Oleh: Dr. John Frame
Alkitab Pada Problem Kejahatan
Roma
3:1-8 (1) Jika demikian, apakah kelebihan orang
Yahudi dan apakah gunanya sunat?(2) Banyak sekali, dan di dalam segala hal.
Pertama-tama: sebab kepada merekalah dipercayakan firman Allah.(3) Jadi
bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan
itu membatalkan kesetiaan Allah?(4) Sekali-kali tidak! Sebaliknya: Allah adalah
benar, dan semua manusia pembohong, seperti ada tertulis: "Supaya Engkau
ternyata benar dalam segala firman-Mu, dan menang, jika Engkau dihakimi."(5)
Tetapi jika ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah, apakah yang akan
kita katakan? Tidak adilkah Allah--aku berkata sebagai manusia--jika Ia
menampakkan murka-Nya?(6)
Sekali-kali tidak! Andaikata demikian,
bagaimanakah Allah dapat menghakimi dunia?(7) Tetapi jika kebenaran Allah oleh
dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi
sebagai orang berdosa?(8)
Bukankah tidak benar fitnahan orang
yang mengatakan, bahwa kita berkata: "Marilah kita berbuat yang jahat,
supaya yang baik timbul dari padanya." Orang semacam itu sudah selayaknya
mendapat hukuman.
Harus
juga membaca: Roma 3:21-26, Roma 5:1-5, Roma 8:28-39
Bagi banyak orang dewasa ini
dan di sepanjang sejarah, problem kejahatan telah digambarkan sebagai keberatan
paling serius pada iman Kristen.
Beberapa filsuf yang sangat brilian telah berpendapat bahwa problem ini secara
konklusif/tak terbantahkan menyanggah keyakinan dalam Tuhan Kristen. Namun tak
hanya para profesor dan filsuf—orang awam, juga, kerap merasa ini problem yang
mendalam. Anda tidak perlu menjadi seorang
filsuf yang canggih untuk meragukan realita Tuhan ketika seorang yang
dikasihi sedang mengalami penderitaan
yang mengerikan. Pada saat-saat semacam ini “problem kejahatan” bukanlah
semacam argumen yang perlu dipelajari sebab hal itu pada dasarnya sebuah teriakan hati, “Bagaimana
bisa Tuhan yang kasih mengizinkan hal
ini?”
Seperti itulah, ringkasnya.
Versi filsuf yang canggih terkait
problem ini,biasanya, dengan sebuah semangat yang lebih kalem dan dengan sebuah
kosa kota yang sangat mengena. Namun si filsuf tidak menyatakan pertanyaan ini
dengan lebih baik; dan sejauh ini si filsuf meremehkan rintih jeritan hati,
dia melewatkan sesuatu yang penting.
Sehingga kita akan meletakan ini pada level yang sederhana. Untuk memahami,
untuk merasakan problem kejahatan, pikirkanlah sejumlah tragedi mengerikan yang
terlihat tidak memiliki nilai positif
yang bagaimanapun juga: pembantaian oleh Hitler, Stalin, atau Polpot; seorang
anak menderita kesakitan yang mengerikan
seperti mati perlahan karena kanker; seorang bayi Afrika sengsara kelaparan.
Pikirkanlah kasus-kasus dimana engkau
dapat berteriak, hampir-hampir tak dapat lagi anda tahan, “Bagaimana
bisa Tuhan yang kasih mengizinkan hal ini?” Anda lihat, bukan hanya orang tak beriman yang meneriakan hal itu. Orang-orang beriman kepada Kristus pun demikian. Ada
sesuatu yang secara universial manusia akan berteriak. Itu hampir-hampir sebuah
refleks. Itu adalah hal yang bergerak di sebuah kedalaman yang sangat.
"Lebih dari -PALING SEDIKIT- 1 juta rakyat Kamboja dibantai oleh Pol Pot melalui Khmer Merah-nya, DEMI mewujudkan UTOPIA AGRARIA" Credit : TIME |
Adakah sebuah jawab bagi
problem kejahatan? Baiklah, itu bergantung pada apa yang anda maksudkan dengan “jawaban.” Jenis “jawaban” seperti apa yang anda
inginkan untuk diterima? Jika apa yang anda inginkan adalah sebuah penjelasan
yang menyeluruh tentang darimana sala kejahatan itu datang, bagaimana hal itu
muncul, bagaimana itu mencapai maksud-maksud Tuhan, kalau itu, saya tidak dapat
menyajikannya. Saya tidak percaya dengan jenis jawaban seperti ini ada tersedia
bagi umat manusia, dan saya tidak percaya bahwa Tuhan berada dalam sebuah
kewajiban untuk memberikan jawaban semacam itu.
Tetapi jika apa yang anda inginkan
adalah sebuah dorongan, sebuah motivasi untuk terus bergerak mempercayai Tuhan
meskipun kejahatan tak terjelaskan, maka saya pikir saya dapat menolong. Jika
anda mencari semacam jaminan bahwa Tuhan
sepenuhnya maha kuasa, adil, baik, dan bijaksana meskipun banyak
godaan-godaan untuk tidak mempercayai
dia, saya percaya jaminan semacam itu ada tersedia, dan saya suka untuk
membagikan jaminan semacam itu dengan anda.
Jaminan itu datang dari
Alkitab, Firman Tuhan. Anda mungkin
menjadi sedikit kaget mendengar bahwa Alkitab berbicara mengenai problem
kejahatan. Kadang-kadang, saya pikir, kita bertindak dan berkata seolah problem
kejahatan telah merupakan sebuah
penemuan manusia moderen. Untuk meyakinkan, genosida telah terjadi 40 tahun
lampau; memang benar ada banyak kejahatan-kejahatan baru-baru ini yang
merisaukan iman kita kepada Tuhan. Namun tak satu juga dari kita,berangkali,
telah menderita sehebat Ayub, atau rasul Paulus, atau para pahlawan dalam
Ibrani 11. Pastinya, tak satu dari kita
dimungkinkan dapat membayangkan kedahsyatan penderitaan yang diderita
Yesus Kristus. Dan tak satu dari kita,berangkali, telah merefleksikan
penderitaan sedalam yang diderita Ayub, Paulus, atau Yesus Kristus. Ya, Alkitab
menuturkan sebuah urusan besar mengenai problem kejahatan. Bagian-bagian besar
Alkitab didedikasikan untuk itu. Pada
kenyataannya, orang dapat berkata bahwa seluruh Alkitab adalah mengenai problem
kejahatan: adalah kisah bagaimana kejahatan telah memasuki sebuah dunia yang
baik, dan bagaimana Tuhan telah meraih kemenangan atas kejahatan di dalam Yesus Kristus.
Surat Paulus kepada jemaat
Roma adalah sebuah sumari kisah Alkitab. Surat itu mengisahkan bagi kita
mengenai dosa manusia berlomba melawan Tuhan, bagaimana tak satu dari kita
telah menjalankan Hukum Tuhan, dan dengan demikian semua kita pantas mati: “Upah
dosa adalah kematian” (Roma 6:23). Tak satu dari kita dapat mengupayakan jalan
menuju sorga oleh perbuatan-perbuatan baik. Namun sekalipun kita telah tanpa
pengharapan, Tuhan telah mengirimkan Anaknya sendiri, Yesus Kristus, untuk
menghidupi sebuah kehidupan sempurna, dan kemudian meletakan kehidupan sempurna
itu sebagai korban persembahan kita: “Akan
tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati
untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Karya Kristus melepaskan
kita dari dominasi dosa (Roma 6),
memampukan kita untuk berjalan di dalam Roh (Roma 8), dan memotivasi kita untuk
menghidupi sebuah kehidupan yang saleh (Roma 12-16).
Surat Roma mengatakan bagi
kita bagaimana kita dapat menjadi benar di hadapan Tuhan. Tetapi juga
memberitahukan bagi kita bagaimana Tuhan mendemonstrasikan kebenaran-Nya
sendiri. Roma 3:25-26 memberitahukan bagi kita bahwa Tuhan telah memberikan
anaknya, tak hanya untuk menjustifikasi kita, tetapi untuk menjustifikasi
dirinya sendiri, untuk mendemonstrasikan kebenaran-Nya sendiri. Dengan kata
lain, surat Roma mengulas problem kejahatan. Kembali dan berulang, di
keseluruhan surat ini, Paulus menjawab
orang yang mengklaim bahwa jalan keselamatan Tuhan adalah tidak adil. Jawaban
Paulus dapat menjadi jawaban kita bagi problem kejahatan, jikalau kita
mengambilnya ke hati.
Allah adalah
Tuhan
Lihat pada Roma 3:3-8.
Disini Paulus menjawab dua keberatan. Pertama, dalam ayat 3, yang menjelaskan
ketakpercayaan Israel, bangsa Paulus sendiri dan umat Allah dalam Perjanjian
Lama. Problemnya adalah bahwa Tuhan telah berjanji untuk menyelamatkan Israel,
untuk melepaskan mereka dari musuh-musuh mereka dan untuk memenuhi mereka
dengan berkat-berkat menakjubkan. Tetapi Israel telah menolak untuk mempercayai janji, dan tidak mematuhi hukum
Tuhan. Karena itu, Tuhan telah menolak mereka; dia telah berkata bahwa Israel
tidak lagi menjadi umatnya. Keberatannya adalah ini, ayat 3: ketakpercayaan
Israel melenyapkan janji Allah. Allah telah menghakimi Israel ketimbang
memberkati mereka—Dia tidak setia.
Keberatan itu memiliki sejumlah kebenaran
yang patut diterima. Pada akhirnya, Allah
memang menjanjikan Israel sejumlah hal-hal luar biasa, tetapi kelihatannya
semua janji-janji itu telah pergi. Sekarang ada apa yang dapat kita sebut
sebuah jawaban “langsung” atas pertanyaan ini, dan kita akan membaca mengenai
ini nanti, dalam ayat 21-26. Tetapi hal
yang menarik adalah bahwa di dalam nas ini, Paulus tidak memberikan sebuah
jawaban langsung. Sebaliknya, dia
menyatakan ketaksetujuan yang tajam atas pertanyaan itu dalam bahasa yang menghujam : “Apakah Tuhan tidak
setia? Tidak sama sekali! Hanya Tuhan yang benar, dan setiap manusia adalah
pembohong. Sebagaimana tertulis, “Supaya Engkau ternyata benar dalam segala
firman-Mu, dan menang, jika Engkau dihakimi” (Roma 3:4). Paulus sedang berkata,
“Lihatlah, Tuhan pada hakikatnya tidak dapat tidak setia. Jikalau engkau
berkata bahwa Tuhan adalah tidak setia,
kamu berbohong—kamulah yang tidak setia. Tuhan selalu terbukti benar. Dia
selalu terbukti benar dihadapan para lawan kala dia menghakimi seseorang.
Dialah Tuhan. Siapakah dirimu pikirmu,
siapa?”
Ayat-ayat berikutnya (Roma
3:5-8) memunculkan keberatan lainnya, dan ditangani dalam cara yang sama: jikalau dosa Israel membawa
kebenaran Allah secara lebih nyata, maka Allah semestinya menjadi disenangkan
dengan dosa, bukan marah. Dia semestinya tidak menghakimi dosa, karena dosa
membawa baginya kemuliaan. Paulus dapat saja meresponnya secara lebih gamblang,
tetapi kembali, dia tidak memberikan sebuah jawaban langsung. Sebaliknya, dia
memberikan ketaksetujuan yang tajam pada penanya tersebut: ”Pastilah tidak! Jikalau
demikian adanya, bagaimana bisa Tuhan menghakimi dunia?” Maka dalam ayat 8 dia
berkata mengenai para pihak yang berkeberatan bahwa “penghukuman mereka
dipantaskan.” Ini adalah kata-kata yang keras terhadap mereka yang mempertanyakan
kebenaran Tuhan. Paulus sedang berkata bahwa kita tidak memiliki hak untuk
memunculkan keraguan pada kebaikan dan kebenaran Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan
adalah hakim, bukan kita; dialah otoritas, bukan kita. Dia adalah standard kebenaran. Kebanyakan
kita menggunakan kamus-kamus sebagai
standard-standard untuk mengeja kata-kata. Kita tidak dapat mengkritisi
pengejaan kamus-kamus kita. Betapa lebih kurang ajarnya kita mengkritisi
kebenaran Tuhan kudus kita?
Ini tidak menyenangkan, tetapi pembicaraan
pemikiran semacam ini adalah sangat umum dalam Kitab suci. Sangat kerap, ketika
orang dalam kitab suci memunculkan keraguan-keraguan atas kebaikan Tuhan,
ketimbang membiarkan Tuhan menjelaskan dirinya sendiri, Tuhan menyatakan
ketaksetujuan secara tajam pada para penanya. Pikirkan Adam dan Hawa, setelah
kejatuhan, menyalahkan dosa mereka pada si ular dan satu sama lain, dan pada
puncaknya menyalahkan Tuhan. Mengapa Tuhan membiarkan si ular masuk kedalam
taman? Tuhan tidak menjawab; sebaliknya dia menghakimi mereka akan
ketakpercayaan mereka dan ketakpatuhan mereka. Pikirkan Abraham, setelah
malaikat menyelamatkannya dari mengorbankan anak lakimya Ishak di atas altar.
Apakah Tuhan menjelaskan hal ini kelihatannya
perintah tak adil? Tidak. Dia hanya
memuji kepatuhan Abraham.
Pikirkan Ayub yang malang, kehilangan keluarga dan kemakmurannya,
tubuhnya penuh dengan luka. Ayub menginginkan sebuah tanya jawab atau wawancara
dengan Tuhan. Dia menginginkan Tuhan untuk menjelaskan mengapa semua hal ini
telah berlangsung. Dan memang, Ayub
mendapatkan wawancaranya, tetapi itu tidak berjalan sebagaimana dambanya. Tuhan
tampil baginya (Ayub 38), dan menyatakan bahwa dia tidak tahu menahu dengan kata-katanya
sendiri. Kemudian Tuhan menyatakan bahwa Ayub tidak bisa mempertanyakan Tuhan;
Tuhan yang akan menanyai Ayub.
Tuhan menanyakan Ayub dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang penciptaan, pagi, terang, salju, hujan badai dengan kilat,
bintang-bintang, awan-awan, kambing-kambing gunung, keledai-keledai liar, burung-burung unta,
buaya-buaya. Ayub tidak tahu jawaban-jawabannya, dan dia mengakui
ketaktahuannya. Dia meletakan tangannya pada mulutnya dalam malu dan penundukan. Siapakah enakau, pikirmu, Ayub?
Allah adalah Tuhan keadilan. Betapa
lancangnya engkau meminta sebuah pertanggungjawaban darinya!
Ini sukar untuk diterima.
Seperti Ayub, kita biasanya mengharapkan sesuatu yang lainnya ketika kita
meminta sebuah penjelasan akan problem kejahatan. Ini bahkan tidak terlihat
seperti sebuah penjelasan. Ini lebih
seperti baris kata pembungkam tua, “tutup
mulutmu,” Dia sudah menjelaskan.” Tetapi di dalam kasus ini, ini adalah obat
yang lebih pahit yang harus kita minum. Ketika kita diperhadapkan dengan problem
kejahatan, kita harus mengingatkan diri kita sendiri siapakah kita dan siapakah
Tuhan. Kita tidak dalam posisi untuk menghakiminya, kita tidak memiliki hak
untuk menuntut sebuah penjelasan
darinya. Dia adalah Lord-Tuhan. Itulah
jawaban pertama kita terhadap problem kejahatan.
Allah adalah
Juru Selamat
Tetapi ada lebih banyak lagi. Maksud utama Tuhan
dalam Alkitab adalah untuk
mensunyikan pertanyaan-pertanyaan
meragukan sebagaimana kita sodorkan dihadapan kekudusan dan keagungannya. Tetapi, syukur
bagi Tuhan, kitab suci melakukan lebih dari sekedar membungkam
mulut-mulut kita. Jika Tuhan hanya menyatakan ketaksetujuannya yang tajam pada
kita, maka kita akan menjadi yang benar-benar termalang, tak terhindarkan kedalam kematian
kekal. Itulah apa yang Paulus katakan mengenai hukum Tuhan dalam Roma 3:19—hukum membungkan setiap mulut, membuat kita
menyadari akan dosa kita. Tetapi hukum tidak memberikan bagi kita pengharapan; hukum tidak
menyelamatkan kita. Ketaksetujuan Tuhan atas kita tidak menyelamatkan kita.
Kita membutuhkannya kadang kala, tetapi tidak memberikan pengharapan bagi kita.
Paulus harus mengatakan
lebih jauh lagi. Tuhan menjawab problem kejahatan dengan menyelamatkan kita:
Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi, yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya. Maksud-Nya ialah untuk menunjukkan keadilan-Nya pada masa ini, supaya nyata, bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus (Roma 3:21-26)
Ini adalah kabar baik, kisah
luar biasa mengenai Yesus. Kita tidak dapat diselamatkan melalui menjalankan
hukum itu, sehingga Tuhan telah mengutus anak sebagai sebuah korban bagi dosa—sebuah
pemberian yang cuma-cuma. Kita menerima manfaat-manfaat keselamatan ini melalui
iman, dengan mempercayai Yesus sebagai
Juru selamat pribadi dan Tuhan
kita. Tetapi apa yang Tuhan sedang
katakan di sini adalah bahwa Injil ini, adalah kabar baik, mendemonstrasikan
keadilannya.
Anda lihat, jika kita dapat
menempatkan ini secara relevan, Tuhan dalam Perjanjian Lama telah diperhadapkan
dengan sebuah problem. Sebagaimana telah kita lihat, dia telah menjanjikan
Israel berkat-berkat luar biasa. Tetapi Israel telah memberontak, membangkang.
Apa yang harus Tuhan lakukan? Jikalau dia menghukum Israel, dia akan
menghancurkan janjinya—tidak ada lagi
Tanah Yang Dijanjikan, tidak ada lagi susu dan madu. Jika dia memenuhi
janjinya, dia pada dasarnya telah mengabaikan dosa mereka, dia dapat menjadi
tak adil. Terlihat sukar Tuhan dapat menjadi berbelas kasih, atau Tuhan dapat
menjadi adil, tetapi tidak keduanya. Belas kasih dapat berlawanan dengan
keadilan, dan keadilan dapat bekerja bertentangan dengan belas kasih. Di
sinilah problem kejahatan muncul dalam sebuah bentuk utamanya yang sukar.
Bahkan jikalau anda membuktikan bahwa
Tuhan itu adil, anda dengan demikian membuktikan bahwa dia tidak berbelas
kasih, dan lain sebagainya. Sehingga problemnya tidak pernah dapat dipecahkan.
Jadi seperti itulah yang
terlihat dalam wisdom atau hikmat manusia. Manusia tidak pernah dapat
mengimpikan sebuah jalan bagi Tuhan untuk memecahkan problem ini. Tetapi Tuhan telah menemukan sebuah jalan.
Jawabannya adalah di dalam salib Yesus. Pada Salib ada penghukuman bagi dosa, sebuah penghukuman Tuhan
dibebankan pada dirinya sendiri. Dan karena itu, pada Salib
juga ada sebuah samudera belas kasih yang mengalir atas umat Tuhan.
Salib itu mempertontonkan bahwa Tuhan adalah adil, dan bahwa dia adalah penuh
belas kasih.
Itu adlaah jawaban kedua Paulus dan Tuhan
terhadap problem kejahatan. Kita mengetahui bahwa Tuhan adalah adil, karena dia
telah mendemonstrasikan bahwa keadilannya di dalam sejarah, jauh melampaui
pengharapan-pengharapan manusia yang seperti apapun juga, dalam salib Kristus.
Sekarang itu bukanlah semua pertanyaan-pertanyaan kita. Setiap hari, berbagai
hal terjadi yang masih kita pertanyakan. Bagaimana dengan pembantaian?
Tetapi ketika pertanyaan-pertanyaan semacam ini menyeruak; pikirkan
kembali pada salib Kristus. Karena di dalam Kristus, Tuhan telah membentangkan belas
kasihnya dalam sebuah cara yang begitu menakjubkan bahwa tak satu orang dari
kita dapat mengantisipasinya. Ketika engkau memikirkannya, kamu dapat memahami
bagaimana hal itu menjadi sebuah masalah kecil bagi Tuhan untuk
mendemonstrasikan keadilannya dalam semua area ini yang menggusarkan kita.
Tuhan tidak menjawab kita dengan memuaskan keingintahuan kita. Sebaliknya, dia
menjawab kita dengan memberikan bagi
kita sebuah motivasi yang sungguh berkuasa untuk mempercayai, bahkan ketika
keingintahuan kita tidak dipuaskan.
Jadilah kita berjalan dengan iman, bukan dengan melihat.
Allah adalah
Roh
Tetapi sekarang anda mungkin
berkata,”baiklah, itu bisa jadi sangat baik dan bagus, tetapi saya tidak dapat
membawa diri saya untuk mempercayainya. Itu semua terdengar masuk akal, dan
saya dapat menerimanya dengan akalku, tetapi tidak dengan hatiku.” Kitab suci
memahami bahwa itu diperlukan juga. Tuhan ingin merespon, tak hanya pada akalmu, tetapi juga pada hatimu.
Bagaimana Tuhan melakukan ini?Dengan memberikan kita
sebuah hati yang baru. Lihatlah bab 5, ayat –ayat-ayat pembukanya:
Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Roma 5:1-5).
Ketika kita menjadi tahu
Yesus sebagi Juru selamat dan Tuhan, kita menjadi pribadi-pribadi baru. Dari
sebelumnya membenci Tuhan, kita menjadi mencintai Tuhan. Dari sebelumnya
membenci orang lain, kita menjadi mengasihi mereka. Dan Tuhan juga meletakan
kedalam hati kita sebuah sikap baru terhadap penderitaan : kita menjadi mampu
untuk bersukacita dalam
penderitaan-penderitaan, mengetahui bahwa penderitaan-penderitaan menghasilkan
kesabaran, karakter, pengharapan. Penderitaan tidak menghancurkan Kristen.
Malahan, penderitaan membantunya untuk bertumbuh dewasa, untuk bertumbuh
menjadi lebih saleh. Dan saya berpendapat kata “pengharapan” adalah juga
penting di sini. Orang Kristen mengharapkan janji-janji Tuhan akan sesuatu yang
lebih baik. Kita percaya Tuhan bahwa penderitaan pada dunia saat ini tidaklah
bernilai untuk dibandingkan dengan kemuliaan yang akan disingkapkan di dalam kita (Roma 8:18).
Bagaimana kita mendapatkan
sikap-sikap baru ini? Oleh Roh Kudus,
Paulus berkata, yang telah Tuhan curahkan ke dalam hati kita. Bagaimana kita
bertumbuh dalam sikap-sikap ini, dalam kesabaran, karakter, pengharapan melalui
penderitaan?Dengan meminta Tuhan akan sebuah porsi atau bagian Roh Kudus yang
lebih kaya, dan kemudian dengan percaya pada Dia. Sadarilah dirimu sendiri
telah mati terhadap dosa (Roma 6:11)—bahwa itu termasuk ketakpercayaan,
keraguan, kebimbangan, dan ketakberpengharapan.
Roh melakukan hal-hal yang
menakjubkan bagi roh-roh kita. Dengarkanlah Paulus dalam Roma 8:28-39—dengarkanlah
pada keyakinannya yang utuh pada kebaikan, keadilan dan kasih Tuhan. Ini adalah
jawaban terlengkap bagi problem kejahatan : Sebuah keyakinan yang dipenuhi Roh
bahwa cara Tuhan adalah benar dan
terbaik:
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita? Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?
Starving children in Karamoja in northeastern Uganda during the famine of 1980. The famine followed drought and civil disorder and resulted in the deaths of a fifth of the population in the region. (Photo by Terry Fincher/Hulton Archive/Getty Images)
Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Roma 8:28-39)
Amin
The
Bible On the Problem of Evil, Dr.John M. Frame| diterjemahkan dan diedit oleh: Martin Simamora
Kredit Foto : The Falling man 9/11- Daily Beast
Kredit Foto : The Falling man 9/11- Daily Beast
No comments:
Post a Comment