Oleh: Martin Simamora
Apakah
Politik & Mengapa Penting Bagi Kita?
Sebuah
Pengantar yang Sangat Penting Bagi Kita Semua
Pada
17 Desember 2010, seorang pemuda di Tunisia bernama Mohamed Bouazizi membakar
dirinya sendiri. Tindakannya tersebut merupakan protesnya terhadap penyitaan
buah-buahan dan sayur-mayur dagangannya yang biasa dijajakannya di kaki lima,
salah satu dari banyak bentuk pelecehan dan frutrasi yang telah dialami
Bouazizi oleh aparatur Negara Tunisia. Pada malam itu kerusuhan-kerusuhan dan
rentetan protes merebak disaentero ibukota Tunisia dalam amarah memuncak
melihat ada seorang yang tersudutkan sehingga harus mengambil tindakan seperti
itu. Protes kemudian berkembang sangat cepat menjadi sebuah gerakan yang jauh lebih signifikan, berubah
menjadi protes-protes anti pemerintah dan tidak lagi secara khusus berfokus
pada apa yang dialami Bouazizi. Pada 13 Januari 2011, Mohsen Bouterfif,
dalam sebuah tindakan yang terlihat
sangat menyerupai, menghidupkan api pada dirinya sendiri di sebuah kota kecil
di provinsi Tebessa yang berbatasan langsung dengan Aljazair. Ia sedang
memprotes ketakmampuannya untuk mendapatkan pekerjaan dan perumahan. Pada
minggu sebelumnya, empat orang lainnya di Aljazair telah juga berupaya membakar
dirinya sendiri dalam waktu bersamaan ketika negeri tersebut juga telah dilanda
sejumlah kerusuhan dan ketegangan sipil di sejumlah tempat terpisah. Hanya
dalam waktu empat hari kemudian, seorang pria Mesir membakar dirinya sendiri di
luar gedung parlemen, kembali dalam protes menentang kondisi-kondisi ekonomi
yang dialaminya dan frustrasinya terhadap kelambanan respon pemerintah terhadap
masalah-masalahnya. Dalam 10 hari, protes-protes anti pemerintah dalam skala
besar telah merebak di Kairo. Sebelum
berakhirnya bulan tersebut, Muammar Gadaffi di Libya telah secara
terbuka menyatakan kegusarannya pada bangkitnya peristiwa-peristiwa yang
melanda negara-negara tetangga di Afrika Utara.
Kejadian-kejadian
permulaan ini telah berperan sebagai katalis untuk apa yang kemudian dikenal
sebagai “Arab Spring”, sebuah gelombang protes massa dan penentangan terhadap
pemerintahan otoriter yang menyapu Afrika Utara dan bagian-bagian Timur Tengah.
Pada akhir 2011, ini telah membawa pda penumbangan rejim-rejim di Tunisia,
Mesir, Yaman dan Libya, gerakan besar protes di Bahrain dan Syria, dan
protes-protes besar di Aljazair, Iraq, Yordan, Maroko dan Oman.
Tentu saja,
satu orang membakar dirinya sendiri tidak dapat diidentifikasi sebagai
satu-satunya penyebab yang memungkinkan gelombang revolusi, tetapi itu dapat
dipandang sebagai sebuah katalis atau yang mempercepat laju yang membangun
sebuah pra-keberadaan hasrat bagi perubahan dalam negara-negara tersebut.
Aspirasi
dari banyak komentator dan para pembuat kebijakan Barat adalah bahwa, berulang
kali dikatakan, negara-negara tersebut akan muncul sebagai rejim-rejim
demokratis yang stabil. Dalam hal ini, protes-protes massa dipotret sebagai
tuntutan-tuntutan oleh masyarakat yang akses-aksesnya untuk mengemukakan
pendapat dan haknya telah terhalangi oleh sejumlah kebijakan (disenfranchised
citizens) untuk kebebasan yang lebih besar dan terutama kebebasan politik yang
lebih besar. Akan tetapi proses demokratisasi, atau transformasi dari otoriter
ke sebuah rejim yang demokratik, tidak berakhir dengan penyingkiran seorang
otokrasi dan keputusan untuk mengusung pemilu-pemilu yang “bebas dan adil”.
Demokrasi liberal lebih dari sekedar pemilu-pemilu dan pilkada-pilkada.
Pemilihan-pemilihan adalah sentral yang penting, tetapi para perancang
konstitusional dan kelompok-kelompok lain yang akan memutuskan bentuk Negara
demokrasi yang bagaimanapun untuk muncul di Afrika Utara atau di Timur Tengah,
dan dimanapun juga termasuk di negara kita Republik Indonesia, akan menghadapi
sebuah rentang pilihan-pilihan yang luas dan memusingkan dalam bagaimana
mereka merancang fitur-fitur politik sebuah negara baru (maksudnya pasca lepas
dari cengkraman rejim otokrasi).
Lebih
jauh lagi, desain institusi-institusi politik ini akan secara langsung
berdampak terhadap natur dan kualitas demokrasi yang saat ini sedang kita
alami. Pertanyaan-pertanyaan penting yang akan wajib dipertimbangkan adalah
seperti tipe sistem elektoral apakah
yang harus dimiliki dan bagaimana ini akan mempengaruhi cara pemilih dan partai
berperilaku? Berapa banyak partai seharusnya direpresentasikan didalam
pemerintah: satu partai yang berkuasa penuh, atau sejumlah partai yang saling
berkompetisi dalam sebuah koalisi?
Akhirnya,
dan barangkali yang paling penting dalam sebuah
negara yang belum lama mengalami demokratisasi adalah, jenis-jenis
institusi politik yang seperti apakah yang akan mempromosikan
kebijakan-kebijakan yang benar-benar diinginkan oleh warga negara seperti pertumbuhan ekonomi, layanan publik yang
bagus dan perlindungan lingkungan, dan bekerja secara efektif untuk
menyalurkan aspirasi-aspirasi warga negara?
Politik Penting Karena Akan Menentukan Kualitas Hidup & Masa Depan Sebuah
Bangsa & Negara
Pada
abad ke 3 BCE, filsuf Yunani Aristotle barangkali adalah akademisi pertama yang
berpikir secara sistematis mengenai bentuk-bentuk pemerintahan yang berbeda
membawa pada hasil-hasil politik yang berbeda: seperti stabilitas atau
pemberontakan dalam sebuah kota negara dalam negeri Yunani kuno. Faktanya, jika
ilmu pengetahuan adalah bangunan dan organisasi sistematik pengetahuan dengan
tujuan untuk memahami dan menjelaskan bagaimana dunia bekerja, maka Aristotle
barangkali adalah “imuwan politik” pertama.
Sejak
Aristotle, banyak filsuf politik yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan
bagaimana politik bekerja dan berpikir tentang bagaimana masyarakat-masyarakat
seharusnya dikelola, dan studi apapun pada sejarah pemikiran politik akan
memperkenalak siswanya pada banyak pemikir ini, seperti Plato, Cicero,
Machiavelli, Hobbes, Locke, Montesquieu dan Madison.
Akan
tetapi disiplin ilmu Politik modern sebagaimana diterapkan dalam pengajaran dan
riset-riset di universitas-universitas, usianya belum mencapai satu abad. Kursi
pertama dalam Sejarah dan Ilmu Politik bermula di Columbia University, New York
pada 1857. Institusi-institusi dan jurusan-jurusan pertama dengan nama “ilmu
politik” pada gelar mereka baru dikenakan di Ecole Libre des Sciences Politiques
di Paris pada 1871, fakultas Ilmu Politik di Columbia University pada 1880, dan
London Scholl of Economics and Political Science pada 1895. Dan asosiasi profesional
pertama ilmuwan-lmuwan politik adalah American Political Science Association
pada 1903.
Imuwan-ilmuwan
politik moderen utama pada dekade-dekade
awal abad ke-20, diantaranya adalah Max Weber di Jerman, Robert Michels di
Italia, Lord Bryce di Inggris, dan Woodrow Wilson di AS. Para akademisi ini,
dan hampir semua yang seera mereka, menganggap diri mereka secara utama adalah sosiolog,
sejarahwan, pengacara, atau para ahli administrasi public. Tetapi apa yang
mereka upayakan untuk memahami dan menjelaskan, diantaranya adalah politik, dan
salah satu aspek secara utama: institusi-institusi politik.Fokus-fokus para
intitusionalis perdana ini, dalam semangat Aristotle, adalah
institusi-institusi pemerintah dan
politik di berbagai negara: seperti eksekutif-eksekutif,
parlemen-parlemen, konstitusi-konstitusi, dan partai-partai politik. Dan pertanyaan-pertanyaan
para ilmuwan politik perdana ini berupaya untuk menjawab mencakup hal-hal
berikut ini: apakah sistem pemerintah Jerman lebih baik daripada Inggris?
Apakah partai-partai politik itu baik atau buruk bagi pemerintah? Apakah sistem
electoral terbaik bagi sebuah demokrasi?
Setelah
fokus perdana pada menggambarkan dan
menjelaskan institusi-institusi politik, pada pertengahan abad ke 20, ilmu
politik menggeserkan fokusnya pada”perilaku politik”. Ada beberapa alasan bagi
perubahan ini. Keyakinan pada kekuasaan lembaga-lembaga politik telah
menghadapi tantangan oleh keruntuhan demokrasi terutama di Eropa pada 1920-an
dan 1930-an. Republik Weimar, di Jerman, yang selama ini dianggap negara demokratik
konstitusi yang ideal, sebagaimana penilaian para ahli di masa tersebut. Untuk
memahami keruntuhan Weimar, dan kebangkitan Fasisme dan Komunisme, telah
menjadi jelas bahwa sikap-sikap dan perilaku warga negara dan para elit
barangkali lebih penting daripada institusi-institusi pemerintah.
Para
ilmuwan politik juga telah mengembangkan beberapa metoda baru untuk studi
perilaku politik. Salah satu metoda tersebut adalah”representative opinion pool”.
Sampai tahun 1930-an, pemilihan-pemilihan biasanya diprediksi oleh surat-surat
kabar atau majalah-majalah yang mengumpulkan opini-opini pembacanya mereka.
Sebagai contoh, tepat sebelum pemilihan presiden AS 1936, Literary Digest telah
menyurvei 2,3 juta pembacanya, dan dengan yakin telah memprediksi bahwa Alf
Landon akan mengalahkan Franklin D. Roosevelt. Problem dengan prediksi ini
adalah, bahwa pembaca-pembaca Literary Digest adalah mereka yang kebanyakan
dari kelompok masyarakat berpenghasilan lebih tinggi dan karenanya cenderung
untuk mendukung kandidat Republik (Landon) daripada rata-rata warga Negara AS
yang sedang berada di tengah-tengah Depresi Besar-Great Depression.
Sumber: Kumparan.com |
Pada
saat yang sama, George Gallup telah menyelenggarakan survei yang lebih kecil
diantara sebuah sample yang merepresentasikan warga negara Amerika Serikat,
berdasarkan pada beragam karakteristik demografik, seperti pendapatan, usia,
jenis kelamin. Menggunakan metoda ini, Gallup secara tepat telah memprediksi
sebuah kecondongan besar bagi Roosevelt. Gallup menjadi terkenal, sebagai
pionir pengumpulan jajak pendapat atau opinion pools, yang kini juga sangat
kita kenali dan akrabi dalam mendapatkan
hasil prediksi pemenang pemilu
yang kejituannya dapat diandalkan. Gallup kemudian membuka sebuah cabang di
London dan secara tepat telah memprediksi kemenangan Partai Buruh pada pemilu
1945, sementara banyak komentator yang telah mengasumsikan bahwa Konservatif
akan menang, yang dipimpin oleh Winston Churchill.
Antara
1940-an dan 1960-an, diperkuat dengan metoda-metoda baru untuk mempelajari
politik, data baru dari opinion polls dan pengumpulan data lainnya dijalankan,
dan ide-ide baru mengenai bagaimana menjelaskan perilaku politik, ilmu politik
telah menembus apa yang sekarang kita pikir sebagai sebuah “revolusi perilaku”.
Selanjutnya: bagian 2
Sumber utama
penulisan untuk bagian ini:
|
Introduction
to political Science, S.Hix and M.Whitting, Undergraduate Study in Economics,
Management, Finan ce and the Social Siences, University of
London-International Programmes
|
Diterjemahkan,
diedit dan diadaptasikan oleh
|
Martin
Simamora
|
No comments:
Post a Comment