ET’PATAH ISCS
Jum’at, 11 Januari 2019
DIALOG IMAJINER
RAHIB
DIONYSIUS EXIGUUS DAN KYAI TUNGGUL WULUNG:
KONTROVERSI PERAYAAN TAHUN BARU
(Tulisan Pertama
dari Dua Tulisan)
Oleh Dr. Bambang Noorsena
1.
KILAS BALIK
Pada tahun 533 M, St. Dionysius Exiguus Sang
Rahib dari Roma (470-544), seorang teolog, matematikawan, dan ahli
astonomi, menciptakan Kalender Masehi yang kini menjadi kalender internasional.
Tahun ini dikenal sebagai ANNO DOMINI/AD (Tahun Tuhan), karena
dihitung setelah kelahiran Yesus, sedangkan tahun-tahun sebelumnya lebih
dikenal BEFORE CHRIST/BC (Sebelum Kristus).
Kyai Ibrahim Tunggal Wulung (1800-1885)
dilahirkan dengan nama muda Raden Tandakusuma. Sebagai “trahing
kusuma” (keturunan priyayi) ternyata Sang Kyai masih cicit KGPAA.
Mangkunegara I. Ketika menjabat demang di wilayah Kediri, sang Kyai lebih
dikenal dengan nama Demang Padmadirdja. Pada tahun 1855 dalam pengejaran
Belanda karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830), Kyai
Tunggul Wulung memutuskan menjadi pengikut Kristus berdasarkan wangsit yang
diterimanya ketika bertapa di gunung Kelud. Karena itu, Kyai yang juga diduga
penulis Serat Darmogandhul ini, dikenal sebagai Ki Ajar Kelud.
2.
PRA-SEJARAH KALENDER MASEHI
† : “Rahayu. Apa kabar, Rahib?”, sapa Kyai
Tunggul Wulung takzim.
‡ : “Shalom, kabar baik, Kyai. Apa panjenengan
juga sehat?”, balas rahib Dionysius.
† : “Syukur kepada Gusti Allah, Rahib”, kata Sang
Kyai, “Cuma ada kontroversi soal Tahun Baru. Kata seorang ustadz, perayaan 1
Januari itu perayaan dewa Janus. Apa benar begitu?”.
‡ : “Ah, sok tau saja... Hmm...”, Sang Rahib
tersenyum.
† : “Maaf, Rahib. Mumpung ketemu dengan yang bikin
Kalender Masehi, makanya saya tanyakan kepada ahlinya langsung”, pinta sang
Kyai.
‡ : “Sejujurnya saya katakan”, jelas St.
Dionysius, “saya cuma mereformasi sistem kalender yang sudah ada ratusan tahun
sebelum saya, meneruskan kalender Julian yang ditetapkan Kaisar Julius (46 SM),
yang juga merombak kalender sebelumnya”.
† :“Ooo...itu kalender yang dihitung sejak 21
April 753 SM, yaitu sejak berdirinya kota (Roma,), Ya Sayid?”.
‡ :“Betul, betul sekali, Kyai. Kita lazim
menyebut AB URBE CONDITA (AUC), “sejak berdirinya Kota” ,
jelasnya dalam bahasa Latin.
† : “Bisa dijelaskan lebih rinci sejarahnya, Rahib?”.
‡ : “Mula-mula”, Sang Rahib mulai berkisah. “Kalender
pertama Roma kuno yang dibuat oleh penguasa Roma pertama, yaitu Romulus,
hanya terdiri dari 10 bulan, diawali bulan Martius
(Maret), bulan pertama setiap tahunnya”.
† :“Ooh... jadi sama dengan Nisanu,
bulan pertama menurut kalender Babel yang juga jatuh sekitar Maret?”,
tanya Kyai Tunggul Wulung.
‡ : “Tepat sekali, Kyai. Karena pengaruh kalender
Babel, Israel selain merayakan רֹאשׁ הַשָּׁנָה “Rosh HaSanah”
(Tahun Baru) 1 Tishri, juga mengenal 1 Nisan sebagai Tahun
Baru khusus untuk perayaan liturgis mereka”.
† :“Kalau nama-nama dari ke-10 bulan Roma purba
itu apa saja? Benarkah nama-nama itu mengabadikan dewa-dewa mereka, wahai
Rahib?”.
‡ :“Tadi sudah saya jelaskan, pertama Martius,
lalu Aparailis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis,
September, October, November, dan December. Tidak
semua merujuk nama dewa-dewa... Lagian, kenapa takut sekali dengan dewa-dewa?”,
tanya Sang Rahib lalu sejenak diam.
† : “Ada yang kurang berkenan, Rahib?”, tanya Sang
Kyai.
‡ : “No, No problem”, jawabnya. “Di sini
terlalu ramai saja Kyai!”.
Suara Rahib Dionysius kadang lirih terdengar,
karena gemuruh sembah puja beribu-ribu malaikat dan jemaat أَرْوَاح أَبْرَارٍ مُكَمَّلِينَ “Arwah
Abrar Mukammalin” (Ibrani 12:22-23, “roh-roh orang-orang benar yang
telah menjadi sempurna”), sedang bersyafaat bagi saudara-saudari seiman mereka
di Indonesia, khususnya memasuki tahun politik 2019.
Di sebuah pendopo Rumah Joglo gaya Jawa di ܡܕ݂ܺܝܢ݈ܬ݁ܳܐ ܕ݁ܰܐܠܳܗܳܐ ܚܰܝܳܐ “Mdinta d'Alaha Haya” (Kota Allah yang
hidup), keduanya melanjutkan diskusinya, cukup gayeng sembari ngopi ditemani
ubi rebus dari gunung Kawi:
‡ :“Ada nama-nama dewa, ada juga yang tidak.
Martius, dari nama Mars, dewa perang Roma. Mei dari Maia, dewi Yunani, putri
Atlas, dewa penyangga bumi. Maia adalah ibu Hermes, dewa pembawa pesan langit.
Dari “Hermes” muncul istilah “Hermeneutika”. Tidak berarti ketika
menafsir Alkitab kita memuja “Hermes”, bukan?”, jelas Sang Rahib.
† : “Lalu bulan Juni, Ya Rahib?”.
‡ :“Juni berasal dari nama dewa Yuno, ayahnya
Mars, Kyai. Selebihnya netral aja, Kyai. April (Aparailis) asalnya dari “aperiri”,
artinya cuaca nyaman di musim semi. Bulan lainnya hanya hitungan angka 5 sampai
10”, jawab St. Dionysius.
† : “Bisa diuraikan lagi? Maaf, maaf...”, pinta
Kyai Tunggul Wulung.
‡ : Enam sisanya merujuk urutan bulan aslinya
dalam sistem Romulus”, lanjut sang rahib. Quintilis, dari kata “quinque”,
bulan kelima. Nama bulan ini di kemudian hari diganti Juli, untuk mengabadikan
nama Julius Caesar. Sextilis, dari kata “sex”, bulan keenam,
nantinya disebut Agustus untuk mengabadikan nama Kaisar Augustus. Lalu
September dari kata “septem”, bulan ke tujuh, October dari “octo”,
bulan ke delapan, November dari “novem”, bulan kesembilan, dan
terakhir December dari “decem”, bulan kesepuluh”.
3.
MEMAKNAI TAHUN BARU
3.1. Ab Urbe Condita (AUC): Setelah
Berdirinya Kota Roma
† : “Ooo... Lalu kapan mulai ditambahkan menjadi
12 bulan, Rahib? Dan bagaimana dengan dewa Janus, ‘danyang’-nya bulan
Januari yang akhir-akhir ini dicurigai kaum bumi datar itu?”, lagi tanya Kyai
Tunggul Wulung.
‡ : “Sejak tahun 717 SM, penguasa Roma Pompillus
yang menambahkan 2 bulan awal di kalender Roma, yaitu Januarius
dan Februarius, sehingga Martius geser menjadi
bulan ketiga”, jawab St. Dionisyus. “Selanjutnya pada tahun 46 SM, Julius
Caesar menyempurnakannya lagi. Sehingga akhirnya populer dengan kalender
Julian”, tambahnya.
† : “Jadi benar?”.
‡ : “Benar, Kyai. Januari itu berasal dari nama
Janus, dewa yang wajahnya menatap ke belakang dan ke depan, simbol tentang masa
lalu dan masa depan”.
† : “Lha kalau Februari itu mengenang dewa siapa, Rahib?”.
‡ : “Tidak ada dewa Februari, kabeh-kabeh kok
Dewa... Heeee.. Lho, lha kok aku melu ketularan bahasamu, Kyai....?”
‡ & † : “Haaa... Haaa...”, keduanya
terkekeh.
‡ : “Februari dari kata “Februar”, itu semacam
syukuran untuk menyambut akan datangnya musim semi pada bulan Maret”, kata Sang
Rahib.
† : “Ehm... Lalu bagaimana 1 Januari mulai menjadi
perayaan Tahun Baru dan apa maknanya?”.
‡ : “1 Januari zaman siapa dulu, Kyai? Tak bisa
dipukul rata begitu. Tak setiap Januari ada Janus, bisa saja lakonnya ganti
Janaka kalau tetanggamu menyambut Tahun Baru nanggap wayang lakonnya “Parta
Krama” (Janaka Menikah), Heeee...” St. Dionysius tertawa lepas.
† : “Ya, ya betul, Rahib. Ternyata Rahib ngerti
wayang juga ya? Heee.... “, sang Kyai terbahak.
‡ : “Nah, kita lanjutkan. Kalau 21 April hari
penting apa, Kyai?”.
† : “AB URBE CONDITA (Sejak berdirinya
Kota Roma), tanggal 21 April 753 SM”, jawab Kyai Tunggul Wulung.
‡ : “Siapa bilang? Itu kan orang Roma. Lha kalau
di negerimu sekarang, 21 April itu Hari Kartini to Kyai.... Haa..”,
gurau Rahib Dionysius.
‡ & † : “Haaaa... Haaa...”, keduanya lalu
terpingkal.
‡ : “Sekali lagi, harus lihat konteksnya dulu,
Kyai. Pada zaman Julius Caesar tanggal 1 Januari dirayakan oleh rakyat karena
pergantian konsul Roma, tiap-tiap konsul masa baktinya 12 bulan”, tambah Sang
Rahib.
† : “Ya, ya, saya mengerti, Rahib. Tak setiap
Januari yang jadi bintang adalah Janus. Bisa saja Janaka, Jan Pieterszoon Coen,
Jan Ethes cucunya Pak Jokowi... tergantung lakonnya”, kelakar Sang Kyai tak
kalah jenaka.
3.2. Anno Domini (AD): Asal-Usul Tahun
Masehi
‡ : “Berbeda latarbelakangnya, Kyai. Makna
perayaan 1 Januari zaman Julius Caesar tentu berbeda dengan perayaan di zaman
Kekristenan”.
† : “Matur sembah nuwun infonya yang
penting. Kalau Tahun Masehi, nyuwun pirsa, bagaimana sejarahnya?”.
‡ : “Pada tahun 525 St. Yohanes I, Paus Roma,
menugaskan saya untuk membuat kalender baru yang nama dan hitungannya sejak
inkarnasi Gusti kita Yesus Kristus (AB INCARNATIONE DOMINI NOSTRI JESU CHRISTI
ANNORUM TEMPORA). Nah, berdasarkan dokumen-dokumen kuno, Kristus dilahirkan
25 Desember. Tinggal menghitung tahunnya, lalu saya temukan 753 AUC atau Tahun
1 SM”, jelas Rahib Dionysius.
† : “Lho kok tahun 1 SM, Rahib? Katanya tahun
Masehi dihitung sejak kelahiran Yesus?”.
‡ : “Ya, tetapi awal Tahun Baru dihitung dari delapan
hari setelah kelahiran-Nya, Kyai. Kalau Yesus lahir 25 Desember 753 AUC,
delapan hari setelah Natal adalah 1 Januari 754 AUC”, ungkapnya.
† : “La ilaha illallah, Sun angandel Allah
sawiji, Kang nglangkungi kuwasa-Né, La ilaha illallah, Yesus Kristus Ya
Rohullah...” (Tiada ilah selain Allah, Yang Kuasa-Nya tanpa batas. Tiada
ilah selain Allah, Yesus Kristus dan Roh Allah)”, Sang Kyai berdecak kagum
mengulang “credo trinitaris” Eyang Coelen yang pernah didengarnya
di Ngoro. “Ini angka yang bagus, Rahib. 1-1-1, tanggal satu, bulan satu,
tahun satu. Ini angkanya Gusti, Tahunnya Gusti. ANNO DOMINI” ,
tambah Kyai Tunggul Wulung.
‡ : “Itulah makna Tahun Baru kita, Kyai. Tanggal
1 Januari adalah عيد ختانة المسيح بالجسد “Ied Khitanat Al-Masih bi al-Jasad” (Perayaan
Khitan Kristus secara fisik), “Praepitim Iesu”, atau Holy
Prepuce, sekaligus pemberian nama suci bagi-Nya: “Ketika genap
delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang
disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya” (Lukas 2 :21),
jelas St. Dionysius Exiguus.
† : “Ooo... Itu sebabnya selain dokumen kuno
membuktikan Natal telah dirayakan tanggal 25 Desember jauh sebelum kultus Dewa
Matahari di Roma tahun 274 M, Sextus Julius Africanus (160-240 M) dan Hypolitus
(170-235 M) sudah menyebut tanggal kelahiran Yesus πρὸ ὀκτὼ καλανδῶν
ἰανουαρίων “pro okto kalandon Ianouarion” (delapan hari sebelum kalender
Januari). Benarkah begitu, Domine?”.
‡ : “Mantul (mantap betul) jawabanmu, Kyai. Sejak
tahun 126, Paus Telesporus di Roma sudah merayakan misa Natal 24 Desember malam.
Karena itu kita bisa menghitungnya mulai tanggal 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31 dan
hari ke delapan jatuh tanggal 1 Januari. Itulah Tahun Baru, yang tepat terjadi
pada upacara בְּרִית מִילָה “B'rit Milah”, Perayaan Khitan Yesus, untuk
menggenapi Taurat Musa”.
† : “Jelas, jelas sekarang, Rahib. Tapi
dengar-dengar, ada kesalahan dalam kalkulasi beberapa tahun?”.
‡ : “Betul, saya lupa menghitung 4 tahun masa
pemerintahan Herodes, lalu hilangnya 1 tahun lagi. Jadi, sebenarnya Yesus lahir
5 atau 4 tahun sebelum tahun 1 AD. Maaf, Kyai...”, kata St. Dionysius yang
terkenal dengan julukan “Exiguus”, Sang Rendah hati itu.
4.
REFLEKSI MULTIKULTURAL
† : “Mengkritik memang mudah, Rahib. “Mereka pikir
membuat sistem kalender dengan hitungan cermat bulan, hari dan jam peredaran
matahari itu semudah menghitung bunga kredit KPR apa?”, gerutu Ki Ageng Kelud
sembari nyruput kopi panasnya.
† : “Harus diakui, Tahun Masehi adalah persembahan
St. Dionysius Exiguus yang terbaik bagi sejarah peradaban dunia”, lanjutnya.
‡ : “Terima kasih, Kyai”, ucapnya datar tak mabuk
pujian.
Di tengah-tengah gayengnya diskusi, sesekali
keduanya melihat ke bawah matahari, Bumi Ngarcapada. Kontroversi Natal
sudah lewat, kini Tahun Baru mereka debat: “Pokoknya Januari itu penyembahan
dewa Janus!”, suara itu lantang, diulang-ulang.
† : “Dengar, dengarlah, Rahib. Kaum kampret itu
masih ngotot!”, kata Kyai Tunggul Wulung.
Sang Rahib senyum-senyum mendengarnya,
sambil ngicipi ketela rebus yang paling enak di planet bumi.
‡ : “Pernah dengar bulan Suro, Kyai?”,
tanya Sang Rahib.
† : “Tentu saja, Rahib. Suro adalah tanggal
kesepuluh Muharam, bulan pertama dalam kalender Islam. Tetapi di
negeri kami, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) telah menjadikannya
nama bulan pertama kalender Jawa”, jawab Ki Ageng Kelud.
‡ : “Terus?”.
† : “Istilah Jawa “Suro” berasal
dari bahasa Arab عَاشُورَاءَ 'Āshûrā', meskipun
asalnya dari kaum Yahudi, namun umat Islam disunnahkan untuk puasa: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ “Wa su'ila 'an
shaum 'āshûrā'a faqāla yakafiru al-ssanat al-mādhiyah”. Artinya: Dan
ditanyakan tentang puasa 'Asyura, Nabi saw., menjawab: “Puasa itu bisa
menghapus dosa kecil pada tahun sebelumnya” (H.R. Muslim)”, jelas Kyai Tunggul
Wulung.
‡ : “Ehm”, Sang Rahib menganggukkan kepalanya.
† : “Hanya saja, umat Islam diperintahkan agar
menyelisihi puasa Yahudi: صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ “Shûmûhu
wa shûmû qablahu aw ba'dahu yauman wa lā tusyabbihû bi al-Yahudi” (Puasalah
Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya, dan janganlah kamu
menyerupai kaum Yahudi)”, tambahnya.
‡ : “Nah, dalam hal ini ada upaya reinterpretasi
kan, Kyai? Maksud saya, kalau umat Islam berpuasa sebelum atau sesudahnya, itu
artinya tidak persis tanggal 10? Padahal kata عَاشُورَاءَ 'Āshura,
seasal dengan kata Ibrani עָשׂוֹר'
'ashor, artinya “sepuluh”, jelas Sang Rahib.
† : “Ya, ya. Betul, lebih gamblang sekarang,
Rahib. Apakah tentang 'Āshura ini ada dalilnya dalam Taurat?”.
‡ : “Ada. Itu yang dikenal Yom Kippur,
tertulis dalam Imamat 23:27, bunyinya: אַךְ בֶּעָשׂוֹר לַחֹדֶשׁ הַשְּׁבִיעִי הַזֶּה יוֹם
הַכִּפֻּרִים “Ak be 'ashor lakhodesh
hashevi'it hazzeh yom hakippurim” (Tetapi pada tanggal sepuluh bulan yang
ketujuh itu Hari Penebusan)”, tambah sang Rahib.
† : “Jadi, meskipun kata Suro itu akar
katanya sama, tetapi dalam perjalanan sejarah yang panjang, Yahudi, Islam, dan
Kejawen memaknainya berbeda-beda. Maknanya semula יום כיפור “Yom
Kippur” (Hari Penebusan). Unsur “penebusan” (kaffarah) ini masih
ada dalam Islam Sunni, meskipun tidak menjadi titik sentral ajarannya... “,
Sang Kyai berhenti sejenak.
‡ : “Bagi kaum Muslim Syiah, bulan 'Āshura adalah
bulan dukacita, itulah tanggal gugurnya Husein, cucu Rasulullah”, Sang Rahib
menambahkan.
† : “Bulan Suro”, giliran kata Sang
Kyai, “bagi Kejawèn adalah eru-eru akèh bilahi kang têko” (bulan
hura-hara banyak bencana yang datang)”.
Sementara keduanya asyik berdiskusi, di bumi
perdebatan tak kunjung selesai. “Mau diputer-puter ke manapun, namanya Januari
itu kan asalnya dari Janus, dewa pagan Roma”, kata seorang pengkhotbah melalui
pengeras suara.
† : “Gimana meluruskan logika seperti ini, Rahib?”.
‡ : “Itu sama saja kalau kita berkata, terlepas
dari beragam pemaknaan 'Āshura, sebagai hari penebusan dosa atau
dukacita, bulan tirakat atau bulan bencana. Tak soal apakah puasa Muslim
dibedakan sebelum atau sesudah Ashura Yahudi, tetapi “the origin
of 'Āshura” tetap berkaitan dengan kata שׂוֹר “asor”,
عشرة “asyrah”,
artinya sepuluh”, tandas sang rahib.
† : “Tetapi tidak berarti setiap Muslim yang puasa
Ashura harus kita simpulkan mereka murtad jadi Yahudi to, Rahib?”,
tambah Kyai Tunggul Wulung.
‡ : “Lagi pula, tak semua yang memakai kalender AD
menyebut bulan pertama selalu Januari, Kyai”.
† : “Oh iya?”.
‡ : “Beda dengan orang Mesir menyebut يناير “Yanair”
(Januari), di Irak, Lebanon dan Syria mereka menyebut كانون الثانٍ “Kanun al-Tsani”
(Kanon kedua), sebab Desember mereka namakan كانون الأوّل “Kanun al-Awwal”
(Kanun pertama)”, tambah sang Rahib.
Di bumi teriakan mengutuk Januari serba sayup mulai
tak terdengar lagi, mungkin kalah energik dengan lagu “EGP”-nya Maia Estianty:
“...Apa yang kau kata, apa yang dia kata, ku tak
pernah ambil pusing.
Kau mau bilang apa, semua mau bilang apa, ku
hanya bisa berkata: EMANG GUA PIKIRIN!”.
Berbareng dengan usainya diskusi di “Yerusalem Kaswargan”,
di bawah langit sana, yaitu di bumi Ngarcapada, sayap-sayap fajar
merekah mengusir gelap malam, dan pagi terus merangkak pasti menuju rembang
siang. ¶
(Bersambung)
“Bhumi Bung Karno”, 7 Januari 2019
2018 ¶ ISCS©All
Rights Reserved
No comments:
Post a Comment