Apa
Sebenarnya yang Terjadi Di Nicea
Kanon #6
Sementara
kredo konsili merupakan pencapaian sentralnya, tetapi bukan satu-satunya hal
yang telah diselesaikan oleh bishop-bishop selama pertemuan mereka. Dua puluh
kanon telah dipersembahkan yang berkaitan dengan berbagai bidang persoalan
dalam gereja. Apa yang paling menarik bagi kita masa kini, adalah kanon
yang berbunyi sebagai berikut:
Biarlah
kebiasaan-kebiasaan khas setempat yang sudah ada sejak purba di Mesir, Libya,
dan Pentapolis tetap berlangsung terus, bahwa Bishop Aleksandria memiliki
juridiksi dalam semua hal tersebut, sebagaimana juga merupakan kebiasaan khas
setempat bagi Bishop Roma. Sebagaimana di Antiokia dan provinsi-provinsi
lainnya, biarlah gereja tetap mempertahankan keistimewaan-keistimewaan mereka[1]
Kanon
ini signifikan karena ini medemonstrasikan bahwa pada saat itu tidak ada konsep
sebuah kepala tunggal universal gereja dengan yuridiksi atas setiap orang
lainnya. Sementara nanti bishop-bishop Roma akan mengklaim otoritas semacam
ini, mencuat dalam perkembangan kepausan, pada saat itu tidak ada Kristen yang
mengacu pada satu individual, atau gereja, sebagai otoritas final. Ini penting
karena kerap kita mendengar tuduhan bahwa Tritunggal, atau pendefinisian Nicea
akan ketuhanan Kristus, adalah sebuah konsep “Roma Katholik” “telah dipaksakan”
pada gereja oleh Paus. Fakta sederhana atas soal ini adalah, ketika
bishop-bishop berkumpul di Nicea mereka tidak mengakui bishop Roma sebagai
apapun lebih dari pemimpin gereja paling berpengaruh di Barat[2]
Konsekuensi-Konsekuensi
Sesudah Konsili
Orang-orang
Kristen moderen kerap memiliki impresi bahwa konsili-konsili purba telah
memiliki daya hapus masalah secara
absolut, dan ketika mereka telah membuat
“keputusan,” kontroversi berakhir. Ini tidak benar. Walau Nicea dipandang sebagai salah satu
konsili teragung, konsili harus berjuang keras untuk penerimaan. Basis atau
pondasi kemenangan finalnya bukan kuasa politik, juga bukan pengesahan agama
mapan. Ada satu alasan pendefinisian Nicea bertahan dan berlangsung
hingga kini: ketakcemaran dan
kesetiaannya kepada kesaksian Kitab suci.
Selama
enam dekade antara Konsili Nicea dan Konsili Konstantinopel pada 381, Arianisme
mengalami banyak kemenangan. Ada periode-perdiode bishop-bishop Arian membentuk
mayoritas hirarki gerejawi yang terlihat. Terutama melalui kekuatan kuasa
politik, para simpatisan Arian segera melakukan pencabutan pengecaman Arius dan
teologianya. Eusebius dari Nicomedia dan lainnya berupaya menggulingkan Nicea
dan untuk beberapa abad telah terlihat jika mereka nampak telah sukses.
Konstantin mengadopsi sebuah posisi berkompromi dibawah pengaruh sejumlah
sumber, termasuk Eusebius dari Caesarea dan secara politik telah menuliskan
“pengakuan iman” dari Arius. Konstantin menampung sedikit bagian pengakuan iman
Nicea: ia adalah politisi hingga kesudahan. Menjelang kematiannya, anaknya yang
kedua Konstantinus memerintah Timur, dan ia memberikan bantuan yang besar
kepada Arianisme. Dipersatukan oleh penolakan homoousion, semi Arians dan
Arians telah bekerjasama untuk mendongkel sebuah musuh bersama, hampir selalu
disertai pengerahan kekuatan politik di pihak mereka.
Dibawah Konstantius, konsili demi konsili digelar di
berbagai tempat. Begitu agresif dan penuh emosi konsili-konsili tersebut
digelar sehingga seorang komentator telah menulis pada waktu itu:”jalan-jalan
raya telah ditutupi dengan rombongan bishop-bishop yang berparade”.[3]Terpenting,
pertemuan konsili-konsili regional di Ariminium, Seleucia, dan Sirmium yang
mempersembahkan kredo-kredo Arian dan semi-Arian, dan banyak pemimpin telah
dipaksa dengan ancaman untuk menganut kredo-kredo tersebut. Bahkan Liberius, bishop Roma, telah
diasingkan dari takhtanya (posisi sebagai bishop) dan merindukan untuk kembali,
telah dibujuk untuk menundukan diri dan berkompromi pada hal tersebut.[4]
Selama
kurun waktu berdekade-dekade setelah Nicea, Athanasius, yang telah menjadi
bishop Alexandria segera setelah konsili, telah disingkirkan dari jabatan
bishop lima kali, sekali dengan kekuatan 5.000 pasukan mendatangi pintu depan
sementara ia sendiri berhasil meloloskan dri dari pintu belakang! Hosius, yang hampir
berusia 100 tahun, juga sama telah dipaksa oleh ancaman-ancaman kekaisaran
untuk mengkompromikan dan menundukan diri pada pemikiran-pemikiran Arian. Pada akhir
abad ke-6, terlihat seolah Nicea akan ditaklukan. Jerome kemudian menggambarkan
momen ini dalam sejarah sebagai saat ketika “seluruh dunia telah merintih dan
terpana menemukan dirinya sendiri Arian.”[5]
Walau
begitu, ditengah-tengah kegelapan ini, sebuah suara sendirian tetap kuat.
Mengajukan argumen penentangan bersumber Kitab suci, tanpa rasa takut
menyuarakan penentangan dan pembantahan terhadap kesalahan, menulis dari
pengungsian di padang gurun, di sepanjang Nil, atau di kawasan padat penduduk pinggiran
sekitar Alexandria, Athanasius melanjutkan perlawanannya. Keengganannya untuk
menyerah-bahkan ketika diasingkan oleh Kekaisaran, disingkirkan dari
persekutuan oleh lembaga gereja, dan dikecam oleh konsili-konsili lokal dan
juga oleh bishop-bishop-telah memunculkan frasa, Athanasius contra mundum:”Athanasius
menentang dunia.” Diteguhkan oleh Kitab suci adalah “cukup mengatasi segala
sesuatu,”[6] Athanasius telah bertindak sebagai seorang “Protestan”
sejati di eranya.[7]
Athanasius telah memprotes melawan opini konsesus yang telah dibangun gereja,
dan ia telah melakukannya karena ia telah didorong melakukannya oleh otoritas skriptural.
Athanasius telah menjadi mengerti, pada sejumlah hari yang panjang itu,
hari-hari pengasingan yang sepi itu, apa yang dimaksudkan Wycliffe seribu tahun
kemudian.”Jika kita memiliki seratus paus, dan jika mereka semua friar adalah kardinal,
hanya kepada hukum injil kita harus membungkukan diri, lebih daripada semua
kumpulan banyak ini.”[8]
Gerakan-
gerakan yang bergantung pada kemurahan politik (ketimbangan kebenaran Allah)
pada akhirnya mati, dan inilah terjadi atas Arianisme. Segera setelah terlihat
seolah Arians telah mengkonsolidasikan cengkramannya pada Kekaisaran, mereka
berbalik mengalami pertarungan internal dan begitu nyata saling menghancurkan
satu sama lain. Mereka tidak punya seorang seperti seorang Athanasius yang
setia, dan itu tak lama sebelum gelombang balik melanda mereka. Pada tahun 381
M, Konsili Konstatinopel dapat digelar dan mengafirmasi, tanpa kebimbangan,
iman Nicea, lengkap dengan klausula homoousious. Ketuhanan seutuhnya Kristus
telah diafirmasikan, bukan karena Nicea telah mengatakan demikian, tetapi
karena Allah telah menyingkapkannya demikian. Otoritas Nieca berdiam di atas
pondasi kokoh Kitab suci. Satu abad setelah Nicea, kita mendapatkan bishop
agung dari Hippo, Agustinus, menuliskan kepada Maximin, seorang Arian, dan
berkata:”Kita tidak boleh menekan otoritas Nicea menentangmu, juga tidak
Ariminum menentangku; Aku tidak mengakui satu itu, sebagaimana engkau tidak
mengakui yang lain, tetapi mari kita datang ke dasar yang sama bagi
keduanya-kesaksian Kitab suci kudus.”[9]
NICEA
Hari Ini
Mengapa
orang-orang Kristen percaya kepada ketuhanan Kristus hari ini? Apakah karena
telah dipaksa demikian oleh teologi yang telah dilegislasikan dari
konsili-konsili atau paus-paus? Tidak, itu karena Kitab suci mengajarkan
kebenaran ini. Ketika orang-orang percaya orthodoks mengafirmasikan validitas
kredo yang dihasilkan dari Nicea, mereka semata mengafirmasikan sebuah
presentasi kebenaran skriptural yang jernih dan gamblang. Otoritas pengakuan
iman Nicea mencakup pernyataannya akan homoousion, tidak ditemukan dalam
sejumlah konsep dari sebuah gereja infallible, tetapi dalam ketakcemaran dan
kesetiaan kredo terhadap penyingkapan skriptural. Kredo ini berkata dengan
suara para rasul karena kredo mengatakan kebenaran sebagaimana mereka telah
memproklamasikannya.
Orang-orang
Kristen modern dapat sepenuhnya berterima kasih pada testimoni dari seorang
Athanasius yang berdiri mempertahankan kebenaran-kebenaran ini ketika mayoritas
besar menentangnya. Kita harus mengingat teladannya dalam era kita.
ooOoo
Sumber:
equip.org
Diterjemahkan
dan diedit oleh: Martin Simamora
Soli Deo Gloria
[1] Nicene and Post Nicene Fathers,
Series II, XIV:15.
[2]
Bagi mereka yang bergumul dengan gagasan bahwa itu bukan “Katholikisme Roma”
yang telah ada pada hari-hari tersebut, pertimbangkanlah ini: jika seseorang
memasuki gereja pada hari ini, dan
mendapatkan bahwa orang-orang yang berkumpul di sana tidak percaya pada
kepausan,tidak percaya pada Maria Dikandung Tanpa Noda,Maria Diangkat Ke Sorga,
Purgatori, indulgensi, tidak percaya pada konsep transubstansi dipenuhi dengan
hosti komuni berubah total secara fisik dan spiritual, dan tidak memiliki
tabernakel pada altar-altar dalam gereja-gereja mereka, akankah orang berpikir
ia dalam sebuah gereja “Roma Katholik”? Tentu saja tidak. Namun demikian,
gereja 325 tidak memiliki satupun kepercayaan-kepercayaan ini, juga. Karena
itu, sementara mereka menyebut dirinya “orang-orang Katholik,” mereka tidak
memiliki gagasan apapun mengenai apakah maknanya “Katholik Roma.”
[3]
Ammianus Marcellinus, sebagaimana dikutip oleh Schaff, History of the Christian Church
(Grand Rapids: Eerdmans, 1985), III:632.
[4]
Untuk mendiskusikan kejatuhan sesaat Liberius, lihat Schaff, III:635-36. Untuk informasi pada
relasi Liberius dan konsep infalibilitas kepausan, lihat George Salmon, The Infallibility of the Church
(Grand Rapids: Baker Book House, 1959), 425-29, dan Philip Schaff, The Creeds of Christendom (Grand
Rapids: Baker Book House, 1985), I:176-78.
[5] Jerome,
Adversus Luciferianos, 19, Nicene
and Post Nicene Fathers, Series II, 6:329.
[7] Saya
memberikan kredit kepada salah satu murid saya, Michael Porter, dengan
fraseologi ini.
[8] Robert
Vaughn, The Life and Opinions of John de Wycliffe
(London: Holdworth and Ball, 1831), 313.lihat 312-17 untuk sebuah rangkuman doktrin kecukupan Firman yang diusung Wycliffe.
[9] Augustine,
To Maximim the Arian, sebagaimana
dikutip oleh George Salman, The Infallibility of the
Church (Grand Rapids: Baker Book House, 1959), 295.
No comments:
Post a Comment