Oleh: Martin Simamora
Belajar
Mencukupkan Diri Dalam Segala Keadaan
Pengejaran- Pengejaran yangTak Pernah Titik
Mari
pertama-tama saya ajukan terlebih dahulu konteksnya agar tak disalahmengerti
sebagai ketakproduktifan dan cepat berpuas diri. Dunia ini pada segala aspeknya
tak akan selalu membahagiakan dan karena itu juga tidak akan selalu
menyengsarakan. Kalau memperhatikan pernyataan demikian, seolah manusia
memiliki semacam titik-titik ekuilibriumnya masing-masing yang merupakan
titik-titik kepuasan atau ketercukupan hidup teroptimalnya yang khas. Tetapi
faktanya tidak. Banyak hal, manusia ketika masih belum memiliki hal-hal yang diinginkan dalam daftar
keinginannya, beranggapan andaikata hal tersebut bisa didapatkannya, maka itu
akan menjadi kebahagiaannya atau kepuasannya. Pada satu sisi lainnya, ada
manusia ketika masih dalam situasi-situasi hidup yang tidak membahagiakan,
menyedihkan hingga menyengsarakan, berpengharapan dengan sejumlah daftar
apa-apa yang dianggapnya sebagai penyebab kesusahan hidupnya telah menyangka
jika saja daftar itu dapat dihilangkan, maka ia akan menjadi bahagia dan
memiliki kepuasan hidup yang diimpikannya. Pada faktanya, kedua hal tersebut
tidak pernah terwujud sesederhana itu.
Kepuasan
diri dan kepuasan hidup, pada faktanya, dapat menjadi sebuah pengejaran hidup
yang tak dapat didefinisikan sendiri oleh manusia itu. Mengapa? Karena
pengejaran itu berangkat dari apa yang kita sangka sebab bahkan jiwa kita
sendiri tak pernah bisa mensubstansikannya sedemikian rupa sehingga menggenapkan
jiwa yang bergelora. Ya begitulah kita…kita
mengejar apa yang kita sangka atau pikir akan membuat kita bahagia hanya untuk
mendapatkan dirinya tetap saja tidak seberbahagia sangkanya, kita dengan
demikian mendapatkan diri ini lebih berbahagia sebelum saya dan anda memulai
pengejaran-pengejaran semacam itu.
Perhatikan
hidup di sekitar kita. Ketakpuasan atau ketakbahagiaan diri memang menandai
masyarakat kita, mulai dari keluarga,
gereja dan bangsa yang terefleksikan dalam banyak cara. Kita bisa melihat
tingkat hutang konsumtif masyarakat kita. Kita tak puas untuk hidup dengan apa
yang kita punyai dan dalam jangkauan potensial produktif optimal kita, sehingga
kita berhutang hanya untuk hidup sedikit lebih baik daripada apa yang dapat kita beli berdasarkan produktivitas aktual teroptimal
kita. Tetapi sesudahnya inilah yang terjadi…anda menjadi cemas hingga depresi
memikirkan hutang yang secara sitemik meningkat menenggelamkan finansial perolehanmu
berdasarkan produktivitas. Hidupmu menjadi penuh tekanan berkepanjangan sebab
secara rutin tagihan-tagihan bulananmu mengejarmu bak hantu di siang bolong.
Tentu
saja harus diakui dunia sudah lebih maju dalam membangun dan membentuk industri
konsumsi masyarakat. Industri periklanan, misalnya, berupaya membujuk dan
meyakinkan kita bahwa kita tidak mungkin dapat menjadi bahagia kecuali kita
memiliki produk-produk mereka, dan kerap kita membelinya sebagai korban umpan
bukan sebagai konsumen pintar dan rasional, akibatnya hanya untuk mendapatkan
diri memiliki satu lagi hal yang meremukan atau satu lagi keeping peralatan
konsumtif yang memberikan tekanan hidup lebih hebat lagi sementara hidup sudah
terlampau dijejali oleh masalah-masalah.
Ini
secara langsung dan tak langsung berdampak pada kehidupan pernikahan atau
kehidupan berumah tangga. Tingkat pertumbuhan perceraian cenderung meningkat
bahkan usia pernikahan semakin singkat akibat ketakpuasan dan ketakbahagiaan
sebagaimana sangkanya.
Tak puas dengan pasangannya, maka dicarilah pengganti yang ditakarnya lebih
mampu memuaskan keinginan-keinginannya. Jika hak-haknya dan
keinginan-keinginannya maka pertengkaran meledak seperti marah kecewa membeli
barang yang digadang-gadangnya sebelum menikah, pasti ini yang terbaik baginya,
jadi akhirnya menuntut atau saling menuntut di pengadilan sebagai puncak
ketakpuasan dan ketakbahagiaan. Namun tak perlu juga seburuk itu, dahulu
menikah dengan formula kalau bisa saling memperlakukan secara “adil” maka pasti
langgeng, namun walau formula yang
disepakati itu dijalani, faktanya “adil” pun tak mampu mendefinisikan secara
substansial kebahagiaan pernikahan, jadi perceraian dan menikah kembali,tak
heran, menjadi sebuah life style yang main stream atau dianggap lazim juga.
Belajar
Mencukupkan Diri
Dalam
Alkitab, sangat menarik untuk melihat dan belajar teladan yang disajikan oleh
rasul Paulus:
Filipi
4:11-12 Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar
mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku
tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam
segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia
bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal
kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.
Rasul
Paulus adalah hamba Kristus yang mengalami dinamika hidup atau lebih tepatnya
dinamika ekonomi kehidupan seorang hamba Tuhan, bahwa ia bisa mengalami kekurangan dan bisa
mengalami kelimpahan; yang pertama jelas sebuah kehidupan yang tak
membahagiakan atau menyengsarakan pada
tatar konsumsi, sementara yang kedua adalah sebuah kehidupan yang
sebaliknya. Tetapi apa yang penting menjadi pelajaran kita adalah bagaimana
dinamika hidup seperti itu tak memetakan jiwanya dan tak menciptakan konsepsi
bahwa yang diberkati adalah berlimpah dan yang terkutuk adalah yang kekurangan.
Rasul Paulus bahkan tidak menunjukan bahwa itu sebuah dinamika hidup yang perlu
menjadi ilah jiwanya, sehingga ia berkata begini: dalam segala hal dan dalam
segala perkata tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal
kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal
kekurangan.
Kalau
sekarang dua keadaan ekstrim itu bisa
merupakan “rahasia” dalam tatar dan nilai rohani, paling tidak kalau berlimpah
maka itu bukti berkat Tuhan menyertainya, jika kelaparan/ kekurangan maka itu
bukti tidak hidup dalam berkat Tuhan, setidak-tidaknya jika bukan dalam
kutuk. Ketika Paulus berkata: kukatakan ini bukanlah karena kekurangan,
ini luar biasa, sebab itu adalah respon
terhadap kebaikan jemaat yang tak memungkinkan untuk diterimanya: Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa
akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan
bagimu(Fil 4:10).
Dinamika
hidup itu bisa sedemikian keras sehingga membuat seorang yang memiliki banyak
teman, sangat mungkin untuk sendirian tanpa dukungan, seperti Paulus. Tantangan
dan problem hidup memang bisa begitu diluar ekspektasi sehingga bisa sangat
mengecewakan dan menenggelamkan harapan untuk mengejar pemuasan
keinginan-keinginan dirinya. Dan ini bukan berarti rasul Paulus berdelusi bahwa
itu bukan problem dan apalagi bukan semacam penderitaan, ia berkata terkait
realita ini: Segala perkara dapat
kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. (Filipi 4:13).
Manusia
memang bukan sahabat alami kesusahan hidup, tetapi juga jiwa manusia bukan
penunggang kebahagiaan yang baik, sehingga ia terus saja tersesat dan tak dapat
mengarahkan tujuannya yang sebelumnya ditetapkannya sebagai titik kebahagiaannya.
Ketika
problem penghidupan menghantam rasul Paulus sementara ia harus memberitakan
injil, ia bertahan dan tak undur. Ia tak berhenti dan mencari pekerjaan yang
lebih baik saja, ia bertahan sebab ia tahu apa yang paling penting dalam
hidupnya. Ini lebih dari yang anda sangkakan, terkait harga diri, ia tak malu
dan tak kehilangan harga dirinya sebagai pelayan Tuhan yang bergantung pada
bantuan dan bisa kelaparan tanpa bantuan. Perhatikan ini:
Filipi
4:14-18 Namun baik juga perbuatanmu, bahwa kamu telah mengambil bagian dalam
kesusahanku. Kamu sendiri tahu juga, hai orang-orang Filipi; pada waktu aku
baru mulai mengabarkan Injil, ketika aku berangkat dari Makedonia, tidak ada
satu jemaatpun yang mengadakan perhitungan hutang dan piutang dengan aku selain
dari pada kamu. Karena di Tesalonikapun kamu telah satu dua kali mengirimkan
bantuan kepadaku. Tetapi yang kuutamakan bukanlah pemberian itu, melainkan
buahnya, yang makin memperbesar keuntunganmu. Kini aku telah menerima semua
yang perlu dari padamu, malahan lebih dari pada itu. Aku berkelimpahan, karena
aku telah menerima kirimanmu dari Epafroditus, suatu persembahan yang harum,
suatu korban yang disukai dan yang berkenan kepada Allah.
Pada
derajat tertentu memang pelayanan apalagi yang pada selevel Paulus, sisi
manusiawi membuatnya tak beda dengan profesi-profesi lainnya, bahwa seseorang
harus memiliki kemampuan mengelola keuangannya berdasarkan pendapatan teratur
dan pengeluaran yang rasional. Tetapi biaya pelayanan Tuhan karena melayani
Tuhan itu bukan karir yang berpola kehidupan berupah atau
bergaji korporasi rutin-sejatinya begitu, kecuali jemaat atau sinode mengaturkannya demi
keberlangsungan dan pemenuhan kebutuhan mendasar sebuah keluarga pendeta- sehingga
yang namanya pengejaran kepuasan hidup dan pendefinisian pada jiwanya terkait
pengejaran itu, harus benar-benar berbeda daripada karir-karir lainnya. Jadi apakah
yang benar-benar membedakannya, itu terletak pada bagaimana ia memandang
dirinya sebagai pelayan Tuhan yang dimiliki-Nya dalam dunia yang pada dasarnya
penuh problem dan tak bisa memberikan manusia kepuasan sejati. Dan inilah jiwa
yang seharusnya dimiliki pada semua anak-anak Tuhan apapun profesi anda: Segala perkara dapat kutanggung di dalam
Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Fil 4:13).
Kalau
ini bisa dikenakan, maka tidak perlu berpikir untuk korupsi, tidak perlu
memparadekan kemakmuran seorang pendeta karena memang diberkati Tuhan, dan
juga tak perlu menjadi janggal memandang kok bisa ya rasul berkata: Aku tahu apa itu kekurangan dan aku
tahu apa itu kelimpahan. Tentu ini juga bukan formula tidak boleh
ada pendeta yang senantiasa melimpah, tetapi apa yang paling penting dan
seharusnya menjadi “flagship” hidup seorang Kristen adalah ini: aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu
apa itu kelimpahan, segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang
memberikan kekuatan kepadaku.
Jadi tidak perlu
panik dan stres hingga masuk ke fase
gugur iman dan berpikir kriminal. Sementara kita harus mengejar yang terbaik di
dunia ini tetapi pagarilah hatimu dengan kebenaran ini: segala perkara dapat
kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku.
Soli Deo Gloria
No comments:
Post a Comment