jikalau dia berdosa. “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada
kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita
mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil. Dan Ia
adalah pendamaian untuk segala dosa kita” (1Yoh 2:1-2). Orang percaya diminta
untuk tidak berdosa, namun jika dia berbuat dosa dia memiliki sebuah cara
penyelesaian. Yohanes lebih lanjut berkata, jikalau kita berjalan dalam terang,
“darah Yesus Anak-Nya membersihkan kita dari segala dosa” (1Yoh 1:7). Dan
kembali, “Jika kita berkata bahwa kita tidak memiliki dosa, kita sedang menipu
diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1Yoh 1:8). Secara
pasti, kita harus menyimpulkan bahwa Yohanes tidak mengajarkan kesempurnaan
tanpa dosa sama sekali.
Hal yang sama dapat dikatakan terkait dengan
pengajaran bahwa kita telah mati bagi dosa (Roma 6:1-10). Adalah jelas bahwa
ini merupakan pengalam obyektif dimana orang percaya diidentifikasikan dengan
Kristus. Jika ini merupakan sebuah
pengalaman kematian absolut, mengapa kemudian Paulus mendesak bahwa kita masih
perlu untuk “menganggap/memandang” diri kita sendiri telah mati terhadap dosa
dan hidup bagi Allah (ayat 11)? Orang yang secara absolut telah mati tidak
perlu memandang diri sendirinya telah mati; dia sesungguhnya memang telah mati,
terlepas dari penimbangan atau penilaian semacam itu yang bagaimanapun.
Kita harus mewaspadai menyimpulkan bahwa hidup yang ditaklukan, yang tak sempurna adalah sebuah
hidup yang normal. Jika kehidupan tanpa dosa adalah sebuah doktrin yang tak
berlandas kitab suci, maka demikian juga ketaksempurnaan dan hidup dalam dosa.
Kitab suci, begitu jauh dari membolehkan
atau melanjutkan dosa dalam hidup orang
percaya, secara definitif melarang dosa dan menuntut bahwa kita
menghidupi sebuah hidup berkemenangan.
Jawaban bagi pertanyaan Paulus,”Apakah kita melanjutkan dalam dosa?”
(Roma 6:1), adalah penuh penekanan meminta perhatian penuh,”
Sekali-kali tidak!
Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di
dalamnya?” (ayat2). Sang rasul mengingatkan orang-orang Kristen bahwa mereka
yang hidup di dalam dosa tidak akan “mendapat bagian Kerajaan Allah” (1Kor
6:10).
C.Pengudusan
Final dan Utuh
Pengudusan final dan utuh masih menantikan melihat Kristus. Tak peduli berapa banyak kemajuan yang telah
dapat kita buat dalam hidup kekudusan, seluruh keselarasan pada Kristus hanya
akan direalisasikan ketika “Sang Sempurna datang” dan “dan ketidaksempurnaan
disingkirkan” (1Kor 13:10). Kita telah diselamatkan dari salah dan hukuman
dosa, sedang diselamatkan dari kuasa dosa, dan pada puncaknya akan diselamatkan dari kehadiran dosa itu sendiri.
Keselamatan kita dari kehadiran dosa akan berlangsung ketika kita kelak akan
memandang Tuhan, juga saat kematian (Ibra 12:23) atau saat kedatangannya (1Tes
3:13; Ibra 9:28; 1Yoh 3:2; Yudas 21). Tidak akan ada kemungkinan lebih lanjut
untuk berdosa setelah itu (Wahyu 22:11). Tubuh orang percaya kemudian akan
dimuliakan (Roma 8:23; Fil 3:20 dst) dan menjadi sebuah instrumen sempurna
kepatuhan kepada Tuhan. Prospek dari penyelerasan yang utuh terhadap citra Kristus harus mendorong kita
untuk menanggalkan sekarang ini semua hal yang tak kudus dari kehidupan kita
(1Yoh 3:2 dst).
III.Sarana-Sarana Pengudusan
Pertanyaan ini akan lebih diulas secara khusus pada
bab mendatang, tetapi perihal ini harus mendapatkan sebuah pertimbangan pendahuluan
di bab ini. Ada 2 pihak yang berurusan dengan pengudusan manusia: Allah dan
manusia. Akan tetapi, bukan hanya Allah sang Bapa saja yang menguduskan orang
percaya itu, tetapi sang Allah Tritunggal yang memiliki bagian dalam kerja
tersebut. Allah sang Bapa menguduskan orang percaya dalam pengudusan itu Bapa
memperhitungkan kekudusan Kristus kepada orang percaya (1Kor 1:30), bekerja di
dalam diri orang percaya yang mana
membuat orang percaya itu menyenangkan atau berkenan dalam pandangannya
(Ibr 13:21), dan mendisiplinkan orang percaya (Ibrani 12:9 dst; 1Pet 4:17 dst;
5:10). Kristus menguduskan orang percaya dengan menyerahkan hidupnya bagi orang
percaya itu (Ibra 10:10; 13:12), dan dengan menghasilkan kekudusan dalam orang
percaya itu oleh Roh (Roma 8:13; Ibra 2:11). Roh Kudus menguduskan orang percaya itu sehingga dia merdeka dari
natur kedagingan (Roma 8:2), Roh berjuang melawan manifestasi kedagingan itu
(Galatia 5:17), mematikan hakikat lama sehubungan
orang percaya menghasilkan bagi dia untuk penyaliban (Roma 8:13). Jadi ada
sebuah fungsi yang pasti pada setiap dari
tritunggal dalam pengudusan kita.
Dalam dirinya sendiri, manusia tidak dapat berbuat
apapun untuk mencapai pengudusan. Bahkan dalam diri orang percaya,
Allah harus mengambil inisiatif. Paulus berkata,” karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik
kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:13). Namun ada
sarana-sarana pasti bahwa manusia mungkin mewujudkan dalam pengudusannya. Di
sini, seperti pada bagian-bagian lainnya, iman kepada Kristus adalah langkah pertama yang harus diambil
(Kisah Para Rasul 26:18). Dia yang percaya kepada Kristus dikuduskan secara
posisional, karena Kristus memang pada momen itu telah mengadakan padanya pengudusan (1Kor 1:30). Selanjutnya
harus datang sebuah pengejaran kekudusan.
Orang yang tak mengalami ini setelah pengudusan tidak akan melihat Allah
(2Kor 7:1; Ibr 12:14). Ini semestinya membawa orang percaya itu mempelajari kitab
suci, karena firman-firman menyingkapkan
kondisi hati dan menunjukan jalan keluar
bagi kegagalan ( Yohanes 17:17,19; Efe 5:26; 1Tim 4:5; Yakobus 1:25).
Pelayanan yang dibentuk secara ilahi
juga memiliki bagiannya dalam menunjukan kebutuhan akan kekudusan dan
mendorong pengejarannya (Efe 4:11-13; 1
Tes 3:10). Penyerahan hidup yang pasti
kepada Allah menghasilkan sebuah kondisi
terpuncak pada pengudusan dalam
praktiknya atau dalam kehidupan sehari-hari (Roma 6:13, 19-21; 21:1 dst; 2Tim
2:21). Karena Allah harus membuat manusia itu kudus, jika manusia itu dapat senantiasa menjadi kudus, manusia harus
menyerahkan dirinya kepada Tuhan sehingga Allah dapat menyelesaikan pekerjaan
ini di dalam diri orang percaya itu.
Bab ini selesai.
Lectures
In Systematic Theology, Chapter 32 p.287-293|diterjemahkan dan diedit oleh:
Martin Simamora
Selanjutnya
akan memasuki bab-bab:“Dipelihara Allah Sejak Awal Hingga
Kesudahannya” dan “Sarana-Sarana
Anugerah”
No comments:
Post a Comment