Oleh: Martin Simamora
Berikanlah
Kami Pada Hari Ini Makanan Kami yang Secukupnya
After
a day of working manual labor, Paredes, who was a lawyer in Venezuela, returned
home in Princes Town. Paredes, 40, also has a doctoral degree- The Washington Post.com
|
Ketika Uang Sama Sekali
Tak Menarik Untuk Dicuri Bagi Para Pencuri
Pernahkah
anda membayangkan untuk sungguh-sungguh berdoa bagi berkat jasmaniahmu kepada
Tuhan dalam sebuah ketulusan atau mungkin keterdesakan seperti ini: berikanlah pada hari ini makanan kami yang
secukupnya? Secara normal dan berdasarkan kemampuan manusia untuk
mengantisipasi pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan sukar untuk menemukan
konteks keadaan yang akan membuat seseorang berdoa secara tulus atau barangkali
dalam keterdesakan yang mungkin untuk terjadi, sehingga itu menjadi sebuah
baris kalimat doa yang sungguh mulia dan mahal bagi kelangsungan hidupnya. Pernahkan
anda membayangkan dalam hidup ini, bahkan anda akan mendapatkan uang bahkan
tidak bernilai sama sekali sehingga sungguh amat mewah untuk memiliki sekaleng
Sarden atau Makarel? Sukar bukan untuk membayangkannya. Atau, pernahkah anda
dapat membayangkan bahwa para pencuri di seanteoro negaramu bahkan tak lagi
tertarik untuk merampok tumpukan-tumpukan uangmu dalam lemari besi rumahmu,
sekalipun anda menawarkannya demi mempertahankan sekaleng Makarelmu untuk
anak-anakmu pada hari itu? Adakah yang siap untuk menerima realita bahwa mata
uangmu terhadap mata uang dolar hanya senilai USD0,0001? Itu sebabnya pencuri di seantero negaramu sudah tak
berminat lagi dengan mata uang nasionalmu karena hanyalah seonggok kertas tak
berharga!
Apakah
mungkin dalam dunia kita kini atau dalam kekontemporeran di era saya, doa
sebagaimana diajarkan Yesus itu sungguh benar divinitas dan sungguh substantif bagi
saya dan anda? Kita memerlukan fakta kontemporer yang dapat membantu kita
memahami dan memasuki realitas yang membuat baris doa tersebut sungguh mulia,
karena itu mari kita memperhatikan situasi-situasi dibawah berikut ini:
In
Venezuela, money has stopped working
A
friend recently sent me a photograph that tells a powerful story about the
situation Venezuelans find themselves in now. It’s not a very good picture,
really, just a blurry cellphone shot of trash: some wrapping material, an old
CD — the detritus left behind after a store was looted last week in San Felix,
a city in the country’s southeast.
And
yet I can’t stop thinking about it, because strewn about in the trash are at
least a dozen 20-bolivar bills, small-denomination currency now so worthless
even looters didn’t think it was worth their time to stop and pick them
up.
The
photo stopped me dead in my tracks. In theory, according to the “official”
exchange rate, which long ago lost even a hint of connection with reality, each
of those bills is worth $2. In fact, as Venezuela sinks deeper and deeper into
the first hyperinflation the Western Hemisphere has seen in a generation,
bolivar banknotes have come to be worth basically nothing: Each bill is worth about $0.0001 at the current exchange rate, meaning
you need to have 100 of them to equal one penny.
It’s
easy to see why the thieves left them behind.
Hyperinflation
is disorienting. Five or six years ago, the 500 bolivars on the floor would’ve
bought you a meal for two with wine at the best restaurant in Caracas. As late
as early last year, they would’ve bought you at least a cup of coffee. At the
end of 2016, they still bought you a cup of café con leche, at least.
Today, they buy you essentially nothing … well, except for 132 gallons of the
world’s most extravagantly subsidized gasoline.
Prices
are now rising more than 80 percent per month, according to the opposition-led
National Assembly’s Finance Committee. (The government itself stopped
publishing official inflation data long ago.) At that rate, prices double every
34 days or so. Salaries lag far behind, leaving more and more of the country to
face outright hunger. Thus, the looting.
Rule
No. 1 of surviving hyperinflation is simple: Get rid of your money. Given the speed with which money is
shedding its value, holding on to it means you’re losing out. The
second you’re paid you run out as
fast as you can to buy something – anything – while you can still afford it.
It’s better to hold almost any asset than money, because assets hold their
value and money doesn’t.
Find
a can of tuna? Buy it. Even if you hate tuna. Even if you have no intention of
eating tuna. You can always trade it for something else later. Tuna holds its
value. Money doesn’t.
I
think this is what’s so hard to wrap your mind around if you’ve never
experienced hyperinflation. It sounds like it’s about prices rising fast, but
it really isn’t. It’s about money breaking down. Under hyperinflation, money no
longer works. It doesn’t store value. It just stops doing the basic things
people expect money to do. It stops being something you want to have and turns
into something you’ll do anything to avoid having: something so worthless you
won’t even bend down and scoop it up off the floor while you’re looting.
And
that’s what it’s come to, widespread, state-aided looting. The final frontier
in the collapse of Venezuela’s economy and civic culture. How did we get here?
Dunia
kontemporer kita menunjukan bahwa doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus bukan
menunjukan sebuah kebersahajaan hidup yang ekstrim atau sebuah ekstrimitas
hidup yang menjauhkan diri dari kemewahan duniawi ini. Bukan itu gagasannya,
tetapi menunjukan bahwa dunia ini pada titik-titik tertentunya mampu membuat
perekonomian yang sangat melimpah dan begitu sejahtera dapat kehilangan
kekuatannya hingga membuat uang di
dompet dan di tabungan-tabunganmu tak bernilai. Bahkan sementara orang-orang
super kaya dapat menahan kehancuran ekonominya pada kepemilikan asset, namun
dalam hal itupun terkait kebutuhan makan dan minum tak ada bedanya dengan masyarakat pada umumnya: uangnya tak dikehendaki pencuri dan semakin
lama kehilangan daya beli untuk sekedar dapat minum saja.
Pemeliharaan Bapa
Bagi Anak-Anak-Nya
Doa
yang diajarkan oleh Yesus (Lukas 11:2-4) mengajarkan kepada setiap murid-murid
Tuhan Yesus bahwa dunia dengan segenap pemerintahannya memiliki keterbatasan
untuk memelihara segenap rakyatnya agar senantiasa sejahtera dan tak
berkekurangan. Kita tahu bahwa salah satu kewajiban setiap negara adalah
memastikan setiap warga negaranya
sejahtera. Kalau kita sebagai warga negara
Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pun mengamanatkan negara agar
memastikan kesejahteraan kita: ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33
Ayat 4). Lalu disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1: ”Fakir miskin dan
anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2: ”Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: ”Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak”.
Sementara
negara memiliki peran dan tanggungjawab demikian, tetapi doa yang diajarkan
Yesus menunjukan ketaksempurnaan dan ketakberdayaan pemerintahan-pemerintahan
dimuka bumi ini untuk memberikan kesejahteraan tersebut secara langgeng dan aman. Itu sebabnya, setiap anak-anak Bapa
harus berdoa: datanglah kerajaan-Mu.Doa
yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ini sekaligus mengajarkan kita untuk tidak
meletakan kebergantungan kita kepada apa yang dapat diberikan oleh dunia, sebab
dunia bahkan dapat gagal untuk memberikan sekedar makanan yang cukup untuk hari
ini. Ketika pemerintahan dunia gagal memenuhi kewajibannya sebagaimana yang
dapat kita lihat pada Venezuella saat ini, penjarahan pada pusat-pusat toko makanan seperti
supermarket menjadi pilihan utama. Inilah pilihan rasional sebab uang mereka
tak mampu lagi memberikan daya beli sebanding pada nilai nominalnya, karena
tergerus hebat oleh hiperinflasi.
Secara
normal saja, manusia pada dasarnya adalah makhluk pencemas bahkan untuk apa
yang dapat dimakan dan dipakai:
Matius
6:1 Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah
kuatir akan hidupmu, akan apa
yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan
tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari
pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?
Teks
ini bagi kita di Indonesia hanya berbicara kuat sejauh persepsi jiwa dan sejauh
ketakpunyaan uang untuk membeli yang rasa kuatir itu akan usai entah sebentar
atau berjangka waktu lama, kala memiliki uang entah dari mengemis seperti para
pengemis; entah dari meminjam; entah dari mencuri atau entah dari hasil menipu
sesamanya;entah hasil bekerja. Tetapi teks Matius 6:1 ini membawa kita pada komparasi yang bagi
siapapun dalam kehidupan normal, terlihat mengada-ada atau mendramatisasi sangat
berlebihan seperti ini: Bukankah hidup itu lebih penting dari pada
makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?
Kita akan berkata, andaikata kita bertatapmuka dengan Yesus: “Guru, semua itu penting!” Tidak akan ada yang tak memandang bahwa hidup, makanan dan tubuh tidak penting. Apakah rasionalitasnya bahwa hidup lebih penting daripada makanan dan tubuh lebih penting dari pada pakaian? Maksudnya hanya satu, bahwa Allah mengerti apakah yang paling penting bagi saya dan anda. Anda akan temukan penekanan lebih jauh dan dalam pada penekanan lebih lanjut oleh Yesus pada: Matius 6:26; Matius 6:28-30.
Manusia
bisa panik jika ia sudah begitu terancam pada tiga hal tersebut yang merupakan
refleksi jiwa manusia dalam memandang kebesaran dan bagaimana hidup bisa dinikmati
dan diapresiasi: makanan, pakaian dan hidup itu sendiri. Apa yang anda makan,
pakaian seperti apa yang digunakan, dan bagaimana kehidupan dirayakan atau
diselebrasi, bagi manusia itu adalah
nilai martabatnya. Tetapi Yesus menganulirnya kala berkata bahkan Salomo
kalah indah dibandingkan bunga Bakung yang usianya tak lebih dari satu hari
saja. Ketika manusia panik maka manusia dapat kehilangan daya apresiasi kepada
kehidupan yang Allah berikan, sehingga atas nama hidup, makanan dan pakaian,
manusia dapat berperilaku seperti ini:
From
Riches To Rags
As
their oil-rich country buckles under the weight of a failed socialist experiment,
an estimated 5,000 people a day are departing the country in Latin
America’s largest migrant outflow in decades.
Venezuelan
professionals are abandoning hospitals and universities to scrounge livings as
street vendors in Peru and janitors in Ecuador. Here in Trinidad and Tobago — a
petroleum-producing Caribbean nation off Venezuela’s northern coast —
Venezuelan lawyers are working as day laborers and sex workers. A former
well-to-do bureaucrat who once spent a summer eating traditional shark sandwiches
and drinking whisky on Trinidad’s Maracas Bay is now working as a maid.
Apa
yang paling penting bagi Tuhan Yesus agar menjadi perhatian bagi setiap
murid-murid-Nya di sepanjang abad adalah bagaimana seharusnya saya dan anda
memandang hidup sehingga menemukan nilai sebagaimana Yesus telah meletakannya.
Letak nilai hidup ini berakar pada mengenal kasih setia Allah dan kuasa
pemeliharaannya di dalam dunia yang dapat saja seketika menimpakan
penderitaan-penderitaan atau kesengsaraan-kesengsaraan yang bahkan siapapun tak
dapat mengantisipasinya. Sementara Tuhan Yesus telah berbicara tentang hidup,
makanan dan pakaian yang merupakan kebutuhan mendasar sekaligus hal-hal normal
yang menjauhkan manusia untuk berlaku kriminal di dunia ini, penekanan Yesus
tetap pada Bapa memelihara:
Matius
6:30-31 Jadi
jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok
dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang
yang kurang percaya? Sebab itu janganlah kamu kuatir dan
berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang
akan kami pakai?
Bahkan
dalam dunia yang pada momen-momen tertentu dapat memiskinkanmu dalam cara yang
tak terduga, bahkan jika anda memiliki aset-aset pun bisa bernilai sampah jika negara
terjebak dalam kekacauan politik yang mengacaukan struktur negara sehingga
berujung perang saudara, apakah harta terpenting dan merupakan nilai kemuliaan
setiap pengikut Kristus tetap bukan makanan dan pakaian, tetapi hidup. Namun
hidup yang bagaimanakah? Inilah hidup
yang paling kaya bagi hidup sementara memang kita secara putus asa
membutuhkan makanan dan pakaian:
Matius
6:32-33 Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi
Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah
dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan
kepadamu.
Mencari Kerajaan
Allah adalah Memiliki Kehidupan yang Tak Dapat Dibeli oleh Bahaya Kemiskinan
Kemiskinan
yang paling berbahaya bukan tidak memiliki uang, tetapi memilikinya namun
jiwanya mengalami semacam hiperinflasi dalam valuasi uang oleh jiwanya sehingga
mendorongnya untuk korupsi dan merampas hak rakyat dan orang miskin untuk
mencapai nilai kepuasan yang sudah tak bias divaluasi pada semata daya beli
mata uang itu sendiri. Kalau pencuri tak tertarik dengan uang karena
hiperinflasi telah menjadikan uang tak beda dengan sampah di jalanan,
sebagaimana di Venezuella, maka orang kecil dan orang besar melakukan korupsi
karena jiwanya tak memiliki nilai atau valuasi hidup yang kuat dan memiliki
daya untuk membangun nilainya sendiri, sebab digerogoti oleh semacam
hiperinflasi untuk memiliki rasa cukup sewajarnya. Orang seperti ini mustahil
untuk dididik sehingga mampu memiliki substansi doa bagi hidupnya: berikanlah kami makanan secukupnya hari ini.
Secara
umum, kemiskinan dalam perspekstif inflasi dan hiperingflasi telah membeli jiwa
banyak manusia untuk menjadi budak kemiskinan yang memiskinkan jiwanya. Itu sebabnya
korupsi merajalela, pengabaian hak-hak orang miskin semakin menggila dan tanpa
takut akan Tuhan. Negara, karena itu, kehilangan daya optimalnya untuk
melindungi masyarakatnya dari kerentanan kemiskinan sebab sekali pemerintahan
gagal mengapresiasi keuangan bagi segenap rakyatnya dalam cara memerangi korupsi
secara totalitas, seketika negara akan lemah dan gagal menjadi abdi bagi rakyatnya. Karena itulah
Tuhan Yesus memberikan penekanan yang unik kala berbicara kekuatiran akan
makanan dan pakaian:
Matius
6:30 Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada
dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu,
hai orang yang kurang percaya?
Itu
penting dan sangat penting, tetapi fana! Jangan hancurkan diri ini sehingga
menjadi onggokan yang lebih pantas di buang ke dalam api, hanya karena salah
mengapresiasi hidup dan gagal merayakan kehidupan ini. Rayakanlah hidup yang
dari Tuhan, bukan dari dunia ini.
Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi
kebenaran melepaskan orang dari maut.- Amsal 11:4
Soli
Deo Gloria
Catatan-Catatan
-Kembali
Ke Pasal 33 UUD 45:
-Global
Debt Has Hit a High: https://www.theguardian.com/business/2018/jun/18/global-debt-high-regulators-imf-financial-crisis
-Venezuela’s
Inflation to Reach 1 Million Percent, IMF Forecats: https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-07-23/venezuela-s-inflation-to-reach-1-million-percent-imf-forecasts
-
No comments:
Post a Comment