Oleh: Martin Simamora
Apakah
Politik & Mengapa Penting Bagi Kita?
Sebelumnya: Bagian3
Demokrasi, Apakah Itu?
Kata demokrasi
begitu akrab di telinga kita sehingga menjadi sebuah kosa kata yang tak mewah
untuk diucapkan dalam obrolan sehari-hari hingga di layar-layar televisi kita
di rumah. Tetapi apakah demokrasi itu sebenarnya? Dalam ilmu Politik ada 2
pendekatan untuk menjelaskannya, mengenali pendekatan-pendekatan tersebut, kita
akan menjadi lebih tepat dalam memahami fenomena-fenomena politik yang gegap
gempita di tengah-tengah masyarakat kita.
Prosedural & Substantif
Dalam
definisi-definisi politik ada 2 tipe definisinya: definisi ‘prosedural’ dan
definisi ‘substantif’. Robert Dahl (1971) memulai definisi demokrasi adalah
mengenai kesetaraan politik dan memberikan setiap orang sebuah kesetaraan suara
dalam mengemukakan pendapat bagaimana sebuah negara seharusnya diperintah. Ia
kemudian memperinci apakah prosedur-prosedur atau institusi-institusi yang dibutuhkan
untuk menghantarkan kesetaraan politik demokrasi. Merujuk pada definisi Dahl,
jika salah satu karakteristik ini tidak ada, maka masyarakat tersebut disebut
non demokrasi:
●Pemilu-pemilu yang bebas dan adil
●Hak universal untuk ikut memilih
dalam pemilihan politik
●Kebijakan-kebijakan sebuah pemerintah keluar berdasarkan pada
hasil pemilu
●Warga Negara memilik hak untuk
menjadi kandidat-kandidat
●Kebebasan ekspresi dan informasi
●Kebebasan untuk berorganisasi
Pendekatan
serupa namun lebih awal mendefinisikan demokrasi, datang dari Karl Popper. Ia
juga telah meletakan penekanan pada prosedur-prosedur yang dibutuhkan untuk
menegakan demokrasi dan ia telah memberikan sebuah definisi yang sangat
minimal. Bagi Popper, satu-satunya hal yang diperlukan bagi sebuah negara untuk
dianggap sebagai demokrasi adalah, bahwa warga negara mampu menurunkan sebuah
pemerintahan dari kekuasaan.
Dahl dan
Popper tertarik dalam memurnkan sebuah
definisi procedural demokrasi, atau sebuah definisi yang mengklasifikasikan
sistem-sistem pemerintahan menurut apakah prosedur-prosedur dan
institusi-institusi tertentu itu ada, atau tidak. Ini mutlak dan penting ada
bagi mereka karena mereka merasa bahwa
itu akan menolong para ahli politik
untuk menemukan contoh-contoh actual dunia demokrasi dan untuk mengetahui
secara sangat mudah apakah sebuah negara itu demokratis atau tidak.
Pada sisi
sebaliknya, sejumlah ahli mendukung definisi-definisi demokrasi yang lebih
substanstif dan mereka berpendapat bahwa merincikan elemen-elemen prosedural
demokrasi adalah tidak cukup. Definisi-definisi demokrasi juga harus
memperhitungkan substansi apakah demokrasi
dan apakah tujuan yang hendak dicapai demokrasi. Dibawah definisi
prosedural, adalah mungkin untuk menemukan negara-negara yang memiliki
karakteristik-karakteristik demokrasi tersebut, tetapi tanpa secara aktual
menjadi negara yang demokratis. Sebagai contoh, Singapura hari ini, negara ini
dapat dikatakan memiliki semua prosedur yang diperlukan tetapi banyak orang
tidak berpendapat Singapura sebagai sebuah negara demokrasi karena negeri ini
tidak memiliki secara aktual pemilu yang kompetitif.
Dalam sebuah
upaya untuk membangun substansi demokrasi kedalam definisi, Schumpeter telah
membawa kedalam perhatian akan pentingnya elit-elit politik berkompetisi satu
sama lain untuk memenangkan suara
masyarakat. Ia telah mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah system yang
mana ‘individu-individu meraih kekuasaan
untuk memutuskan [keputusan-keputusan politik] melalui sarana-sarana
pertarungan kompetitif untuk mendapatkan suara rakyat’(1942, h50). Mengacu pada
definisinya, demokrasi itu dicirikan
oleh pertarungan elit-elit dari grup-grup. Penekanan serupa dapat ditemukan
dalam definisi-definisi yang paling terkemuka dalam mengukur demokrasi dalam
ilmu politik oleh Przeworski dkk (2000). Definisi penulis menekankan empat
aspek berbeda yang harus hadir secara berurutan agar sebuah negara dapat
diklasifikasikan sebagai demokratik. Urutan-urutan tersebut adalah sebagai
berikut:
1.Pemimpin eksekutif dipilih
2.Legislatif dipilih
3.Ada lebih dari satu partai
berkompetisi dalam pemilu
4.Sebuah peralihan kekuasaan
berlansung dalam aturan-aturan elektoral yang identik telah berlangsung
Dalam definisi
ini, Przeworski dkk, mengakui pentingnya memiliki pemilu, tetapi mereka juga
menyadari bahwa pemilu itu sendiri tidaklah cukup bagi sebuah Negara untuk
digambarkan sebagai demokratis. Mereka berpendapat bahwa harus juga ada
sedikitnya dua partai berkompetisi dalam sebuah pemilu dan, secara krusial,
harus terjadi pergantian kekuasaan. Karakteristik ini adalah krusial untuk
memastikan bahwa substansi demokrasi hadir.
Mengukur Demokrasi
Jadi, kemana
semua ini membawa kita kala kita memikirkan tentang bagaimana mengukur level
demokrasi di dunia? Salah satu yang paling luas digunakan dan secara luas telah
diterima sebagai ukuran-ukuran demokrasi adalah sebuah ukuran substantif yang
disebut ‘Polity IV’. Ini menyediakan sebuah ukuran tahunan untuk demokrasi dan
otokrasi bagi 184 negara sejak tahun 1800 hingga sekarang, menjadikannya seri
waktu terpanjang dan jumlah negara paling banyak dibandingkan dengan
ukuran-ukuran demokrasi lainnya yang digunakan dalam ilmu politik. Polity IV
terdiri dari 5 ukuran terpisah yang, jika dikombinasikan, memotret apakah
substansi demokrasi hadir atau tidak dalam sebuah sistem. Lima ukuran yang
digunakan adalah:
1.Perekrutan eksekutif yang kompetitif
2.Keterbukaan perekrutan eksekutif
3.Konstrain (tekanan untuk mengikuti
alur tindakan tertentu) pada eksekutif
4.Regulasi partisipasi politik
5.Partisipasi politik yang kompetitif
.
(Bagi anda yang tidak familiar dengan
‘eksekutif’, ini merujuk kepada pemerintah dalam sebuah sistem politik.
Sehingga dalam sebuah sistem presidensial, eksekutif adalah presiden, sementara
dalam sebuah sistem parlementer, eksekutif adalah perdana menteri dan
kabinetnya)
Ukuran ini
memberikan sebuah skor atau nilai antara -10 dan +10 bagi setiap negara dimana
-10 berarti sebuah negara adalah yang sangat demokratis. Akan tetapi, untuk
membuatnya sedikit lebih mudah ketika masuk pada mengukur apakah sebuah negara
adalah demokratis atau tidak, banyak
ahli telah menggunakan ambang batas/cut off +6. Sehingga, bila sebuah negara
memiliki sebuah skor polity +6 atau lebih tinggi, kita dapat menilai negara
tersebut adalah demokratis.
Berdasarkan
grafis di bawah ini, kita dapat mengatakan bahwa adalah sebuah kekeliruan untuk
mengasumsikan demokrasi adalah bentuk organisasi politik dominan sebelum masa
yang paling maju dalam sejarah belakangan ini. Malahan, hampir semua sejarah politik dunia moderen,
dunia sebelumnya telah diperintah oleh bentuk organisasi politik lainnya
seperti kerajaan-kerajaan,diktator atau komunis dan negara-negara dengan partai
tunggal, baru belakangan ini saja mayoritas masyarakat di dunia hidup dalam
sebuah alam demokrasi. Juga signifikan untuk dicatat bahwa tren ini muncul
bahkan kala menggunakan definisi Polity IV yang sangat substantif mengenai
demokrasi.
Tren lainnya
yang dapat kita observasi dari grafik ini adalah, bahwa demokrasi telah
berkembang dalam beberapa gelombang. Samuel Huntington (1993) telah
mengemukakan tiga gelombang demokratisasi. Gelombang pertama telah dimulai pada
abad ke sembilan belas dan berlangsung hingga 1919, setelah Perang Dunia
Pertama. Ini adalah era ketika banyak negara-negara demokrasi Eropa Barat dan Amerika Utara yang lebih tua muncul
atau lahir. Akan tetapi, pertumbuhan demokrasi tertahan dan menyusut selama
periode Antarperang/interbellum atau periode berakhirnya PDI dan mulainya PDII,
mendahului gelombang kedua demokrasi yang mulai setelah Perang Dunia II pada
1945. Selama gelombang kedua, banyak negara dibangun kembali atau muncul
mengikuti alur demokrasi. Tetapi juga penting untuk dicatat bahwa bagian-bagian
Eropa tengah, timur dan selatan menjadi negara-negara bersistem otoritarian
pada masa itu.
Gelombang ketiga demokrasi, kemudian mulai pada tahun 1960-an
dan masih berlangsung hingga saat ini. Gelombang ini mulai dengan dekolonisasi negara-negara
Afrika dan Timur Tengah dan termasuk bangkitnya demokrasi di Eropa Selatan dan
Amerika Latin sebagaimana juga munculnya
negara-negara demokrasi baru di Eropa timur dan tengah setelah runtuhnya
USSR. Natur gelombang ini dapat dilihat secara lebih jernih ketika
memperhatikan skor Polity rata-rata untuk semua negara dalam kawasan-kawasan
berbeda di dunia, seperti dinyatakan gambar dibawah ini:
EROPA-AMERIKA |
Asia, Pasifik, Afrika, Timur Tengah |
Pola-pola
berbeda ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaiman kita dapat
memberikan penjelasan terbaik faktor-faktor yang dapat menciptakan dan menjaga
kelanggengan demokrasi. Dan ini pun adalah hal yang sangat aktual bagi
Indonesia yang baru benar- benar masuk ke dalam ambang batas Polity di era
pasca reformasi 1998. Bagaimana agar
Indonesia juga mampu menjaga eksistensi demokrasi yang
bertumbuh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tak lepas dari bagaimana demokrasi benar-benar mampu melahirkan pemerintahan yang mampu mewujudkan suara pembangunan yang diamanatkan pemilihnya dan seluruh rakyat Indonesia.
Bersambung ke Bagian 5
Sumber utama
penulisan untuk bagian ini:
|
●Introduction
to political Science, S.Hix and M.Whitting, Undergraduate Study in Economics,
Management, Finan ce and the Social Siences, University of
London-International Programmes
|
Diterjemahkan,
diedit dan diadaptasikan oleh
|
Martin
Simamora
|
Thank yoou for sharing
ReplyDelete