Oleh: James White, Ph.D
Apa
Sebenarnya yang Terjadi Di Nicea
Sekilas Pandang
Konsili
Nicea kerap disalahpahami oleh bidat-bidat dan gerakan-gerakan religius
lainnya. Kepedulian utama konsili tersebut secara jelas dan gamblang adalah
relasi antara Bapa dan Putera, apakah Kristus adalah sebuah ciptaan, atau Allah
sejati? Konsili tersebut telah menyatakan bahwa Ia adalah Allah sejati. Akan
tetapi, para penentang ketuhanan Kristus tak begitu saja mengakui keputusan
konsili. Faktanya, mereka hampir berhasil menggulingkan afirmasi pengakuan iman
Nicea atas ketuhanan Kristus. Tetapi orang-orang Kristen yang setia seperti
Athanasius tetap terus mempertahankan kebenaran, dan pada akhirnya, kebenaran
menaklukan kekeliruan.
Pembicaraan
dengan cepat menajam. “Kamu tidak bisa sungguh-sungguh percaya Alkitab,” ujar
seorang Latter-day Saints kenalanku, “karena kamu tidak benar-benar tahu
kitab-kitab apa yang mencakupnya. Kamu tahu, segerombolan orang berkumpul dan
telah memutuskan kanon kitab suci di Konsili Nicea, memilih sejumlah
kitab-kitab, menolak yang lain-lainnya.” Beberapa lainnya mendengarkan
percakapan di South Gate of the Mormon di Salt Lake City, itu adalah Sidang
Umum LDS, dan saya kembali mendengar bahwa Konsili Nicea telah dihadirkan
sebagai titik sejarah sesuatu “yang salah telah terjadi”, dimana sejumlah
kelompok tanpa nama, tanpa muka “telah memutuskan” bagiku apa yang seharusnya
dipercayai. Saya segera mengoreksinya mengenai Nicea-tidak ada satupun yang
telah diputuskan, atau dikatakan, mengenai kanon kitab suci pada konsili
tersebut.[1]
Saya
telah diingatkan betapa sering frasa “Konsili Nicea” digunakan sebagai penudingan
oleh mereka yang menolak iman Kristen. Para pengusung New Age kerap menuduh
konsili tersebut telah membuang ajaran reinkarnasi dari Alkitab.[2]
Dan tentu saja Saksi-Saksi Yehovah dan kritik-kritik ketuhanan Kristus juga
ditudingkan pada konsili tersebut sebagai ‘permulaan tritunggal’ atau pertama
kali ketuhanan Kristus telah dinyatakaan sebagai ajaran orthodoks.” Pihak-pihak
lainnya melihat Konsili Nicea sebagai permulaan penyatuan gereja dan Negara
dengan menyorot partisipasi Kekaisaran Roma, Konstantin. Beberapa bahkan
berkata, konsili ini adalah permulaan gereja Roma Katholik.
Latar Belakang
Mengecualikan
konsili apostolik di Yerusalem yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 15, Konsili
Nicea berdiri mengatasi konsili-konsili awal lainnya sejauh cakupan dan
fokusnya. Luther menyebut konsili tersebut “paling sakral dari semua konsili.”[3]
Ketika konsili ini diselenggarakan pada 19 Juni 325, api penganiayaan telah
agak mendingin. Kerajaan Roma telah gagal dalam upayanya untuk melenyapkan iman
Kristen. Empat belas tahun telah berlalu sejak penganiayaan-penganiayaan
terakhir dibawah Kaisar Galerius telah disudahi. Banyak pria yang menggelar
Konsili Nicea membawa pada tubuhnya tanda-tanda bekas luka aniaya. Mereka
bersedia untuk menderitaa demi nama Kristus.
Konsili
digelar atas permintaan Kaisar Konstantin. Mengajak para bishop dalam gereja
menyetujui untuk berpartisipasi, begitu seriusnya masalah yang sedang dihadapi
saat itu. Untuk memahami mengapa konsili universal pertama diadakan, kita harus
kembali ke sekitar tahun 318 M. Di pinggiran Aleksandria yang padat penduduk Baucalis,
seorang prebister terkenal bernama Arius telah memulai pengajaran dalam upaya
melawan bishop Aleksandria, Alexander. Secara khusus, dia tidak menyetujui
ajaran Alexander bahwa Yesus, Anak Allah, telah ada secara kekal, telah menjadi
ada secara kekal oleh Bapa. Sebaliknya, Arius bersikukuh bahwa “ada suatu masa ketika Anak tidak ada.”
Kristus harus diperhitungkan diantara makhluk-makhluk ciptaan-yang diagungkan
begitu tinggi, tentu saja, tetapi sebuah ciptaan, tidak ada yang lain.
Alexander mempertahankan posisinya, dan itu tidak lama sebelum Arius telah
mendeklarasikan sebuah ajaran sesat dalam sebuah konsili lokal pada tahun 321.
Ini
tidak mengakhiri persoalan. Arius kemudian pindah ke Palestina dan mulai
mempromosikan pemikiran-pemikirannyaa di sana. Alexander menulis surat-surat
kepada gereja-gereja di kawasan tersebut, memperingatkan mereka untuk menentang
apa yang ia sebut “Exukontians,” berasal dari sebuah frasa Yunani yang
bermakna “out of nothing” atau “keluar dari ketiadaan”. Arius telah
mengajarkan bahwa Anak Allah telah diciptakan “keluar dari ketiadaan.” Arius
menemukan pengikut ajaran-ajarannya, dan selama perjalanan beberapa tahun
perdebatan telah menjadi begitu memanas sehingga perdebatan ini menjadi
perhatian Konstantin, sang kaisar.
Berhasil
mengkonsolidasikan kekuasaannya atas kekaisaran, Konstantin telah mempromosikan
kesatuan dalam setiap cara yang mungkin untuk diadakan. Ia telah menyadari
sepenuhnya bahwa sebuah skisma (perpecahan) dalam gereja Kristen hanya akan
menjadi faktor yang mendestabilisasi dalam kerajaannya, dan ia berupaya untuk
memecahkan problem tersebut.[4]
Sementara memang ia menerima dukungan dari orang-orang seperti Hosius, bishop
Cordova, dan Eusebius dari Caesarea, Konstantin adalah satu-satunya orang yang
secara resmi meminta pengadaan konsili.[5]
Para Partisipan dan
Pandangan-Pandangannya
Konsili
Nicea hampir didominasi wilayah Timur. Berdasarkan tradisi, 318 bishop
menghadirinya, walau kebanyakan sejarahwan meyakini angka ini sedikit lebih
tinggi. Mayoritasnya datang dari Timur, dengan kurang dari satu lusin sisanya
mewakili wilayah lain Imperium.
Konsili
dibagi kedalam tiga grup. Arius yang hadir, atas perintah Kaisar, bersama
dengan sejumlah pendukungnya. Paling terkenal adalah bishop-bishop Mesir,
Theonas dan Secundus, juga Eusebius dari Nicomedia. Grup ini mewakili sudut
pandang bahwa Kristus adalah sebuah substansi yang berbeda
(Yunani:heteroousios) daripada Bapa, menyatakan, bahwa Kristus adalah sebuah
makhluk ciptaan.
Grup
“orthodoks” dipimpin dalam kepemimpinan utama oleh Hosius dari Cordova dan
Alexander dari Alexandria (ditemani oleh diaken mudanya yang brilian, dan
kemudian menjadi pemenang posisi Nicea, Athanasius[6]).
Mereka mewakili pandangan bahwa Kristus telah berasal dari substansi yang sama
(Yunani: homo-ousious[7])sebagaimana
Bapa, bahwa Kristus telah secara kekal turut serta dalam satu esensi bahwa
adalah Allah dan dalam ketuhanan sepenuhnya.
Grup
tengah, dipimpin oleh Eusebius dari Caeserea (dan karena itu kerap disebut
pihak “Eusebian”), mencabut keyakinan pada terminologi homoousios, secara utama
karena itu telah digunakan pada abad sebelumnya oleh modalistik[8]
bidat Sabellius dan lain-lainnya yang ingin mengajar kesalahan bahwa Bapa dan
Anak adalah satu pribadi. Kelompok tengah ini setuju dengan pihak orthodoks
bahwa Yesus sepenuhnya Allah, tetapi mereka berpendapat bahwa terminologI
homoousios dapat disalahpahami untuk mendukung pemikiran salah bahwa Bapa dan
Anak adalah satu pribadi. Kelompok tengah ini kemudian mengajukan gagasan bahwa
Anak adalah sebuah substansi serupa atau sejenis (Yunani:homoiousios)
sebagaimana Bapa. Dengan maksud ini mereka berharap untuk menghindari kesalahan
Arius dan juga bahaya pemahaman Sabelianisme yang didapati dalam terminologi
homoousios.
Pihak/Pemimpin
|
Pandangan
akan Kristus
|
Arian/Arius
|
Berasal
dari sebuah substansi yang berbeda-heteroousios
|
Orthodoks/Alexander,
Hosius, Athanasius
|
Berasal
dari substansi yang sama-homoousios
|
Eusebian/Eusebius
of Caesarea
|
Berasal
dari substansi yang serupa/sejenis-homoiousios
|
Peran Konstantin
Kita
bergantung, dalam ukuran besar, pada kata-kata Eusebius dari Caesarea bagi
pengetahuan kita atas banyak peristiwa di konsili. Ini agak tak menguntungkan, karena
Eusebius, sang “sejarahwan gereja, ” pertama adalah seorang partisipan
partisan juga. Para sejarahwan mengetahui bahwa sudut pandangnya dipengaruhi
oleh hasratnya untuk menyenangkan
kerajaan dan tujuan-tujuan politik serta
teologisnya sendiri, dan posisi-posisinya. Philip Schaff, dalam menuliskan
kembali deskripsi Eusebius mengenai masuknya Kekaisaran kedalam konsili
tersebut, berkata Eusebius yang “mengagungkan secara berlebihan.”[9]
Eusebius menghadirkan Konstantin dalam istilah-istilah setinggi mungkin dalam
upaya memperkuat posisinya.
Apa
sesungguhnya peran Konstantin? Kerap dituding (secara khusus oleh Saksi-Saksi
Yehovah, sebagai contoh) bahwa, apapun alasannya, Konstantin telah memaksakan
pandangan “substansi yang sama” terhadap konsili[10], atau,
setidak-tidaknya, telah menjamin bahwa pandangan itu pasti akan diadopsi. Bukan
ini kasusnya. Tidak perlu ditanyakan bahwa Konstantin ingin menyatukan gereja
setelah Konsili Nicea. Tetapi Konstantin bukan Teolog, tidak juga ia
sungguh-sungguh peduli dalam derajat
apapun apakah basis atau pandangan yang akan digunakan untuk mematrikan
kesatuan yang diinginkannya. Peristiwa-peristiwa berikutnya memperlihatkan
bahwa Konstantin tidak memiliki kepenting diri khusus yang hendak
diperjuangkannya dalam terminologi homoousios dan berkeinginan untuk meninggalkannya,
andaikata ia telah memandang bahwa dengan melakukan konsili dan memaksakan satu
pandangan tertentu akan memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri, “Kata
tersebut (homoousios)…bukan sebuah invention atau penemuan baru konsilil Nicea, atau sedikit-dikitnya dari Konstantin, tetapi telah muncul
sebelumnya dalam bahasa teologia, dan digunakan bahkan oleh Origen [185-254] dan
diantara para Gnostik….”[11] Konstantin
bukan sumber atau asal-usul terminologi tersebut, dan konsili tidak mengadopsi terminologi
tersebut berdasarkan komandonya.
Keputusan & Kredo
Kebenaran
bagaimana konsili sampai menggunakan terminologi tersebut, tidaklah sulit untuk
diketahui secara jelas. Athanasius mencatat bahwa para bishop telah berkumpul
bersama secara sungguh-sungguh untuk mengekspresikan iman mereka dalam
keutamaan bahasa skriptural, dan mereka telah berupaya untuk melakukan secara
demikian. Tetapi setiap kali mereka mengangkat sebuah pernyataan yang dibatasi
secara utama pada terminologi-terminologi biblikal,para pengusung Arian dapat
menemukan sebuah cara “membaca” pernyataan atau statement sehingga diharapkan
dapat mencapai kesepakatan.[12]Mereka
didesak untuk melihat bahwa mereka harus menggunakan sebuah terminologi sehingga
tidak dapat disalahpahami, bahwa akan menjernihkan perbedaan antara sebuah
kepercayaan pada ketuhanan Kristus sepenuhnya dan semua posisi yang
mengkompromikan keyakinan ini. Karena itu, mereka berfokus pada terminologi homoousios
sebagai posisi yang sepenuhnya bersifat antithesis terhadap posisi Arian, dan
pada saat yang sama terminologi tersebut merefleksikan kebenaran skriptural bahwa
Yesus Kristus bukanlah sebuah makhluk ciptaan, tetapi sepenuhnya Allah,
keilahian yang berinkarnasi.
Pihak
orthodoks harus mengekspresikan secara jelas kepada “kelompok tengah” bahwa
dengan menggunakan terminologi homoousios mereka tidak memberikan sokongan
dalam cara yang bagaimanapun dan menyelaraskan dengan modalist dan Sabelian di
Timur yang terus melanjutkan ajaran salah mereka bahkan pada hari-hari
diselenggarakannya Konsili Nicea. Mereka dengan menggunakan terminologi tersebut
tidak sedang mengkompromikan eksistensi tiga Pribadi, tetapi sebaliknya menjaga
ketuhanan seutuhnya tiga Pribadi, dan secara utama, Putera.[13]
Kredo yang dihasilkan, ditandatangani oleh semua kecuali Arius dan dua bishop, yang
sangat jelas posisinya:
Kami
percaya…dalam satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, diperanakan dari Bapa,
satu-satunya yang diperanakan,yaitu, dari substansi Bapa, Allah dari Allah,
terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakan, bukan
diciptakan, dari satu substansi (homoousios) dengan Bapa, melalui-Nya segala
hal telah diciptakan…
Kredo
di atas ini juga memasukan “anathema” (pengecaman atau pengutukan) bagi mereka yang menolak
kebenaran-kebenaran ini. Untuk pertama kali anathema semacam ini dilaksanakan
dengan dampak tak langsung pada aspek sipil. Arius dan sejumlah pengikutnya
telah diasingkan, walau untuk waktu yang singkat, Ini membentuk sebuah preseden
bahwa pada akhirnya akan menimbulkan dampak yang luar biasa pada budaya dan
gereja, tetapi ini juga isu yang terpisah dari proklamasi teologis konsili
Nicea.
Nicea
tidak datang dengan membawa sesuatu yang ‘baru” dalam kredo atau pengakuan
iman. Keyakinan dalam ketuhanan Kristus telah setua para rasul itu sendiri,
yang mengumumkan atau memproklamasikan kebenaran ini berulang-ulang kali.[14]
Rujukan-rujukan pada ketuhanan sepenuhnya Kristus berlimpah dalam periode
sebelum KonsilI Nicea. Ignasius (wafat c.108), bishop Antiokia sang Martir
Agung, dapat secara lugas membicarakan Yesus Kristus sebagai “Tuhan kita.”[15]
Ketika menulis kepada Polycarpus ia dapat menasihatkannya untuk “menanti Dia
yang mengatasi setiap musiM,sang Kekal, sang Tak dapat dilihat,(yang demi kita
telah menjadi dapat dilihat!), sang Tak terjamahkan dan tak terpahami
sepenuhnya oleh pikiran, sang tak dapat menjadi subyek penderitaan (yang demi
kita telah menderita!), yang dalam segala jalan menanggung demi kita.”[16] Ignasius
memperlihatkan pandangan tertinggi Kristus pada tahap sangat awal, ketika ia
menulis kepada orang-orang Efesus. “Hanya ada satu tabib, dari daging dan dari
roh, diciptakan dan tidak diciptakan, Allah dalam manusia, Hidup sejati dalam
kematian, Putera Maria dan Anak Allah, pertama (Putera Maria) dapat merasakan penderitaan
dan kemudian (Anak Allah) tidak dapat merasakan penderitaan, Yesus Kristus Tuhan kita.”[17]
Melito
dari Sardis (c. 170-180), seorang tokoh yang kurang terkenal,secara luar biasa
telah dikaruniakan dalam mengekspresikan iman purba gereja terkait ketuhan Kristus:
Dan
lalu ia telah ditinggikan pada sebuah kayu (salib) dan sebuah tulisan telah ditorehkan
juga, untuk mengindikasikan siapakah yang telah dibunuh. Siapakah itu? Itu
adalah hal terberat untuk dikatakan, dan sebuah hal paling mengerikan untuk
ditahan agar tak diucapkan. Tetapi dengar, selagi engkau gemetar dihadapan
wajahnya yang memiliki catatan menggentarkan bumi. Ia yang menggantungkan bumi
pada tempat bumi digantungkan. Ia yang menetapkan langit-langit pada tempat
yang ditetapkan untuk diletakan.Ia yang membuat segala sesuatunya cepat dbuat
cepat pada kayu. Sang Tuan telah dihinakan. Tuhan telah dibunuh. Sang Raja Israel
dihanncurkan oleh sebuah tangan Israel.[18]
Nicea
kala itu tidak sedang menciptakan semacam doktrin baru, semacam keyakinan baru,
tetapi secara jernih, secara eksplisit, mendefinisikan kebenaran menentang
kesalahan.Konsili tidak memiliki pemikiran bahwa mereka, dengan berkumpul bersama,
memiliki semacam kuasa sakramental mendefinisikan keyakinan-keyakinan: mereka
telah berupaya mengklarifikasi kebenaran biblikal, tidak untuk meletakan diri
mereka sendiri di garis depan dan membuat diri mereka sendiri sebuah sumber
otoritas kedua.
Ini
dapat dilihat secara mudah dari fakta bahwa Athanasius, dalam mempertahankan
konsili Nicea, melakukannya pada basis keharmonian konsili dengan Kitab suci,
tidak pada basis konsili memiliki otoritas melekat didalam dan berasal dari
dirinya sendiri. Perhatikan kata-kataanya:”Tidak sama sekali mereka menyibukan
diri dengan mengajukan berbagai pemikiran yang telah mereka tuntutkan pada
konsili-konsili demi iman mereka; karena Kitab suci yang kudus adalah cukup
untuk mengatasi segala hal; tetapi jika sebuah Konsili dibutuhkan pada poin
tersebut, ada terdapat pengesahan dari Bapa-Bapa, karena Bishop-Bishop Nicene
tidak mengabaikan masalah ini, tetapi telah menyatakan doktrin-doktrin
sedemikian tepatnya, bahwa pribadi-pribadi membaca kata-kata mereka secara
tulus, tidak dapat semata diingatkan oleh mereka atas agama terhadap Kristus
yang telah diumumkan dalam kitab suci kudus.”[19]
Hubungan
antara kecukupan kitab suci dan “Bishop-Bishop Nicene” harus diperhatikan secara
cermat. Kitab suci tidak dibuat tak memiliki kecukupan oleh konsili; sebaliknya,
kata-kata konsili “mengingatkan” salah satu “agama terhadap Kristus yang telah diumumkan
oleh Kitab suci kudus.” Jelas, kemudian, otoritas konsili didapati dari
ketakcemaran diri terhadap dan kesetiaan bertekun pada Kitab suci.
Bersambung
Sumber:
equip.org
Diterjemahkan
dan diedit oleh: Martin Simamora
Soli Deo Gloria
[1]Konsili
Nicea tidak membahas isu kanon kitab suci. Faktanya, hanya konsili-konsili
regional yang menyentuhnya (Hippo tahun 393, Chartage tahun 397) hingga
bertahun-tahun kemudian. Kanon Perjanjian Baru telah berkembang dalam perhatian
penuh gereja seutuhnya, tepat sebagaimana telah dilakukan pada kanon Perjanjian
Lama, lihat Don Kistler, ed., Sola Scriptura: The
Protestant Position on the Bible (Morgan, PA: Soli Deo Gloria
Publications, 1995)
[2]
Lihat Joseph P. Gudel, Robert M. Bowman, Jr., and Dan R. Schlesinger,
“Reincarnation — Did the Church Suppress It?” Christian
Research Journal, Summer 1987, 8-12.
[3]
Gordon Rupp, Luther’s Progress to the Diet of Worms
(New York: Harper and Row Publishers, 1964), 66
[4]Banyak
telah dituliskan mengenai keyakinan-keyakinan religius Konstantin dan
‘pertobatannya’ masuk ke Kekristenan. Beberapa penulis memujinya memiliki motif-motif tinggi dalam
keterlibatannya di Nicea; lainnya melihatnya semata mengejar tujuan-tujuan
politik. Pada kedua hal tersebut, kita tak perlu sama sekali memutuskan soal
validitas pengakuan imannya, karena keputusan-keputusan Konsili Nicea pada
natur Putera tidak didiktekan oleh Konstantin, dan bahkan setelah Konsili,
Konstantin membuktikan dirinya bersedia “berkompromi” pada isu tersebut, semua
demi kesatuan politis. Pertarungan sesungguhnya atas ketuhanan Kristus
diperjuangkan diluar bayang-bayangnya, pastinya, tetapi itu berlangsung pada
sebuah ranah yang ia sangat sukar untuk memahaminya,sendirian untuk
mendominasinya.
[5]Pada
abad-abad mendatang akan ditemukan gagasan sebuah konsili ekumenikal hanya
dapat diminta bishop Roma, sang paus, hal tak terpikirkan. Karena itu, lama
setelah Nicea, pada tahun 680M, kisah itu mulai disirkulasikan bahwa faktanya
bishop Roma memanggil konsili untuk digelar , dan bahkan hingga hari ini
beberapa upaya untuk membangkitkan anakronisme bersejarah ini, mengklaim dua
prebister (Victor dan Vincentius) yang mewakili Sylvester, bishop Roma yang
sudah lanjut usia. Faktanya telah duduk sebagai presiden-presiden atas konsili
tersebut. Lihat komentar-komentar Philip
Schaff dalam bukunya History of the Christian
Church (Grand Rapids: Eerdmans, 1985), 3:335.
[6] Peran
Athanasius pada konsili tersebut telah diperdebatkan hangat. Sebagai diaken, ia tidak boleh,berdasarkan
standar-standar belakangan, bahkan
dibolehkan untuk memilih/vote. Tetapi kebrilianannya telah terlihat, dan pada
akhirnya jatuh pada dirinya untuk mempertahankan keputusan-keputusan konsili,
yang kemudian menjadi karya seumur hidupnya.
[7]Terjemahan
Latin adalah consubstantialis, consubstantial,
merupakan penerjemahan umum terminologi dalam versi-versi bahasa Inggris bentuk
final kredo atau pengakuan iman Nicea
[8]
Modalisme adalah keyakinan bahwa ada satu Pribadi dalam Ketuhanan/Godhead yang
pada waktu-waktu bertindak sebagai Bapa, dan pada waktu lainnya sebagai Putera,
dan pada waktu lainnya lagi sebagai Roh Kudus. Modalisme menyangkal
Tritunggal, yang menyatakan bahwa bahwa tiga Pribadi telah ada secara kekal.
[9] Schaff,
3:624
[10]satu-satunya
basis untuk pemikiran semacam itu ditemukan dalam sebuah surat.dituliskan
sendiri oleh Eusebius dari Caesera selama konsili itu sendiri kepada gerejanya
sendiri, menjelaskan mengapa pada akhirnya mendukung dan menandatangani kredo
tersebut dan menyetujui terminologi homoousios. Pada
satu titik Eusebius menulis bahwa Konstantin “telah mendorong yang lainnya
untuk menandatanganinya dan menyetujui ajarannya, hanya dengan menambahkan
kata ‘consubstantial’ [yaitu, homoousios].” Terminologi
spesifik yang telah digunakan Eusebius, parakeleueto, dapat
diartikan sama kuatnya sebagai “perintah” atau selunak-lunaknya “saran” atau “menyemangati.”
Namun tidak ada dalam surat Eusebius, yang dapat menunjuk bahwa ia telah merasa
diperintahkan untuk mengikuti penggunaan terminologi tersebut, atau tidak juga
ia telah merasa bahwa Konstantin adalah sumber aktual terminologi tersebut.
[11] Schaff,
3:628
[12] Seseorang
mungkin berkata bahwa bahwa ini mendemonstrasikan ketakcukupan Kitab suci untuk berfungsi sebagai satu-satunya kontrol iman yang tak
dapat salah bagi gereja; bahwa ini menentang sola scriptura.Tetapi
sola scriptura tidak mengklaim
adalah cukup untuk menjawab setiap penyimpangan kebenaran-kebenarannya sendiri
yang disingkapkan. Petrus telah mengetahui bahwa akan ada mereka yang
memelintirkan Kitab suci untuk kehancuran diri mereka sendiri, dan adalah baik
untuk dicatat bahwa Allah tidak mensinyalkan adalah tepat untuk menyingkirkan
semua bidat dari planet ini pada pertama kali mereka menyuarakan penyesatan
mereka. Bertarung dengan ajaran palsu telah berlangsung dalam rencana
kedaulatan Allah, telah menjadi sebuah bagian mendewasakan umat-Nya.
[13]
Selama bergenerasi-generasi kesalahpahaaman antara Timur dan Barat, dirumitkan
oleh perbedaan-perbedaan bahasa (Yunani tetap mendominasi di Timur, Latin
menjadi bahasa normal wilayah Barat), melanggengkaan kontroversi bahkan ketika
hal itu tak dibutuhkan.
[14] Titus
2:13, 2 Pet. 1:1, Yoh 1:1-14, Kol. 1:15-17, Fil. 2:5-11, dst
[15] lihat,
sebagai contoh, surat atau epistelnya kepada orang-orang Efesus, 18, dan kepada
orang-orang Roma, 3, dalam buku J. B.
Lightfoot dan J. R. Harmer, ed., The Apostolic Fathers
(Grand Rapids: Baker Book House, 1984), 141 dan 150.
[16] Polycarp
3, The Apostolic Fathers, 161.
[17] Ephesians
7, The Apostolic Fathers, 139.
[18]Melito
dari Sardis, Sebuah Homili Paskah, bag. 95-96, sebagaimana didapati dalam Richard Norris,
Jr., The Christological Controversy
(Philadelphia: Fortress Press, 1980), 46. Homili atau khotbah ini adalah salah
satu contoh terbaik khotbah mula-mula yang begitu solid senada dengan Alkitab
dan pesan yang bersentral pada Kristus.
[19] Athanasius,
De Synodis, 6, sebagaimana terdapat
dalam Philip Schaff and Henry Wace, eds., Nicene and Post Nicene
Fathers, Series II (Grand Rapids: Eerdmans, 1983), IV:453.
No comments:
Post a Comment