Bagaimana
Iman Menghadapi Kematian
Oleh:
Admin bible.org
1.Iman
Menghadapi Kematian Secara Gamblang
Ibrani bab 11
kerap
dirujuk sebagai “Monumen Iman”. Merupakan sebuah risalah iman banyak karakter
yang digambarkan dalam Perjanjian Lama.
Sementara kita menemukan kata “iman” begitu sering dalam bab 11 tersebut, ada
kata lain yang ditemukan berdampingan dengan iman-kata itu adalah kematian.
Sementara setiap orang dari anggota-anggota
“Monumen Iman” tersebut memiliki iman, setiap dari mereka telah
meninggal dunia tanpa menerima janji-janji yang mereka percayai dan bertindak
di atas janji-janji tersebut dalam hidup mereka. Kita melihat, kemudian, iman biblikal
adalah iman yang menghadapi kematian secara gamblang atau secara langsung, memang, iman memandang
melampaui kematian. Jika orang-orang berkata,”Dimana ada hidup, di sana ada
harapan”,pria dan perempuan iman dapat berkata,”Dimana ada kematian, di sana
ada harapan”. Karena iman adalah dasar bagi harapan dibalik kematian itu
sendiri.
2.Iman
Memperlakukan Kematian Secara Serius
Iman
tidak berurusan dengan kematian dengan cara meminimalkannya, kematian berurusan
dengan dosa sebagai sebuah soal yang sangat serius. Iman tidak memperlakukan
kematian dalam sebuah candaan atau gurauan yang seperti apapun juga, sebuah
kubur adalah soal serius.
Kematian adalah serius karena itu adalah penghukuman
yang Allah telah nyatakan pada dosa. Kematian itu serius karena kematian adalah
sebuah kepastian bagi semua orang. Kematian harus diperlakukan secara serius
karena, sebagaimana Allah telah berkata,”Dan
sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah
itu dihakimi” (Ibrani 9:27). Kematian adalah sebuah langkah masuk yang tak
dapat diputarbalikan ke dalam kekekalan, sebuah kekekalan bagi satu orang
adalah sebuah kebahagiaan sempurna kekal dalam hadirat Allah, atau
penderitaan kekal, disingkirkan dari
hadirat Allah (bandingkan dengan Lukas 16:19-31; 2 Tesalonika 1:9).
Keseriusan
kematian diindikasikan oleh respon Tuhan kita terhadap kematian. Salah satu
dari beberapa kali respon tersebut dikatakan bahwa Tuhan Yesus meratap di makam
La zarus, seorang pria yang Ia segera panggil dari kubur itu. Yesus
memperlakukan kematian-Nya secara serius juga, sebagaimana dapat dilihat dari
penderitaan-Nya di Taman Getsemane. Kematian harus diperlakukan secara serius,
karena kematrian adalah konsekuensi dosa yang tak terelakan.
3.Iman Memampukan
Orang Kristen Dihiburkan bahkan untuk Menyembah Tuhan, Ketika seorang Yang
Dikasihinya Telah Meninggal Dunia
Dalam
bab pertama Kitab Ayub, kita telah diberitahukan kematian tragis anak-anak Ayub
(Ayub 1:18-22). Ayub adalah seorang pria iman. Ia tak hanya menerima berita kematian anak-anak-Nya, ia
jatuh ke tanah menyembah. Apakah yang
telah memampukan Ayub untuk menyembah, ketika semua anak-anaknya telah
meninggal secara tragis, dan (dari sudut pandang manusia) secara prematur?
Iman Ayub adalah bukti dalam tiga cara. Ayub memiliki iman dalam kuasa Allah.
Ayub telah percaya dalam kedaulatan Allah, faktanya bahwa Allah memegang
kendali. Jadi, ia tidak memandang kematian anak-anaknya sebagai sebuah bencana
alam (walau, dalam akal sehat, memang demikian), tetapi sebagai sebuah tindakan
Allah. Ayub berkata TUHAN yang memberi,
TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN! (Ayub 1:21). Ayub telah mengetahui
bahwa anak-anaknya bukan milik kepunyaannya, pada ultimatnya, Allah pemilik
mereka. Ayub telah mengetahui bahwa tepat sebagaimana Allah telah memberikan
bagi anak-anaknya kehidupan, Allah juga yang telah mengambilnya. Bagi Ayub, itu
bukanlah “waktu kepunyaan mereka”, itu adalah “waktu kepunyaan Allah.” Allah
ada dalam kendali, secara spesifik dalam cara dan waktu kematian keluarganya.
Jadi, Ayub mampu menyembah.
Tetapi lebih lanjut,
Ayub tak hanya memiliki iman dalam kuasa Allah (dalam kedaulatan-Nya, dalam
kendali-Nya), tetapi dalam pribadi-Nya. Iman Ayub berakar dalam karakter Allah.
Allah itu berkuasa penuh dan baik. Ayub, telah dikatakan,” tidak
berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut (Ayub 1:22).
Ayub tidak memandang Allah sebagai pihak yang dalam cara apapun juga “pada
posisi salah”, sebagai melakukan kesalahan dalam kematian anak-anak-Nya. Ia
adalah Allah yang Ayub percayai sampai pada batas tak bertepi. Sehingga Ayub
menyembahnya, bahkan dalam saat tragedi.
Ada satu dimensi
final bagi iman Ayub, sebagaimana saya pahami dalam teks ini. Itu adalah, Ayub
mau percaya kepada Allah dalam kematian anak-anaknya, walaupun ia tidak memahaminya. Ayub tahu
bahwa Tuhan itu baik, dan bahwa Tuhan
telah mengambil anak-anaknya dalam kematian
Ayub tidak tahu
kenapa. Dan hal itu akan memperlihatkan bahwa imannya yang seperti itu tidak
membuat dirinya harus mengetahui kenapa, setidaknya tidak sampai nanti. Waktu akan menunjukan alasan-alasannya,
tetapi itu kerap hanya dalam kekekalan bahwa alasan-alasannya akan diketahui.
Iman menemukan penghiburan dalam kuasa, dalam kebaikan, dan dalam tujuan-tujuan
Allah, bahkan walau kita tidak mengerti alasan-alasan tragedi tersebut pada
saat itu juga.
Sebagaimana anda
sedang menghadapi kehilangan orang yang sangat dikasihi, ada banyak pertanyaan
yang hendak ditanyakan, ada banyak hal yang kita tidak, pada momen waktu ini,
mengerti. Tetapi jika kita, oleh iman, telah mengenal Allah sebagai Juruselamat
kita, maka kita mengetahui bahwa Ia memegang
kendali, bahwa Ia adalah baik, dan bahwa kebijakan-Nya dan anugerah-Nya dalam
orang-orang yang dikasihi dan telah meninggal tersebut akan terbukti pada suatu
hari.
4.Iman
Memandang Kematian Melalui Pribadi dan Karya Yesus Kristus
Bagian
alasan mengapa kematian begitu sukar bagi manusia adalah karena kita takut
kematian. Penulis Surat Ibrani membicara inkarnasi dan kematian Yesus agar supaya: dan supaya dengan jalan demikian
Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena
takutnya kepada maut (Ibrani 2:15). Orang-orang memang tepat harus takut akan
kematian, terpisah atau terlepas dari Kristus. Itu adalah sebuah penghakiman
yang adil dan pasti, dan kematian adalah jalan masuk kedalam sebuah hidup yang
terpisah dari Allah, bagi semua orang berdosa. Jadi, orang-orang yang tak
beriman kepada Allah, takut akan kematian. Mereka menantikan atau
mengantisipasi kematian dengan sebuah ketakutan yang mencengkram jiwa. Mereka menjalani hidup
mereka dalam belenggu takut akan kematian.
Orang-orang Kristen
tidak lagi hidup dalam belenggu takut akan kematian karena iman mereka dalam
Yesus Kristus. Ia telah datang untuk mati mengambil posisi orang berdosa, untuk
menanggung penghukuman kematian. Yesus tak hanya telah menderita murka Allah,
Ia telah dibangkitkan dari kematian, sehingga kematian tidak lagi memerintah
atas orang-orang beriman pada-Nya. Kematian adalah musuh yang telah ditaklukan.
Kematian tidak mencengkram ketakutan mereka yang beriman dan hidup dalam
Kristus. Paulus telah memandang kematian sebagai sebuah kelepasan, sebagai sebuah promosi (Filipi
1:19-26). Kata kemenangan dari rasul
Paulus ini, telah dicatat dalam Surat Roma bab 8, menyingkapkan perspektif iman terhadap kematian.
Sebab itu apakah yang akan kita
katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak
kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya
sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia
tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah
yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka?
Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan
lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang
malah menjadi Pembela bagi kita? Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih
Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau
ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?... Tetapi dalam semuanya
itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi
kita. Sebab
aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun
pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau
kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk
lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:31-39)
telegraph |
Diterjemahkan
dan diedit oleh: Martin Simamora
Sola Gratia
No comments:
Post a Comment