Oleh John M. Frame
O… Orang-Orang Bodoh, Dan Hati Yang Lamban Untuk Percaya
Alih
bahasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia: Martin Simamora
Pada sejumlah momen
dalam perjalanan mereka bersama Yesus, banyak orang Kristen bertanya
seharusnyakah mereka masuk ke seminari-apakah untuk memperoleh gelar atau hanya
mengambil sejumlah studi. Saya telah mengajar di seminari-seminari selama tiga
puluh lima tahun, dan saya telah melakukan sejumlah pemikiran mengenai
pertanyaan ini. Dalam pamphlet ini, saya akan mendorong anda untuk masuk ke
seminari jika anda bias, dan saya akan berupaya untuk membantu mereka yang
sedang mencari pedoman untuk keputusan penting ini.
Hal utama dari semuanya,
apakah seminari itu? Sebuah seminari, tentu saja, sebuah institusi akademik
yang mengajarkan pengetahuan dan keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk
pelayanan Kristen. Mengatakan “pelayanan” di sini, saya maksudkan baik
pelayanan-peyanan resmi/formal dari gereja dan pelayanan-pelayanan independen
gereja: pelayanan-pelayanan kampus semi gereja atau gerakan-gerakan komunitas semi gereja atau ”parachurch,” misi-misi,
pelayanan-pelayanan kasih, dan lain sebagainya. Tetapi seminari juga menawarkan
peluang-peluang bagi siapapun yang ingin menggali firman Tuhan secara mendalam.
Kebanyakan seminari menawarkan program-program master yang terbuka bagi orang
yang tidak dipanggil untuk pelayanan yang bersifat sepenuh waktu, dan mereka
menawarkan status “murid khusus” bagi orang yang hanya ingin mengambil satu atau dua studi, untuk memperdalam
pengetahuan akan Kitab suci.
Jadi sebuah seminari
bukan hanya untuk para professional, bukan hanya bagi mereka yang sedang
mencari kualifikasi berijazah untuk pentahbisan. Tujuannya lebih luas daripada
itu: merupakan tempat bagi orang untuk mempelajari firman Tuhan bersama-sama.
Dan,semenjak Yesus adalah Sang Firman yang telah menjadi manusia (Yoh 1:14), belajar di seminari adalah belajar di kaki
Yesus.
Merupakan waktu yang
luar biasa kala Yesus telah membagikan sabda-sabdanya dan isi hatinya dengan murid-muridnya selama tiga tahun
pelayanannya di bumi! Mereka telah melihat penyembuhan-penyembuhan yang
berlangsung dari hatinya terdalam, telah dipesonakan pada kuasa ajaibnya, telah
mendengarkan firmannya, telah melihat kemuliaannya (Matius
17:1-13),telah direndahkan hatinya oleh kepemimpinan menghambanya (Matius 20:25-28, Yohanes
13:1-20). Tetapi peristiwa-peristiwa hebat tersebut telah meninggalkan
mereka dalam ketakmengertian pada pertanyaan-pertanyaan mendasar: siapakah
Yesus? Mengapa dia telah datang?
Yesus kerap berkata kepada mereka bahwa ia harus
mati, sebagai korban bagi dosa-dosa (Matius 20:28,
Yohanes 12:33,18:32), tetapi mereka tidak
mengerti (Markus 9:31-32, Lukas 8:33-34). Akan tetapi, setelah ia dibangkitkan,
ada sebuah perjumpaan misterius antara Yesus dan dua muridnya pada perjalanan menuju Emaus.
Murid-murid ini telah memperlakukan laporan-laporan kebangkitannya sebagai
rumor-rumor yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi “mulai Musa dan semua
Nabi-Nabi, [Yesus} telah menginterpretasikan bagi mereka dalam semua kitab suci
hal-hal mengenai dirinya sendiri”(Lukas 24:27). Betapa itu merupakan momen yang
luar biasa! Sekarang mereka melihat bahwa kebangkitan Yesus bukanlah sebuah
rumor yang tak dapat dipertangungjawabkan,tetapi sebuah keharusan yang ilahi (ayat 26). Kebangkitan bukan hanya sudah terjadi; tetapi harus
terjadi, sehingga Allah dapat menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita. Setelah
itu, dua murid tersebut murid tersebut berkata satu sama lain,”Tidakkah hati
didalam kita terbakar selagi ia berbicara kepada kita selama perjalanan, selagi
ia telah membukakan bagi kita Kitab suci?” (ayat 32; kutipan-kutipanku berasal
dari Alkitab versi ESV).
Lukas, yang
mengisahkan kepada kita pertemuan misterius ini, memberitahukan juga bagi kita
bahwa Yesus telah memperlihatkan diri kepada murid-muridnya “selama empat puluh
hari….berbicara mengenai Kerajaan Allah” (Kisah Para
Rasul 1:3). Selama masa tersebut, Yesus secara nyata telah mengajarkan
semua tubuh para rasul, sebagaimana ia telah mengajarkan dua murid di jalan
menuju Emaus, bagaimana kitab-kitab Perjanjian Lama telah menunjuk pada
dirinya. Selanjutnya, ketika Roh Kudus
telah turun atas gereja dalam KPR 2, Petrus, dan kemudian murid-murid yang
lain, mulai berkhotbah dan mengajar Perjanjian Lama dalam sebuah cara yang
sangat berbeda dari para guru Yahudi: setiap hal menunjuk pada Kristus! Tentu
saja para rasul telah belajar dari Yesus, selama empat puluh hari, bagaimana
membaca dan mengajar Kitab suci (alkitab).
Seminari adalah
sesuatu seperti mereka yang 3 tahun dan empat puluh hari itu. Dalam banyak hal,
tentulah, memang berbeda. Yesus tidak perlu mengajar para murid bagaimana
membaca Ibrani dan Yunani. Dia tidak perlu mengajarkan mereka sejarah gereja
setelah era kanonik, karena kala itu tidak
ada sama sekali. Juga tidak ada sama sekali hal semacam membaca dan
menulis tugas-tugas. Yesus mengenal hati mereka, sehingga ia tahu seberapa
banyak mereka telah mempelajarinya. Dan walaupun ia tidak memberikan kertas
ijasah kesarjanaan, ia secara teratur mengevaluasi kemajuan mereka, kerap
hasilnya negatif. Kepada dua orang di jalan menuju Emaus, ia berkata,”O orang-orang bodoh, dan hati yang lamban untuk percaya
semua yang nabi-nabi telah katakan!” (Lukas 24:25).
Juga tidak, tentu
saja, Yesus menarik biaya kuliah
atau biaya belajar dalam cara
formal yang bagaimanapun. Tetapi para murid dan Yesus berbagi biaya-biaya dan
kemurahan hati para pendukung dalam sebuah pendanaan umum (dikelola, sayangnya,
oleh Yudas Iskariot, (Yohanes 12:6,13:29). Seminari-seminari juga harus memiliki uang
untuk bertahan, dan mereka juga hidup dari kontribusi para siswanya dan
kemurahan hati para pendukung, yang kebanyakan sumbernya dari para pendukung
atau sponsor.
Tentu saja perbedaan
utama antara pengajaran Yesus dan sebuah seminari modern adalah, kebanyakan
seminari mensyaratkan gelar jenjang pendidikan tertentu untuk penerimaan.
Seminari, karenanya, tidak untuk semua orang. Seminari adalah bagi mereka yang
secara intelektual telah dipersiapkan untuk belajar dari Yesus pada sebuah
level akademis. Apakah Yesus,kemudian, membatasi ajarannya untuk tipe-tipe
akademik? Pastinya tidak. Yesus kini mengajar orang dari semua usia,
kebangsaan, latar belakang pendidikan, jenjang-jenjang sosial ekonomi. Ia
mengajar melalui khotbah-khotbah,
sekolah-sekolah minggu, para misionaris, para penginjil, pelayanan-pelayanan TV
dan radio. Tetapi ia juga mengajar gerejanya melalui studi-studi disiplin
akademik, dan seminari adalah satu tempat untuk mendapatkan pengajaran pada
level itu.
Ini tidak hendak mengatakan bahwa segala sesuatu
dalam seminari adalah abstrak dan
bersifat teoritis. Seminari-seminari juga mengajarkan
berkhotbah,konseling, penginjilan, penanaman gereja, subyek-subyek yang dapat
kita sebut “teologi yang bersifat praktis.” Dan seminari-seminari biasanya
mensyaratkan para siswa untuk melakukan “tugas lapangan,” mendapatkan
pengalaman dalam pelayanan aktual, disertai evaluasi. Lebih jauh lagi,
seminari-seminari berupaya sebaik mungkin untuk memelihar sebuah komunitas
Kristen, dimana orang mencintai dan mendukung satu sama lain melalui doa,
ibadah komunal, konseling, dan peneladanan Kristus. Seminari, tentu saja, bukan
gereja. Para siswa, seperti semua orang Kristen, harus kembali ke gereja
sebagai tempat utama mereka untuk beribadah dan dirawat untuk bertumbuh. Tetapi
sebuah seminari yang baik akan memahami bahwa orang-orang Kristen seharusnya
merawat satu sama lain untuk bertumbuh dimanapun mereka berada, sehingga bahkan
dengan biaya seminari dan ujian-ujian dan makalah-makalah, esensi seminari
adalah duduk di kaki Yesus. Kita belajar darinya selagi ia mengajar kita
melalui saudara-saudara dan saudari-saudarinya.
Akan dilanjutkan pada
bagian ke-2
Segala
Kemuliaan Hanya bagi Allah
No comments:
Post a Comment