Oleh: Martin Simamora
Sepuluh Bagian
Kedua
Umat Manusia Dalam
Pandangan Allah Yang Mengustus Yesus
(Lebih dulu di “Bible Alone”-Rabu,27 Juli 2016- telah diedit dan dikoreksi)
B.Realitas Kedua
Manusia: Berdosa Dan Apakah kemudian Allah mengalami
perubahan baik dalam kekudusan-Nya dan pandangan-Nya
terhadap manusia, dosa dan iblis sehingga Sang Firman ketika datang Ke Dunia
Dalam Rupa Manusia Hanya Menanggung Penghukuman Dan Berupaya Menjadi Corpus Delicti
Apakah manusia memang berdosa secara tak tertolongkan untuk
ditanggulangi olehnya sendiri dan apakah manusia menjadi berdosa karena
memiliki gagasan-gagasan dosa dan
kejahatan yang datang dari luar dirinya yang berjuang keras untuk menjajah
manusia sehingga, kemudian, baru dapat membujuknya berbuat dosa, ataukah datang
dari dalam dirinya sendiri sebagai hal yang tak dapat dipisahkan dari
eksistensi setiap manusia?
Pertanyaan beruntun
semacam tadi menjadi begitu penting untuk ditanyakan sebab pendeta Dr. Erastus
Sabdono ketika membingkaikan manusia dalam konsepsi corpus delicti alanya (saya menggunakan “ala” atau “versi” pendeta
Erastus, sebab ia mengaplikasikan corpus delicti yang sama sekali tak
menunjukan atau membuktikan kejahatan iblis selain membuktikan apakah seorang
anak Allah/orang beriman memang dapat menjadi corpus delicti –kembali, ala
pendeta Erastus- sebagaimana Yesus, yang pada pandangan pendeta Erastus,
menjadi corpus delicti atau menjadi substansi kejahatan iblis adalah dapat
menjadi taat dan menghormati Allah secara benar hingga pada kesudahannya atau mati)
yang dapat membungkam iblis dalam pengadilan Allah. Dengan kata lain,
manusia-manusia membantu ketakberdayaan Allah terhadap kecanggihan kejahatan
iblis terkait barang bukti.
Jika
manusia memiliki natur yang begitu mulia untuk melawan iblis di pengadilan
Allah, maka seharusnya ketakmuliaan
manusia harus berasal dari luar diri manusia itu sendiri. Dengan kata
lain internal manusia adalah tidak
memiliki kenajisan walau barangkali belum sama sekali mencapai kesucian. Tentu saja untuk
menjadi barang bukti yang sanggup mendakwa iblis hingga menjadi terpidana
berkekuatan hukum, para anak-anak Allah itu juga harus manusia-manusia yang harus
lebih kuat kemampuannya untuk mempidanakan iblis daripada Allah yang tak berhasil menyajikan barang bukti untuk
mendakwa iblis hingga menjadi terpidana yang dapat seketika itu juga
dibinasakan.
Apakah Yesus Kristus,
setidak-tidaknya menyatakan bahwa manusia itu berdosa sama sekali dan
senantiasa dibawah penghakimannya sebagaimana Allah pada era sebelum Ia Sang
Firman menjadi manusia dan tinggal diantara manusia (Yohanes 1:14)? Mari kita
perhatikan ucapan-ucapan Yesus berikut ini:
Matius
15:10-12 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: Dengar
dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan
yang
keluar dari mulut, itulah
yang menajiskan orang. Maka datanglah murid-murid-Nya dan bertanya
kepada-Nya: "Engkau tahu bahwa perkataan-Mu itu telah menjadi batu
sandungan bagi orang-orang Farisi?"
Matius
15:17-20 Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun
ke dalam perut lalu dibuang di jamban? Tetapi apa yang keluar dari mulut
berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.
Karena dari hati timbul
segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan,
percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah
yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak
dibasuh tidak menajiskan orang."
Bagi
Yesus Kristus, semua manusia memiliki problem maut untuk dapat berdiri di dalam
sebuah pengadilan di mana para manusia adalah saksi-saksi untuk membantu Allah.
Bukannya membantu Allah, pasti malah membuat iblis semakin pasti mustahil
menjadi terpidana. Bagaimana mungkin para saksi
itu sendiri adalah para pembunuh,pezinah, pecabul, pengucap sumpah palsu
sejak dari hati dan pikiran? Barang bukti yang begitu licik pada naturnya mau
dihadirkan Allah dihadapan iblis??
Kecuali
memang pendeta Erastus sedang berupaya membantah Yesus Kristus, sekuat
tenaganya dan menggeser Yesus sebagai pusat kebenaran dan kebenaran itu sendiri.
Manusia memang memiliki pandangan dan spiritualitas yang menyatakan bahwa manusia dapat
menguduskan dirinya atau membersihkan dirinya dari noda, kotoran atau berbagai
macam kecemaran pada dirinya. Coba perhatikan ini:
“Pada
suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem
datang menemui Yesus. Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan
dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab
orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak
melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat
istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka
juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan
lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi
dan perkakas-perkakas tembaga. Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli
Taurat itu bertanya kepada-Nya: "Mengapa
murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat
istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?"-
Markus 7:1-5
Pandangan semacam ini
tidak diakui sama sekali oleh Yesus sebagai sebuah kebenaran yang diakui oleh
Allah. Dalam hal ini, Yesus bukan menentang sebuah kehidupan yang tahir atau
kudus, sebab itu kesukaan Allah untuk dilakukan oleh manusia. Problemnya
adalah: pembersihan dari kecemaran atau pembersihan diri secara demikian telah merupakan budaya
spiritualitas yang telah melenyapkan kemuliaan kekudusan Allah, sehingga apa
yang dianggap “bersih tak bernoda” oleh orang Yahudi bukan sama sekali sebuah
kekudusan yang bersinar dari dalam diri sementara mereka membersihkan tubuh
mereka, dalam cara mereka. Coba perhatikan pernyataan Yesus berikut ini:
Jawab-Nya
kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya
tentang kamu, hai orang-orang munafik!
Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya,
padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah
kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia- Markus 7:6-7
Bagi Yesus, semua
manusia akan senantiasa gagal untuk
membersihkan dirinya sebagaimana realitas hatinya. Itu sebabnya hatinya jauh
dari pada-Ku ujar Yesus. “Hatinya jauh dari pada-Ku” itu, sejauh apakah? Apakah
itu sebuah kejauhan yang mengakibatkan sebuah keterpisahan dari Allah yang tak
mungkin ditanggulangi manusia? Sebelumnya Yesus sudah menjelaskan kenajisan
manusia yang tak mungkin dibersihkan dengan air dan apapun juga upaya manusia
untuk membasuh hatinya, sebab pada manusia itulah sumber kenajisan bagaikan
mata air yang tak pernah putus dan bagaikan tali kekang yang mengendalikan
perilaku manusia, atau dalam pernyataan
Yesus tadi: Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah
yang menajiskan orang. Karena dari
hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan,
percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah
yang menajiskan orang.
Manusia-manusia
memang berusaha untuk memenuhi hukum Allah dan itu sesuatu yang akan
menyenangkan dan akan membuat manusia itu mendapatkan perkenanan pada Allah. Tetapi pada realitasnya sejak era sebelum
Yesus, relasi manusia dengan hukum Allah telah menunjukan bahwa kenajisan
manusia pada hakikatnya telah membuat manusia senantiasa gagal membersihkan dirinya dari segala kecemaran
secara permanen dan tanpa cela di hadapan Allah. Untuk hal ini, Yesus malah
menunjukan fakta ini sebagai sebuah kebenaran
sejak era sebelum dirinya: Benarlah
nubuat
Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan
bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.
Perkataan nabi Yesaya yang sedang
dimaksudkan oleh Yesus Kristus adalah ini:
Dan
Tuhan telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya
dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,- Yesaya 29:13
Yesus Kristus bukan
hanya menyatakan bahwa manusia tak berdaya untuk membasuh dirinya agar tak
bernoda di hadapan Allah, tetapi menunjukan secara otentik bagaimana hati yang
najis dan sumber segala kejahatan itu secara penuh kuasa telah membuat apapun
usaha manusia untuk menyenangkan Tuhan dalam dedikasi setinggi apapun akan
bercacat dan melenceng dalam
pandangan Allah sebagai akibat
keterbatasan dan ketakberdayaan manusia untuk menggenapi hukum kudus Allah yang
mempersyaratkan ketakcemaran hati di hadapan Allah agar apa yang dilakukannya
menjadi bukan hal yang munafik,
sebagaimana ini:
Matius
15:3-7 Tetapi
jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab
Allah berfirman:
Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya
pasti dihukum mati. Tetapi
kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada
ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah
digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi
menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan
tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri. Hai orang-orang munafik!
Sekarang bahkan Yesus
sedang memperlihatkan melalui penghakimannya bahwa hakikat manusia yang najis
atau cemar itu bahkan dalam semangat untuk memenuhi tuntutan hukum-hukum Allah pun akan membengkokan kebenaran firman Allah dalam cara mengangkat
dirinya sendiri sebagai “dia yang bersabda” dalam cara yang tragis sebagaimana
penghakiman Yesus yang berbunyi: “Allah berfirman … tetapi kamu berkata…” Di sini kita menjadi memahami mengapa Yesus
bersabda melawan semua manusia yang sekalipun berdedikasi dan penuh ketekunan
memenuhi tuntutan atau kehendak Allah berdasarkan kitab suci tapi bagi Yesus
semuanya adalah orang-orang munafik
(di sini munafik menjadi lebih dari apa
yang kita sangka sebab Yesus menyatakan kemunafikan hingga ke tingkat
pemutarbalikan kebenaran sabda Allah) sebab mereka melakukan apa yang tidak
menjadi kehendak kudus yang difirmankan Allah
berdasarkan pengajaran masa kini yang jauh dari maksud
sesungguhnya Allah (sebab pada dasarnya mereka tak dapat mengupayakan
pengudusan diri), perhatikan ini:
Matius
5:21-22 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang
kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata
kepadamu: Setiap orang yang marah
terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir!
harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus
diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Matius
5:27-28 Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi
Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang
memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.
Matius
5:31-32 Telah difirmankan juga:
Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi
Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang
menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan
isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia
berbuat zinah.
Hukum
baru ini atau perintah baru ini, misalnya, telah menjadi bukti bahwa manusia akan senantiasa gagal
menunjukan dirinya suci atau setidak-tidaknya menunjukan dirinya senantiasa
membenci dosa. Mengapa? Karena “Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah”
pada “karena zinah” itu harus memperhatikan “zinah” dalam apa yang telah
diajarkan Yesus, yaitu “Setiap orang yang
memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Pasti tidak akan
pernah ada seorang hakim manusia yang dapat menentukan isi hati manusia terkait
apakah benar di dalam hatinya sebuah zinah telah ada dan sebaliknya tak akan
ada manusia yang secara terbuka mau menyatakan telah berzinah di dalam hatinya,
disamping memang siapapun manusia tak akan sanggup menentukan kapan dan
bagaimana sebuah hasrat telah berkategori zinah. Sebab untuk melakukan
penghakiman semacam ini, manusia itu harus sungguh-sungguh kudus sehingga
sanggup melihat kedalaman hati manusia lainnya!
Sehingga memang pada
era setelah Yesus kita melihat kontinuitas penghakiman Allah, sebagaimana pada
era sebelum Yesus Kristus, atas dosa tanpa sebuah penyusutan. Kala Sang Firman telah menjadi manusia, pada
faktanya pandangan Allah terhadap manusia, dosa dan iblis tak pernah berubah
sama sekali. Sebagaimana dahulu ia begitu kudus dan begitu membenci dosa, maka
demikian jugalah adanya IA kala Yesus telah datang ke dunia ini.
Ini membuat manusia
akan senantiasa berada di dalam penghakiman Allah dan murka Allah sehingga
untuk menjadi corpus delicti atau bukti yang membuat iblis tak berkutik dalam
penghakiman Allah adalah hal yang demi hukum mustahil untuk terjadi.
Konsepsi manusia menjadi corpus delicti dalam konten
berjuang untuk mentaati dan menghormati Allah dalam ketaatan hingga mati dalam
tujuan untuk menutupi cela Allah di hadapan iblis, pada fakta dalam injil tak
pernah terbersit sedikitpun. Manusia tak pernah diajarkan oleh Yesus dan juga
oleh para rasul menjadi begitu berbeda dengan realitas manusia pada era sebelum
Yesus datang. Sebagaimana dahulu pada era sebelum Yesus datang bahwa manusia
berada di dalam kegelapan yang membuatnya
senantiasa memberontak pada Allah sehingga membutuhkan Terang Allah bagi
ketakberdayaan manusia terhadap kehendak kudus Allah, maka demikian jugalah
pada era Yesus datang.
Ini terlihat nyata
pada injil dan penjelasan atau pengajaran atau perintah Yesus sendiri kepada
orang banyak, menunjukan apa yang dapat dilakukan oleh Yesus memang sama sekali
tak dapat dilakukan oleh manusia, dikarenakan siapakah dia dan apakah
kuasa yang berdiam dalam dirinya! Ia adalah Sang Terang yang berkuasa atas kegelapan sebab terangnya menjawab
pertanyaan terkait realitas dosa dan realitas manusia terhadap dosa, dalam cara
yang menunjukan bahwa dosa dengan segala gagasannya tak datang dari luar diri
manusia, sementara manusia pada dasarnya tak berdosa!
Sang Terang Manusia
[Yoh 1:4] menyingkapkan bahwa realitas manusia itu sesungguhnya: najis, yang
merupakan karya global rejim pemerintahan iblis yang menguasai manusia,
sementara pada Yesus, kegelapan tidak menguasainya sebagaimana rasul Yohanes
menunjukannya:
Yohanes
1:5 Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak
menguasainya.
Yohanes
1:9-10 Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang
datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan
oleh-Nya, tetapi dunia tidak
mengenal-Nya.
Realitas dunia tidak
mengenalnya sekalipun menerangi setiap orang telah menunjukan bahwa problem
dosa memerintah pada diri manusia itu sendiri. Jadi maut berdiam didalam
kehidupan manusia di dunia ini sehingga manusia tunduk pada kegelapan dan tak
mampu menanggapi terang yang sedang meneranginya. Akan hal ini, beginilah Yesus
bersabda:
Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan
dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.-
Yohanes 3:19
Begitulah
keterpenjaraan semua manusia. Keterpenjaraan yang akan bikin siapapun akan
menggelengkan kepalanya sebab “terang telah datang tetapi manusia lebih
menyukai kegelapan” sebetulnya sedang menunjukan ketakmampuan manusia untuk
mengenali gelap dan terang secara jitu dan rasional dalam membuat pilihan. Itu karena ini bukan masalah
rasionalitas tetapi masalah keterpenjaraan yang kuasanya tak akan sanggup
ditanggulangi oleh apapun upaya manusia. Sekali lagi, Yesus menunjukan keterpenjaraan
manusia untuk senantiasa menjadi lawan atau seteru Allah:
Apakah
sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku?
Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku. Iblislah
yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.
Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di
dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata
atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.-
Yohanes 8:43-44
Semua manusia telah
terpenjarakan oleh ketidakbenaran yang ada di dalam iblis yang membapakan dunia
beserta segenap isinya dengan segala kegelapan dan kebenaran-kebenaran yang bersabda dalam
terang kebenaran iblis bukan kebenaran yang bersabda dalam terang kebenaran
Allah, itulah sebabnya iblis disebut pendusta dan bapa segala dusta. Ini
penjara yang begitu hebat dan begitu nyata kala Yesus berkata Terang
telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan.
Ingatlah ini adalah
kebenaran global dunia kita:
Yohanes
1:10 Ia telah ada di dalam dunia dan
dunia dijadikan
oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.
Mengapa
ini adalah kebenaran global atau segenap bola dunia ini, sebab dunia yang
sedang dibicarakan di sini adalah “dunia yang
dijadikan oleh-Nya.” Adakah dunia yang tak dijadikan
oleh-Nya sehingga Yesus harus tereksklusi menjadi kebenaran absolut dan tunggal
bagi segenap dunia dan segenap generasi manusia? Ini dulu harus dijawab dan
dibantah sebelum menyatakan kebenaran semacam ini tidak global dan tidak abadi.
Sang Kristus sedang
menghakimi dan penghakimannya itu sedang menunjukan bagaimanakah sesungguhnya
dosa itu bekerja, bahwa seorang manusia bukan dikatakan atau menjadi tercemar
dosa atau berdosa karena faktor-faktor dari luar diri manusia itu dan semata
jika merupakan eksternalisasi atau mewujudnya keinginan hati atau pemikiran
bermuatan jahat itu dalam rupa tindakan,
tetapi karena faktor-faktor atau
kehidupan-kehidupan internal jiwa atau hati manusia yang memang tak dapat diketahui telah terjadi
dosa atau terdapat sebuah kenajisan yang hidup menyala-nyala di dalam manusia
selain jika telah mewujud di dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain: manusia
pada hakikatnya berada dalam pemerintahan dosa atau manusia berada dalam
pengendalian hasrat-hasrat yang melayani
kehendak rejim iblis dan dituntun untuk berjalan untuk semakin lama semakin
dekat kepada kebinasaan sebagai buah matang pemberontakannya terhadap Allah. Hal ini benderang terlihat pada penghakiman
yang dinyatakan oleh Yesus dengan cara menggemakan sebuah nubuat kuno namun
menunjukan realitas manusia dari generasi ke generasi:
Matius 15:7-9 -Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu:
Bangsa
ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya
jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan
ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia."
Hati yang dikuasai
pemerintahan rejim iblis tak akan mungkin dekat dengan Allah, dan apa yang
begitu mencengangkan ditunjukan oleh Yesus, adalah: sekalipun hati manusia itu dikuasai oleh pemerintahan rejim iblis, itu
tak berarti mereka tak sama sekali tidak mencari Tuhan; itu tak berarti mereka
tak sama sekali memiliki kesadaran akan kebutuhan Tuhan; itu tak berarti mereka tak sama sekali tak
berjuang untuk memiliki kekudusan atau tak dapat menghasilkan kebenaran-demi
kebenaran yang mulia dan luhur dalam
pandangan manusia. Hanya
saja dasarnya adalah ajaran manusia dan perintah manusia bukan
sebagaimana yang dikehendaki Allah.
Coba perhatikan ini
seksama: “Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka
ajarkan ialah perintah manusia,” yang secara prinsip menunjukan bahwa
manusia-manusia yang hatinya jauh dari Allah [karena dikuasai oleh pemerintahan
kuasa kegelapan] tetap mampu secara
lahiriah sebagaimana juga sepenuh hati atau berkomitmen kuat dari dalam hatinya
untuk beribadah kepada Allah walau menurut
ajarannya dan kebenarannya sendiri pada pandangan dan penghakiman Allah.
Dalam hal ini Allah
menunjukan dan menghakimi peribdahan manusia dan pengejaran perkenanan-perkenanan
terhadap Allah dalam ibadah dan dalam kebenaran yang mulia itu, sekalipun
demikian adanya, tetapi pada hakikatnya mereka
semua, hatinya jauh dari Allah!
Mengapa dikatakan
hatinya jauh dari Allah? Karena hati manusia tidak sama sekali bekerja untuk
melayani hasrat kudus Allah, sebaliknya hati manusia itu memiliki mata air yang
begitu kotor dan berbau busuk, sebagaimana diangkat oleh Yesus hingga ke
permukaan agar dapat dipertontonkan pada manusia: “Tidak tahukah kamu bahwa segala
sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban?
Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan
orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan,
percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang.
Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang”-
Mat 15:17-20.
Makanan yang masuk
dari luar ke dalam mulut BUKAN sumber kenajisan
atau yang menajiskan manusia, seolah manusia pada dasarnya kudus atau
memiliki potensi untuk kudus dan menguduskan dirinya sendiri! Tetapi hatilah
yang merupakan sumber kenajisan manusia itu, kenajisan adalah eksistensi yang
berada di dalam diri manusia itu sendiri selama manusia itu hidup. Di sini jelas
sekali hati yang sedang dibicarakan bukan dalam makna organ tubuh,
karena ini bahkan dinyatakan oleh Yesus sebagai pengendali pikiran yang
berjiwa penuh kejahatan di hadapan Allah. Dalam hal ini menjadi dapat
dipahami mengapa rasul Yohanes menuliskan situasi Yesus yang telah datang ke
dalam dunia di di tengah-tengah manusia, dalam cara seperti ini: “Terang
itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya-
Yohanes 1:5.” Dimanakah “bercahaya di dalam kegelapan itu? Di dunialah terang itu bercahaya dan dunialah
yang berada di dalam kegelapan: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam
di antara kita-ayat 14,” sehingga ini adalah realitas yang
menunjukan bahwa setiap manusia tak memiliki terang karena
berada dalam penguasaan kegelapan sehingga kita membutuhkan pertolongan
Sang Terang: “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang-ayat
9. Ini sekaligus menempatkan Manusia
Yesus sebagai satu-satunya yang tak dikuasai oleh kegelapan yang berkuasa itu:”
kegelapan itu tidak menguasainya- ayat 5.” Adakah anda melihat sedikit saja
manusia dalam pandangan Allah dan Yesus berpotensi menjadi corpus delicti untuk
membungkam iblis dan menolong Allah yang tak berdaya di hadapan iblis? Apakah
Allah memiliki agenda dalam penciptaan
manusia sehubungan dengan pembuktian kejahatan iblis, seperti pengajaran di
bawah ini?
Berdasarkan apa yang
disingkapkan oleh Yesus, manusia pada segenap ras manusia digembalakan oleh hatinya
yang menjadi sumber kenajisan bagi dirinya sendiri di hadapan Allah. Hati yang
masih dapat menyadari dosa, masih dapat membedakan manakah yang
benar dan salah, bahkan apa yang berdosa dan tak berdosa, tetapi hati manusia
yang sama itu tak dapat mengenali Terang yang telah datang ke dunia sehingga
sekalipun manusia itu masih memiliki hati yang dapat menyadari dosa, masih
dapat membedakan salah dan benar, bahkan itu dosa dan itu bukan dosa, tapi
secara absolut gagal untuk mengenali Sang Terang dan mengikutnya:
Dan
inilah hukuman itu: Terang telah datang
ke dalam dunia, tetapi manusia lebih
menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan
mereka jahat.- Yohanes 3:19
Hati
manusia dan pikiran manusia lumpuh untuk dapat membedakan terang daripada
kegelapan. Jadi ketika membicarakan berada dalam kuasa kegelapan, itu sama
sekali tak akan berisikan atau menjadikan manusia-manusia itu adalah para pembunuh, para pemerkosa, para
penipu, dan apapun yang tak bermoral dan
apapun yang tak beretika dan apapun yang tak manusiawi. Yesus bahkan menunjukan
para manusia yang berada dalam kuasa kegelapan sanggup menjalani kehidupan yang
begitu saleh dan begitu bertekun dalam Kitab Suci:
Kamu
menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu
menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun
Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun
kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk
memperoleh hidup itu. – Yohanes 5:39-40
Ini
realitas yang sama persis dengan Yohanes 3:19 dan tentu saja sama persis dengan
kehidupan manusia yang mengejar dan memperhatikan kehidupan yang menjauhi
kecemaran dan memperhatikan bagaimana sebisa mungkin sekudus-kudusnya berdasarkan kehidupan
spiritualitas yang terpraktekan dalam kehidupan sehari-hari dari generasi ke
generasi ( Markus 7:1-5).
Harus
dicamkan kehidupan lepas dari terang dan tetap memilih bertahan dalam kegelapan
bahkan dapat melahirkan kehidupan yang
teramat saleh dan itu nyata di mata manusia. Perhatikan ini:
Matius
19:16-25 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan
baik apakah
yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang
kekal?" Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya
kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau
ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah." Kata
orang itu kepada-Nya: "Perintah yang mana?" Kata Yesus: "Jangan
membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta,
hormatilah
ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata
orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang
masih kurang?" Kata Yesus kepadanya: "Jikalau
engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu
kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Ketika orang muda itu
mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.
Yesus
berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya
untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang
jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." Ketika
murid-murid mendengar itu, sangat gemparlah mereka dan berkata: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?"
Perhatikan,
di sini, kesalehen orang kaya tersebut benar-benar berdasarkan kitab suci,
tetapi apakah ia kemudian diselamatkan
yang bermakna memperoleh hidup kekal? Faktanya tidak! Karena berbuat saleh sama
sekali tidak mendatangkan kuasa baginya untuk diselamatkan, sebab perbuatannya
sekalipun demikian saleh justru membuktikan ia
memiliki hati yang jauh dari Allah, tepat sebagaimana nabi Yesaya telah
menyatakannya dan diteruskan oleh Yesus kepada bangsa Yahudi! Tidak masuk ke
dalam kerajaan sorga, itu bukan dunia antara kerajaan sorga dan neraka, seolah
selama saleh walau tak percaya pada Yesus tetap berpeluang untuk masuk ke dalam
dunia dan langit baru.
Hal
ini benar karena demikianlah yang diajarkan Yesus dan dipahami para murid
sehingga para murid bertanya dalam
kegemparan: jika demikian, SIAPAKAH YANG DAPAT DISELAMATKAN. Tak
diselamatkan berarti: tidak memiliki kehidupan kekal, sebagaimana yang
ditanyakan orang kaya tersebut kepada Yesus.
Hatinya yang memandu
pikirannya tak dapat menuntun manusia untuk masuk ke dalam kehidupan dan
perbuatan kudus yang dapat menguduskannya sebagaimana dikehendaki Allah.
Manusia-manusia pada keyakinan apapun memang dapat menghasilkan
kehidupan-kehidupan berkualitas dan bahkan perbuatan-perbuatan yang bernuansa
suci bagi nilai-nilai kebenaran manusia, tetapi sementara manusia-manusia itu
dapat melakukannya dan memperjuangkannya, dapatkah benar-benar merupakan
eksternalisasi hati yang kudus dalam pandangan dan kebenaran Allah?
Sehingga penting untuk mengarahkan mata dan diri ini, pada apakah yang
disabdakan Allah terkait hal-hal ini? Kebenarannya ada pada apa yang
diungkapkan oleh Yesus Kristus pada realitas yang terjadi: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya,
padahal hatinya jauh dari pada-Ku” [Matius 15:8]. Siapakah yang dapat
mengatakan pada seorang manusia bahwa ia adalah yang benar-benar sedang
menunjukan kehidupan yang berkualitas mulia, berkarakter agung dan menjauhkan
diri dari segala bentuk nafsu dunia, sebagai orang yang hatinya jauh dari pada
Allah?“ Tak akan pernah ada.
“Hatinya jauh dari pada Allah” merupakan penghakiman yang begitu
janggal bagi manusia sementara berkehidupan saleh, dan tak ada satu juga
manusia yang sungguh berkuasa melakukan penghakiman semacam itu, sebab
ditimpakan pada orang-orang yang mulutnya sedang memuliakan Tuhan
dalam sebuah peribadatan yang dikuduskan oleh Allah dan tubuhnya memang sungguh
sedang mentaati kehendak kudus hukum-hukum Allah! Ini adalah pembicaraan dosa
yang tak akan sanggup dimasuki oleh kebenaran-kebenaran yang diproduksi
manusia, sebab Yesus sedang membicarakan keberdosaan yang masih “immaterial”
atau “belum lagi mewujud.” Dengan
demikian belum lagi mewujud bahkan pada
fakta visualnya sedang berbuat hal-hal yang terpuji, namun telah dihakimi-Nya sebagai “hatinya jauh dari Allah” atau “hidup dalam penguasaan dosa.”
Dosa yang tak kasat
pada mata manusia dan bahkan berwujud kehidupan saleh sehingga Yesus berkata
keras bahwa orang tersebut tidak memperoleh kehidupan kekal atau tidak masuk ke
dalam kerajaan sorga. Sekalipun demikian
menurut manusia, itulah sejatinya yang telah, tetap dan sedang dilihat oleh
Allah dalam manusia itu sementara berjuang keras untuk memuliakan Tuhan atau
berjuang keras untuk membangun moralitas yang kian lama kian mulia.
Ini
bukan sedang membicarakan anti segala hal yang baik dan mulia dan harus
diperjuangkan untuk kita hadirkan di dunia ini, tetapi ini sedang menunjukan
bahwa pada itu semua bukan jalan menuju kehidupan kekal dan sama sekali tidak
berkuasa menguduskanmu di hadapan Allah!
Jika munafik, bagi
Yesus, terkait dengan apa yang yang berlangsung secara immaterial dalam diri manusia sementara manusia itu secara
eksternal berbuat baik atau bahkan mulia yang mana hal immaterial itu menjadi
“hakim” atas apa yang ditampilkan manusia secara eksternal, yaitu: “apa
yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan
orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan,
percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat”- Mat 15:18-19, atau ringkasnya,
bagi Yesus, munafik itu, adalah: sementara
memuliakan Tuhan, hatinya tak turut memuliakan Tuhan tetapi masih bekerja keras
untuk menghasilkan kejahatan, maka jelas, dosa dan keberdosaan semacam ini,
merupakan problem raksasa yang tak dapat
disentuh manusia untuk ditanggulangi. Bagi manusia, membicarakan munafik setidaknya
dua fakta visual yang saling bertentangan, misal: “si A dikenal sebagai tokoh gereja
yang menganjurkan kepada banyak orang Kristen untuk menjunjung kesetiaan dan
kekudusan di dalam rumah tangga, namun suatu ketika terbongkar skandal tokoh
ini memiliki lebih dari satu wanita simpanan, selain isterinya,” inilah yang
disebut sebagai kehidupan penuh kemunafikan, dibuktikan berdasarkan dua fakta
visual. Sangat berbeda tajam
bagi Yesus, sebagaimana tadi, tidak demikian, munafiknya seorang manusia tak memerlukan sepasang fakta yang
bersifat visual bagi manusia, cukup satu
fakta visual bagi Allah untuk menghakimi manusia-manusia
itu sedang munafik berdasarka realitas hatinya adalah sumber kenajisan dalam ia
sedang memuliakan Tuhan atau sementara ia adalah seorang begitu berbudi luhur
dan berjuang keras mengejar kekudusan hidup.
Pada poin ini dapat
dikatakan: tak mungkin anak-anak Allah menjadi
corpus delicti sebagaimana halnya Yesus, karena tak ada satu pun manusia yang
kudus pada hatinya dan sanggup menguduskan dirinya. Kalau manusia
memerlukan Yesus untuk membuatnya tak bercela, lalu bagaimana bisa Yesus diajarkan
oleh pendeta Erastus sama sekali tak berurusan dengan kebercelaan manusia di
hadapan Allah? Bagaimana bisa tidak dipecundangi iblis dalam pengadilan,
sementara Allah yang mahakudus sekalipun menurut pendeta Erastus memiliki cela
di hadapan iblis!
Peneladanan secara eksternal
pada Yesus tak mengatasi fakta hati yang telah dinyatakan sebagai sumber
kenajisan, sementara itu, fokus menjadi
corpus delicti tertuju setinggi-tingginya untuk membungkam iblis tanpa dapat
melepaskan diri menjadi bagian kerajaan iblis beserta segala keinginannya.
Bisakah manusia melayani 2 tuan dengan sama setianya lalu secara bersamaan,
kemudian, menghakimi salah satunya sebagai upaya menolong tuan yang satunya
lagi? Ini problem tajam yang tak diselesaikan
dalam pengajaran pendeta Erastus. Sehingga apa yang diajarkan olehnya semata
pengajaran manusia, dan si pengajar telah menempatkan dirinya melampaui Yesus,
karena tak mengakui penghakiman Yesus yang berbunyi melawan setiap manusia yang
berpikir tak membutuhkan Tuhan sebagai kebenaran baginya:
Matius
15:14 Mereka orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta
menuntun orang buta, pasti keduanya
jatuh ke dalam lobang."
Bagaimana
bisa manusia berdosa [buta akan kebenaran keselamatan]
menyingkirkan Yesus beserta segenap pengajaran dan kuasanya atas kerajaan iblis
dengan pengajaran dirinya dan instruksinya kepada jemaat agar berjuang menjadi
corpus delicti sehingga dapat membungkam iblis, karena Allah membutuhkan barang
bukti yang kokoh dari manusia-manusia.
Bagaimana
bisa manusia buta akan Allah dan realitas keberdosaan
itu dapat mengubah sabda Yesus ini:
Yohanes 3:16 Karena begitu besar kasih Allah akan
dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Menjadi:
Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengutus Anak-Nya
yang tunggal, supaya Ia dapat memikul atau menanggung dosa manusia dan dapat
menjadi corpus delicti bagi manusia berdasarkan ketaatannya yang menunjukan
bahwa seharusnya manusia-manusia dapat menaati dan menghormati Allah, sehingga
manusia-manusia dapat membungkam iblis
perhatikan baik-baik, bahwa dapat membungkam iblis di sini bukan dalam tautan bahwa setiap anak Allah memiliki otoritas atas iblis di dalam dan melalui Yesus Kristus yang sudah menebusnya dari dan oleh nama Yesus yang telah melucuti kuasa pemerintahan iblis di dunia ini-sebab konsepsi corpus delicti ala pendeta Erastus menyanggah kebenaran semacam itu bahwa Yesus telah menghancurkan pemerintahan iblis dalam kedatangannya ke dunia ini, sebab bukankah hingga kini Allah masih bercela di hadapan iblis-, jika itu yang dimaksud dengan "dapat membungkam iblis" maka Allah bebas sama sekali dari problem ketiadaan problem corpus delicti yang membuatnya bercela dihadapan iblis. "Dapat membungkam iblis di sini adalah menyediakan dirinya bagi Allah untuk menjadi bukti kejahatan iblis berupa barang bukti "ia taat pada Allah sampai mati" yang mana ini bukan sama sekali bukti terkait kejahatan iblis. Mengenai membungkam iblis dengan menjadi corpus delicti, penting sekali untuk selalu menautkan dengan apakah sebenarnya corpus delicti itu sebagaimana pada pemaparan di "bagian 2" ini.
berdasarkan poin
pengajaran pendeta Dr. Erastus Sabdono ini:
Manusia
harus dihukum,tetapi Allah ingin mengampuni manusia. Oleh sebab itu harus ada
yang memikul atau menanggung dosa manusia tersebut. Itulah sebabnya Bapa
mengutus Putera-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus untuk menggantikan tempat manusia
yang harus dihukum tersebut. Ini dilakukan-Nya untuk memenuhi atau menjawab
keadilan Allah. Sekaligus oleh ketaatan-Nya ia bisa menjadi CORPUS DELICTI yang
mebuktikan bahwa seharusnya anak-anak Allah dapat taat dan menghormati-Nya
dengan benar. Iblispun terbukti dan pantas dihukum[halaman 37- “Aturan Main,”
Majalah Truth edisi 26]
Siapapun manusia yang
mengikuti pengajaran pendeta Dr. Erastus Sabdono ini, dapat dipastikan telah
turut serta dalam sebuah gerakan “mesianik” baru. Mengapa dikatakan gerakan
mesianik baru begitu menista Allah? Mengapa harus dinyatakan demikian, karena pada
substansinya Allah membutuhkan sebanyak-banyaknya pembebas-pembebas atau
mesias-mesias yang mau membebaskan diri-Nya dari perbudakan ketakberdayaan-Nya untuk pada diri-Nya sendiri menyediakan bukti kejahatan iblis sehingga
segera dapat membinasakannya. Dan Yesus Sang Mesias tak pernah mengatakan apapun
dalam cara yang bagaimanapun bahwa pengutusan dirinya oleh Bapa juga untuk
menjadi corpus delicti bagi manusia. Mengajarkan manusia-manusia dapat menjadi corpus delicti dalam konsepsi yang demikian, sama saja hendak mengatakan
bahwa manusia tak memiliki problem mematikan sebagaimana yang Yesus kemukakan: “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal
dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala
pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan
hujat.” Dan dengan demikian, tak
satupun manusia membutuhkan pertolongan Mesias untuk membebaskan dirinya dari
perbelengguan iblis. Dosa yang sedang
dibicarakan Yesus, juga, tak ada kaitanya dengan apakah mereka sedang melakukan
kesalahan dalam peribadatan mereka, pada faktanya Yesus mengakui ekspresi
lahiriah mereka memang memuliakan Allah. Manusia memang dapat melawan Tuhan
dengan berargumen: bukankah salah satu bukti karakter manusia itu, apakah mulia atau
tidak, dapat diukur dari perbendaharaan kata-kata yang keluar dari mulutnya?
Memang benar dan itu aktual atau bukan kepura-puraan, namun yang menjadi
masalah bagi manusia adalah: pada apa yang tak tertanggulangi
atau tak
teratasi oleh manusia sekalipun
dengan membangun kehidupan peribadatan atau kehidupan yang memuliakan Tuhan, sekalipun, sebab inilah kegagal
manusia yang membutuhkan pertolongan Mesias: problem hati sebagai sumber kenajisan yang internal dan integral
dalam diri manusia.
Penekanan pendeta
Erastus Sabdono agar anak-anak Tuhan menjadi corpus delicti bersamaan dengan
menyangkali kuasa Yesus untuk menghakimi dan melucuti pemerintahan iblis di
dunia ini, sedang menunjukan sebuah corak pengajaran yang memberontak
terhadap penghakiman Yesus atas dirinya, pertama-tama, sebagai pengajar,
bahwa di dalam diri setiap manusia, ada satu problem yang tak dapat diatasinya,
yaitu: hati sebagai sumber kenajisan manusia, bukan apa yang datang
dari luar dan masuk ke dalam kehidupan manusia itu. Bagaimanakah menguduskan
hati atau jiwa manusia sehingga lepas dari pemerintahan kuasa kegelapan yang
menuntun jiwa menuju kebinasaan hidup sebab jauh dari Allah? Mendekatkan hati
pada Allah, berdasarkan Yesus, bukan
hal yang dapat diselenggarakan dengan aktivitas lahiriah dan pengarahan
pikiran pada Kristus, sebab dalam aktivitas sedemikian pun, tak melahirkan
kuasa pengudusan hati. Sebab Yesus tak pernah mengajarkan bahwa
manusia berkuasa untuk melepaskan diri
dari pemerintahan iblis berdasarkan
kebenaran sebagaimana ala pendeta
Erastus.
Manusia tak dapat
pada dirinya sendiri meneladani Yesus dan kemudian berdasarkan peneladanan
Yesus yang sukses menjadi corpus delicti, dan selanjutnya ia dapat mengejar dan
memiliki pengudusan pada hatinya, lalu hatinya berhenti menjadi sumber
kenajisan baginya. Apalagi membungkam iblis? Bagaimana mungkin membungkam iblis
sementara dirinya masih dipandu oleh gembala jahat di dalam hatinya, yaitu: iblis yang membina hati manusia untuk
menjadi anak-anak kejahatannya! Alih-alih menjadi corpus delicti yang dapat
membungkam iblis, manusia-manusia malah akan
berakhir menjadi para terdakwa di hadapan Allah untuk berakhir dalam
vonis yang sama dengan iblis dan malaikat-malaikatnya[ Mat 25:32-34,41].
Manusia pada
hakikatnya memang mustahil menjadi corpus delicti ala pendeta
Erastus, sebab Yesus memang menekankan begitu tajam realitas global manusia
pada kemanusiaan segenap manusia, pada apakah dan dimanakah sumber penajisan
diri manusia itu:
Matius
5:21-22 Kamu telah mendengar yang
difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh
harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya
harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke
Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam
neraka yang menyala-nyala.
“Marah”
sebagai sebuah ekspresi jiwa atau hati manusia, oleh Yesus telah dinilai tak
ada beda sama sekali dengan membunuh, ini bukan hal main-main, dan agar
kebenaran ini terang tanpa spekulasi pada apakah maknanya memang sedemikian
kerasnya, Yesus berkata:“yang marah terhadap saudaranya harus diserahkan ke
dalam neraka yang menyala-nyala.” Mengapa
marah dapat sama kerasnya dengan perbuatan membunuh? Karena marah lahir
dari hati, hati yang sama, yang
memancarkan begitu lebatnya segala pikiran yang jahat, termasuk untuk membunuh.
Matius
5:27-29 Kamu telah mendengar firman:
Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan
engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari
anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.
Hati-hati,
bahkan, apologia seorang manusia yang memandang dan menginginkan seorang
perempuan bukan sama sekali sebuah ketersesatan yang sesaat sekalipun namun
merupakan kealamiannya sebagai seorang laki-laki, tak akan pernah dapat menolongnya
dari penghakiman sabda Yesus ini. Mengapa? Karena “memandang dan menginginkan”
perempuan merupakan penghakiman Allah atas
hati manusia sebagai sebuah sumber kenajisan itu sendiri, dengan kata
lain: tak ada satupun manusia yang dapat
memastikan kala memandang perempuan serta menginginkannya tak masuk kategori
berzinah yang penghukumannya adalah neraka. Sebab manusia tak memiliki
kekudusan Allah untuk menakar dirinya sendiri.
Apa yang baru saja
dinyatakan atau disingkapkan oleh Yesus, adalah: semua manusia pasti berdosa tanpa perlu berwujud fakta yang berlangsung
di dalam ruang dan waktu! Dosa yang menjerat manusia, bagi Yesus, adalah
kenajisan yang memiliki kediaman pada diri manusia itu sendiri yang berkuasa
untuk membuat hati manusia itu jauh dari Allah, sekalipun ia memang penuh
dedikasi, hasrat dan ketekunan untuk beribadah pada Allah. Fakta semacam inilah yang tak memungkinkan
manusia-manusia untukmenyelesaikan problem ini kecuali Sang Mesias
membebaskannya dari problem maut ini.
Keterpenjaraan
manusia oleh dosa bukanlah sebuah peristiwa dinamis,ber-interval atau satu saat tertentu terpenjara dan pada saat
lainnya tidak, mengacu pada momentum-momentum manusia itu berbuat
dosa atau berhenti berbuat dosa. Keberdosaan atau hidup di dalam
dosa, pada hakikatnya, tidak ditentukan oleh kemampuan manusia atau
ketidakmampuan manusia untuk melawan hasrat jahat sehingga tak berwujud, tidak sama sekali seperti itu, tetapi
ditentukan
apakah hatinya dekat dengan Allah atau tidak,
yang mana fondasi kedekatan itu
adalah: hati manusia yang menjadi sumber penajisan dirinya
tidak lagi menjadi gembala yang berkuasa menuntun atau menggembalakan jiwanya untuk membawanya menuju kebinasaan atau tak hidup bersama dengan Allah. Dengan kata lain,
manusia memerlukan
pertolongan Allah agar dalam ia mengejar kehidupan yang kudus,
mengejar
kehidupan yang berkarakter benar bahkan berlomba memiliki keotentikan
hidup yang telah dikuduskan, sehingga semua yang dilakukan itu, dilakukannya sebagai
manusia yang hatinya digembalakan oleh
Allah, bukan iblis
atau bukan sementara ia berada di dalam pemerintahan kegelapan.
Sekali lagi,
pengejaran kehidupan kudus sebagai sebuah perlombaan sebaik-sebaiknya sehingga
dapat dipersembahkan sebagai keharuman hidup di hadapan Allah adalah buah
kehidupan yang secara nyata akan menyenangkan Allah, dengan menjauhkan diri
dari:
perzinahan [Keluaran 20:14, Im
18:20, Ul 5:18]
persetubuhan dengan binatang [Im
18:23, Ul 27:21]
tindakan-tindakan yang
homoseksual [Im 18:22]
hubungan seks dengan orang yang
masih memiliki pertalian sedarah [Im 18:6-18;Ul 22:30;27:20,22-23]
Prostitusi [zanah-ibrani; Im
19:29, Ul 23:18]
Perkosaan [Ulangan 22:25-29]
Seks sebelum pernikahan [Kel
22:16-17]
pelacuran atau hubungan seks
terkait ritual keagamaan [Ul 23:17]
tindakan-tindakan najis [Im
18:19]
pelanggaran pertunangan [Kel
22:23-27]
namun sekalipun manusia
berjuang keras untuk memenuhinya, itu sendiri taklah dapat mendatangkan
pengudusan pada diri manusia, mengacu pada dosa
menurut Yesus. Sehingga dapat dimengerti, mengapa penghukuman pada
setiap pelanggaran, pasti mendatangkan maut bagi pelanggarnya,bahkan pada,
pertama-tama, kejahatan dalam pemikiran itu sendiri, karena sejak semula
dosa-dosa atau pelanggaran terhadap kekudusan Allah akan diganjar dengan
kematian, misalkan:
bagi perzinahan : Im 20:10, Ul
22:22
bagi persetubuhan dengan
binatang: Kel 22:19, Im 20:15-16
bentuk-bentuk terburuk hubungan
seks dengan yang masih berelasi sedarah: Im 20:11,12,14 -tindakan-tindakan
homoseksual: Im 20:13
pelanggaran pertunangan: Ul
22:23-27
Yesus, ketika datang
ke dalam dunia, tak pernah memfleksibelkan kekudusan Allah dan menyusutkan
kekudusan, bahkan pada hukum-hukum larangan yang diatur dalam Taurat, tetapi
membuat pengudusan diri dan kekudusan hidup itu semakin tajam sehingga menghakimi
manusia sebagai yang berada di dalam rejim pemerintahan kegelapan yang
bertakhta di dalam dunia, dengan menunjukan bagaimanakah penajisan itu
berlangsung (Markus 7:18-23). Jika
demikian, maka melawan atau mengekang atau mematikan diri terhadap
keinginan-keinginan semacam ini tak pernah menjadi pemecahan masalah “semua
hal-hal jahat ini timbul dari dalam,” yang begitu berkuasa untuk
mengendalikan dan menggembalakan perilaku manusia mulai dari aspek jiwa sebelum
berbuah menjadi perilaku jahat.
Yesus Kristus, dengan
demikian, saat menyatakan bahwa manusia berdosa, telah dinyatakannya sebagai Ia yang mahatahu atas jiwa-jiwa
manusia yang berdosa atau semua manusia jauh dari Allah, bahkan Ia berkuasa untuk menghakimi
ketakberdayaan manusia untuk menaklukan kinerja dosa atas tubuhnya sendiri
sekalipun melalui membangun kehidupan baik atau kudus atau memenuhi tuntutan
kudus Tuhan. Mengapa demikian? Sebab, pada dasarnya, bukan karena manusia gagal
melakukannya maka manusia itu najis, tetapi karena pada dasarnya
manusia itu berdosa atau kenajisan itu mengalir dari jiwanya sendiri. Manusia
itu berada di dalam kehidupan jiwa dan perilaku yang diperintah dosa. Sederhananya: perbuatan-perbuatan dosa adalah buah-buah lebat dari pohon kehidupan
manusia yang memancarkan kenajisan dari dalam dirinya.
Apakah, kemudian,
Yesus, sebagaimana diajarkan oleh pendeta Erastus Sabdono, meminta manusia
untuk menjadi corpus delicti untuk menangangi problem ini dengan menjadi corpus
delicti yang dapat membungkam iblis dalam ketakberdayaan Allah? Jelas
tidak!
Bersambung ke bagian
15
Segala
Kemuliaan Hanya Bagi Allah
No comments:
Post a Comment