Oleh : Dr. RC Sproul
Meneropong
Hal Buruk Dalam Tujuan-Tujuan Allah
“Mengapa?” Pertanyaan
sederhana ini dijejali dengan asumsi-asumsi
yang disebut “teleology”oleh para filosofer.
Teleology, yang berasal dari kata Yunani untuk “sasaran yang hendak dicapai”
atau “arah
yang dibidik” (telos), adalah studi tujuan. Pertanyaan-pertanyan “mengapa”
adalah pertanyaan-pertanyaan tujuan. Kita mencari alasan- alasan untuk hal-hal yang terjadi sebagaimana adanya.
Mengapa hujan turun? Mengapa bumi berputar pada porosnya? Mengapa kamu berkata
demikian?
Ketika kita mengangkat pertanyaan tujuan,
kita sedang memedulikan sasaran-sasaran, maksud-maksud, dan tujuan-tujuan.
Semua istilah ini menyiratkan intensi
atau kehendak. Kata-kata ini membawa
makna ketimbang ketidakbermaknaan. Meskipun upaya-upaya para filosofer nihilis untuk menyangkali bahwa apapun juga memiliki makna dan
signifikansi ultimat. Pertanyaan “mengapa?” yang selalu ada di setiap masa ,
memperlihatkan bahwa para filsuf itu
belum jua sukses sepenuhnya dalam menjawab. Faktanya bahkan pertanyaan gegabah dilemparkan oleh si sinis
dengan “mengapa tidak?” yang
merupakan sebuah selubung tipis yang menutupi komitmen terhadap tujuan. Untuk
menjelaskan mengapa, kita tidak sedang
melakukan sesuatu, yaitu untuk
memberikan sebuah alasan atau maksud
untuk tidak melakukannya. Tujuan masih tetap ada dalam latar belakang. Manusia adalah
mahkluk hidup yang berkomitmen
terhadap tujuan. Kita melakukan hal-hal untuk sebuah tujuan—dengan sejumlah macam
sasaran yang hendak dicapai dalam pikiran.
Tetap saja ada kompleksitas dalam
pencarian tujuan ini. Kita membedakan
antara tujuan yang paling dekat (proximate) dan tujuan yang paling jauh (remote), tujuan proximate
adalah tujuan yang dekat dalam jangkauan
tangan dan tujuan yang remote merujuk pada yang jauh dan
merupakan tujuan yang ultimat. Mengunakan analogi olahraga sepak bola,
menguasai lapangan tengah adalah tujuan proximate, sementara mengumpankannya
kepada striker untuk menciptakan gol
merupakan tujuan remotenya. Tujuan lebih jauh lagi yang
hendak dicapai oleh tim adalah memenangkan pertandingan. Pada akhirnya, tujuan
ultimat atau terpuncak yang hendak dicapai adalah memenangkan Piala Dunia.
Ilustrasi Perjanjian Lama yang paling
terkenal sehubungan dengan
tujuan-tujuan remote dan proximate dijumpai dalam kisah Yusuf.
Pada akhir kisah ini, saudara-saudara Yusuf mengekspresikan ketakutan mereka bahwa dia akan melakukan tindakan
balas dendam terhadap mereka atas semua yang telah mereka lakukan terhadap
dirinya. Respon
Yusuf memperlihatkan kepada kita
dua hal yang berlangsung secara bersamaan
(concurence), yang bekerja diantara
tujuan-tujuan proximate dan remote. Dia berkata “Engkau memaksudkan yang jahat terhadapku, tetapi Allah
memaksudkan yang jahat itu untuk
kebaikan” (Kejadian 50:20).
Disini, tujuan-tujuan dekat dan jauh kelihatanya
saling terpisah atau terasingkan satu
sama lain. Maksud Tuhan memang benar-benar
berlawanan dengan maksud manusia. Saudara-saudara Yusuf memiliki satu sasaran yang hendak dicapai; Allah
memiliki sebuah yang berbeda. Realita yang mencengangkan disini adalah bahwa
maksud yang proximate melayani maksud
yang remote tidak
membebaskan konsekuensi perbuatan-perbuatan jahat saudara-saudaranya.
Niat /maksud dan tindakan-tindakanya memang jahat. Namun demikian, Allah berpikir atau menimbang adalah baik untuk membiarkan saudara-suadara Yusuf untuk mewujudkan rencana mereka
terhadap Yusuf—sejauh hingga pada
batasan – dimana Allah dapat mencapai maksud terpuncak-Nya.
Kita semua mengalami apa yang kelihatannya
kecelakaan-kecelakaan tragis. Beberapa tahun lampau, salah satu pastor St
Andrew Chapel , tangannya terpotong selagi
membuat lemari kayu. Dia tidak
bermaksud untuk untuk mengiris tangannya; dia bermaksud untuk memotong kayu
untuk membuat lemari yang sedang dia kerjakan. Perkataan yang paling dekat (proximate) untuk menjelaskan peristiwa tersebut adalah, dia
mengalami sebuah kecelakaan kerja. Dia bertanya, “Mengapa Allah membolehkan tanganku
sampai teriris?”
Pertanyaan itu mencari sebuah tujuan final atas kecelakaan
tersebut. Pertanyaan ini memunculkan
apa yang kita ketahui sebagai benar,
yaitu, bahwa Tuhan
semestinya dapat mencegah kecelakaan tersebut. Jika kita
menyangkal hal ini, kita menyangkal
siapakah Allah sebenarnya. Jika Dia tidak dapat mencegahnya, Dia tidak
bisa menjadi Omnipotent atau
mahakuasa—Dia tidak bisa menjadi Allah. Lebih jauh lagi, pertanyaan kita “mengapa?” memunculkan kebenaran lainnya: bahwa
pertanyaan itu memiliki sebuah jawaban. Kita tahu
Allah memiliki sebuah tujuan atas kecelakaan tersebut.
Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini, kita
berangkali tidak mendapatkan sebuah jawaban memuaskan dalam hidup ini. Kita
berangkali tidak akan pernah mengetahui sisi
mulia pada semua alasan-alasan mengapa sebuah tragedi terjadi. Namun
demikian, ada sebuah jawaban bagi pertanyaan maha penting ini : “ Apakah
maksud Allah dalam membolehkan kecelakaan
ini untuk menghasilkan sebuah peristiwa yang baik?”
Jika kita tahu segala sesuatunya
mengenai Allah,
kita telah mengetahui jawaban untuk pertanyaan ini. Maksud-maksud Tuhan dan kehendak-kehendak selalu
sama-sama baik. Tidak ada sedikitpun hal
yang serampangan atau maksud jahat dalam kehendak Allah. Kesukaan kehendak-Nya
selalu kesukaan baik pada kehendak-Nya. Kesukaan-Nya selalu baik; kehendak-Nya
selalu baik; maksud-maksud-Nya selalu baik.
Janji
luar biasa yang dikemukakan Paulus “ bagi
mereka yang mengasihi Allah semua hal bekerja bersama-sama untuk kebaikan, bagi
mereka yang dipanggil sesuai dengan maksud-Nya” (Roma 8:28) adalah sebuah pernyataan teleology. Disini Paulus sedang membicarakan maksud yang jauh/remote ketimbang yang dekat/ proximate. Perhatikan bahwa dia tidak
sedang berkata semua hal adalah baik tetapi bahwa semua bekerja
bersama-sama untuk kebaikan—untuk sebuah tujuan yang final dan ultimat/terpuncak.
Si Rasul menegaskan bahwa yang proximate
harus selalu dilihat dalam terang tujuan yang jauh.
Kesukaran yang kita hadapi adalah bahwa kita
tidak juga memiliki sebuah terang yang
penuh dari maksud yang jauh itu. Pada sisi
sorga ini, kita memandangnya melalui sebuah kaca yang berwarna kegelapan. Namun demikian. Kita
tidak sepenuhnya tanpa terang. Kita
cukup mengenal tentang Alah untuk mengetahui bahwa Dia memiliki sebuah maksud yang baik untuk semua hal
bahkan ketika maksud baik itu mengecewakan kita.
Tujuan baik Allah (secara demikian) memperlihatkan kepada kita
bahwa tampilan kebanggaan dan
kesia-siaan dalam dunia ini memang persis seperti itu— dunia
ini menekankan tampilan atau yang
terlihat! Percaya pada tujuan baik Allah
adalah esensi iman yang benar.
Jadi tidak ada orang Kristen yang dapat menjadi seorang pesimis hingga ke titik
tertinggi. Kejahatan dan tragedi yang kita alami sehari-hari dapat menuntun
pada sebuah pesimisme yang proximate,
namun bukanlah sebuah pesimisme yang sedemikian jauhnya/tingginya. Saya adalah seorang pesimistik terhadap
pemerintahan manusia dan kebaikan niat
manusia pada dasarnya. Saya
sepenuhnya optimistik terhadap
pemerintahan ilahi dan maksud baik Allah
yang intrinsik.
Kita
tidak hidup dalam sebuah dunia yang
kacau atau tanpa kendali-menggelinding begitu saja. Dunia ini dimulai
dengan sebuah maksud, dunia ini berlangsung dengan sebuah tujuan, dan dunia ini
memiliki tujuan terpuncaknya. Ini
adalah dunia Bapaku, dan pemerintahan-Nya memiliki tujuan sepenuhnya,
bukan tujuan yang berubah-ubah dan tanpa memiliki perencanaan. Ketiadaan tujuan adalah sebuah manifestasi kemustahilan.
Diterjemahkan dan diedit oleh :
Martin Simamora; The Purposes of God – Dr. RC Sproul,
Tabletalk Magazine
No comments:
Post a Comment