Oleh: Pdt.Budi Asali,M.Div
HERMENEUTICS
1
PENGANTAR HERMENEUTICS
I)
Arti ‘Hermeneutics’.
Kata ‘Hermeneutics’ berasal
dari kata bahasa Yunani HERMENEUO, yang berarti ‘menjelaskan’, ‘menafsirkan’,
atau ‘menerjemahkan’.
Jadi, Hermeneutics adalah
ilmu yang mengajarkan prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan metode-metode
penafsiran Alkitab.
II)
Mengapa kita memerlukan Hermeneutics?
1) Karena adanya
Historical Gap.
Ini timbul karena adanya
perbedaan waktu. Penulis Kitab Suci hidup pada jaman dulu, dan
kejadian-kejadian yang ditulisnya juga terjadi pada jaman dulu, dan semua ini
tentu sangat berbeda dengan jaman sekarang.
Orang tua sering berkata
kepada anaknya: ‘Dulu saya ....’.
Tetapi dulu memang berbeda dengan sekarang!
Dulu nabi-nabi berjalan kaki
karena tidak ada mobil; haruskah pendeta jaman sekarang juga demikian? Dulu
puji-pujian menggunakan rebana, gambus, kecapi, dsb karena belum ada piano,
organ dsb; haruskah puji-pujian jaman sekarang meniru mereka? Dulu anggur dan
minyak sering dipakai sebagai obat (Mark 6:13 Luk 10:34 Yes 1:6), dan karenanya
Paulus dan Yakobus menganjurkannya (1Tim 5:23 Yak 5:14). Haruskah kita
sekarang, setelah ada obat-obatan modern yang lebih manjur, tetap mengikuti
anjuran mereka?
2) Karena adanya
Cultural Gap (perbedaan kebudayaan).
Mereka adalah bangsa yang
berbeda, dan tinggal di tempat yang berbeda, dan mempunyai kebiasaan-kebiasaan
/ tradisi yang berbeda pula dengan kita.
Kebiasaan orang di Amerika
dan Indonesia pada jaman yang sama sudah banyak berbeda,
misalnya:
a) Tentang peluk cium.
b) Tentang menyapa dengan
kata-kata ‘How are you’.
c) Pengucapan ‘I love you’
antara suami dengan istri.
Tentu kita di Indonesia
tidak bisa begitu saja mengimport tradisi Amerika tersebut.
Demikian juga kebiasaan /
kebudayaan orang-orang jaman Kitab Suci tidak bisa begitu saja ditiru, seperti:
- Penggunaan tudung kepala bagi perempuan dalam kebaktian (1Kor 11:5-6,13-15).
- Sarai menamai [NIV: called ( = menyebut / memanggil)] Abraham tuannya (1Pet 3:6).
- Pertemuan di pintu gerbang kota (Rut 4:1).
- Perendahan / pengabaian terhadap perempuan.
3) Karena adanya
Linguistic Gap (perbedaan bahasa).
Kitab Suci ditulis dalam
bahasa Ibrani, Yunani dan Aramaic. Tidak mungkin bisa menterjemahkan
bahasa-bahasa itu dengan sempurna ke dalam bahasa kita, karena adanya perbedaan
dalam persoalan:
a)
Grammar ( = Tata bahasa).
1.
Adanya Tenses (seperti: past tense, future tense, perfect tense, dsb).
Mungkin tidak ada bahasa
dalam dunia ini yang lebih “njlimet” tensesnya dibandingkan dengan bahasa
Yunani. Ini menyebabkan pada waktu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, maka
tenses bahasa Inggrisnya tidak mencukupi sehingga tidak bisa menterjemahkan
dengan tepat. Lebih-lebih kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang
boleh dikatakan tidak mengenal tenses.
2.
Adanya gender / jenis kelamin dari kata.
Dalam bahasa Ibrani setiap
kata benda dan kata sifat mempunyai jenis kelamin, atau laki-laki atau
perempuan, sedangkan dalam bahasa Yunani bahkan ada 3 macam, yaitu laki-laki,
perempuan dan netral. Pada waktu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau
Indonesia, maka semua ini hilang, padahal jenis kelamin ini bisa mempengaruhi
penafsiran.
b)
Vocabulary / perbendaharaan kata yang tidak ada.
Kalau kita menerjemahkan
dari satu bahasa ke bahasa lain, kita akan sering mengalami kesukaran dalam hal
ini, yaitu tidak adanya kata yang cocok, yang artinya betul-betul sama.
Sebagai contoh, kata bahasa
Yunani ‘PRAUS’ yang diterjemahkan ‘lemah lembut’ / ‘meek’ (Mat 5:5), padahal
‘lemah lembut’ / ‘meek’ mempunyai perbedaan arti dengan PRAUS. Kata PRAUS ini
tidak mempunyai terjemahan yang tepat, baik dalam bahasa Indonesia maupun
bahasa Inggris.
Illustrasi:
kalau mau menterjemahkan kata bahasa Jawa ‘ketlusupen’ ke dalam bahasa
Indonesia, kita juga tidak akan menemukan kata yang tepat. Kita harus
menjelaskannya dengan beberapa kalimat.
c)
Ungkapan-ungkapan seperti pada:
- Mat 26:25,64 - kata-kata ‘Engkau telah mengatakannya’ artinya adalah ‘ya’.
- Yos 7:19 dan Yoh 9:24 - istilah ‘give glory to the Lord / God’ (NIV) / ‘berilah kemuliaan kepada Tuhan / Allah’ merupakan suatu desakan untuk bersumpah.
- Luk 14:26 - ‘membenci’ berarti ‘kurang mengasihi / mengasihi lebih sedikit’.
- Mat 16:16 dimana Petrus mengakui Yesus sebagai ‘Anak Allah’.
Para Saksi Yehuwa berpendapat bahwa karena Yesus adalah Anak Allah, maka
Ia bukan Allah.
Tetapi ingat bahwa suatu
istilah dalam Kitab Suci harus diartikan sesuai dengan pengertian penulisnya /
orang jaman itu tentang istilah tersebut, dan bukan dengan pengertian orang
jaman sekarang tentang istilah tersebut.
Tentang istilah ‘Anak Allah’
yang digunakan oleh Yesus terhadap diriNya sendiri, banyak orang
menyalahartikan istilah ini, dengan mengatakan bahwa istilah ‘Anak Allah’
menunjukkan bahwa dulu hanya ada Allah saja, yang lalu beranak, dsb. Karena itu
jelas bahwa Yesus tidak setua / sekekal BapaNya. Tetapi ini adalah penafsiran
yang menggunakan pengertian orang jaman sekarang tentang istilah itu.
Kalau kita melihat pada Yoh
10:33b dan Yoh 5:18b maka akan terlihat dengan jelas bahwa pada jaman itu
menyebut diri Anak Allah berarti menganggap diri sehakekat dengan Allah, dan
itu adalah sama dengan menyamakan diri dengan Allah atau menganggap diri setara
dengan Allah.
Yoh 5:18b - “Ia mengatakan bahwa Allah adalah BapaNya sendiri dan dengan demikian menyamakan diriNya dengan Allah”.[Catatan: kata Yunani yang diterjemahkan ‘menyamakan’ dalam Yoh 5:18 adalah kata yang sama dengan kata Yunani yang diterjemahkan ‘setara’ dalam Fil 2:6].
Yoh 10:33b - “karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diriMu dengan Allah” (bdk. Yoh 10:36b).
Illustrasi:
kalau kita mendengar seseorang menceritakan / mengatakan sesuatu dan kita sama
sekali tidak bisa mempercayai kebenaran kata-katanya, maka kita mungkin akan
berkata: ‘Gombal’. Ini merupakan suatu ungkapan, yang artinya kira-kira adalah
‘omong kosong’. Bagi kita ini bisa dimengerti, tetapi bagaimana kiranya bagi
orang asing yang baru belajar bahasa Indonesia? Apakah ia tidak bingung
mendengar ungkapan ini?
Ketiga hal ini bisa
‘menghalangi’ kita untuk mengerti Kitab Suci. Dengan Hermeneutics, sebagian
halangan bisa diatasi. Tentu saja disamping itu kita juga harus belajar tentang
latar belakang jaman dahulu, bahasa asli Kitab Suci, dsb.
ooOoo
No comments:
Post a Comment